DBS-5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku sudah menutup hati
Pesimis pada janji yang berujung basi
Tapi, sebentar ....
Mengapa kamu terus menggedor pintuku tanpa gentar?

🔥

Fakta Fayre bertetangga dengan Nevan meski terpisah blok sempat membuat gadis itu tidak enak hati, apalagi Nevan sempat mempersempit jarak mereka yang membuat Fayre berdebar karena mengira laki-laki itu bisa berbuat tidak senonoh. Sampai siang, hari Fayre masih baik-baik saja. Ia menonton drama di laptopnya, menjelajahi e-commerce untuk melihat outfit terbaru dari beberapa brand langganannya, ia juga menikmati es krim cokelat hingga setengah bucket. Kegiatannya itu cukup membuat Fayre sibuk sampai-sampai tidak sempat memikirkan Andreas dan perihal sakit hatinya.

Luka Fayre sudah tidak separah hari itu, ia sendiri sebenarnya agak bingung bahwa dirinya bisa setegar itu menghadapi perpisahan bersama Andreas. Mungkin Lexa benar, begitu pikir Fayre, bahwa Fayre sesungguhnya sudah tidak mencintai Andreas dan hanya merasa laki-laki itu patut bertanggung jawab setelah mendapatkan kesuciannya. Berkali-kali Andreas dan orang tuanya menghubungi Fayre, gadis itu tetap bergeming. Kini Fayre benar-benar yakin, bahwa melepaskan Andreas adalah yang terbaik.

Sayangnya, Fayre tidak bisa mengelak saat orang-orang yang enggan ia temui bertandang ke rumahnya tanpa pemberitahuan lebih dulu. Malangnya, gadis itu telanjur membuka pintu karena mengira kurir cinnamon-nya yang datang. Gadis itu menghela napas panjang, menatap malas pada kedua orang tua Andreas.

"Nak, bagaimana kabarmu? Ibu sudah tidak bisa menahan diri, sehingga akhirnya kemari."

Hanya atas dasar kemanusiaanlah yang membuat Fayre tidak langsung mengusir dua orang itu. Rasa hormatnya pada yang lebih tua mampu menahan semua perasaan buruk Fayre saat ini. Karena walaupun Andreas-lah yang bersalah, tetap saja Fayre enggan menjalin hubungan lagi dengan orang-orang di sekitar laki-laki itu.

"Bibi, aku baik-baik saja. Terima kasih atas perhatian kalian."

Ibu Andreas terkejut, lalu buru-buru menggenggam tangan Fayre dan memasang wajah bersedih.

"Kamu pasti sangat marah pada Ibu sampai mengganti nama panggilan."

Sekali lagi Fayre menghela napas panjang. Bukan itu jawaban atas perubahan nama dari ibu menjadi bibi yang ia sematkan untuk wanita di depannya.

"Bibi Lu, apakah ada kesalahpahaman di antara kita? Kupikir Bibi seharusnya tahu kenapa aku seperti ini."

Perlahan Fayre melepaskan genggaman wanita itu, kemudian mundur dua langkah demi menjaga jarak. Terang saja kedua orang tua Andreas makin terkejut.

"Fayre, apa yang terjadi beberapa hari lalu bisa kita selesaikan dengan baik-baik. Bagaimana kalau kita bicara di dalam?"

Pria itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, merasa tidak nyaman karena Fayre tidak juga mempersilakan masuk. Lagi pula, pembicaraan penting memang harus di ruang tertutup, bukan di depan gerbang rumah yang siapa saja bisa melihat dan mencuri dengar.

"Paman Faros, sebenarnya aku tidak ingin berbicara apa pun. Untuk itu, kita cukup berdiri di sini saja."

Walau sikap Fayre jelas-jelas tidak menunjukkan keramahan, kedua orang tua Andreas masih bisa menahan diri. Mereka sempat berpandangan, lalu sama-sama sepakat tanpa kata bahwa misi membujuk Fayre harus tetap dilanjutkan.

"Fayre, Andreas belum pulih total. Kedua kakak tirimu memukulinya tanpa ampun. Bukankah seharusnya kamu menjenguk Andreas? Ibu sangat bersedih melihatnya kesakitan."

"Maaf? Kenapa aku harus menjenguknya? Dia pantas mendapatkan itu."

Pria dan wanita itu melebarkan mata, tidak menyangka gadis yang telah mereka kenal selama dua tahun mampu berbicara kasar seperti itu. Sosok lembut serta ramah Fayre yang selalu mereka lihat dulu seketika lenyap, tergantikan oleh gadis yang dingin dan tidak berperasaan.

"Fayre, jangan seperti ini. Andreas hanya melakukan kesalahan kecil. Kita bisa-"

"Kesalahan kecil?" Fayre memotong kalimat Luxia dipenuhi ekspresi tidak percaya.

"Ya. Tidak akan ada masalah besar. Andreas cukup bertanggung jawab dengan memenuhi kebutuhan anak itu nantinya. Dan kalian tetap bisa membangun rumah tangga tanpa gangguan. Ibu pasti akan menjadikanmu menantu kesayangan."

Fayre menundukkan wajah sambil menutup bibirnya. Tidak lama setelah itu tawanya mencuat, ia tidak lagi bisa menahan rasa geli yang enggan berhenti di perutnya. Sementara itu, dua orang tengah memperhatikan dirinya dengan kebingungan.

"Ya Tuhan. Terima kasih sudah menyelamatkanku dari keluarga racun ini."

Sontak saja ayah Andreas berang.

"Apa yang kamu bicarakan, hah? Mulutmu sangat kurang ajar!"

"Dan kalian sangat tidak berprikemanusiaan. Anak kalian menghamili seorang wanita dan kalian bahkan tidak berencana menikahkan mereka. Astaga. Di kehidupanku yang lalu mungkin dosaku sangat banyak sampai Tuhan menghukumku dengan bertemu kalian."

"Fayre, jaga mulutmu!"

Gadis itu refleks berpaling dan mengangkat kedua tangannya untuk melindungi wajah saat Faros bersiap melayangkan tamparan. Namun, tidak ada apa pun yang mengenai Fayre, malah ia mendengar umpatan Faros. Gadis itu menaikkan pandangan, terkejut karena lagi-lagi sosok Nevan muncul di hadapannya. Kali ini laki-laki itu bersikap bak seorang pahlawan yang menyelematkan seorang putri. Nevan memelintir lengan Faros, membuat pria tua itu kesakitan dan mengumpat tanpa jeda. Luxia panik menyaksikan suaminya kesakitan dan yang bisa ia lakukan adalah memohon pada Nevan untuk melepaskan Faros.

"Sebejat-bejatnya Anda menjadi seorang laki-laki, tetap saja tangan ini tidak boleh memukul wanita. Pria tua sampah, tidak berguna."

Sejak pertemuan pertamanya dengan Nevan, baru kali ini Fayre ingin meneriakkan nama laki-laki itu dengan girang. Apa yang ingin Fayre katakan, Nevan sudah mewakilinya. Dengan ini gadis itu merasa senang dan sama sekali tidak keberatan menerima bantuan Nevan barusan.

"Ya Tuhan, suamiku! Lepaskan suamiku!"

Nevan mengabulkan permintaan Luxia, tetapi wanita itu kembali menjerit karena suaminya dilepaskan dengan cara tak beradab. Pria itu didorong keras menggunakan kaki, sampai-sampai ia tersungkur. Luar biasanya, Nevan sama sekali tidak menyesal ataupun menunjukkan rasa iba di wajahnya. Detik ini Fayre sedikit memahami, bahwa laki-laki yang mengaku duda itu memiliki kepribadian rumit.

"Pergi dan berhenti mengganggunya."

Satu kalimat dari Nevan mampu mengusir dua orang itu. Fayre sontak menghela napas lega ketika mobil hitam tersebut menjauh. Namun, tentu saja kelegaannya tidak berlangsung lama setelah teringat masih ada pahlawan dadakan di dekatnya.

"Terima kasih."

"Wah! Aku tidak menyangka mendengarmu mengatakan itu."

Fayre berdecak. Apakah laki-laki ini tidak bisa mempermudah obrolan mereka? Tinggal ucapkan sama-sama, lalu pergi, bukannya membuat Fayre kesal karena ucapan terima kasihnya seperti tidak berarti.

"Wah! Aku juga tidak menyangka akan melihatmu di sini."

Gaya bicara Fayre dan ekspresinya sengaja dibuat sama dengan Nevan tadi. Laki-laki itu tersenyum geli karena gadis di hadapannya cukup menarik.

"Siapa mereka?"

"Haruskah aku memberitahumu?"

"Anggap saja tanda terima kasih."

"Mantan calon mertuaku."

"Apa?"

"Kamu tuli, ya?"

"Jadi, kamu gagal menikah?"

"Kamu senang atas kemalanganku?"

"Tidak. Itu artinya aku punya kesempatan untuk mendekatimu."

Seketika Fayre tidak berniat menyahut lagi. Ia sudah mengucapkan terima kasih dan gadis itu hanya ingin segera kembali ke dalam rumah. Sayangnya, Nevan tidak menginginkan hal sebaliknya. Laki-laki itu berdiri di ambang gerbang Fayre, membuat sang gadis melotot sebal karena tidak bisa menutup benda tersebut.

"Apa lagi?"

"Kamu belum membalas bantuanku."

"Astaga. Apakah kamu begitu pamrih?"

"Makan sianglah di rumahku. Aku mengundangmu."

"Dan membiarkanku masuk ke kandang harimau yang lapar?"

"Kamu terlalu curiga, Nona."

Gadis itu tersenyum tipis. Tentu saja ia tidak lagi memiliki kepercayaan terhadap laki-laki, apalagi pada orang asing.

"Apa kamu selalu seperti ini? Mengundang seorang gadis untuk sarapan atau makan siang di rumahmu?"

"Sudah kubilang, kamu pengecualian. Aku hanya ingin berteman ... untuk saat ini. Lagi pula kita bertetangga. Alangkah baiknya jika menjaga hubungan baik."

Kata-kata Fayre tidak keluar lagi. Ia menghela napas panjang, sadar diri bahwa ia tidak akan memenangkan perdebatan itu.

"Hanya makan siang," tegas Fayre.

"Tentu. Memang akan makan apa lagi?"

Fayre sempat mendelik, terlebih lagi karena Nevan memasang ekspresi datar, padahal Fayre tahu laki-laki itu sengaja mengatakan hal yang ambigu. Ekspresi kesal Fayre seketika berubah saat kurir pengantar makanan datang. Ia segera menyimpan cinnamon itu, membiarkan Nevan menunggu sejenak di depan gerbang.

"Sudah?" tanya laki-laki itu saat Fayre kembali muncul.

"Sudah."

Mereka berjalan kaki menuju rumah Nevan. Sesampainya, Fayre dipersilakan masuk. Gadis itu cukup tercengang saat di dalam. Rumah itu sangat sunyi, sekaligus mendamaikan. Interiornya sudah pasti berkelas, bahkan ada beberapa lukisan yang Fayre tahu harganya cukup fantastis. Yang lebih membuat Fayre ternganga, dapur Nevan sangat bersih dan lengkap, selayaknya dapur seorang chef profesional. Fayre tidak luput memperhatikan sekitar, sedikit lebih yakin bahwa Nevan memang tinggal sendirian.

"Sedang ingin makan apa?"

Nevan menarik kursi bar untuk Fayre, sengaja supaya gadis itu tidak terlalu jauh darinya saat ia menyiapkan makanan.

"Aku bukan pemilih makanan, selagi bersih dan sangat layak untuk dimakan."

"Baguslah. Ini tidak akan lama, karena aku sudah menyiapkan sayap ayam yang siap dimasak. Kamu ingin minum apa?"

Fayre melongok saat Nevan memperlihatkan isi lemari pendinginnya. Air kemasan botol, beberapa kaleng soda, bir, dan yang sudah Fayre duga adalah alkohol.

"Air saja, tolong. Terima kasih."

"Dengan senang hati."

Setelah meletakkan air di hadapan Fayre, Nevan segera berkutat dengan sayap ayam yang baru ia keluarkan dari lemari pendingin. Gadis itu memperhatikan dengan saksama cara Nevan menumis bumbu dan menggoyangkan pan, sungguh tidak terlihat sebagai seseorang yang sekadar memamerkan bakat pada seorang gadis. Laki-laki itu sungguh bisa memasak, pikir Fayre.

"Kamu suka cinnamon?" Nevan bertanya, mengalihkan fokus Fayre yang sempat ke mana-mana.

"Sangat."

"Besok akan kubuatkan."

Sejujurnya Fayre tidak tahu apakah Nevan hanya sekadar bercanda, tetapi melihat ekspresinya yang tengah serius mencicipi masakan memunculkan sedikit keyakinan Fayre bahwa laki-laki itu bisa saja menepati ucapannya. Fayre jadi tergelitik membalas ucapan Nevan.

"Kamu akan kerepotan karena jika aku menyukainya, aku akan selalu mengatakannya padamu."

"Memang itu yang kuinginkan."

Alis Fayre mengerut saat mendapat godaan sebuah kedipan dari Nevan. Selain bisa memasak, laki-laki itu memang pandai mengganggu wanita.

"Makan siangmu sudah tiba, Nona."

Melihat tampilan sayap ayam yang berlumur saus itu, Fayre cukup tergugah. Nevan juga menyediakan semangkuk nasi panas. Makan di rumah orang asing tentu saja hal baru untuk Fayre. Namun, ia jadi tidak mengelak diundang lagi jika makanan yang menguarkan aroma sedap itu pun memiliki rasa yang enak.

Baru saja Nevan duduk di sebelah Fayre, pintu bel rumah Nevan berbunyi. Fayre menoleh pada laki-laki itu sebelum Nevan undur diri dengan terpaksa dan menyampaikan maaf melalui cakupan tangan karena harus menunda makan siang mereka untuk membukakan pintu. Tentu saja Fayre tidak keberatan dan bersabar menunggu sang tuan rumah kembali.

Jarak antara dapur dan pintu utama tidak terlalu jauh, sehingga Fayre sedikit banyak bisa mendengar ada perdebatan di sana. Orang yang mengunjungi Nevan adalah wanita, tentu saja Fayre tahu karena mendengar suaranya. Namun, gadis itu mendadak kehilangan sebagian besar nafsu makannya setelah kembali mendengar pertikaian dua orang itu.

"Nevan, maafkan aku. Kita tidak seharusnya seperti ini. Kita masih bisa memperbaiki hubungan."

"Jangan membuatku semakin muak, Tiara."

"Kumohon. Pulanglah. Aku membutuhkanmu."

"Sayangnya aku tidak sudi menginjak rumah yang kamu jadikan tempat berselingkuh. Kamu juga harus ingat, kita sudah resmi bercerai."

Dada Fayre seketika seperti dicengkeram, ia sesak.

"Aku sudah mengakui kesalahanku dan tidak akan mengulanginya, Nevan. Percayalah."

"Heh? Percaya padamu yang sampai mengandung dan melahirkan anak dari pria lain? Kamu kira aku bisa dibodohi lagi? Pergi. Aku tidak ingin melihatmu lagi."

"Tidak, jangan usir aku. Aku masih mencintaimu, Nevan! Tidak! Jangan seperti ini!"

Lalu suara pintu yang tertutup kasar membuat Fayre cukup terkejut. Ia memejamkan mata rapat, turut merasakan pedih hati Nevan atas pengkhianatan besar itu sampai membuatnya mual hebat dan terpaksa mengotori wastafel Nevan.

"Ada apa?" Pertanyaan khawatir dari seseorang itu memacu Fayre untuk buru-buru membersihkan sekitar bibirnya.

"Maaf, aku tidak sempat mencari tahu kamar mandinya di mana. Perutku tiba-tiba mual."

"Jangan pikirkan itu. Butuh sesuatu?"

Nevan memberikan beberapa helai tisu pada Fayre.

"Kamu terlihat baik-baik saja walau terluka separah itu."

Sesaat Nevan kebingungan akan maksud Fayre, tak lama setelah itu ia tertawa kecil sambil mengikuti Fayre duduk.

"Kamu berharap apa? Aku meraung-raung karena cinta yang tidak pantas? Maaf sudah membuatmu mendengar hal yang menjijikkan."

Gadis itu menatap hidangan di hadapannya tanpa minat. Lalu hatinya terdorong untuk sedikit terbuka pada Nevan yang sama-sama memiliki kisah buruk.

"Calon suamiku menghamili wanita lain."

"Kamu terselamatkan dari nasib buruk yang panjang."

Senyum Nevan terlihat tanpa beban di mata Fayre.

"Untuk itu aku tidak lagi percaya pada cinta dan laki-laki."

Ada hening di antara keduanya selama hampir dua menit. Nevan mengangguk-angguk pelan, lalu meneguk air sebelum kembali menatap Fayre yang masih bergeming. Laki-laki itu paham bahwa Fayre sedang membangun dinding yang menjulang tinggi bahkan sebelum Nevan melangkah mendekati gadis itu.

"Biasanya orang-orang yang memiliki kesamaan kisah hidup akan lebih mengerti dan menghargai satu sama lain. Seperti mereka tidak akan mengkhianati pasangannya nanti, karena tahu sakitnya tidak mampu dijelaskan."

Kata-kata itu berhasil membuat Fayre terdiam sepanjang mereka menyantap makan siang.

To be continued

"Abang siap nganterin ke mana aja, Neng Fayre."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro