IV. Terbongkar

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ia berdiri menghadap ke arah luar jendela dengan sepuntung rokok di tangan kanannya. Banyak hal yang menghantui pikirannya. Apa yang harus dilakukannya? Bagaimana ia menghadapinya? Seperti apa gambaran ke depannya? Semua berputar-putar di dalam otaknya, mengelilingi pikirannya, memenuhi kepalanya. Ia harus segera bertindak. Ia tidak ingin ini terjadi terus, sangat menyusahkan dirinya. Ia memikirkan bagaimana ia harus memulai. Ia tidak ingin berpikir terlalu lama dan akhirnya kembali mengurungkan niat yang sudah lama ingin dilakukan. Ia berpikir ini adalah kesempatan untuk melaksanakan semuanya. Semua inilah waktunya.

Ia mengambil ponsel dari saku celananya dan menghubungi seseorang yang selalu ada dalam panggilan keluar, masuk ataupun yang tidak terjawab olehnya.

"Halo,"sapa dari seberang.

"Ada yang ingin aku bicarain dengan kamu," langsungnya.

"Ada apa, Farhan? Kedengarannya serius banget."

"Ini memang sangat serius, tentang hubungan kita."

"Ada apa dengan hubungan kita, An? Hubungan kita baik-baik aja, sehat. Apa yang harus dibicarain?"

"Nggak. Hubungan kita nggak baik, nggak sehat, penuh dusta."

"Dusta? Maksud kamu?"

"Jihan, aku mau hubungan kita berakhir sampai di sini. Aku nggak mau ngelanjutin lagi semua kebohongan ini. Udah cukup semuanya sebelum nanti kamu akan merasakan sakit yang lebih lagi."

"Kebohongan apa? Kenapa berakhir?"

"Selama ini aku kembali menjalin hubungan dengan kamu hanya untuk membalas rasa sakit hati aku karena dulu kamu ninggalin aku demi lelaki yang aku nggak tau siapa itu. Aku ingin kamu tahu gimana rasanya menjalin hubungan tanpa dicintai. Sakit banget, Han. Aku rasa sekarang kamu udah bisa ngerasainnya. Selama kita balikan nggak pernah lagi ada rasa itu dalam hati aku. Semua yang terucap dari bibir aku hanyalah kebohongan agar kamu tetap bersama aku dan aku bisa membalas semua yang udah kamu lakuin sama aku. Sekarang, aku rasa udah cukup. Aku juga nggak tega lama-lama ngelakuin ini sama kamu. Sekarang semua udah berakhir. Akan lebih baik kamu mencari lelaki yang lebih baik dari aku dan nggak akan membalas ketika kamu menyakiti dia."

"Nggak, nggak. Semua yang aku dengar barusan salah. Aku nggak mendengar apapun. Kamu ngigau, kan? Atau aku yang sedang bermimpi buruk?" Jihan membantah semua omongan tersebut dengan isak tangis yang begitu jelas terdengar.

"Kamu nggak mimpi dan aku nggak ngigau," tegas Farhan.

Perempuan itu terus menangis. Ia tidak menyangka lelaki yang selama ini sangat disayang dan dicintanya ternyata membalas sebuah kesalahan yang dipikirnya telah dimaafkan. Dulu, memang pernah dia menjalin hubungan dengan lelaki lain dan hingga sempat meninggalkan Farhan demi lelaki itu. Tapi, ia sangat menyesal melakukan hal tersebut dengan kesadaran bahwa di hatinya hanya tertuliskan satu nama yang tidak dapat diganti posisikan oleh siapapun.

"Aku minta maaf sama kamu. Aku sayangnya sama kamu. Aku cintanya cuma kamu. Aku nggak bisa cinta lelaki lain selain kamu. Aku minta maaf, An," katanya kala itu.

"Semudah itu kamu minta maaf sama aku? Kamu tau nggak gimana perasaan aku di sini saat tau kamu seperti itu? Aku selama ini percaya sama kamu. Tapi, apa yang kamu lakuin di belakang aku? Tanpa sepengetahuan aku? Kamu asyik-asyikan dengan lelaki itu. Mungkin kalau aku nggak tau kamu selingkuh, kamu masih sampai sekarang dengan lelaki itu dan entah sampai kapan. Aku memang bodoh udah percaya dengan kamu. Itu kesalahan terbesar aku percaya sama kamu," ucap Farhan penuh amarah.

"Aku minta maaf. Aku mau kita seperti dulu lagi. Kamu harus percaya sama aku kalau aku masih Jihan yang dulu. Jihan yang cinta dan sayangnya cuma kamu. Kamu percaya sama aku."

"Gimana bisa aku percaya, Han? Kamu sakiti aku keterlaluan caranya. Kamu tau hal apa yang aku benci, tapi kamu ngelakuin hal itu. Kamu khianati aku, Han. Pengkhianatan."

"Maaf.... Aku minta maaf. Please...."

Itulah seputar pembicaraan mereka saat Jihan ketahuan selingkuh beberapa tahun lalu. Ia terus membujuk Farhan agar dapat memberinya maaf dan memberinya kesempatan untuk membuktikan bahwa dirinya masihlah Jihan yang terus menyanyanginya hingga kini. Ia tidak menyangka kesempatan yang diberikan oleh kekasihnya adalah kesempatan untuk membalas perbuatannya. Tiadakah penerimaan maaf yang tulus? Tanpa balasan? Di mana keikhlasan yang selalu dia berikan untuknya dulu? Mengapa ini yang dia dapatkan?

Tangisnya tidak berhenti mengalir dari pelupuk matanya. Hatinya teriris perih; sakit. Sakit yang sangat dalam sedang dirasakannya. Jihan mencoba menghubungi nomor Farhan berulang kali berharap dapat memperbaiki semuanya dan mengulang kembali. Namun sia-sia yang dilakukannya, karena panggilannya tidak sekalipun dipedulikan. Kekecewaan, kesakitan, memenuhi relung jiwanya. Ia galau.

-----------------------

Di ruangan yang berukuran kira-kira sepuluh kali tujuh meter persegi, Dhea seorang diri bermain dengan putaran musik milik EXO dengan lagu Growl-nya. Tubuhnya bermain dengan indah mengikuti alunan yang terdengar dengan jelas. Ia begitu bersemangat. Setiap keringat yang mengalir di tubuhnya tidak menggoyahkannya untuk berhenti walau sekedar untuk mengelap keringat. Ia terus memainkan tubuhnya, bermain dengan musik yang selama ini disukainya. Ia merasa terus hidup, dan dirinya seakan berperan sebagai salah seorang member EXO. Senyum tidak lekang meskipun lelah merasuki tubuh.

Ia merebahkan tubuhnya di lantai begitu selesai memainkan lagu tersebut. Ia meneguk minuman botol yang sengaja dibawanya untuk menghilangkan dahaga. Dari pintu terdengar tepukan tangan seseorang yang entah siapa.

"Hebat. Salut lihat bakat kamu."

"Abang??"

"Sejak kapan kamu belajar dance seperti itu?"

"Sejak SMA. Awalnya iseng-iseng aja, sih, ikut-ikut mereka karena ngefans dan dancenya memang keren banget. Nggak taunya malah ketagihan dan terus ngikut."

"Aku suka banget lihat gerakan-gerakan kamu. Tampak lincah, nunjukin kalau kamu udah ahli dalam hal itu."

Dhea tertawa mendengarnya. "Ahli dari mana? Ini nggak ada apa-apanya dengan yang di luar sana."

"Jangan bandingin yang di luar dong. Kalau kamu terus berlatih pasti bisa. Fighting...!" katanya dengan menggenggam bahu perempuan itu sebagai bentuk penyemangat.

"Wait wait wait. Kita ngomong udah nyampe mana-mana. Nama Abang siapa, sih?"

"Oh ya, lupa ngenalin diri. Heri Syaddad."

"Aku nggak perlu ngenalin diri lagi, kan?" tanyanya tersenyum.

"Iya. Abang udah tau nama kamu Aishe."

"Panggil Dhea aja. Aku nggak suka panggilan Aishe."

"Kenapa? Cantik tau, kebarat-baratan gitu."

"Aku mirip orang Barat ya?"

"Iya, wajah kamu bule gitu. Ada keturunan ya?"

"Keturunannya Pangeran William," jawabnya setengah tertawa. "Oh iya, Abang blasteran ya? Mukanya mirip bule," tanyanya penasaran.

"Mama aku asli Perancis, dan Papa aku Malaysia."

"Terus kenapa tinggal di Indonesia?"

"Sebelum menikah, Papa aku udah duluan bangun bisnisnya di sini bersama temannya yang asli Indonesia. Terus Mama aku sempat liburan ke Indonesia bareng teman-temannya. Bertemu, menikah, dan menetap di Indonesia. Tapi, mereka sering juga pulang ke sana."

"Simple but sweet. Terus Abang sendiri nggak pulang ke sana?"

"Aku besar di Perancis. Ketika SMA aku ikut mereka ke sini. Dan aku menikmati alam Indonesia. Jadi aku memilih stay di sini."

"Nggak ada rencana untuk pulang?"

"Belum kepikiran. Kenapa? Kamu mau aku ajak ke sana?"

"Ya mau dong. Kapan lagi bisa ke luar negeri gratis?" ujarnya bangga.

"Memangnya aku ada bilang gratis?" tanya Heri membuat Dhea salah tingkah.

"By the way, kenapa kamu masih di sini? Bukannya yang angkatan kamu semua udah pulang setelah selesai latihan drama tadi?" sambung Heri mengalihkan pembicaraan agar menghilangkan kikuk Dhea.

"Iya, sih. Lagi males pulang. Di rumah nggak ada orang. Teman serumah juga lagi keluar dengan temannya. Mending di sini, ekspresiin apa yang aku bisa. Dari pada melongo sendirian di rumah."

"Memangnya rumah kamu di mana?"

"Dekat kok dengan kampus. Entar kalau ada waktu dan kalau mau aku ajak, deh, main-main ke rumah."

"Boleh memangnya?"

"Boleh dong, asalkan bawa makanan ya?" candanya tertawa.

"Kamu suka banget makan ya?"

"Iya. Siapa, sih, yang nggak suka makan? Kalau kita nggak makan gimana kita bisa hidup? Ya, nggak?"

"Ya ya ya. Kamu benar-benar unik."

Mereka bercerita penuh semangat diselingi tawa-tawa ceria. Mereka terlihat begitu dekat seakan sudah mengenal beberapa tahun lamanya dan baru dipertemukan kembali. Di tengah keasyikan mereka mengumbar tawa, semua terhenti karena ponsel Dhea berdering. Ada panggilan dari seseorang yang dikenalnya.

"Halo," sapanya kepada si penelepon.

"Dhe, kamu di mana?" Terdengar suara dari seberang dalam isak tangis.

"Aku di sanggar. Kamu kenapa? Kamu nangis ya? Ada apa?"

"Kamu bisa ketemu aku nggak?"

"Kapan? Karena motor dibawa Gitan. Jadi aku harus hubungi dia dulu."

"Aku sekarang di tempat kita biasa makan. Kapan kamu ada waktu untuk datang, datang aja. Aku nunggu kamu di sini ya."

"Yaudah kalau gitu aku hubungi Gitan dulu ya."

"Makasih, Dhe."

Dhea segera memutuskan sambungan antara mereka dan menyambungkan panggilan pada Gitan.

"Kamu di mana?" tanyanya panik.

"Aku di tempat Wela, kenapa?"

"Aduh, jauh banget. Aku mau ketemuan dengan Jihan. Sepertinya dia lagi ada masalah gitu."

"Yah, mana aku tahu. Kamu bilang tadi aku boleh ke mana aja karena kamu belum mau pulang. Kamu juga, sih, nggak bawa motor sendiri."

"Mana aku tau kalau akan ada sesuatu gini."

"Terus sekarang, gimana? Aku ke situ jemput kamu?"

"Nggak usah deh. Aku pulang aja dulu ambil motor."

"Kamu mau jalan?"

"Memang kenapa? Biasanya juga gitu."

"Maaf ya, Dhe."

"Iya, nggak apa.

Klik! Sambungan kembali diputuskan.

Dhea segera mengambil tasnya dan segala perlengkapan latihannya. Ia harus bergegas pulang dan menemui Jihan. Perasaannya tidak nyaman mendengar kekasih sahabatnya menangis seperti itu. Apa yang sebenarnya terjadi? Ia ingin segera mengetahuinya.

"Kamu mau ke mana?"

"Mau pulang dulu, Bang. Lain kali kita bincang-bincang lagi ya. Aku buru-buru."

"Abang antar ya?"

"Nggak usah, Bang. Aku bisa pulang sendiri, kok."

"Kamu buru-buru. Kalau ada apa-apa, gimana?"

"Nggak apa, Bang. Terima kasih. Aku pulang, ya. See you."

"Hati-hati."

Heri melihat dari pintu perempuan itu berjalan setengah berlari dengan penuh kecemasan. Apa yang terjadi padanya? Siapa yang membuat dia khawatir seperti itu? Jihan? Siapa Jihan? Adiknya kah? Dan masih banyak pertanyaan menghinggapi pikiran yang entah kenapa harus merasukinya.

---------------------

"What??" Satu kata itulah yang terucap dari mulutnya setelah sekian banyak cerita yang ia dengar dari perempuan yang duduk di hadapannya dengan berlinang air mata.

"Apa ini memang balasan untuk aku, Dhe? Apa aku harus mendapatkan balasan yang seperti ini?"

"Dia kelewatan banget. Tapi, aku juga nggak percaya kamu tega bermain di belakang dia dulunya."

"Aku nyesal, Dhe. Aku nyesal banget. Aku pikir dia udah maafin aku dengan segala kebaikan yang dia beri setelah balikan selama dua tahun belakangan ini."

"Kamu yang sabar ya, Han. Kamu berdoa aja yang terbaik untuk diri kamu dan untuk kalian. Kalau memang ini jawaban atas hubungan kalian, kamu harus dapat terima daripada kamu terus melanjutkan tetapi kamu disakiti lebih dalam lagi. Aku juga akan coba bicara dengan dia nanti."

"Terima kasih ya, Dhe."

Dhea tersenyum berharap senyumnya dapat menyemangati perempuan yang terpuruk di hadapannya. Ia juga pernah mengalami hal serupa saat ia ditinggal kekasihnya yang pergi dengan perempuan lain. Ia sangat kesakitan, kecewa, perih. Tapi ia tidak dapat berbuat apapun, ia hanya diam dan menerima apa yang dilakukan mantan kekasihnya itu. Setaunya ia masih menyayangi mantan yang telah menyakitinya itu, tapi untuk kini sudah tidak, semua hanya sebagai kenangan semata.

Dhea bimbang akan apa yang harus dilakukannya terhadap perempuan di hadapannya. Ia hanya masih dapat menggenggam tangannya untuk menyalurkan kekuatan. Ia tetap di sana dengan tersenyum dan menguatkan seorang perempuan yang sedang bersedih karena perilaku sahabatnya. Genggaman itu akan memberi kekuatan yang dibutuhkan, dan senyuman adalah hal kecil sebagai bantuan pertama.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro