53 | A Moment Before The Chaos [Part 3]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tadashi dan Evelyn kembali ke area pohon sakral Queens Forest Park. Robert sedang duduk bersila bersama Dakota. Kagumi dan Andrian berdiri di hadapan mereka. Ketika dua remaja itu sudah dekat dan dapat melihat pemuda berambut merah itu lebih jelas, rupanya Robert sedang mengunyah. Dipegangnya cheeseburger ukuran besar di tangan kanan, sedangkan segelas cola digenggamnya dengan tangan kiri.

Robert menoleh ketika mendengar suara langkah kaki Tadashi dan Evelyn. "Oh, kalian sudah sampai."

"Sebaiknya kalian cepat mengisi perut sebelum mereka datang," ujar Andrian.

Evelyn kemudian bergabung bersama Robert untuk turut menikmati makan malamnya. Ketika Tadashi hendak mengambil posisi duduk di samping Evelyn, Andrian mencengkeram pergelangan tangan putranya. "Tapi tidak denganmu, Tadashi. Kau tidak boleh makan."

Tadashi terkejut. "What? Why? Tapi aku juga lapar!"

"Duduklah!" perintah Dakota sambil menepuk-nepuk rumput di hadapannya. Dengan wajah dongkol Tadashi mengambil posisi untuk duduk berhadapan dengan sang kakek. "Kapan terakhir kau makan?" tanya Dakota pada cucunya.

"Pagi tadi. Sudah lebih dari dua belas jam perutku tidak diisi apa-apa dan aku sangat lapar–" oceh Tadashi.

"Bagus, kau telah berpuasa." Dakota memotong ucapan Tadashi dengan tenang.

"Apanya yang bagus?" protes Tadashi.

Setelah mendesah panjang, Kagumi berkata, "Entahlah, Dad, aku masih merasa ini bukan ide yang bagus." Wajah wanita itu terlihat khawatir.

Tadashi menengadah, menatap sang ibu yang berdiri di sampingnya. "Apanya? Apa yang kalian bicarakan?"

Dakota menepuk bahu cucunya. "Kau tahu aku tidak bisa bertarung karena kondisiku yang lemah. Namun, kita tidak tahu sebesar apa bahaya yang menanti, dan aku tidak ingin mengambil risiko. Kagumi pasti membutuhkan bantuan seorang pemanggil petir." Kemudian pria tua itu tersenyum lemah. "Kau orang yang cocok untuk menggantikanku di medan perang, Tadashi."

"Apa?" Tadashi membelalak. Dakota hanya mengangguk dan kembali terseyum.

Evelyn mengernyit. Ia mendekat pada Robert dan menyikut lengan pemuda itu. Ketika Robert menoleh, Evelyn mengangkat alis lalu melirik Tadashi, seolah-olah bertanya apa maksud perkataan Dakota.

Setelah menelan makanannya, Robert menggeleng dan berbisik, "No idea. Aku baru sampai di sini beberapa menit yang lalu."

"Tapi ... aku hanya seorang dream walker dan tidak memiliki kemampuan sepertimu," ujar Tadashi.

"Aku bisa meminjamkan kemampuanku padamu. Ingat ritual yang dulu dilakukan Akando padamu?" tanya Dakota.

Refleks, Tadashi mengerutkan hidung, kemudian menjulurkan lidah dengan alis yang bertaut. "No, no, no. Bad idea! Aku ingat bagaimana rasa dan bau ramuan yang harus kusantap sebelum melakukan ritual. Aku tidak mau melakukannya lagi!"

"See? Tadashi pun menolak!" sanggah Kagumi.

"Kagumi ...," tegur Dakota. Mendengarnya, wanita itu menggigit bibir, lalu bungkam. Pria tua itu kembali pada cucunya. "Ritual meminjam kemampuan berbeda dengan memindahkan kemampuan. Tidak ada ramuan yang harus kau minum."

"Lalu? Tahapan aneh apa lagi yang nanti akan kuhadapi?" tanya Tadashi, sedikit skeptis.

"Aku hanya perlu menggambar beberapa simbol di dahimu," jawab Dakota. "Aku hanya bisa meminjamkan kemampuan ini pada garis keturunanku. Aku tidak bisa meminjamkannya pada Andrian karena ia tidak memiliki darah suku Indian. Seseorang yang tepat untuk tugas ini hanya kau, Tadashi. Aku ingin kita memenangkan pertarungan ini agar tidak ada lagi yang mengganggumu, mengganggu keluarga kita. Dengan memiliki kemampuan untuk menyerang dan juga kemampuan dream walking-mu, kau tidak akan terkalahkan."

Tadashi bergeming, menatap lekat sang kakek sambil berusaha meresapi ucapannya. Jika meminjamkan kemampuannya pada Tadashi adalah sesuatu yang berbahaya, Dakota pasti tidak akan mengambil risiko itu. Selama ini, kakeknya tahu seperti apa potensi Tadashi. Jika Tadashi tidak bisa mengendalikannya atau tidak bisa bertanggung jawab atas semua itu, Dakota tidak akan meminjamkannya kekuatan sebesar itu.

Kagumi kemudian berjongkok, meraih kedua tangan sang ayah dan memohon. "Dad, you don't have to do this. Pikirkan keselamatan–"

"No, Mom!" potong Tadashi. Ia menatap sang ibu dengan keyakinan penuh, kemudian mengangguk. "It's okay, I'll do this. Seperti yang Grandpa katakan, aku tidak akan terkalahkan. Aku akan baik-baik saja."

Kagumi menatap sepasang iris cokelat tua putranya. Tanpa bisa ia kendalikan, pandangannya memburam. Wanita itu berkedip beberapa kali untuk menyembunyikan air matanya. Kemudian, direngkuhlah Tadashi ke dalam pelukan. Sambil menggigit bibir dan menahan air mata, ia mengelus lembut rambut hitam putranya, merasakan hangatnya suhu tubuh Tadashi. Tadashi balas melingkarkan kedua tangan di tubuh sang ibu.

"Be careful, okay? Setelah perang ini berakhir, aku ingin keluarga kita pulang dalam keadaan lengkap ...," bisik Kagumi parau. Ia tidak sanggup membayangkan jika harus kehilangan satu anggota keluarga.

Tadashi tersenyum, memeluk sang ibu semakin erat untuk menenangkannya. "Aku tidak akan mati. Aku akan berhati-hati."

Kagumi melepas pelukannya. Sambil tersenyum dan berusaha menahan tangis, wanita itu mengelus kedua pipi putranya lembut. "Mantra perlindungan dariku belum digunakan, 'kan? Kau punya tiga kesempatan. Jangan sia-siakan!"

Tadashi tersenyum, kemudian mengangguk. Dielusnya punggung tangan sang ibu. "Aku mengerti."

Tiba-tiba, angin berembus lebih kencang, membawa debu dan dedaunan kering. Andrian dan Dakota menoleh ke sekitar, menerawang ke arah pepohonan dan merasa kegelapan di sana terasa lebih mencekam. Ketika hutan kota ini terasa lebih hening, Robert dan Evelyn yang sedang menikmati makan malamnya menjadi waspada. Keduanya mengunyah secepat mungkin, lalu berdiri dan terpaksa menyisakan sedikit makan malam mereka. Andrian buru-buru berjongkok, menepuk pundak sang istri dan berbisik, "Aku benci merusak momen kalian berdua, tapi Tadashi harus segera melakukan ritual itu."

Meskipun berat melepas Tadashi, wanita itu mengangguk dan pada akhirnya berdiri. Andrian membuka tangannya lebar-lebar, memeluk Tadashi dan menepuk-nepuk punggung pemuda itu.

"Berhanti-hatilah. Jangan khawatir, aku akan menjaga teman-teman dan kakekmu," bisik Andrian.

Tadashi mengangguk mantap berkali-kali, lalu melepas pelukan sang ayah dan tersenyum. Melihat putranya seyakin itu, Andrian merasa tidak perlu khawatir berlebihan. Putranya adalah individu yang kuat. Mau bagaimanapun, Tadashi mewarisi kemampuan dan keberanian milik Kagumi.

"Oke, kita tidak punya banyak waktu. Tadashi, ayo lakukan ritualnya!" desak Dakota.

*****

Tadashi masih menjalankan ritual. Ia bersila di depan pohon besar yang dianggap sakral oleh para esper. Dibantu oleh Andrian yang memeganginya, Dakota berlutut di hadapan Tadashi, menggambar sebuah simbol dengan cairan merah pekat dan kental di kening Tadashi. Tadashi tidak mengerti apa maksud dari simbol kuno itu, tetapi ia tidak merasa khawatir karena percaya pada sang kakek. Setelahnya, pria tua itu memejamkan mata, mengucapkan doa-doa dalam bahasa kuno. Jempol pria itu diletakkan di kening Tadashi. Ketika membuka mata, sepasang mata Dakota seluruhnya berwarna putih. Iris dan pupilnya menghilang. Masih terus merapalkan doa-doa kuno, angin berembus lebih kencang dan membawa banyak dedaunan kering. Ranting pohon terlihat menari-nari meskipun samar, rambut hitam Tadashi berkibar searah angin.

Tadashi tidak merasakan apa pun hingga simbol kuno di dahinya bercahaya. Tubuhnya terasa menegang. Pemuda itu membuka matanya yang bercahaya merah. Ia merasakan kehangatan menjalar, dimulai dari dahi, pipi, kemudian mengalir ke leher dan kedua tangan. Kehangatan itu juga memenuhi dadanya, hingga mengalir ke kedua kakinya. Jemarinya seperti kesemutan. Berbanding terbalik dengan ritual yang dijalaninya bersama Akando beberapa bulan lalu, dalam ritualnya kali ini justru Tadashi merasa lebih bertenaga. Jantung pemuda itu berdebar lebih cepat, adrenalinnya terpacu.

Robert dan Evelyn yang berdiri tidak jauh dari mereka melihat pepohonan di kejauhan menari-nari tertiup angin kencang. Banyak helai daun yang rontok dan terbang mengikuti arah angin. Udara dingin menembus kulit dan tulang belulang dua remaja itu. Ada perasaan ngeri yang menjalar di tubuh mereka. Bulu-bulu kuduk di leher mereka berdiri.

"I don't like this. I don't like this," bisik Robert sambil menggeleng pelan. Pemuda itu menoleh pada Evelyn. "Apa kau merasakannya juga? Perasaan aneh ini?"

Evelyn melirik satu per satu pepohonan, lalu kegelapan di antaranya, kemudian menjawab. "Aku tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya, tapi iya, firasatku juga buruk."

Andrian turut merasakan hawa dingin yang dibawa oleh angin. Ia mengusap-usap bisepnya. Dakota pun sedikit terdistraksi. Ia mempercepat pelafalan mantranya sebelum semuanya terlambat. Angin bertiup semakin kencang, membuat Andrian harus menutup mata dan melindungi wajah dari debu dengan tangan.

"Come on, come on!" bisik Andrian sambil menutup sebelah mata untuk mencegah debu memasuki korneanya.

Evelyn semakin gelisah, ia menoleh pada Tadashi yang masih duduk bersila dengan mata bercahaya merah. Helaian rambut hitam dengan highlight biru milik gadis itu berkibar dan menutupi wajahnya. Dengan segera, ia sibakkan rambutnya ke belakang.

"Hei." Robert menepuk pundak Evelyn. Gadis itu menoleh. "Dakota tahu apa yang dilakukannya. Semua akan baik-baik saja," ujar Robert untuk menenangkan Evelyn.

Setelah Tadashi mencapai limit energi yang dapat diterimanya, tubuh pemuda itu tersentak. Cahaya kemerahan di matanya padam. Tubuhnya limbung, tetapi Dakota dengan sigap menahan Tadashi agar tidak terjatuh. Tadashi turut merasa ada yang aneh dengan angin yang berembus malam ini. Ia menoleh pada Dakota dengan napas terengah-engah. "Grandpa? Is it over? Ritualnya?"

"Ritualnya berhasil. Kau bisa memanggil petir sekarang," ucap Dakota cepat sambil mencengkeram lengan cucunya.

"Bagaimana caraku memanggil petir?" tanya Tadashi cepat, sedikit panik.

"Rasakan atom-atom yang ada di awan tepat di atasmu. Rasakan muatan positif dan negatif dan buatlah mereka saling bergesekan. Ketika energinya sudah cukup besar, bawalah partikel-partikel itu ke–"

Ucapan Dakota terhenti ketika sebuah daun melesat sangat cepat melewatinya, lalu menancap di batang pohon sakral. Tadashi membelalak, seketika merasa ngeri melihat betapa cepat dan tajam daun itu, persis seperti sebuah shuriken. Jarak di mana daun itu tertancap pun hanya berjarak sekitar lima sentimeter saja dari wajahnya. Dakota menoleh ke arah dari mana daun itu berasal, begitu pula Andrian. Di antara pepohonan, hadir seorang pria tua yang sedang berjalan mendekat. Rambutnya nyaris putih keseluruhan, lurus dengan panjang sepunggung dibiarkan tergerai begitu saja. Kerutan di wajahnya terlihat samar jika dilihat dari jauh.

Melihat Akando telah datang, Andrian membawa Dakota, Robert, dan Evelyn untuk mundur dan bersembunyi di balik pohon. Tadashi bersiap dengan kuda-kudanya. Ketika mengedip, matanya bercahaya merah. Kagumi menampakkan wujudnya dari bayangan Tadashi. Wanita yang awalnya berbentuk seperti tanah liat gelap dan transparan itu kini telah kembali kepada wujud manusianya. Sebuah katana berada dalam genggamannya.

Berpindah ke sisi lain pohon sakral tidak membuat Andrian, Dakota, Evelyn, dan Robert dapat bersembunyi sepenuhnya. Dari segala sisi hutan, datanglah banyak pria dan wanita yang meskipun mengenakan pakaian modern, tetapi mereka menggenggam tombak tajam dengan bulu-bulu binatang di tangan kanan. Mayoritas dari mereka berkulit cokelat dengan rahang yang tegas. Beberapa dari mereka membiarkan rambut lurus panjangnya tergerai, tetapi ada pula yang mengepangnya menjadi satu, baik laki-laki maupun perempuan. Terus melangkah untuk mendekat, diarahkannya tombak yang mereka bawa ke arah Andrian, Evelyn, Robert, dan Dakota.

Dari balik punggung Akando, hadir kawanan suku Indian lain yang mengarahkan tombaknya pada Tadashi dan Kagumi. Ibu dan anak itu mengedarkan pandangan ke segala arah. Area kosong ini telah terkepung. Mereka tidak memberi sedikit pun celah untuk jalan keluar. Jumlah mereka cukup banyak, kurang lebih sekitar tiga puluh orang.

Noah yang turut berdiri di samping Akando pun mengarahkan tombaknya pada Tadashi. Tadashi kini beradu pandang dengan Akando. Di antara keheningan panjang, Dukun suku Indian itu berkata, "Kulihat kau sudah mempersiapkan segalanya untuk menyambut kedatangan kami." Namun, Tadashi tidak mengatakan apa pun. Pria itu bergeming sesaat, lalu menyeringai dan kembali berucap, "Selamat berjumpa kembali, Tadashi."

Dukung Dream Walker dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

30 Juli 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro