14 | The Savior [Part 1]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sekitar satu jam sebelumnya.

"Aku ... aku harus menemui Evelyn di restoran," kilah Tadashi sambil berjalan di koridor Red Valley High, sore hari setelah kelas Kalkulus berakhir.

"Oh, ya?" Robert menyeringai sambil menyejajarkan langkahnya dengan Tadashi. "Dia sudah memaafkanmu?"

Tadashi menggeleng. "Belum, tapi aku akan mencobanya lagi hari ini."

"Well, kalau begitu semoga beruntung! Kita bisa belajar Kalkulus lain kali." Robert berhenti di depan lokernya. Ia membuka kunci gembok. "Ah, textbook Kalkulus ini berat sekali. Aku tidak mau membawanya ke rumah!" gerutunya.

"Kau tidak keberatan jika aku pulang lebih dulu?" tanya Tadashi pada Robert yang sedang berdiri di depan loker koridor lantai satu Red Valley High, sedikit terburu-buru.

"Mengapa buru-buru sekali?" tanya Robert sambil membuka ransel dan mengambil textbook Kalkulusnya.

"Aku ingin sampai lebih dulu di sana," jawab Tadashi sebelum berbalik badan dan berjalan cepat menuju pintu keluar. "Bye!"

Robert mengernyit, menatap punggung sahabatnya yang kian menjauh hingga menghilang di persimpangan koridor. Pemuda itu tidak ingin ambil pusing. Ia mengedikkan bahu, kemudian menyimpan textbook Kalkulus tebalnya di dalam loker.

Setelah menyingkirkan buku pelajaran yang beratnya bukan main, Robert berjalan menuju lapangan parkir Red Valley High. Ia merogoh saku celananya, kemudian mengambil kunci remote Mercedes-Benz putihnya. Terdengar bunyi alarm yang cukup keras ketika pintunya tidak lagi terkunci. Pemuda berambut merah dengan sedikit freckles di pipi itu masuk ke dalam. Ia menyalakan starter mobil, kemudian menginjak pedal dan mulai berkendara keluar dari lingkungan sekolah.

Tidak jauh dari gerbang sekolah, Robert melihat presensi seseorang yang cukup familier sedang duduk di halte bus sambil bermain ponsel. Pemuda itu memutar kemudi mobil, kemudian memelankan laju kendaraannya untuk menepi di depan halte.

Evelyn Rogers mengalihkan pandangan dari ponsel ketika mobil sedan mewah itu berhenti tepat di hadapannya. Jendela mobil bergerak turun, menampilkan Robert sebagai pengendaranya.

"Hai, Robert!" sapa Evelyn dengan senyum yang merekah.

"Hai, Ev!" Robert menyapa balik. "Mau pergi kerja sambilan?"

"Ah, ini hari Senin, bukan jadwal shift-ku," ujar Evelyn.

"Lalu, di restoran mana kau akan bertemu Tadashi?"

Mendengar pertanyaan Robert, Evelyn mengernyit. "Mengapa aku harus bertemu Tadashi?"

Robert bergeming sesaat. "Karena ... dia bilang padaku akan menemuimu sore ini?"

Evelyn masih kebingungan. "Benarkah?" Gadis itu menggeleng pelan, lalu mengecek aplikasi chatting di ponselnya. "Dia tidak mengirimkan pesan apa pun padaku."

Senyum di wajah Robert pudar. Ia sama bingungnya dengan Evelyn. "That's weird."

"Apakah ia tidak memberitahumu?" tanya Evelyn.

"Beritahu apa?"

"Kami tidak saling bicara seminggu ini," ujar Evelyn. "Mengobrol saja tidak, bagaimana bisa kami berencana untuk bertemu di sebuah restoran?"

Mendengar jawaban Evelyn, Robert bungkam. Ia yakin sekali Tadashi baru saja mengatakan akan bertemu gadis itu di sebuah restoran. Namun, mengapa Evelyn berkata sebaliknya?

"Mungkin aku salah orang," ujar Robert seadanya.

Mendengarnya, Evelyn terdiam sejenak. "Mungkin bukan aku gadis yang ia temui," lirihnya.

"Maybe." Robert mendesah pelan. "Kalau begitu aku akan pulang lebih dulu."

"Oke." Evelyn mengangguk.

Robert menutup jendela mobil, kemudian kembali berkutat dengan pedal dan kemudi mobil untuk pulang.

*****

Robert Lewis dihantui rasa penasaran sepanjang perjalanan. Ia yakin sekali Tadashi baru saja bilang bahwa dirinya akan menemui Evelyn di restoran. Namun, mengapa Evelyn justru berkata sebaliknya?

Pemuda berambut merah itu juga sempat menghubungi Tadashi di lampu merah. Sayangnya, ponsel pemuda beretnik asia-kaukasia itu tidak dalam keadaan aktif. Ketika sampai di persimpangan jalan yang lain, Robert memilih untuk memutar kemudinya dan berbelok ke kiri, menuju kediaman keluarga Reyes, berharap Tadashi sudah sampai di rumah. Jika iya, ia ingin menanyakannya langsung, mengapa sahabatnya itu harus berbohong dan menonaktifkan ponselnya?

Pada akhirnya, Mercedes-Benz putih itu berhenti di sebuah hunian dua tingkat sederhana di pinggiran kota. Robert membuka pintu mobil, kemudian menutupnya kembali dan berjalan menuju pintu depan. Ia menekan bel, menunggu seseorang menyambut kedatangannya.

Tidak lama kemudian, terdengar derap langkah kaki. Seorang pria tua yang masih tampak bugar membukakan pintu untuknya dengan senyum yang merekah.

"Oh, rupanya itu kau, Robert," sapa Dakota.

"Hai, Dakota!" Robert menyapa balik. "Apa Tadashi sudah sampai di rumah?"

Dakota mengernyit sambil menggeleng. "Kupikir ia akan pulang bersamamu."

Robert mengernyit. "Tidak. Kami berpisah di koridor sekolah. Tadashi bilang ingin pergi ke suatu tempat bersama seseorang, tapi kenyataannya tidak begitu. Ponselnya juga dalam keadaan tidak aktif. Kukira ia akan bergegas pulang terlebih dahulu untuk mengisi daya ponselnya."

"Siapa seseorang yang ingin ditemuinya? Ah, sebelum itu, masuklah terlebih dahulu! Aku akan mengambilkan secangkir teh untukmu!" Dakota menuntun Robert untuk masuk dan duduk di ruang tamu.

Ketika Dakota sedang membuat minuman di dapur, Robert kembali menghubungi Tadashi. Namun, hasilnya tetap sama, ponsel pemuda itu masih dalam keadaan tidak aktif, hingga akhirnya pria tua itu kembali ke ruang tamu dan meletakkan secangkir teh hangat di atas coffee table.

"Masih tidak bisa dihubungi," ucap Robert sambil meletakkan benda pipih itu di atas coffee table, kemudian meraih cangkir berisi teh hangat itu. "Thanks, Dakota." Kemudian ia meneguknya sedikit demi sedikit.

Dakota mengedikkan bahu. "Mungkin ia mampir terlebih dahulu ke suatu tempat. Apa ia tidak mengatakan apa pun padamu sebelumnya?"

Mendengarnya, Robert berhenti minum. Ia mengingat apa yang diucapkan Tadashi sekitar satu minggu yang lalu.

Menurutmu, apakah aku harus bertemu dan mengobrol empat mata dengan pemuda yang bernama Noah itu?

"Noah, that psychopath," gumam Robert dengan kedua netra yang membulat sempurna. Ia kembali meletakkan cangkirnya di atas coffee table.

Dakota mengernyit. "Who's Noah?"

"Dia ... alumnus Harvard University, sarjana Ilmu Sejarah. Oke, itu tidak penting, tetapi aku merasa ada yang aneh dengannya," terang Robert, sedikit panik.

"Bisakah kau ceritakan padaku lebih lanjut?" pinta Dakota.

Pada akhirnya, Robert menceritakan pertemuannya dengan Noah di Davey's Ice Cream, begitu pula pembicaraan mereka tentang Harvard, suku Indian dan perang yang mereka lakukan di awal abad kedua puluh. Pemuda berambut merah itu juga mendeskripsikan gerak-gerik Noah, serta senyumnya yang aneh. Setidaknya, begitulah opini Robert tentang Noah.

Mendengar cerita pemuda di hadapannya, Dakota terkejut bukan main. Kedua netranya membulat sempurna. "He's in danger," ucapnya dengan suara bergetar. "Seharusnya aku curiga ketika anak itu tidak menyentuh sarapannya pagi ini. Ia sengaja berpuasa untuk menjalani ritual."

"Sorry? Berpuasa? Ritual?" Robert memicingkan mata. "Ritual apa?"

Dakota beranjak. "Tidak ada waktu untuk menjelaskan. Yang terpenting, kita selamatkan Tadashi terlebih dahulu."

"Wait!" Robert turut beranjak dari sofa. "Apa yang harus kita lakukan sekarang? Kita bahkan tidak tahu ke mana Tadashi pergi!"

Dakota tidak menjawab. Ia melangkah cepat menuju pekarangan rumah. Robert mengerang putus asa, lalu mengikuti pria tua itu.

Sesampainya di sana, Dakota memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. Robert berhenti di samping pria itu, hendak bertanya lebih lanjut. Namun, ia mengurungkannya ketika Dakota terlihat sedang melakukan sesuatu yang serius. Angin berembus lebih cepat dari biasanya, membuat rambut merah Robert berkibar, begitu pula dedaunan yang debu yang berterbangan di sekitar. Pemuda itu menyisir helaian rambutnya untuk mengembalikannya seperti sedia kala.

Beberapa saat kemudian, embusan angin di sekitar mereka kembali normal, Dakota membuka kembali kedua netranya yang telah memutih. Iris dan pupilnya tidak tampak, membuat Robert bergidik ngeri.

"Dakota, your eyes!" pekik Robert.

Kemudian, pria tua itu memalingkan pandangan ke arah kanan sekitar empat puluh lima derajat. "Aku merasakan adanya kehadiran seseorang yang memiliki sihir kuno dari arah timur laut, meskipun tidak besar," ucap Dakota sambil mengerjap. Kini, iris dan pupil matanya kembali seperti sedia kala. "Aku mengenali pemilik sihir kuno itu. Seseorang yang amat berbahaya. Semakin lama kita membuang waktu, mungkin saja Tadashi tidak akan selamat."

"Wait a second!" Robert menginterupsi. "Apa maksudmu dengan pemilik sihir kuno? Apa yang sebenarnya kau bicarakan? Dan dari mana kau tahu soal itu?"

"Karena sihir kuno itu juga ada di dalam diriku, Robert," jawab Dakota.

Pemuda berambut merah itu menggigit bibir. Ribuan pertanyaan bermunculan di benaknya. Apakah ia sedang berhalusinasi? Apakah benar ia baru saja menyaksikan kakek sahabatnya melakukan sihir?

Dakota menoleh ke arah pemuda yang terlihat linglung di sampingnya. "Aku ingin kau membawaku secepat mungkin ke arah di mana sihir kuno itu berasal. Kau bisa melakukan itu?"

Refleks, Robert mengangguk mantap. Ia mengesampingkan ribuan pertanyaan di benaknya dan lebih memilih untuk menurut. Dirinya tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada sahabatnya.

Dukung Dream Walker dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

26 Mei 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro