12 | I'm Not Alone [Part 2]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Akhir pekan telah tiba. Setelah melakukan workout dan mandi, Tadashi Reyes berdiri di depan jendela kamarnya, menatap sepasang suami istri yang melakukan jogging melewati trotoar depan rumahnya bersama seekor anjing corgi. Pria paruh baya yang tinggal di seberang rumahnya terlihat sedang menyiram tanaman bersama dengan putra laki-lakinya yang masih berusia lima tahun. Terkadang, mereka berbagi canda dan tawa, senyum keduanya secerah mentari pagi ini.

Pemuda itu berkedip, kemudian lamunannya buyar. Sudah seminggu ini ia sulit berkonsentrasi, seakan-akan otaknya adalah sebuah RAM—random access memory—yang kapasitasnya sudah hampir penuh. Untuk kembali fokus, ia harus membuang pemikiran-pemikiran yang mengganggunya. Seharusnya, Tadashi menaruh atensi pada sesuatu yang benar-benar penting, seperti mencari cara untuk berdamai dengan Evelyn. Hanya itulah satu-satunya cara agar pemuda bermata sipit itu dapat kembali fokus pada studinya. Ujian akhir kelulusan semakin dekat, itulah fakta yang harus dirinya terima.

Tadashi mendaratkan bokongnya di atas kursi, kemudian mengambil benda pipih di atas meja belajar. Jempolnya menggulir layar ke bawah, mencari-cari sebuah nama di daftar kontak. Setelah menemukan apa yang dicarinya, pemuda itu meletakkan ponselnya di telinga.

Hening untuk beberapa saat, hanya nada tunggu dari dalam ponsel yang terdengar. Pada akhirnya, seseorang menjawab panggilan Tadashi.

"Robinson here."

"Hai, um ...." Tadashi bergeming sesaat sambil mengusap leher belakangnya yang tidak gatal. "Maaf meneleponmu sepagi ini."

"It's okay. Ada hal penting yang membuatmu lebih memilih untuk menelepon daripada mengirimkan pesan?" tanya Noah.

"Aku sudah memutuskannya," jawab Tadashi mantap.

"Kau yakin?" tanya Noah sekali lagi.

"Yeah." Tadashi mengangguk. "Aku memang seharusnya tidak memiliki kemampuan seperti ini. Untuk meringankan beban pikiran, lebih baik dihilangkan saja."

"Okay, if you insist." Terdengar helaan napas halus dari seberang telepon. "Untuk waktu dan tempatnya, aku akan mengabarimu secepatnya."

"Thanks, Noah." Tadashi tersenyum.

"Anytime," ucap Noah sebelum memutus panggilan telepon.

Setelah menghubungi Noah, beban berat yang ada di bahunya seakan-akan berkurang, meskipun sedikit. Setidaknya, dengan melepas kemampuannya sebagai dream walker, Tadashi bisa fokus pada dirinya sendiri. Ya, menjadi egois di saat-saat seperti ini adalah hal yang harus dilakukan.

Pemuda berambut hitam itu membuka laptop, kemudian menyalakannya. Suasana hatinya telah membaik, inilah waktu yang tepat untuk mengerjakan tugas-tugas sekolahnya yang sempat terbengkalai. Nyaris satu jam kesepuluh jarinya berkutat dengan keyboard, atensinya teralihkan ketika merasakan benda pipih di atas meja bergetar. Tadashi berhenti mengetik, kemudian beralih pada ponsel dan membaca pesan yang masuk.

Noah Robinson
Datanglah ke tempat ini, besok jam empat sore. Jangan lupa berpuasa, itu artinya kau tidak boleh sarapan atau mengemil.
[Google Maps location]

Tadashi mengecek maps yang dikirimkan Noah. Ia mengernyit sesaat. Rupanya, lokasi tersebut cukup jauh, nyaris mendekati perbatasan kota. Namun, ia tidak ingin terlalu memikirkannya sekarang.

*****

Keesokan harinya tepat pukul tiga sore, bel pulang sekolah berbunyi, memutus ucapan wanita paruh baya dengan rambut cepol di depan kelas. Murid-murid yang awal mulanya mengantuk dan sudah tidak lagi berkonsentrasi menyimak materi Kalkulus hari ini, secara spontan mengukir senyum, lalu buru-buru merapikan buku dan alat-alat tulis mereka. Begitu pula dengan Robert. Bunyi bel yang nyaring membangunkannya dari alam mimpi. Pemuda berambut merah itu tersentak, dengan refleks duduk tegak dan mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan dan melihat teman-temannya yang sudah bersiap untuk pulang.

"Jangan lupa kerjakan textbook kalian halaman 203!" perintah guru di depan kelas.

Beberapa murid yang telah selesai merapikan barang-barangnya bersikap abai terhadap perintah itu, mereka keluar kelas berbondong-bondong. Robert mengucek matanya, masih berusaha mengumpulkan nyawa. Dengan kesadarannya yang masih belum sepenuhnya pulih, ia membolak-balik halaman textbook Kalkulus tebal di atas meja dan mencari halaman 203. Kemudian, berdecak kesal ketika melihat sekumpulan angka-angka dan fungsi yang tidak dimengertinya. Wajar saja, karena selama guru menjelaskan di depan kelas, ia malah tertidur.

Ah, sepertinya ia harus meminta bantuan Tadashi. Lagi.

Pada akhirnya, pemuda itu meninggalkan ruangan kelas dan berjalan di koridor bersama Tadashi. Nyawanya masih belum terkumpul dan Tadashi menyadarinya.

"Kau tertidur lagi?" tanya pemuda bermata sipit itu ketika melihat sahabatnya berjalan sedikit gontai.

"Yeah." Robert menguap. Buru-buru ia menutup mulutnya. "Kurasa aku harus menghilangkan kebiasaan buruk bermain game sampai tengah malam. Ngomong-ngomong, materi Kalkulus tadi, apa kau paham?"

Tadashi mengangguk. "Lumayan, meskipun aku masih kesulitan mencerna soal-soal yang lebih kompleks."

"Good!" Robert merangkul sahabatnya dengan senyum lebar. "Karena kita akan pergi ke rumahku dan mengerjakan soal-soal itu bersama!"

"Ah, maaf, hari ini aku tidak bisa," jawab Tadashi.

"Why?"

"Aku ... aku harus menemui Evelyn di restoran," kilah Tadashi.

"Oh, ya?" Robert menyeringai. "Dia sudah memaafkanmu?"

Tadashi menggeleng. "Belum, tapi aku akan mencobanya lagi hari ini."

"Well, kalau begitu semoga beruntung! Kita bisa belajar Kalkulus lain kali." Robert berhenti di depan lokernya. Ia membuka kunci gembok. "Ah, textbook Kalkulus ini berat sekali. Aku tidak mau membawanya ke rumah!" gerutunya.

"Kau tidak keberatan jika aku pulang lebih dulu?" tanya Tadashi, sedikit terburu-buru.

"Mengapa buru-buru sekali?" tanya Robert sambil membuka ransel dan mengambil textbook Kalkulusnya.

"Aku ingin sampai lebih dulu di sana," jawab Tadashi sebelum berbalik badan dan berjalan cepat menuju pintu keluar. "Bye!"

Robert mengernyit, menatap punggung sahabatnya yang kian menjauh hingga menghilang di persimpangan koridor. Pemuda itu tidak ingin ambil pusing. Ia mengedikkan bahu, kemudian menyimpan buku tebalnya di dalam loker.

*****

Setelah berpisah dengan Robert, Tadashi mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Google Maps ponselnya dalam keadaan aktif, pemuda itu menggunakan AirPods untuk mendengar navigasi suara, berhubung dirinya pun belum pernah mengunjungi lokasi pertemuannya dengan Noah sore ini. Beruntung, lalu lintas hanya padat di pusat kota saja. Setelah sampai di pinggiran kota, Tadashi dapat memacu kuda besinya lebih cepat lagi, berhubung jalanan cukup lowong dan ia tidak perlu menyalip kendaraan lain.

Sekitar jam empat kurang sepuluh menit, Tadashi sampai di sebuah jalan kecil, banyak pohon pinus menjulang di kanan kirinya. Ia menghentikan motornya di titik pertemuan. Namun, ketika mengedarkan pandangan ke sekeliling, tidak ada presensi alumnus mahasiswa Harvard itu.

Baru saja mengambil ponsel dari dalam saku dan hendak menghubungi Noah, Tadashi melihat cahaya di kejauhan. Mobil Mazda berwarna hitam melaju ke arah di mana pemuda itu memarkirkan motornya, lalu berhenti tepat di depannya.

Seorang pemuda berambut pirang dengan kemeja flanel hitam-hijau keluar dari dalam mobil, lalu melempar senyum untuk Tadashi. "Kau selalu datang lebih awal."

Tadashi mengedikkan bahu. "Lebih baik daripada terlambat, 'kan?"

"Ya, sebaiknya kita bergegas." Noah menutup pintu mobil. "Karena kita harus melakukannya sebelum matahari terbenam."

Tadashi ingin bertanya lebih jauh, tetapi dirinya memilih untuk bungkam. Pemuda beretnik asia-kaukasia itu berjalan mengikuti Noah ke dalam hutan. Terdengar kicauan burung dan semak-semak yang saling bergesekan ketika dua pemuda itu melangkah menelusuri jalan setapak. Semakin dalam mereka pergi, semakin sulit pula medan yang ditempuh. Jalan setapak itu semakin mengecil, membuat Tadashi harus ekstra berhati-hati ketika berjalan.

Jauh, jauh di dalam hutan, Tadashi melihat lahan kosong yang cukup luas dengan sebuah pohon besar di sana. Di sekitarnya, banyak pohon-pohon yang sudah ditebang, menyisakan sedikit batangnya yang mungkin dapat dialihfungsikan sebagai kursi. Tadashi masih setia mengekori Noah sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Berbagai tanda tanya besar bermunculan di benaknya. Tempat apa ini?

Ketika pemuda bermata sipit itu sudah semakin dekat dengan pohon besar, ia melihat banyak lambang-lambang kuno terukir di permukaan batangnya.

Kemudian hadir seorang pria tua yang sebagian besar rambutnya sudah memutih dari balik pohon besar. Pria itu masih terlihat bugar, meskipun tidak sekekar Dakota.

"Professor." Noah memberi salam dengan sedikit membungkuk.

"Noah." Pria itu menjawab salamnya sambil melempar senyum.

Lalu, Noah menoleh ke arah Tadashi. "Tadashi, ini Prof. Akando, salah satu guru besar Harvard University, dosen yang mengajar di salah satu mata kuliah yang kuambil, sekaligus pria yang akan membantumu keluar dari permasalahan ini."

Dukung Dream Walker dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

21 Mei 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro