13. Pria Yang Mencintainya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Siapa yang sungguh-sungguh berusaha untuk bersabar maka Allah akan memudahkan kesabaran baginya. Dan tidaklah seseorang dianugerahkan (oleh Allah Subhanahu wa ta'ala) pemberian yang lebih baik dan lebih luas (keutamaannya) daripada (sifat) sabar."
-HR. Al Bukhari-

•••

Kejadian tadi malam membuat heboh satu desa, Pak Inggi selaku Kepala Desa harus berlapang dada menerima anaknya diseret mobil polisi untuk menjalani hukuman. Putra yang digadang-gadang akan menjadi penerusnya, kini harus mendekam di balik jeruji besi karena perbuatannya. Fatir menangis di pelukan sang ibu, dia meminta maaf karena pengaruh alkohol yang diteguk membuat nama baik keluarga tercoreng.

Sebelum diringkus polisi, Fatir berusaha untuk menemui Naira dan meminta maaf atas kejadian tadi malam. Dia kehilangan akal hingga berbuat yang mengerikan kepada seseorang yang dia kagumi selama ini. Bersamaan dengan berangkatnya Fatir ke kantor polisi, Pak Inggi memberi pengumuman atas pengunduran dirinya sebagai Kepala Desa. Pak Inggi merasa bertanggung jawab atas perbuatan putranya kepada relawan yang sudah membantu desanya yang terkena musibah. Banyak warga terkejut dan tidak rela, selama ini Pak Inggi adalah Kepala Desa yang baik dan sangat mengayomi warganya.

Posko sepi sejak tadi pagi, para warga bersedih atas pengunduran diri Pak Inggi, sedangkan para relawan bersedih atas kejadian buruk yang menimpa rekannya. Terlebih lagi sosok pria yang sedari tadi bekerja lebih keras agar rekan yang lain bisa menghibur seorang wanita yang bersedih di dalam tenda.

"Kal, lo udah makan belum?" tanya Jamal setelah keluar dari tenda relawan.

"Ners Naira udah makan belum?"

Jamal mengerutkan keningnya, heran. Ditanya malah tanya balik. "Belum, dia nangis terus. Nggak tega juga Dr. Kangku yang biasanya ceria, murung terus," jawab Jamal sembari membantu Haikal menata obat-obatan untuk pengungsi.

"Surabaya ke sini berapa jam sih, lama banget," gerutu Haikal.

"Naik mobil sih 5-6 jam, normalnya, kalo macet taulah bisa kali 10 jam. Naik kereta lebih cepet satu jam, kalo berangkat tadi pagi harusnya sekarang udah sampai. Kenapa memangnya?"

Haikal tidak menjawab, dia hanya menghela napas panjang. Satu-satunya orang bisa menghibur Naira adalah Wildan. Batin Haikal ikut terluka melihat Naira bersedih terus. Rasanya dia ingin menghiburnya langsung, namun Haikal paham bahwa selama ini Naira mencoba menjaga jarak dengannya. Dia tidak  mau Naira merasa tidak nyaman.

Sementara di dalam tenda, Naira terbaring lemas di atas velbed ditemani Dewi yang mengusap-usap punggung Naira mencoba terus menguatkan rekannya itu. Naira hanya termenung, tatapannya kosong, namun air mata terus mengalir membasahi pipinya. Jika ingatan tadi malam datang, Naira mengusap-usap kasar bibirnya, seolah berusaha menghilangkan bekas pria berengsek yang telah menodainya. Dewi mencegah itu, bibir Naira bisa terluka.

"Makan, ya, Nai?"bujuk Dewi, tetapi Naira hanya terdiam.

Siapa yang tidak terpukul jika mengalami kejadian mengerikan seperti Naira? Ingatan itu akan menjadi trauma baginya. Dia menyalah dirinya yang sok berani pergi ke tempat baru yang gelap dan sepi, padahal dia sudah tahu jika itu berbahaya. Dia menyalahkan dirinya sendiri karena menolak seseorang untuk menemaninya. Jika saja Naira mau ditemani Dewi, jika saja Naira mau ditemani salah satu perangkat desa, jika saja Naira tidak pergi ke tempat itu. Mungkin dia tidak terluka hari ini. Sebuah nasib yang buruk baginya.

"Permisi ..." suara terdengar dari arah pintu tenda. Muncul ibu muda sambil membawa bayinya, dia adalah menantu dari ibu tua yang sering sekali cekcok dengan relawan medis.

"Bu Lia, ada apa?" tanya Dewi.

"Boleh saya masuk?"

Dewi menoleh kearah Naira, dia ragu mengizinkan seseorang untuk mendekat disaat kondisi Naira  belum stabil.

"Boleh, silakan." Dewi berdiri menghampiri Bu Lia, "ada apa?"

Bu Lia tak lantas menjawab pertanyaan Dewi, bola matanya mengarah ke Naira. Dewi pun paham bahwa kedatangan Bu Lia ke sini untuk menjenguk Naira. Selama ini meskipun mertuanya selalu cekcok dengan Naira, Naira tetap memantau bayi dan kesehatan Bu Lia bahkan secara diam-diam menemui Bu Lia agar tidak ketahuan mertua Bu Lia.

"Anakku dari tadi pagi rewel, bisa diperiksa nggak sama Bu Naira?"

Naira yang sedari tadi melamun, mendengar hal itu.  Pandangannya yang kosong kini beralih kearah Bu Lia yang menatapnya prihatin di depan pintu tenda.

"Duh, maaf ya, bu, Ners Naira sekarang sedang tidak-,"

"Anaknya kenapa, Bu?" tanya Naira seraya bangkit dari pembaringan, dia mengusap air mata di pipi kemudian duduk.

Dewi terkejut melihat itu, dia sempat melongo. Sesakit apapun itu, Naira tetap melaksanakan tugasnya menjadi relawan.

"Nai, kamu baik-baik aja?" tanya Dewi menghampiri.

Naira mengangguk, "Sini, Bu Lia, saya lihat anaknya."

Bu Lia langsung tersenyum lebar, dia lantas berjalan menghampiri Naira lalu duduk di sampingnya, "Dari tadi pagi dia rewel, Sus. Udah di nen tapi tetep rewel."

Naira membuka baju bayi Bu Lia, mengecek keadaan perutnya, "Kembung nih, Bu, coba sini ya dedeknya." Naira menggendong bayi itu lalu di tidurkan di velbed beralaskan selimut.

Naira melakukan teknik mengayuh pada kaki bayi beberapa kali dengan perlahan sambil tersenyum, "Adek, yuk, kentut, yuk, biar nggak sakit perutnya, ya?" Seolah tidak ada luka di batinnya, seolah tidak pernah terjadi apa-apa dalam hidupnya. Naira melayani dengan sepenuh hati.

Tanpa sadar Dewi meneteskan air mata, tidak percaya ada manusia seperti Naira. Wanita itu mengusap air mata kemudian keluar dari tenda, meninggalkan Naira bersama Bu Lia dan bayinya. Dewi tidak tahan melihat Naira bersikap seperti itu.

"Alhamdulillah ..." ucap syukur Naira saat mendengar bayi Bu Lia mengeluarkan gas dari perutnya beberapa kali. "Kalo rewel lagi, coba cek perutnya ya, Bu Lia. Kalo kembung coba tadi praktikan apa yang tadi saya lakukan ya?"

Bu Lia mengangguk tersenyum senang, "Baik, Sus."

"Nah sekarang coba dikasih minyak telon terus dijaketin ya, kayaknya kembungnya dedek gara-gara masuk angin," saran Naira sambil memberikan bayi itu ke gendongan Bu Lia.

"Baik, Sus, terima kasih banyak."

Naira mengangguk sambil tersenyum. Dia mengira Bu Lia akan segera pergi, namun perempuan muda itu masih berdiri tak beranjak sambil menatap Naira dengan tatapan sedih. 

"Ada lagi, Bu?"

Bu Lia menggeleng, tiba-tiba dia menangis. "Sus, saya turut prihatin atas apa yang  menimpa Suster. Saya nggak bisa bayangin betapa mengerikannya kejadian tadi malam."

Dengan tegar, Naira menarik sudut bibirnya untuk tersenyum lebar. Dia merasa terharu karena banyak orang yang mengkhawatirkan dan menyayanginya. Memang benar kejadian semalam sangat mengerikan bahkan membuat Naira sendiri trauma, namun yang lalu biarlah berlalu. Naira bersyukur telah diselamatkan sebelum terjadi yang lebih buruk. Naira mengakui semua itu terjadi karena kesalahannya yang sok berani, ini akan menjadi pembelajaran baginya agar lebih hati-hati. Jika merasa tidak berani, tidak apa-apa merepotkan orang sebentar saja.

Naira merangkul dan mengusap-usap pundak Bu Lia, "Makasih ya, Bu, sudah mengkhawatirkan saya. Alhamdulillah saya beruntung karena dikelilingi orang-orang baik. InsyaAllah saya baik-baik saja."

"Yang sabar ya, Sus, yang kuat. Suster orang baik, orang baik pasti ditolong sama Allah."

Naira mengangguk sambil tersenyum, dia terus mengusap lengan Bu Lia menenangkan.

"Nai!" Dewi tiba-tiba masuk, "suamimu datang!"

Kontan mata Naira membulat terkejut mendengar berita itu, "Mas Wildan?"

Seperti jawaban doa yang sedari  malam dipanjatkan, dia menginginkan kehadiran sang suami di sini. Jantungnya berdebar, antara senang dan juga takut. Ada bendungan air mata yang siap jebol, ada tangisan yang siap meledak, ada tali tak kasat mata menyesakkan dada siap terlepas. Saat matanya bertemu dengan sosok itu. Suaminya, belahan jiwanya.

"Naira ..." sosok itu masuk ke dalam tenda, ada bendungan air mata juga di pelupuk matanya.

***

Dalam pangkuan Wildan, Naira mendengarkan lantunan Surah Al-Insyrah yang dibacakan sang suami. Sebuah surah yang diturunkan Allah untuk menghibur Nabi Muhammad Saw ketika mengalami tekanan batin akibat pertentangan dari kaumnya.

Surah Al-Insyirah sering pula disebut dengan surah Alam Nasyrah atau Asy Syarh. Di dalamnya terdapat delapan ayat yang memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang kesusahan untuk tetap optimis dan semangat.

Wildan terus mengulang-ulang surah itu sampai tangisan Naira yang tumpah kembali mereda. Belaian tangan Wildan di kepalanya, serta suara merdu sang suami melantukan ayat-ayat suci perlahan membuat hati Naira tenang.

"Maafin aku, Mas ..." ucap Naira untuk kesekian kali.

"Aku akan memaafkanmu kalau kamu berhenti bilang maaf," ujar Wildan. Tak lama dari itu, Wildan menarik wajah Naira untuk menatapnya, "Bukan salah kamu, kamu gak salah, Sayang."

Mata Naira kembali basah, dia benar-benar merasa  bersalah kepada suaminya. Naira merasa seperti melakukan penghianatan tak langsung yang membuat dirinya merasa kotor dan berdosa sekali.

Naira bangkit dari pangkuan Wildan kemudian menatap suaminya. Tangisannya kembali pecah. Wildan dengan lembut memeluk Naira dan tak bosan untuk menenangkan sang istri.

"Kita pulang, ya?" ujar Wildan dan Naira mengangguk.

"Maafin aku ya, Mas ..."

"Ssstt ... Stop bilang maaf ya, aku mohon. Hatiku sakit kalau kamu bilang maaf terus padahal itu bukan salahmu."

"Karena aku nggak bisa jaga diri, Mas. Aku bodoh, aku sok berani, aku tidak bisa menjaga amanahmu untuk berhati-hati. Aku menodai pernikahan kita karena ..." kalimatnya tersekat saat mengingat pelecehan dari Fatir.

"Allah benci banget sama hamba-Nya yang menyebut dirinya sendiri bodoh. Qadarullah, Sayang, Qadarullah, itu sudah ketetapan dari Allah."

"Aku takut kamu jijik sama aku, Mas. Aku pun jijik sama diri aku sendiri."

"Astaghfirullah, Naira, kamu jangan bercanda. Ngapain aku jijik sama istri aku sendiri?" Wildan tertawa kecil menertawai pertanyaan lucu yang tidak masuk akal dari istrinya.

"Kamu tetap istri aku, kamu tetap jadi Naira. Nggak ada yang kurang dari kamu, kamu utuh, kamu tetap wanita yang aku cintai," lanjut Wildan dengan tatapan serius.

"Aku dengar kamu terus mencoba melukai bibirmu, kenapa? Dia menyentuh bibirmu?"

Naira mengangguk sambil menundukkan kepala, merasa malu mengakui itu. Dia kembali meneteskan air mata, rasanya sesak jika mengingat kejadian semalam.

Wildan meraih dagu Naira untuk menatapnya. Perlahan Wildan menarik wajah Naira untuk mendekat hingga bibirnya berpagut dengan bibir Naira. Wildan ingin membuktikan kepada Naira bahwa Naira tak perlu lagi merasa berdosa ataupun malu, Wildan ingin menunjukkan pada Naira bahwa dia tidak pernah berubah karena kejadian itu.

Wildan membelai lembut bibir Naira menumpahkan rasa betapa rindunya dia kepada kekasihnya itu. Pada awalnya Naira malu untuk membalas, perlahan Naira pun membalas pagutan lembut sang suami dengan perasaan haru. Keduanya melebur rasa rindu dan melenyapkan rasa sedih di antara mereka.

Semua masih seperti semua, tidak ada yang berubah, semua akan terus baik-baik saja.

"Di mana lagi dia menyentuhmu, hm? Aku yang akan menghilangkan bekasnya, biar kamu nggak lagi merasa jijik sama diri kamu sendiri."

Naira menghambur ke pelukan Wildan. Seorang imam pilihan Allah yang membuatnya menjadi wanita paling beruntung di muka bumi ini.

Seorang pria yang benar-benar mencintainya dengan tulus. Pria yang kini mendekapnya, juga pria yang kini tengah berdiri di depan pintu tenda memalingkan wajah saat tak sengaja melihat wanita yang dicintai memadu kasih dengan pria halalnya.

Mereka ... Wildan dan Haikal. Adalah pria yang mencintainya. Tanpa balas, tanpa syarat.

•••
Bersambung~

Follow IG
dianafebi_

Jazzakumullah ya Khairan sudah membaca cerita saya 🥰

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro