🔆𝕻𝖊𝖗𝖙𝖊𝖒𝖚𝖆𝖓🔆

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mentari belum menampakkan cahayanya dan alunan zikir di masjid, samping rumah kost masih terdengar untuk membangunkan orang-orang yang masih merajut mimpi.  Seorang perempuan sudah menyibukkan dirinya berkutat di dapur, ia merasa tak terganggu atau pun mengeluh karena harus bangun lebih awal. Anggap saja sebagai latihan dan persiapan jika nanti menikah, tidak lagi terkejut mengenai urusan rumah tangga.

Sebenarnya teman-teman kost banyak yang menyukai hasil tangannya, tetapi laki-laki itu tak jarang mengembalikan makanan buatannya.  Azkia sering mendapat balasan dari sticky note, jika harus dirinya sendiri yang mengantar ke sana. Kalau membayangkan seperti itu kadang membuat dirinya selalu tersenyum tak jelas.

“Sabar, Mas. Kelak kalau takdir berpihak pada kita, pasti aku tak akan pernah telat mengirim makan siang ke kantor. Semoga saja nanti ada waktu, tak bentrok dengan jadwal di rumah sakit,” gumamnya sendiri sambil terus tersenyum membayangkan ketika dirinya  menjadi istri sah laki-laki dingin itu.

Setelah setengah jam berkutat dengan bumbu, akhirnya masakan untuk Tuan Irsyad selesai sudah. Tinggal dimasukkan ke wadah dan paper bag. Untuk kali ini agak sanksi dengan rasanya, karena ia sama sekali tak mencicipi.

Sebuah tepuk tangan dari arah pintu dapur mengagetkan Azkia. Jantung hampir saja loncat dan spatula yang ada di genggaman jatuh ke lantai. Dalam hati sedikit bersyukur karena eksekusi di dapur sudah selesai, tetapi deru jantung yang masih memburu belum juga reda akibat dari terkejut.

“Semangat sekali menyiapkan makanan buat Tuan itu?” Perempuan yang baru datang meletakkan piring kotor di tempat cucian piring, sisa makan sahur mereka berdua.

“Semoga enggak dikembalikan lagi.”

Anisa yang sedang menyalakan kran air di wastafel terpaksa  menghentikan kegiatannya. Gadis itu seakan membuka celah untuk membuka topik pembicaraan yang sedikit berat. Ia menggeser kursi, berhadapan dengan Azkia yang tengah mengelap pinggir kotak makanan agar tidak ada minyak yang menempel.

“Boleh aku bertanya?” Gadis yang memakai jilbab warna cokelat, memasang wajah cukup serius. Suara hiruk pikuk penghuni kost yang sudah bangun karena mesti berebut kamar mandi, membuat ia harus bertanya dua kali karena Azkia masih fokus dengan pekerjaannya.

“Silakan.”

“Kamu serius mau sama laki-laki itu? Kalian belum pernah ketemu loh? Kenapa bisa mengiyakan ajakan menikah orang yang tak dikenal?”

Azkia hanya bisa termenung. Jujur ini pertama kali yang menakutkan dalam hidupnya. Melebihi saat dirinya mencampurkan obat sitostatika yang bisa saja mengancam nyawa dirinya.

“Jujur aku lebih suka menjadi pengagum rahasia saja. Menyukai dari jauh tanpa harus bertatap muka. Menyediakan makanan agar dia tak kelaparan. Itu saja sudah buat aku bahagia.”

“Kalau laki-laki itu mengajak ketemu? Apalagi kamu sudah membalas pesannya lagi. Ingat apa yang dia tulis lagi di kertas kemarin? Ketemu dan selanjutnya menikah, betul kan?”

Azkia mengangguk. “Aku kira tak secepat ini. Aku belum siap.”

Anisa menghela napas panjang. Ia seperti terlarut dalam kegundahan hati sahabatnya. Sempat mengira ajakan menikah pada Azkia hanya main-main dan canda semata, layaknya anak sekolah zaman dahulu mengungkapkan perasaan. Namun, laki-laki yang baru patah hati mengungkapkan keseriusan untuk mengajak sahabatnya hidup bersama. Entah itu keberuntungan atau kesialan bagi  Azkia.

“Apa jadinya kalau Irsyad tahu segalanya? Aku tak mau kamu kecewa. Fokus pada kesepakatan awal. Kita sempat terkejut saat diam-diam kamu rutin mengirim makanan pada Irsyad. Setahuku pendekatan hanya tertuju pada botol itu saja.”

Azkia semakin terpojok. Entah dorongan dari mana, ia bisa senekat itu mencari tahu apa yang menjadi favorit Irsyad.

Perempuan penyuka es krim vanila  hanya bisa terdiam, ia merasa paling tertekan dan bersalah karena telah membawa perasaannya terlalu larut semakin dalam. Seharusnya ia sadar, Irsyad itu siapa. “Lantas apa yang harus aku lakukan?”

Keduanya kembali bergeming, mencari jalan keluar yang nyatanya semakin sulit untuk digapai.

“Kembali ke rencana yang sudah kita bicarakan,” saran Anisa melanjutkan kembali kegiatan mencuci piring karena sebentar lagi sudah waktunya bersiap kerja.

Azkia pura-pura mengangguk tapi tidak dengan hatinya yang sedikit memberontak. ‘Bukankah sebuah drama akan berhasil jika pemeran utama  melibatkan perasaannya agar ceritanya lebih hidup?’

Dering ponsel Azkia yang sedari tadi terletak di rak botol berisi bumbu dapur, membuat kedua gadis di sana saling bertatap sejenak. Gadis itu sudah paham siapa yang menelepon, pria tua hampir setengah bulan menjadi perantara dirinya dengan Irsyad.

“Pengiriman untuk terakhir karena aku tidak akan menyiapkan seperti ini lagi,” bisik Azkia sambil mengatur suara parau karena seakan mencekik tenggorokannya.

Anisa mengangguk, kembali fokus pada pekerjaan yang selalu tertunda. Namun, pekikan Azkia memuat Anisa mau tak mau menatap sahabatnya yang syok habis.

“Ada apa? Siapa yang menelepon?” tanya Anisa sambil mendekat pada orang yang sudah terkulai lemas, duduk di kursi makan sambil menatap layar ponsel yang masih menyala.

“Irsyad.”

“Apa? Irsyad yang menelepon?” pekik Anisa tak kalah histeris. Ia sama saja bingung dengan sahabatnya. Padahal dia yakin pasti suatu saat akan terjadi seperti ini tetapi ia sendiri bingung sama seperti Azkia.

“Dia menelepon karena sudah membaca tulisan kamu di botol.”

Dering panggilan berakhir tetapi Azkia sama sekali tidak  mengangkatnya karena masih panik. Keduanya bertatapan sambil mengembuskan napas lega, tapi rasa panik kembali lagi hadir ketika layar kembali menyala dan menampilkan penelepon sebelumnya.

“Aku takut,” bisik Azkia sambil memegang tangan Anisa erat. Keringat dingin bermunculan sudah seperti orang mau menunggu eksekusi mati.

“Angkat saja!” perintah Anisa setengah berbisik karena ia juga ketakutan sama seperti Azkia. Jika drama ini terbongkar tetap saja namanya pasti akan terseret juga.

Azkia meraih ponsel ketika nama Irsyad masih terpampang di layar ponsel, tangan segera menggeser tombol hijau dan suara laki-laki itu mengucapkan salam langsung terdengar olehnya. Tak membutuhkan waktu lama percakapan dalam telepon karena Azkia hanya menjawab iya dan iya. Bibir seakan kelu ketika baru pertama kali mendengar suara Irsyad yang langsung  menyatu di hatinya.

“Nanti sore setelah pulang kerja, di taman kota,” celetuk Azkia kepada Anisa setelah sambungan telepon selesai. Keduanya seketika membisu, setidaknya masih ada waktu sepuluh jam untuk berpikir.

•┈┈•••○○❁❁𝕯𝖗𝖊𝖆𝖒𝖘 𝕮𝖔𝖒𝖊 𝕿𝖗𝖚𝖊❁❁○○•••┈┈•

Irsyad sengaja datang setengah jam sebelum waktu yang dijanjikan. Hatinya dilanda kegelisahan yang hebat. Baru kali ini kopi darat bersama orang yang ia kenal lewat sebuah tulisan. Mata memandang ke arah pintu taman di dekat jalan, tetapi sama sekali tak menampakkan kedatangan seorang perempuan.

Laki-laki itu hanya bisa mengembuskan napas ke udara, ingin rasanya mengisap cerutu saat dirinya gelisah seperti ini. Namun, ia tak mau momen ini gagal karena asap rokok melekat di kemeja dan mengalahkan parfum terbaiknya yang ia beli di Jerman.

“Maaf, apa betul ini dengan Mas Irsyad?”

Suara tiba-tiba hadir di depan Irsyad. Sibuk dalam lamunan membuat ia tak menyadari kehadiran seseorang yang entah dari mana datangnya.

Irsyad langsung menaikkan pandangan melihat seorang perempuan yang sudah berdiri di depannya.

‘Tak sesuai ekspektasi,’ jerit Irsyad dalam hati. Seharusnya pertemuan ini tak terjadi karena Irsyad sendiri tak tahu bagaimana caranya menghilang dari perempuan yang tengah tersenyum ke arahnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro