35 | Revelation

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Simpan euforiamu setelah kita berhasil mendapatkan jawaban. Sekarang, mari kita cek ada apa di dalam gua ini!"

Tadashi mengangguk, ia berlari kecil masuk ke dalam gua yang lebih hangat dan terang, diikuti oleh Dakota. Kini, temperatur yang sangat rendah tidak lagi mengganggu mereka. Sambil berjalan mengikuti sumber cahaya, kakek dan cucu itu mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru gua. Sekilas, tidak ada sesuatu yang menarik dari tempat ini. Mereka hanya memasuki gua biasa.

Namun, ketika masuk lebih dalam, keduanya menemukan api unggun yang masih menyala. Sekarang, tempat ini menjadi berkali-kali lipat lebih hangat, cahayanya dapat membantu mereka melihat lebih baik dari sebelumnya. Tidak jauh dari api unggun itu, Tadashi melihat sesuatu di balik bayangan. Dengan refleks, ia menepuk lengan kakeknya.

Ada manusia lain selain mereka; seorang pria pertengahan tiga puluhan, meringkuk di atas tanah dengan jaket tebal berlapis-lapis. Kulitnya pucat dengan bibir yang membiru, napasnya pendek dan lemah. Tadashi memberanikan diri untuk mendekat, mengamati keadaan pria itu lebih jelas lagi.

"Apakah ia ... sekarat?" tanya Tadashi pelan pada kakeknya.

"Sepertinya begitu," jawab Dakota, "mungkin hipotermia."

Dakota mengedarkan pandangan ke sekitar pria itu. Di dinding, terdapat gambar tiga garis vertikal yang diukir oleh bebatuan. Banyak kaleng-kaleng makanan berserakan di tanah. Pria tua itu membungkuk, mengamati lebih dekat label-label makanan kaleng tersebut.

"Aku sering melihat merk ini di supermarket." Dakota kembali menegakkan tubuh. "Di mana pun letak gua ini, dan segalanya yang kita lihat sekarang, terjadi di zaman modern."

"Kalau begitu kita harus menolongnya!" desak Tadashi. "Bagaimana jika semua yang kulihat ini terjadi di waktu yang sama di dunia nyata? Dan pria malang ini benar-benar akan menemui ajalnya?"

Dakota menggeleng. "Kita tidak tahu kapan dan di mana tepatnya semua ini terjadi. Tidak ada yang dapat kita lakukan."

"Tapi--"

Pergerakan dari arah mulut gua memutus ucapan Tadashi. Keduanya menoleh, mendapati satu lagi pria dengan usia yang sama sedang melangkah masuk. Ia berjalan pelan sambil memeluk tubuhnya yang bergetar hebat. Langkahnya terseret-seret. Meskipun telah mengenakan jaket berlapis-lapis, serta topi dan syal rajut, pria itu tetap tidak dapat menyesuaikan diri dengan temperatur yang sangat rendah. Gigi-giginya beradu, bahkan Tadashi dan Dakota dapat mendengarnya cukup jelas.

"S-sudah tiga hari berlalu ... dan ... mereka tidak k-kunjung ... datang ...." Ucapan pria itu terputus-putus. Ia mendaratkan bokongnya di depan api unggun, kemudian meringkuk dan memeluk seluruh tubuhnya. Kini, pria itu terlihat lebih hangat. Tidak ada lagi gigi-gigi yang beradu, meskipun masih sedikit menggigil.

Ia menoleh. Pria yang mengalami hipotermia di sampingnya tidak menjawab, masih meringkuk dengan kedua netra terpejam, napasnya semakin lemah. Pandangannya kini tertuju pada kaleng-kaleng makanan yang tersebar di sekitar mereka. Tiba-tiba saja, emosinya berkecamuk, tangisnya pecah.

"A-aku telah memberikan segalanya yang kupunya untukmu, Kawan, semua makanan kaleng itu," ucapnya sambil tersedu-sedu. "Aku sangat lapar. Aku bahkan tidak mengonsumsi apa pun sejak dua hari lalu. Jika badai salju ini tidak kunjung berhenti, kita berdua akan mati ...."

Mendengar kepiluan dari nada bicaranya, dada Tadashi terasa sesak. Ia menunduk, memejamkan kedua netranya dan menghela napas dalam-dalam. Selama beberapa menit ke depan, seluruh penjuru gua dipenuhi oleh suara keputusasaan.

Pada akhirnya, pria itu bersimpuh di depan kawannya yang masih memejamkan mata, lalu membuka lapisan-lapisan jaket yang dikenakan temannya. Dari dalam celananya, ia mengeluarkan pisau lipat. Melihatnya, kedua netra Tadashi membola.

"I'm sorry, I don't have a choice. Aku tidak ingin mati ...." ucapnya parau sambil tersedu-sedu. Air mata membanjiri pipi, cairan lendir menetes melalui lubang hidungnya. Pria itu kemudian mengarahkan pisaunya ke dada kiri kawannya.

Apa yang terjadi selanjutnya sungguh di luar dugaan. Tadashi memutuskan untuk memalingkan pandangan dan berpindah untuk berdiri di belakang Dakota.

Dakota menepuk punggung cucunya. "Sebaiknya kita keluar sebentar."

Tadashi mengangguk lemah. Pemuda beretnik asia-kaukasia itu berbalik badan, kemudian melangkahkan kedua tungkai lemahnya menuju mulut gua, diikuti oleh kakeknya.

Kini, keduanya berada di depan mulut gua. Hangatnya api unggun masih dapat dirasakan, tetapi mereka berdiri berlainan arah dengan pria itu, sehingga keduanya tidak dapat melihat apa yang terjadi selanjutnya. Dakota berdiri sambil melipat tangan di dada, berpikir sejenak bagaimana cara memberitahu cucunya tentang semua ini. Ia tidak menyangka akan menemui fakta yang mengejutkan tentang pria tadi.

Pada akhirnya, pria tua bertubuh bugar itu mengembuskan napas berat. "Yang akan kau lihat selanjutnya adalah salah satu bentuk kekejaman di dunia ini, Tadashi," ujarnya sambil menepuk pundak pemuda itu. Dakota lalu menunjuk dada kiri Tadashi dengan tatapan penuh arti. "And don't forget who you are."

"He killed his friend, right?" tanya Tadashi. "Tentu saja, aku tidak akan pernah membunuh temanku."

Dakota menggeleng pelan. "Sesuatu yang ia lakukan jauh lebih buruk daripada membunuh, Tadashi."

Dakota kemudian berbalik, kembali memasuki gua dengan Tadashi yang mengekorinya. Kini, keduanya berada di jarak aman dengan api unggun dan dua pria tadi. Tadashi nyaris berteriak, ia menutup mulut, tanpa sadar berjalan mundur. Kedua netranya membola melihat pria tadi membakar lengan temannya di api unggun, kemudian mengoyaknya tanpa ampun. Berbeda sekali dengan beberapa saat yang lalu, rasa sedih dan frustrasi itu telah pergi, digantikan oleh hawa nafsu yang begitu hebat. Tidak ada lagi kemanusiaan dalam dirinya. Pria tadi terus mengunyah, bagaikan seekor serigala yang sedang menikmati buruannya.

"Ia ... memakannya," lirih Tadashi. Suaranya begitu lemah akibat syok yang dirasakannya.

Setelah syal dan topi di leher pria itu lepas, Tadashi baru menyadari bahwa pria di hadapannya memiliki fitur wajah yang sama seperti anak buah Akando yang ada di basement rumahnya--sama-sama berwajah kotak dengan alis tebal. Perlahan, iris pria itu membesar dan menghitam, persis seperti netra Kagumi ketika wanita itu mendatangi kamar kakeknya.

"Kau tahu macam-macam hierarki di dalam kawanan serigala, Tadashi?" tanya Dakota.

Tadashi mengangguk lemah. Tidak kuasa menahan mual, ia mengalihkan pandangan dari pria kanibal itu. "Yeah. Alfa, beta, omega."

"Aku tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan padamu, jadi aku akan membuat analogi saja," lanjut Dakota, "ketika kita melakukan tur mimpi, ada seorang dukun suku Indian yang menyatukan raganya dengan roh jahat, atau biasa disebut dengan Wendigo Spirit. Maka, dukun itu berubah menjadi Wendigo alfa."

Tadashi mengangguk lagi.

"Kemudian, makhluk menjijikan yang kita lihat sekarang ...." Dakota menunjuk pria di depan api unggun. "Itu adalah Wendigo beta. Mereka tercipta dari sifat serakah dan segala keburukan manusia. Dibandingkan monster berkepala rusa, wujud mereka lebih mendekati manusia, jumlahnya lebih banyak dari Wendigo alfa, tetapi juga lebih lemah. Itu sebabnya aku dan ibumu dapat dengan mudah meringkusnya."

"I see." Tadashi menjawab. "Bagaimana dengan Wendigo yang mengubah wujudnya menjadi Mom?"

Dakota mendesah pelan. "Itu Wendigo alfa. Sayangnya, kami tidak berhasil menangkapnya."

Keduanya terdistraksi dengan suara dari kunyahan pria bermata hitam di depan api unggun. Tadashi merasa jijik, tetapi penasaran secara bersamaan. Dengan ujung matanya, ia melirik-lirik Wendigo beta itu.

"Setidaknya sekarang kita tahu siapa sebenarnya pria yang berada di basement, begitu pula dengan kawanan Wendigo yang menyerang rumah kita." ujar Dakota. "Kalau begitu, kita pulang."

Tadashi mengangguk. Ia memejamkan mata, membawa dirinya serta sang kakek pergi dari alam mimpi. Ketika membuka mata, Tadashi kembali ke basement rumahnya, berhadapan dengan sang kakek dengan jemari yang saling bertautan. Dakota bangun, mengedarkan pandangan ke sekeliling, kemudian mengembuskan napas lega. Tidak ada lagi gua atau badai salju sejauh mata memandang.

Suara rintihan pelan mengalihkan atensi mereka. Ketika menoleh, Tadashi menyadari bahwa pria kanibal yang ada di dalam gua kini masih berada di basement rumahnya. Dengan kedua tungkai yang bergetar hebat, Tadashi berjalan mundur, tanpa sengaja menabrak tubuh sang ibu. Dirinya kehilangan keseimbangan, kemudian jatuh dalam posisi duduk.

Perlahan, pria berwajah kotak yang diikat di kursi bangun, membuka kedua netranya yang menghitam sepenuhnya. Wendigo beta itu menoleh ke arah Tadashi di lantai, menunjukkan seringai lebar mengerikan serta gigi-giginya yang tajam. Pria itu meraung liar, pertanda telah menetapkan Tadashi sebagai mangsa selanjutnya.

Tadashi panik, menyeret tubuhnya mundur meskipun lututnya terasa sangat lemas. Peluh membanjiri dahinya, bulu-bulu kuduknya berdiri. Dengan sigap Dakota dan Kagumi membantu pemuda itu untuk berdiri.

"J-jangan biarkan makhluk itu membunuhku!" cicit Tadashi.

"Lihat baik-baik apa yang akan kulakukan," ucap Dakota. Tanpa memberikan Tadashi kesempatan untuk menjawab, pria tua itu meminjam katana milik putrinya, kemudian membukanya, menampilkan bilah pedang tajam yang berkilauan, meskipun ada sedikit karat di beberapa bagiannya.

Tanpa belas kasihan, Dakota menghunuskan katana tersebut ke dada kiri sang tahanan. Makhluk itu mengerang kesakitan, memberontak berusaha melepaskan diri dari ikatannya. Kaki-kaki kursi beradu dengan lantai ketika tubuhnya menggelepar seperti seekor rusa yang terkena perangkap pemburu. Namun, dikarenakan jantungnya mulai rusak, Wendigo itu melemah. Raungan mengerikan yang memenuhi seluruh penjuru basement perlahan memudar, kemudian menghilang. Kedua netra makhluk itu terpejam, kemudian kepalanya tertunduk. Basement menjadi senyap untuk beberapa detik, memberi Tadashi sedikit waktu untuk bernapas dengan normal.

"Is he dead?" tanya Tadashi.

"Not yet." Dakota berujar serius. Pria tua itu menoleh ke arah cucunya. "Kita harus memisahkan jantungnya, membakarnya hingga menjadi abu. Itu yang terpenting. Jika tidak, Wendigo itu bisa bangkit kembali."

Mendengarnya, mual yang dirasakan Tadashi kembali. Dirinya tidak dapat membayangkan jika harus membedah tubuh makhluk itu untuk mengambil jantungnya. Dengan refleks ia memegang perut, kemudian menggeleng. "I can't do this. Itu terlalu mengerikan."

Kagumi menekuk wajah, bergeming sesaat lalu mengangguk paham. "It's okay. Kau sudah mengalami banyak hal buruk malam ini."

"Yeah, mungkin kau belum siap dengan semua ini. Mau bagaimanapun ... umurmu masih delapan belas tahun," respons Dakota.

"Kalau begitu aku dan kakekmu yang akan melakukannya." Kagumi merangkul putranya, mengelus lengannya lembut. "Kembali ke kamarmu dan beristirahatlah."

Tadashi mengangguk lemah. Ia berbalik badan dan berjalan menaiki tangga dengan langkah yang gontai. Meskipun lagi-lagi lolos dari kematian dan sudah bisa beristirahat tanpa gangguan, dirinya sama sekali tidak merasa tenang. Wendigo itu benar-benar mendatanginya. Tidak, itu bukan sepenuhnya Wendigo. Makhluk itu ... adalah seorang pria malang yang mengikuti instingnya untuk bertahan hidup. Ia tetaplah manusia, tetapi keadaanlah yang mengubahnya menjadi mahkluk bengis yang haus akan darah.

Tadashi menggeleng pelan, menepis pemikiran bodoh itu. Ia meyakini diri sendiri bahwa pria malang itu bukan lagi manusia. Meskipun berat untuk diakui, apa yang dilakukan kakek dan ibunya adalah hal yang benar. Wendigo itu pantas untuk dibunuh.

Dukung Dream Walker dengan menekan 🌟 di pojok kiri bawah!

6 September 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro