XXII. Tumpukan Hadiah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Happy birthday...." Sorakan tersebut terdengar dari ruang tamu.

Ia pun bersorak gembira memeluk mereka yang memberikan kejutan untuknya di pagi hari kelahirannya. Ruang tamu disulap menjadi meriah dengan hiasan balon dan kue ulang tahun. Ia merasa sangat bahagia dapat berkumpul dengan keluarga yang utuh di hari ulang tahunnya. Tidak seorang pun absen di hari itu, termasuk para keponakan. Ia tidak pernah merasakan surprise pada hari ulang tahun sebelumnya. Biasanya hanya sebatas ucapan selamat dan semua berlalu. Tidak ada sekumpulan keluarga yang sekaligus mengucapkan seperti hari ini.

"Terima kasih kalian ingat ulang tahun aku."

"Udah tua, Dhe, kapan nikah?"

"Bang Bayu nanyanya jelek banget."

"Pertanyaan Bayu benar, lho. Kamu dari tahun ke tahun ditunda terus pernikahannya. Abang ingin lihat kamu jadi pengantin," bela Zayn.

"Di keluarga kita tinggal kamu yang belum nikah. Adik Kakak yang lebih muda dari kamu aja udah nikah," tambah Renan.

"Memangnya kamu nggak mau merasakan bahagianya membina rumah tangga seperti kami?"tanya Gitan.

"Ini hari ulang tahun aku, kenapa membahas pernikahan?"

"Karena usia kamu terus bertambah, kapan lagi kamu akan nikah?" jawab Nashele.

"Kalian semua tenang aja, sebentar lagi anak kalian akan nikah," jawab Miko.

"Serius? Kami kenapa nggak tau apa-apa? Memangnya kapan kalian akan menikah?"

"Aku dan Dhea udah bicarain hal ini. Kami udah persiapkan pernikahan kami sedikit demi sedikit. Rencananya juga tiga bulan ke depan kami nikah. Tinggal kalian semua gimana, keberatan nggak pernikahan kami tiga bulan depan? Keluarga aku udah setuju sih."

"Maaf sebelumnya karena kami memutuskan sendiri tanggal pernikahan, nggak berdiskusi dulu dengan kalian. Kalau kalian nggak setuju, bisa diganti waktunya, sesuai kemauan kalian," tambah Dhea.

"Nggak masalah kalian nggak diskusi dengan kami. Kalau kalian minta ganti waktu pada Bunda, Bunda akan menganjurkan waktunya bulan depan," sahut Nashele mengundang tawa yang lainnya.

"Ayah senang akhirnya kalian menemukan jawaban untuk pernikahan kalian. Ayah sebenarnya takut, kalau kamu nggak nikah dan kamu lalai dengan dunia kerja kamu, kamu nggak akan pernah terpikir untuk menikah. Kebanyakan dari orang berkarir seperti itu, apalagi perempuan."

"Ayah, Bunda, aku akan tetap nikah apa pun yang terjadi. Berapa pun usia aku, aku akan menikah. Kalian cukup percaya dengan aku."

"Kami percaya kamu."

"Kado aku mana?" tanyanya cengiran.

"Udah tua masih juga minta kado," timpal Gitan.

"Git, meski tua, kado itu perlu."

Semua dari mereka menyerahkan kado untuk Dhea. Namun, Dhea lebih tertarik pada empat keponakannya, mereka menyerahkan kado tanpa balutan apa pun.

"Keponakan Tante baik banget turut kasih kado. Siapa yang beli kadonya?"

"Aku dan Alul sisain duit jajan untuk beliin kado tante," jawab Ulla, keponakan kembarnya.

"Berarti kalian nggak jajan dong. Diet kalian?"

"Nggak dong, Tan, pulang ke rumah aku makan semua makanan yang ada, dan aku minta jajan lagi dengan Mama," jawab Alul.

"Dasar kalian. Kalau kedua putri cantik ini gimana?" tanyanya merangkul putri Gitan.

"Minta beli Mama. Waktu itu lagi jalan-jalan bareng Mama Papa, Dek Chika lihat boneka lope-lope cantik. Yaudah, aku minta Mama beliin buat Tante agar Tante cepat dapet lope-lope," jawab Riska.

"Git, anakmu kecil-kecil tahu lope, lho. Pasti emaknya yang ajarin, kan?"

"Enak aja. Kamu kalau yang jelek-jelek selalu tuduh aku yang ajar."

"Kalau bukan kamu siapa lagi? Emaknya itu kamu, bapaknya nggak mungkin gitu."

"Kenapa nggak mungkin?"

"Lha, bapaknya polos gitu mukanya. Mungkin memangnya?"

"Mana aku tahu. Anak zaman sekarang otaknya cepat banget. Nggak seperti kita zaman dulu."

"Miko kasih kado apa untuk Dhea?" tanya Zayn.

"Bukan apa-apa, kok. Aku kasih cinta aja untuk Dhea."

Semua menyoraki Miko yang tertawa karena menggombali tunangannya itu. Ia membuka kotak kecil yang berisikan liontin yang sangat indah. Semua kagum dengan keindahan liontin miliknya. Miko memakaikan liontin itu pada pujaan hatinya.

"Kamu cantik, Dhe."

"Aku yang cantik atau liontinnya?"

"Dua-duanya."

Gitan membawa delapan bungkus kotak dengan ukuran yang berbeda-beda, dari ukuran terkecil hingga ukuran terbesar ada di tangannya.

"Waw, itu kado kamu untuk aku?"

"Bukan."

"Terus?"

"Aku nggak tau, tadi ada yang mencet bel rumah, sewaktu aku buka pintu ini semua ada di depan pintu."

"Nggak ada nama pengirimnya gitu?"

"Nggak ada."

"Pengagum rahasia mungkin, Dhe," goda Miko.

"Ada inisial yang sama di setiap kado. Inisialnya H," ucap Gitan berpikir.

"Heri," Jawab Miko cepat.

Dhea memalingkan pandangannya pada Miko. Wajah lelaki yang selalu membuatnya nyaman itu kali ini tidak seperti biasanya. Tampak dari wajahnya rasa amarah, cemburu, sakit. Miko menyembunyikan semua rasa itu dengan mencoba tetap tersenyum. Ia tidak ingin merusak hari ini dengan amarahnya. Miko memang tidak pernah marah padanya, selalu hanya memberi kebahagiaan.

Dhea tidak pernah menginginkan hal ini terjadi. Ia menjadi serba salah. Mengapa kado itu muncul di saat yang tidak tepat. Dhea bahagia mendapat kado dari Heri, karena ternyata lelaki itu masih mengingat hari kelahirannya, tapi kehadiran itu membuat suasana yang tidak baik baginya dan Miko.

"Aku pulang dulu, ya. Mika chat aku, katanya ada hal penting yang harus dibicarakan. Have fun, ya."

"Mik—"

Miko pergi dengan terus mengembangkan senyum pahit diwajahnya. Senyum yang dipalsukan untuk tidak ketahuan. Dhea benar-benar tidak tau harus berbuat apa. Ia memilih merebahkan tubuhnya di sofa.

"Heri itu siapa, Pa?" tanya Alul.

Dhea membuka semua kado yang diberikan oleh Heri. Dalam setiap kado terselip sebuah kartu ucapan selamat dengan beberapa kalimat cinta lainnya. Air matanya menetes satu per satu melihat hadiah-hadiah itu. Ia yang selama ini selalu menyalahkan Heri karena ketidakadaan kabarnya, ketidakpeduliannya, ternyata salah. Tidak ada yang berani membuka mulut melihat keadaan Dhea. Semua bungkam, dan melihat apa yang dilakukan Dhea. Ada rasa kasihan dalam hati mereka melihat putri terakhir keluarga itu terjebak dalam perasaan yang ia sendiri tidak tau bagaimana ujungnya. Mereka tidak tega melihat apa yang dialaminya.

"Kadonya ada delapan, berarti setiap ulang tahun kamu dia menyiapkan kado. Dimulai dari usia kamu ke dua puluh mungkin. Kalian berpisah ketika usia kamu hampir dua puluh, kan?" ucap Gitan mencoba memecahkan keheningan.

"Kenapa dia harus muncul lagi? Di saat aku mulai yakin dengan hidup aku yang baru, dia seperti ini."

"Kamu nggak bisa salahin dia, kita nggak bisa menyalahkan siapa pun. Mungkin dia memang harus hadir di waktu ini," sanggah Zayn.

"Kamu masih mencintainya?" tanya Nashele.

"Apa kamu memutuskan pernikahan kamu dengan cepat karena kamu bertemu dengannya?" tanya Dendy.

"Aku hanya nggak mau mematahkan hati Miko. Dia selama ini sangat dan terlalu baik untuk aku. Dia melakukan apa pun yang aku inginkan tanpa protes, tanpa amarah. Di saat Bang Heri pergi, dia yang menghibur dan menemani aku. Aku nggak bisa menghancurkan semua yang udah dia bangun. Aku tahu bagaimana rasa sakit itu, dan aku nggak mau dia merasakannya."

"Menurut aku, ketika kamu menikah dengan Miko, kamu menyakiti diri kamu sendiri karena menikah dengan seorang yang tidak kamu cintai dan kamu menyakiti Heri yang mencintai kamu. Kalian saling mencintai tapi kamu memutuskan menikah dengan orang yang lebih berjasa bagimu. Lalu, jika kamu menikah dengan Heri, kamu hanya menyakiti satu hati, bukan dua hati. Di mana satu hati itu nantinya akan dipertemukan dengan hati lain yang mampu menyembuhkan," ujar Zayn.

"Aku bisa mencintai Miko. Kata orang, cinta datang karena kita terbiasa."

"Kamu bohong, Dhe. Kalau memang kamu bisa mencintainya, apa yang kamu lakukan selama tujuh tahun ini? Kamu masih di bawah bayangan Bang Heri. Hati kamu nggak pernah berpihak pada Miko, hanya pada Bang Heri," jawab Gitan tegas.

"Kamu nggak bisa memaksa hati untuk mencintai karena itu akan menyakiti. Kakak lihat kado ulang tahun kamu ke dua puluh empat, dia memberimu cincin dengan kartu ucapan will you marry me. Dia terlebih dahulu melamarmu daripada Miko. Hanya saja kita nggak pernah tahu. Kita nggak tahu apa yang dilakukannya, apa yang dirasakannya," ucap Renan.

"Ayah menyerahkan semua ini kembali padamu. Kamu harus memutuskan sesuatu yang terbaik untuk kamu ke depannya, jangan hanya baik untukmu saat ini. Kami tidak ingin menyarankan siapa pun untuk kamu, karena kamu tahu yang mana yang terbaik."

"Gitaaann..."

"Aku percaya pada pilihanmu."

Dhea menangis dalam pelukan sahabat yang mengetahui dengan jelas bagaimana perasaannya. Ia memang masih mencintai dan tetap mencintai. Akan tetapi, rasa tidak tega enggan pergi begitu saja dari dirinya. Ia tidak ingin menjadi perempuan dan sahabat paling egois. Ia tidak dapat memilih di antara keduanya. Ia terjebak.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro