🐣7. Kembalinya Sang Mantan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sora mengusap keringatnya yang terus bercucuran. Berkali-kali ia coba 'tuk membuat dahinya terlihat tak basah, namun sang bulir-bulir asin nyatanya tak mau berhenti untuk berseluncur di pelipis gadis tersebut.

Memang, nasibnya sudah ditakdirkan untuk sengsara seperti ini setiap hari. Mencari uang demi membeli keperluan sekolah, lalu membanggakan kedua mendiang orang tuanya—menunjukkan bahwa ia bisa sukses. Membiarkan sepasang suami-istri itu tersenyum di alam surga seraya berkata, "Nak, Ayah dan Bunda bangga sama kamu.  Anak hebat harus kuat."

Dalam diam Sora melukiskan senyum kecil di dalam hati. Walau secara tak sadar kedua kelopak matanya ikut memejamkan diri, bahkan sang napas pun ikut berlari dari sarang.

Suasana kota metropolitan yang begitu berasap dan juga terik harus menemani Sora setiap hari. Walau ada angin alami yang ia dapatkan dari mobil angkutan umum, hal itu justru tak membantu sama sekali. Suhu hari ini adalah tiga puluh empat derajat celcius, tapi terasa seperti empat puluh derajat. Begitu kata aplikasi di ponsel Sora.

"Andai gue kaya raya, pasti gue nggak usah kerja capek-capek buat biaya kebutuhan sehari-hari. Enak, ya, jadi Ziva. Pulang sekolah dijemput, rebahan di kasur pake ac, mau makan tinggal turun. Kalau nggak suka, bisa pesen online. Hidup orang kaya itu bahagia, ya," keluh Sora sembari turun dari angkutan umum dan berjalan masuk menuju minimarket—tempat ia bekerja seolah lupa dengan apa yang baru saja ia pikirkan tadi.

"Jangan halu, deh, Ra. Kalau lo udah miskin, ya ... bakal miskin selamanya. Kecuali lo dapet cowok kaya raya, anak sultan misalnya," balas Mira—penjaga kasir. Saat itu minimarket sedang sepi, jadi tak perlu takut untuk malu didengar. Toh, yang mendengar juga hanya pegawai di sana.

Sora dibuat sadar akan kenyataan. Benar kata Mira. Mau setinggi apa pun khayalannya, semua akan tetap sama. Harus bekerja keras demi bertahan hidup.

Untuk menabung saja tidak bisa karena keperluan sekolah yang begitu besar, walau memang ia mendapat beasiswa karena kepintarannya. Paralel satu sejak memasuki SMP hingga ia lulus dan memasuki tingkat SMA.  Sudahlah ... jangan terlalu berharap dengan sesuatu yang tak pasti. Semua hanya akan menjadi mimpi besar yang berujung menjadi angan.

"Udah mendingan lo rapiin barang-barang yang berantakkan aja di rak sana, tadi ada anak kecil main mobil-mobilan di sana, terus banyak yang jatoh. Orang tuanya bukan ngeberesin, tapi malah cuman minta maaf. Orang kaya mah bebas," perintah Mira.

Sora mengangguk pelan, lalu melakukan apa yang disuruh oleh teman senasibnya itu. Benar, ia tak boleh berharap terlalu tinggi untuk menjadi sama seperti orang lain, karena ujung-ujungnya, ia akan menjadi seperti ini terus sampai akhir hayat nanti.

Kecuali si pangeran idaman mau menerima cintanya dan hubungan mereka berlanjut sampai jenjang pelaminan, bahkan hidup romantis hingga mati.

Halusinasi Sora seketika hancur berantakkan. Ketika tangannya sibuk bergerak tanpa henti, terlihat sebuah penampakkan mata dari celah rak. Seperti pernah melihat, warna mata yang begitu khas, begitu juga dengan rambutnya. Siapa dia?

Tunggu ... jangan sampai itu terjadi lagi. Cukup, ia tak mau kembali ke dalam masa lalu. Semoga, tolong, jangan hadirkan cowok itu lagi.

Lelaki itu melanjutkan langkah saat mendapati bayangan Sora. Dengan wajah bangga akhirnya ia bisa menemukan perempuan yang telah ia cari, setelah beberapa tahun lalu Sora berkata bahwa ia akan pergi ke luar negeri karena mendapat beasiswa untuk bersekolah di sana. Lalu mengapa Sora bekerja di sini?

Sora berusaha untuk tak mengingat kenangan buruk pada waktu itu. Jika sampai semuanya terbayang, maka air matanya tak 'kan lagi bisa ia kurung. Kepalanya digelengkan kuat. Berharap bahwa penglihatan dan pikiran yang terus berkelana sekarang ini memang sedang bermain saja. Ini tidak nyata, ia yakin.

Namun, tiba-tiba saja si lelaki  sudah berdiri di samping Sora. Kedua sudut bibirnya terangkat. Rasa bahagia telah memihak pada pria bernama Leo. Apakah ini adalah tanda bahwa ia akan kembali bersama Sora dan melampiaskan segala hobi dalam melakukan kekerasan?

"Bukannya lo dapet beasiswa di Australia?" tanya Leo sembari menyenderkan tubuh di rak.

"Nggak usah kepoin hidup gue. Kita cuman sebatas masa lalu, dan gue nggak mau inget kenangan itu lagi." Kedua kaki sudah siap melangkah ke depan bersama jawaban Sora yang keluar secara buru-buru.

Tangannya dicengkeram kuat. Leo tak akan membiarkan Sora pergi sampai perempuan itu benar-benar mau memberi alasan yang jujur. Leo benci kebohongan, tapi justru mantan kekasihnya  melakukan itu semua.

Sora menoleh, kemudian berkata, "Mau apalagi, sih? Kita udah nggak ada urusan."

"Ada," jawab Leo singkat. Cowok berjaket bomber hitam itu kembali tersenyum bangga.

Sora tak paham lagi dengan pria pengangguran satu ini, sudah beberapa bulan lalu putus pun masih saja mengejar. Apakah ia tak tahu jika Sora sudah menyukai lain hati? Baiklah Sora akan berusaha semaksimal mungkin untuk memperjuangkan cintanya pada Biru dan menunjukkan pada Leo bahwa ia pantas mendapatkan laki-laki yang lebih baik.

"Jawab kenapa lo bohong sama gue, kenapa lo bilang dapet beasiswa, tapi ternyata lo masih ada di sini. Kenapa?!" teriak Leo yang berhasil membuat beberapa pegawai minimarket itu berkumpul dan menjadi penonton setia dari drama percintaan tersebut. Bagi mereka, itu adalah hal yang seru.

"Sadar nggak, sih, kehadiran lo di hidup gue udah bikin gue tersiksa?" Sora mengacungkan jari telunjuknya di depan dada Leo. Ah, mengapa di saat seperti ini air matanya justru mengalir? Sora tak mau terlihat lemah di hadapan lelaki berengsek itu.

Leo menggeleng santai. Ia tak merasa pernah menyakiti Sora, bahkan menurutnya kekerasan yang selama ini ia lakukan adalah perbuatan wajar yang diperbolehkan oleh sang orang tua untuk dilakukan pada pacar yang membantah. Sebab di rumah sekali pun, Leo diperlakukan seperti itu.

"Lepasin gue!" pekik Sora seraya berusaha melepaskan tangannya. "Gue nggak pernah suka sama lo! Kita udah nggak saling mengenal!"

Air mata sang gadis nyatanya tak lagi kuat untuk bertahan di balik pelupuk mata. Segera meluncur turun secara bergantian seperti ikut merasakan kekhawatiran berlebih yang sama seperti sang pemilik.

"Nangis aja terus. Gue nggak akan lepasin, Sora!" Leo memandang Sora seolah ia adalah manusia paling rendah.

"Mau lo apa, sih?"

"Jelasin kenapa lo putusin gue!"

"Gue putusin lo karena gue nggak suka sama lo! Gue benci cowok kasar bangsat kayak lo! Paham?!" teriak Sora. Seluruh pegawai toko bersorak. Kagum dengan jawaban Sora barusan. Bagi mereka itu adalah suatu hal yang keren untuk seorang perempuan yang mau menentang kekerasan lelaki.

Di saat itu pula ada Biru yang baru saja pulang sekolah dan mampir ke minimarket untuk membelikan titipan sang sepupu.

Matanya sedikit memicing saat menangkap kehadiran Sora dengan lelaki jelek di lorong bagian camilan. Segera melangkah mendekati arah keramaian yang ia sendiri pun bingung apa penyebabnya.

"Ada apa, sih, Mbak?" tanya Biru pada salah satu wanita berkaos merah dan celana bahan hitam yang merupakan pegawai dari minimarket.

"Itu ada yang berantem," balasnya tanpa menoleh.

Dagu Biru seketika terangkat, melangkah maju dan berdiri tepat di depan kedua sepasang manusia itu, lantas berkata, "Cemen lo!"

Kedua mata Leo berhasil dibuat terbelalak lebar. Menoleh ke arah Biru dengan mata yang sudah membulat, kemudian menjawab, "Apaan lo?!"

"Kalau lo cowok, lepasin, dong!" teriak Biru yang dengan cepat menarik kerah milik Leo, dan mendaratkan sebuah bogem—tepat di rahang milik Leo sampai mengeluarkan cairan kental berwarna merah.

Di saat itu pula Sora merasa takjub. Rasa sedih saat mengingat almarhum orang tuanya yang meninggal karena kecelakaan seketika hilang begitu saja. Kelima jari tangan kanannya menutup mulutnya rapat. Anjir, keren banget. Makasih banyak, Kak.

Biru terus menghantam Leo sampai lelaki itu terkapar lemah, kemudian segera melarikan diri tak tahu ke mana.

"Temennya Ziva nggak apa?" tanya Biru sambil menatap mata Sora.

Sora menggeleng. Dalam diam gadis itu mencuri kesempatan untuk menaruh sebuah pelukan hangat beserta ucapan terima kasih tanpa henti. Walau keadaan sedang darurat, tetapi menjadi cewek aneh seperti Ziva juga ia perlukan di saat seperti ini.

"Udah, jangan nangis lagi," balas Biru seraya melepaskan pelukan itu secara sepihak—berharap bahwa yang memeluknya sekarang adalah Ziva, pasti ia sangat menikmati.

"Maaf," ucap Sora sembari menghapus air matanya cepat, "gue tadi cuman inget dulu pas lagi keadaan berduka, dia justru pukulin gue, bahkan dia juga nampar karena gue nggak berhenti nangis waktu itu." Sora mengadu. Beberapa karyawan toko yang tadi menjadi penonton, sekarang berhamburan pergi dan kembali bekerja. Drama telah usai, dan ini adalah hal paling tidak penting dan tidak menarik bagi mereka.

Aduh, nih, anak malah curhat pula. Kapan, ya, Ziva yang kayak gini? Haduh, mager banget njir lama-lama. Kondisi hati Biru tampak memanas.

Duh, tapi ya udah, deh, semoga dia inget jasa gue dan kasih tau ke Ziva, kata hati cowok berseragam tersebut.

Sampai akhirnya karena tak mau berlama-lama melihat Sora, Biru segera pergi meninggalkan ia sendirian tanpa berkata satu kata pun.

"Kak Biru, tunggu ... jangan pergi!" teriak Sora dari kejauhan sambil melambaikan tangan di udara.

Biru menghentikan langkahnya sebentar sebelum menuju kasir. Astaga, kenapa cewek ini semakin memperlambat waktunya untuk sampai di rumah? Seharusnya ia tahu kalau dirinya ini tak ikhlas disuruh meladeni cewek jelek.

"Lo kayak gini bukan karena gue temennya Ziva, jadi lo iba sama gue, 'kan?" tanya Sora. Ia sadar, yang disukai oleh Biru itu Ziva, bukan dirinya. Tapi ... apakah masih ada kemungkinan bahwa Biru memiliki masalah yang sama dengannya dan menjadikan Ziva sebagai pelampiasan belaka?
Jujur, hanya kepada Biru ia berani berharap seperti ini.

Happy saturday, Bebsky!

Malming nih hari ini, baca wp aja yuk yang rebahan di kasur🤣

❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro