26 | Destiny Line

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Siang ini, Tadashi Reyes melewatkan makan siang bersama Robert dan lebih memilih melakukan konseling untuk yang kedua kalinya. Sebelum mengunjungi ruang konseling, pemuda itu membeli sandwich tuna dalam kemasan di kafetaria, berharap bisa menikmatinya di sisa waktu istirahat makan siang.

Benar saja, terdapat sisa waktu kurang dari sepuluh menit sebelum bel jam pelajaran selanjutnya berbunyi. Tadashi membuka pintu ruang konseling dengan senyum yang merekah, kemudian menutupnya kembali dan berjalan cepat menuju kelas sambil mengunyah tuna sandwich yang dibelinya beberapa saat lalu. Tangan kirinya memegang sekitar lima lembar brosur universitas.

Sesampainya di kelas, ia berjalan menuju meja belakang, tempat di mana Robert mengobrol dengan murid laki-laki lainnya. Ketika Robert menoleh dan melihat Tadashi kembali ke kelas, pemuda berambut merah itu mengulas seringai kecil.

"Bagaimana sesi konselingnya?" tanya Robert yang kini memutar posisi tubuhnya menghadap Tadashi.

Tadashi tidak menjawab. Ia menaruh ransel di meja depan Robert, kemudian meletakkan brosur-brosur universitas di atas meja sahabatnya. Pemuda berambut merah itu mengambil dan memindai cepat lembar demi lembar.

"Jurusan Seni?" Robert mengambil kesimpulan.

Tadashi mengangguk. Ia mendaratkan bokongnya di kursi, tetapi dalam posisi menghadap ke belakang. "Yeah. Ada sekitar lima universitas bagus di Amerika yang memiliki program sarjana untuk Jurusan Seni." Kemudian ia mengambil brosur yang didominasi oleh warna biru tua. "Dan ini yang terbaik!"

Robert mengambil brosur yang ada di tangan Tadashi, kemudian kedua netranya membola. "Yale School of Art?"

"I know, right?" ucap Tadashi dengan suara tinggi sebagai bentuk antusiasme yang besar.

"Kau yakin dengan pilihanmu?" tanya Robert.

Tadashi mengangguk lagi. "Beberapa hari ini aku banyak merenung, aku juga berbicara dengan Dad yang dulu berkuliah di jurusan yang sama."

"Lalu?"

"Beliau memberiku pencerahan soal--"

"No, no, no. Maksudku ini." Robert mengangkat brosur Yale School of Art. "Kau yakin akan memilih Yale lagi bukan karena Evelyn?"

"Yeah." Buru-buru Tadashi mengoreksi ucapannya. "I mean, no! Aku--"

"Evelyn what?"

Obrolan Tadashi dan Robert terhenti, keduanya menoleh ke arah meja yang letaknya tidak jauh dari mereka. Di sana, Evelyn Rogers berdiri bersandar pada sisi meja sambil melipat tangan di dada bersama dua murid perempuan yang sedang mengobrol. Gadis berambut hitam pendek itu melirik mereka secara bergantian sambil mengunyah permen karet. Alisnya bertaut.

Robert tidak kalah gelagapannya seperti Tadashi. Ia melirik sahabatnya, memberikan semacam kode dari matanya yang bisa diartikan sebagai 'maafkan aku dan mulut besarku, aku tidak tahu Evelyn ada di sana'. Namun, Evelyn tidak merasa terganggu dengan itu. Gadis itu berjalan menghampiri meja Robert. Ia mengambil dan melihat-lihat brosur universitas yang dibawa Tadashi.

"Y-yang tadi itu tidak seperti dugaanmu." Robert buru-buru memperbaiki kecanggungan.

Salah satu alis Evelyn terangkat. "Lalu?"

"Lupakan saja," ucap Tadashi cepat. Ia tidak ingin Robert berbicara semakin jauh dan malah memperparah keadaan.

Kedua netra Evelyn masih tertuju pada lembaran brosur di tangannya sambil meniup permen karet, memecahkannya, lalu kembali mengunyah sambil berbicara. "Apa yang sedang kalian bicarakan?"

"Um, aku baru saja melakukan konseling soal jurusan kuliah yang akan kuambil," jawab Tadashi seadanya.

"Dan akhirnya kau mempertimbangkan saranku untuk memilih Jurusan Seni?" tanya Evelyn lagi.

"Rencananya begitu."

"Pilihan yang bagus." Evelyn menyerahkan brosur Yale School of Art pada Tadashi. "Aku selalu tahu kau memang berbakat menjadi seorang seniman atau desainer." Gadis itu tersenyum di akhir kalimatnya.

Melihat senyum itu, Tadashi otomatis membalas, hanya saja sedikit canggung.

"Ev? Kau mau ikut atau tidak?" panggil seorang gadis bertubuh sedikit gemuk dengan rambut ikal sepunggung di meja tempat Evelyn berdiri sekitar dua menit yang lalu. Tadashi lumayan mengenalnya. Tentu saja, mereka pernah berinteraksi di klub debat saat tingkat pertama, meskipun tidak sering.

"Coming!" seru Evelyn pada gadis berambut ikal itu dan teman di sampingnya. Kemudian ia memalingkan pandangan kembali pada Tadashi. "Well, good luck untuk Yale School of Art," ucap Evelyn sebelum berbalik dan berjalan menjauh. Pandangan Tadashi mengikuti gadis itu hingga sosoknya menghilang di balik pintu kelas bersama dua orang temannya.

"What was that?" tanya Robert penasaran.

"What 'what was that'?" Tadashi balik bertanya.

"Kau dan Evelyn. Kukira ia akan bersikap ketus karena kita membicarakannya di belakang," cicit pemuda berambut merah itu. "Apakah sekarang kalian berkencan?"

"No!" ucap Tadashi cepat. "Not yet!"

Robert terkekeh. "Not yet?"

Mendengarnya, alis Tadashi bertaut dan bersiap untuk protes. "Hei, kau sendiri yang menyuruhku untuk mendekatinya lagi!"

"Aku tahu. Lalu, apa lagi yang kau tunggu? Evelyn jelas-jelas suka padamu!"

Tadashi menggaruk kepalanya sedikit keras sebagai luapan atas rasa frustrasinya. "Aku tidak bisa memikirkan Evelyn sekarang. Ujian akhir, sesi latihan bersama kakekku, penerimaan mahasiswa baru, semuanya bercampur di otakku! Bisakah kau membiarkanku menyelesaikan semua masalah ini satu per satu?"

"Okay, okay, I get it. Chill out." Robert mengangguk paham. "Kalau begitu, kita mulai dari yang paling mudah terlebih dahulu. Sebaiknya kau segera mempersiapkan berkas-berkas untuk mendaftar ke Yale."

*****

Matahari telah tenggelam di cakrawala, membuat langit Kota New York menggelap secara keseluruhan. Sebelum makan malam, Tadashi melepas push pin dan mencabut lukisan-lukisannya yang ditempel di board. Ia juga membolak-balik lembaran sketchbook-nya, berusaha mengumpulkan hasil karya seninya yang menurutnya bagus dan memenuhi syarat pendaftaran Yale School of Art. Diletakkannya kertas-kertas itu di atas meja belajar. Pemuda itu mengamatinya satu per satu, kemudian berkacak pinggang sambil mendesah pelan. Senyuman terukir di wajahnya.

Setelah dirasa cukup, ia mengumpulkan kertas-kertas itu menjadi satu, kemudian membawanya ke ruang kerja sang ayah. Di atas meja kerja, terdapat mesin scanner berwarna hitam dengan aksen silver di beberapa bagiannya. Tadashi menyalakan komputer dan scanner, kemudian mulai memindahkan hasil goresan tangannya ke dalam komputer, menjadikannya sebuah file berformat .jpg beresolusi tinggi dan mengumpulkannya di satu folder. Setelah seluruh lukisannya diubah menjadi gambar digital, Tadashi menghubungkan flashdisk dan memindahkan folder tadi ke dalam sana.

Suara ketukan halus di pintu ruang kerja yang terbuka mengalihkan atensi pemuda bermata sipit itu. Di sana, ia melihat sang kakek berdiri.

"Kukira kau berada di kamarmu," ujar Dakota, "apa yang sedang kau lakukan di ruang kerja ayahmu?"

Tadashi mengedikkan bahu. "Meminjam scanner Dad untuk memindahkan seluruh gambar-gambarku ke komputer."

"I see." Pria tua itu mengangguk. "Aku ingin menyampaikan pesan Kagumi bahwa makan malam sudah hampir siap. Pergilah ke ruang makan!"

Tadashi mengangguk. "Okay, Grandpa, aku akan menyusul setelah ini."

Baru satu langkah untuk pergi meninggalkan ruang kerja, Dakota berhenti dan kembali berbicara pada Tadashi. "Ah, kau tidak lupa apa rencana kita malam ini, 'kan?"

Tadashi bergeming selama satu detik, kemudian mengangguk pelan. Dakota mengulas senyum, kemudian pergi meninggalkan ruang kerja.

Sepeninggalnya sang kakek, Tadashi mengembuskan napas berat sambil menekuk wajah. Jika bisa, ia tidak ingin melatih kekuatannya bersama sang kakek malam ini. Masih banyak hal-hal penting yang harus ia prioritaskan sekarang, apalagi itu berkaitan dengan masa depannya. Semuanya berkecamuk di kepala pemuda itu bagaikan benang kusut. Tadashi tidak pernah meminta dilahirkan sebagai dream walker. Namun, hati kecilnya mengatakan bahwa ia tidak boleh melarikan diri dari tanggung jawab, mengingat pertemuannya dengan Noah dan Akando adalah hasil dari kecerobohannya sendiri.

"Menyebalkan," gerutunya pelan.

Pemuda beretnik asia-kaukasia itu mematikan komputer dan scanner, mencabut flashdisk, dan mengumpulkan kertas-kertas gambarnya menjadi satu, kemudian pergi meninggalkan ruang kerja sang ayah dengan lesu.

Benang-benang pikiran Tadashi semakin kusut dan saling bertumpuk, kemudian membuat simpul yang sulit dilepaskan. Tadashi harus melepas simpul itu satu per satu untuk kembali berpikir jernih. Namun, bagaimana cara ia melepas simpul-simpul itu jika benang-benang pikiran sialan itu juga menjerat tubuhnya, membuatnya tidak bisa melakukan apa pun?

Pada akhirnya, remaja malang itu hanya bisa pasrah terombang-ambing dalam garis takdir yang dibencinya.

Dukung Dream Walker dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

26 Juli 2021

Nulis part ini berasa ikut ngerasain capeknya Tadashi 😢

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro