41 | Sunset [Part 2]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kalau begitu ... apakah putri duyung itu nyata?" 

Tebing berlatar matahari terbenam itu hening untuk sejenak, hanya terdengar kawanan camar yang melengking merdu di langit. Robert dan Evelyn terperangah menatap Kagumi yang tercipta dari bayangan Tadashi. Ah, tidak tepat jika disebut 'tercipta'. Mungkin saja Tadashi memang memanggil sang ibu, dan wanita itu datang ke alam mimpi melalui bayangan putranya?

Rambut hitam lurus Kagumi tergerai rapi. Wanita itu mengenakan mantel kulit hitam dengan panjang selutut. Kaus katun berwarna putih yang pas di tubuh dikombinasikan dengan jeans berwarna gelap. Ia berdiri dengan gagah di hadapan ketiga remaja itu, dilengkapi dengan katana di tangan kanan dan seekor gagak yang bertengger di bahunya.

Wanita cantik keturunan Jepang-Indian itu tersenyum ramah. "Aku senang kau masih mengingatku, Robert."

"Woaaah ...." Robert membelalak, mulutnya menganga. "Mrs. Reyes, is that you? Kau ... terlihat sangat berbeda dari biasanya." Pemuda berambut merah itu meneliti sosok di hadapannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Yeah, maksudku ... sebuah pedang ... dan seekor gagak?"

Ah, Tadashi pun awalnya tidak terbiasa melihat sang ibu membawa gagak. Wajar saja Robert bertanya.

Kagumi terkekeh. "Of course it's me."

"Yeah, it's her. It's a long story, tapi inilah dirinya yang sebenarnya. Ibuku bukan ibu rumah tangga biasa, seperti bayanganmu selama ini. Faktanya, dunia ini memang tidak sesederhana bayangan kita semua." Tadashi menambahkan.

"Dunia ini tidak sesederhana yang kita bayangkan? Apa maksudmu?" tanya Robert lagi.

"Yeah, kau ingat Wendigo yang selama ini hanya menjadi mitos, rupanya benar-benar nyata?" jawab Tadashi.

Robert mengangguk paham. Ia masih menatap ibu sahabatnya dengan binar kekaguman. Sedangkan Evelyn, ia menatap wanita itu dengan tatapan tidak percaya. Kini, kepala dua remaja itu dipenuhi ribuan tanda tanya. Apa yang mereka lewatkan selama ini? Apakah keluarga Reyes memang semengagumkan ini?

"Let's take a walk!" ajak Kagumi.

Mereka melangkahkan kedua tungkai menuruni tebing, hingga sampai di perbatasan hutan dengan pohon-pohon yang rindang. Kagumi berjalan di depan dengan tiga remaja yang mengekorinya. Tidak ada yang berbicara, hanya terdengar langkah kaki dan beberapa ranting yang patah. Gagak yang bertengger di bahu Kagumi mengamati tiga manusia asing yang berada di belakangnya. Sesekali, memiringkan kepalanya ke samping sekitar empat puluh lima derajat.

"Kalau begitu ... apakah putri duyung itu nyata?" Robert memecah keheningan, bertanya pada Tadashi.

"I don't know. Mom, is the mermaid real?" Tadashi mengoper pertanyaan tersebut pada ibunya.

"Kami mengenal mereka dengan sebutan siren, dan wujud mereka tidak secantik cerita dongeng." Jawaban Kagumi membuat ketiga remaja di hadapannya terperangah.

"So ... they're ugly?" tanya Robert lagi, masih berjalan mengekori Kagumi.

"Aku lebih suka menyebutnya 'menyeramkan'. Aku pernah bertemu mereka sekali. Nyanyian mereka membawa kematian. Sekali saja kau terpikat dengan suara mereka, kau akan ditarik ke dalam laut, disantap hidup-hidup."

Raut wajah Robert menyiratkan kekecewaan sekaligus ketakutan. Tadashi dan Evelyn terkekeh melihatnya. Ya, sudah pasti pemuda berambut merah itu membayangkan wanita seksi dengan sirip dan rambut yang indah, 'kan? Seperti Ariel The Little Mermaid?

"Kalau begitu ... bagaimana dengan naga, Mrs. Reyes?" tanya Evelyn.

"Ya, dan nyaris seluruh spesies naga punah akibat sulit beradaptasi hidup di antara manusia," jawab wanita itu.

"Pegasus?" tanya Tadashi.

"Aku sudah lama tidak melihatnya, tetapi aku yakin mereka belum punah," jawab sang ibu.

"Unicorn?" Giliran Robert yang bertanya.

Kagumi menggeleng. "Ah, aku tidak pernah melihatnya, bahkan mengetahui bahwa mereka nyata pun tidak."

Tadashi mengangguk setuju. "Kurasa unicorn hanya manifestasi dari fantasi anak-anak perempuan."

Setelahnya, suasana kembali senyap. Robert dan Evelyn tidak bertanya lagi, keduanya dipenuhi oleh pikiran masing-masing. Entah mengapa, keheningan kali ini terasa sangat canggung. Tadashi sesekali mencuri pandang, wajah mereka terlihat sedikit tegang. Setelah berjalan cukup jauh di perbatasan hutan, mereka sampai di area pantai. Ketiganya duduk di atas pasir dengan berselonjor kaki, menghadap langsung ke horizon langit, tempat matahari yang tidak kunjung terbenam selama apa pun mereka menghabiskan waktu di sini. Kagumi turut duduk di samping putranya.

"Hey." Tadashi memecah keheningan, membuat Robert dan Evelyn menoleh. "Aku pun masih kesulitan mencerna semua ini, sama seperti kalian."

"But why? Why are you telling us about this?" tanya Evelyn serius. Wajah tegang dan kebingungannya tidak kunjung pudar.

Melihat respons teman-teman putranya, Kagumi merasa sedikit terpukul. Ada rasa sesak yang menyerang dadanya. Wanita itu mendesah pelan, masih menatap langit jingga kemerahan di kejauhan.

"Tadashi adalah seorang esper, sama sepertiku." Kagumi menimpali. "Lebih tepatnya, seorang dream walker. Kurasa kalian sudah mengetahuinya."

"What?" Kedua mata Tadashi membola, merasa asing dengan istilah tersebut.

"Maaf, tapi apa itu esper?" tanya Evelyn.

"Seorang yang memiliki kapasitas otak yang lebih besar, menjadikannya lebih unggul dari homo sapiens lainnya. Singkatnya, seseorang yang bisa menggunakan kekuatan supranatural. Seorang dream walker juga dapat dikategorikan sebagai esper." jawab Kagumi.

"Jadi ... esper itu banyak jenisnya?" tanya Tadashi.

"Sangat banyak. Seorang cenayang, seseorang yang dapat melihat masa depan atau masa lalu, itu juga digolongkan sebagai esper," ujar Kagumi, "kebanyakan esper hidup menyendiri, tidak banyak manusia yang menerima kehadiran mereka. Pada akhirnya, mereka kesepian dan lebih memilih mengakhiri hidup."

Kagumi mengingat dirinya yang dulu, ketika masih di usia yang sama dengan Tadashi. Tidak banyak orang yang mau menerima kelebihannya, membuat wanita itu hidup sebagai penyendiri. Bahkan hubungan percintaannya pun selalu gagal, hanya Andrian-lah yang setia di sisinya hingga kini.

"Maksudnya ... seperti dukun?" celetuk Robert.

Kagumi tertawa. "Kurang lebih sama, tapi kita bukan dukun, hanya seseorang yang bisa menggunakan kekuatan supranatural."

Setelah gurauan itu, pantai kembali hening, hanya terdengar deburan ombak yang mengalun lembut. Angin sejuk di sore hari menerpa wajah, membuat ketiga remaja itu semakin terhanyut dalam pikiran masing-masing.

"Jadi ... apakah kalian masih tetap ingin menjadi temanku?" tanya Tadashi tiba-tiba, membuat Robert dan Evelyn menoleh, tetapi keduanya tidak merespons apa-apa. Keheningan kembali meliputi mereka.

"Kau tahu, sangat tidak adil ketika kau baru menanyakan hal itu sekarang, 'kan?" lirih Evelyn sambil menekuk wajah.

"I know." Tadashi mengembuskan napas berat.

Melihat kedua mata gadis itu membuat dada Tadashi terasa sesak. Ini adalah hal yang paling ditakutkan pemuda itu. Bagaimana jika gadis itu tidak mau menerima 'dunianya'? Padahal, Evelyn masih terlihat baik-baik saja ketika ia bercerita soal dirinya yang seorang dream walker. Namun, segalanya tidak berhenti sampai di sana. Tidak hanya wendigo, makhluk-makhluk yang awalnya hanya dongeng pun rupanya nyata. Jangan lupakan rahasia besar sang ibu yang baru diketahuinya akhir-akhir ini. Segalanya terasa sangat cepat, membuatnya kesulitan mencerna segalanya dalam satu waktu.

Apakah Evelyn sanggup menerima semua itu, seperti dirinya yang mau tidak mau mencoba menerima takdirnya dengan berlapang dada?

"Well, mengapa tidak?" Robert memecah keheningan, membuat semuanya menoleh. Pemuda berambut merah itu mengedikkan bahu. "Aku sudah bersahabat dengan Tadashi selama hampir sepuluh tahun."

Mendengarnya, Tadashi tersenyum simpul. "Thanks, Robert."

Robert terkekeh, menepuk bahu sahabatnya lembut. Dua pemuda itu kemudian menoleh ke arah Evelyn yang masih bergeming, menunggu jawaban gadis itu.

Suasana pantai yang hening dipecahkan oleh cuitan gagak yang cukup melengking, mengejutkan tiga remaja itu. Hewan bersayap itu terbang, berkeliling di atas kepala Kagumi. Robert dan Evelyn ketakutan, mereka menyeret tubuh untuk mundur, melindungi wajah dengan kedua lengan.

"Mom, apa yang terjadi dengan gagak itu?" tanya Tadashi dengan suara bergetar.

Wanita itu tidak menjawab. Ia mendongak, berusaha memahami mengapa hewan itu tiba-tiba bersikap agresif. Kagumi mengangkat tangan ke atas, mengisyaratkan burung itu untuk bertengger di lengannya. Namun, kicauannya tidak kunjung berhenti, melainkan semakin keras tiap detiknya.

"Mom?" tanya Tadashi sekali lagi.

Kagumi beranjak, memberi putranya tatapan yang cukup serius. "Tadashi, di mana pun kau berada, jangan berkendara ke rumah sebelum aku menyuruhmu untuk pulang."

"Apa maksudmu?" tanya Tadashi.

Sang ibu tidak menjawab, wujudnya seakan meleleh, kembali menjadi bayangan yang membentuk rupa Tadashi, sedikit terdistorsi akibat cahaya matahari yang akan terbenam. Tadashi berusaha mencegah Kagumi pergi, tetapi sia-sia, wanita itu telah meninggalkan alam mimpi, begitu pula dengan gagak yang bertengger di lengannya.

"No, no, Mom! Wait!" serunya panik. Ia meraba-raba bayangannya sendiri di atas pasir.

"Hey, hey, easy, Buddy. Itu hanya bayangan!" Robert mengelus lengan Tadashi, berusaha menenangkan pemuda itu.

Kedua tungkai Tadashi bergetar hebat. Ia kembali mendaratkan bokongnya di atas pasir, jantungnya berdetak lebih cepat. Ketiga remaja itu saling pandang. Takut, cemas, bingung, segalanya bercampur menjadi satu. Selama beberapa saat, tidak ada yang berbicara.

"That was scary. What happened?" tanya Evelyn, masih sedikit ketakutan.

Tadashi menggeleng cepat. Masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. "I don't know."

"Kurasa terjadi sesuatu pada ibumu di dunia nyata. Kau harus menolongnya." Robert menebak.

Rasa takut yang hebat menjalar di seluruh tubuh Tadashi, membuat bulu kuduknya berdiri. Napasnya memburu, dadanya terasa begitu sesak. Ingatannya kembali ke masa lalu, saat anak buah Akando menyerang, turut membawa Wendigo bersamanya. Tidak mustahil hal itu kembali terjadi, terlebih lagi saat itu Akando belum berhasil mengambil seluruh kemampuan dream walking-nya.

"Hey, you okay?" lirih Robert. Ia menepuk bahu sahabatnya, kemudian mengelusnya lembut, tetapi Tadashi tidak menghiraukannya.

Dari arah belakang, tepatnya perbatasan hutan, terdengar suara ranting yang patah dan semak-semak yang saling bergesekan. Dengan refleks, ketiga remaja itu menoleh. Di kejauhan, wanita keturunan Jepang-Indian yang baru saja terisap bayangan itu kembali, keluar di antara pepohonan dan melangkah mendekati mereka.

"Hey, no need to worry. She's back," ucap Evelyn, turut menenangkan Tadashi.

Tadashi menyipit, mengamati sang ibu yang baru saja kembali. Pemuda itu melihat senyum yang sama persis dengan Kagumi yang ia temui di kamar Dakota, hari di mana Akando menyerang rumahnya. Refleks, Tadashi berdiri di hadapan Robert dan Evelyn, menghalangi keduanya dari sosok itu. Rahangnya mengeras, bersikap ekstra siaga terhadap 'makhluk' di hadapannya.

"It's not her!" seru Tadashi.

Dukung Dream Walker dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

25 April 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro