Bab 2. Saya ayah Gendis

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Saya ayah Gendis.” 

Satu baris kalimat singkat yang membuat Shabira mematung dengan ekspresi aneh. 

“Apa? Ayah?” Shabira menanyakan itu sembari menoleh pada Gendis yang tampak takut-takut menatapnya. 

“Ayah kamu?” Shabira berharap Gendis akan menggelengkan kepala. Namun, jawaban anggukan yang gadis remaja itu beri membuat Shabira ingin menggali tanah dan mengubur dirinya di sana. 

“Jadi.” Laki-laki yang mengaku sebagai ayah Shabira itu menyandarkan tubuh ke kusen pintu. “Shabira Anindita,” lanjut laki-laki itu sembari membaca benda kotak kecil di tangannya. 

Mata Shabira kembali membulat saat sadar yang berada di tangan Lingga adalah KTP. Tangan gadis dengan kulit kuning langsat itu pun otomatis memeriksa tas, membuka dompet, dan … ktpnya tidak ada di sana. Bagaimana benda penting itu bisa jatuh? 

“Apa saya perlu lapor polisi untuk tuduhan penculikan?” Ada nada kesal yang Lingga tunjukkan.

Bibir Shabira membuka dan menutup, bingung harus berkata apa. Oke, ini memang salahnya karena bertindak ceroboh. Akan tetapi, siapa yang tidak curiga melihat keadaan seperti tadi?

“Maaf, karena saya sudah salah sangka,” ujar gadis itu pada akhirnya. “Tapi saya juga nggak sepenuhnya salah. Siapapun yang melihat Anda tadi pasti akan curiga. Coba tadi saya teriak, mungkin Anda akan dipukuli oleh warga sekitar.”

Ayah Gendis malah tersenyum miring. Menertawakan ucapan Shabira yang terdengar konyol. 

“Harusnya saya yang berkata seperti itu. Tadi kalau saya teriak, dan bilang kamu penculik, siapa yang akan dibilang salah? Sementara security di sana sebagian besar tahu kalau Gendis ini anak saya.”

Shabira meneguk ludahnya kasar. Dia tidak pandai berdebat. Sejak kecil terbiasa mengalah, menahan pendapat dan keinginannya, membuat Shabira sedikit kesulitan untuk mengutarakan pemikirannya. 

“Tapi tetap saja. Anda nggak seharusnya nyeret Gendis sampai teriak-teriak kayak tadi.” Shabira menoleh pada Gendis untuk mencari dukungan. Dan berhasil, Gendis langsung memegang lengannya. 

“Urusannya sama kamu apa? Dia anak saya, bukan anak kamu.” 

“Justru karena dia anak Bapak, enggak bisa apa Bapak bersikap lembut dikit? Harus kasar kayak gitu?” Shabira tahu tidak seharusnya dia melanjutkan ini. Harusnya setelah tahu ada kesalahpahaman, dia cepat-cepat kabur. Bukan malah mencari masalah seperti sekarang. Dan, keberanian dari mana yang didapatnya hingga bisa berdebat seperti ini? Entahlah, Shabira sendiri juga bingung dengan tingkahnya. 

Laki-laki di depannya terlihat begitu geram mendengar ucapan yang keluar dari bibir Shabira. 

“Saya bilang itu bukan urusan kamu!” Iris hitam itu langsung beralih ke arah Gendis yang terlihat ketakutan di tempatnya. “Masuk!”

“Pak, dia aja takut sama Bapak. Yakin Gendis ini anak Bapak?” Shabira mengusap tangan Gendis yang masih memegang lengannya. Kali ini terasa lebih kuat.

“Apa perlu saya tes DNA?” 

Shabira tidak menjawab, memilih untuk menunduk, menatap Gendis dengan serius. “Dia beneran ayah kamu?” tanya wanita itu lagi. Mengabaikan decakan kesal yang terdengar dari arah lain.

Gendis mengangguk yakin. Sedikit melirik ke wajah ayahnya yang sudah merah padam menahan emosi. 

“Suka kasar sama kamu?” tanya Shabira lagi. Sembari melirik ayah Gendis yang hanya memilih diam sembari melipat tangan di dada. 

Gendis tampak ragu, tetapi akhirnya gadis kecil itu menggelengkan kepalanya. 

“Tapi tadi?”

“Tadi dia bolos dari sekolah. Dan saya nemuin dia lagi di ruko kosong sendirian. Pas diajak pulang dia nggak mau! Apa sudah jelas?” 

Jawaban yang membuat Shabira sedikit terkejut. Mata cokelat gadis itu mengamati wajah Gendis yang tertunduk.

“Selama beberapa bulan ini dia selalu membuat ulah. Apa saya harus membiarkan?” 

Shabira menarik tubuhnya, sesekali menatap Gendis yang semakin menundukkan wajah. Padahal gadis ini tidak terlihat seperti anak nakal. Gendis pasti memiliki alasan. Shabira menahan diri untuk tidak ikut campur lebih dalam lagi. 

“Oke, saya serahin Gendis ke Bapak.” Shabira mendorong pelan bahu Gendis agar mau berpindah posisi ke sebelah ayahnya. Namun terlihat sekali gadis itu tidak mau. 

“Aku nggak boleh nginep di rumah Tante aja?” Gendis melirik takut wajah marah ayahnya, lalu menatap Shabira yang tampak bingung. 

“Lain kali boleh,” jawab Shabira tanpa menatap wajah laki-laki di depannya yang dia yakini pasti tidak akan menyetujui ucapannya. “Tapi kalau sekarang, Gendis tidur di rumah dulu, ya. Ngobrol sama ayah. Gendis udah tahu, kan, apa salahnya Gendis?”

Gadis remaja itu menganggukkan kepala, tetapi wajahnya terlihat begitu kecewa. 

“Sekarang Tante pamit pulang dulu. Kalau Gendis mau main, kan, bisa langsung ke rumah?”

Mata Gendis lantas membulat dengan aura senang. “Beneran Tante?”

“Jangan aneh-aneh, saya nggak akan ijinin anak saya main ke sembarang tempat!” 

Shabira menghela napas, lalu mengedik ke rumah sebelah. “Saya tinggal di situ, kalau Bapak mau tahu.”

Ada kerutan bingung yang terlihat di dahi ayah Gendis. “Oh, jadi kamu keponakan Mbak Tiwi? Ternyata lain.”

“Maksudnya?” Shabira agak tersinggung dengan nada mengejek yang terdengar. 

“Kata Mbak Tiwi keponakannya itu cantik, sopan, ramah. Kenyataannya.”

Shabira yang tidak ingin marah, tersulut juga emosinya. “Eh Pak Jingga!” katanya asal menyebut nama. Tante Tiwi pernah menyebut nama duda keren penghuni sebelah rumah, tetapi Shabira lupa siapa tepatnya nama duda itu.

“Heh, jangan asal ganti nama orang. Nama saya Lingga, bukan Jingga.”

“Sebelas dua belaslah, beja j doang.”

“Terus kalau nama kamu saya ganti Sarabina mau?” 

Terdengar kikikan geli dari bibir Gendis yang merasa lucu dengan dua orang dewasa di samping dan depannya ini. 

Shabira yang sudah kesal ingin sekali melanjutkan perdebatan, tetapi sayangnya adzan maghrib telah berkumandang. 

“Mendingan saya pulang daripada ngeladenin laki-laki yang mulutnya kayak emak-emak.” Shabira sudah ingin berbalik, tetapi geraknya tertahan saat tangan Gendis kembali menggenggam lengannya.

“Gendis, kamu masuk. Biarin dia pulang.” Lingga mencoba menarik anaknya, tetapi gadis itu memberontak. 

“Jangan dipaksa, Pak!” Shabira menarik tubuh Gendis ke dalam pelukannya. “Bapak ini bisa saya laporkan dengan tuduhan penyiksaan anak, ya.”

“Udah mendingan kamu pulang, nggak usah aneh-aneh! Gendis masuk!” 

Gendis tetap menggeleng dan malah memeluk Shabira lebih erat. 

“Mau ayah tambahin hukumannya?” ancam Lingga. Biasanya Gendis akan langsung takut, tetapi kali ini tidak. 

“Lihat, anak saya makin jadi pembangkang karena kamu!” 

“Kan saya bilang jangan kasar!” 

Shabira berlutut untuk menyamakan tingginya dengan Gendis. “Gendis ikutin mau ayah, ya. Tante juga udah capek, mau pulang.”

Gendis mengangguk, tetapi tidak juga melepas genggamannya pada tangan Shabira. “Sebentar lagi, Tante,” ujarnya sembari menatap ke satu titik di kejauhan sana.

Shabira sudah ingin bertanya apa alasan Gendis menahannya, tetapi urung saat sebuah suara terdengar dari arah pintu gerbang. Seorang wanita dengan dandanan bak artis muncul dari sana. 

“Kebetulan Tante dateng! Gendis mau ngenalin calon mama Gendis.” Dengan wajah sumringah Gendis memeluk lengan Shabira. Sementara Shabira tampak kebingungan dengan apa yang terjadi. Tapi tunggu! Apa? Calon mama? Dia? Menoleh ke arah Lingga, Shabira sadar jika masalahnya dengan laki-laki ini tidak akan berakhir begitu saja malam ini. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro