Bab 9

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jayden duduk di sofa, menghadapi Summer dan Fifi yang berdiri salah tingkah di depannya. Keduanya menunduk, dengan tangan berusaha merapikan rambut yang berantakan. Ia sudah menyuruh Fino untuk masuk ke kamar, agar tidak mendengar percakapan mereka.

"Fifi, jelaskan apa yang terjadi?" tanyanya dengan suara tegas.

Fifi menggigit bibir, perasaan takut menjalarinya.

Summer menyahut cepat. "Pak, bisa nggak kalau saya yang jelasin. Fifi nggak salah."

Jayden mengangkat tangan. "Biarkan Fifi menjelaskan dulu."

Summer menunduk, ujung matanya melirik Fifi. Ia merasa kasihan pada gadis kecil itu. Sudah cukup menerima pembulian selama beberapa hari ini, masih harus menghadapi kemarahan sang papa.

"Mereka menghinaku, mengatakan aku nggak punya ma-mama." Suara Fifi bergetar.

"Lalu?"

"Awalnya aku diam saja, ta-tapi sedih, Pa. Me-mereka terus bilang itu, sampai se-seluruh kelas tahu. Trus ...." Tangisan Fifi pecah. Tersedu-sedu dengan bahu naik turun. Summer yang tidak tega, mendekat dan mengusap bahunya.

"Fifi, bilang sama papa kalau aku yang mengajarimu melawan. Ayo, bilang," ujar Summer.

Jayden bergeming menatap mereka, dan Fifi menggeleng. "Nggak, memang benar yang dikatakan Tante, aku ha-harus me-melawan. Kalau nggak aku akan takut te-terus."

Rasa bangga menyelusup masuk ke dalam hati Summer. Fifi anak tegar, yang kelak bisa melindungi adiknya. Diam-diam ia mencuri pandang pada Jayden yang menatap anaknya tak berkedip.

"Kakak, kamu lupa masih punya papa?"

Fifi menggeleng. "Nggak, Pa."

"Kenapa beberapa hari ini kita teleponan, kamu nggak cerita?"

"Nggak mau bikin Papa khawatir."

"Tapi, berantem. Kalau hari ini papa nggak pulang, bisa-bisa kalian berdua masuk penjara!" Jayden menghela napas panjang. "Sekarang, sudah tahu salah paling besar di mana, Kak?"

Fifi menghapus air mata dengan punggung tangan. "Nggak ngasih tahu Papa."

"Bukankah papa sering bilang, ada masalah harus ngasih tahu. Biar ada apa-apa, papa bisa nolong?"

"Maaf, Pa. Janji nggak diulangi."

"Janji buat jujur, Kak."

"Iya, Pa. Janji buat jujur."

Jayden membuka lengan dan tersenyum kecil. "Sini, peluk papa dulu. Baru kamu masuk untuk ganti baju dan makan."

Fifi masuk ke dalam pelukan papanya. Merasa bahagia punya papa yang pengertian. Ia mendekatkan mulut ke telinga sang papa dan berbisik. "Jangan marahi Mama Summer, Pa. Kasihan."

Jayden menjauhkan tubuh anaknya dan mengernyit. Namun, Fifi sudah berlari masuk, meninggalkan dirinya berdua dengan Summer. Ia menepuk sofa di sampingnya dan mengangguk.

"Duduklah, kalau kamu berdiri begitu, aku seperti boss lagi marahin anak buah."

Summer duduk dan sedikit mengernyit karena perih di wajah. Sepertinya kena cakar.

"Summer, penjelasanmu?"

"Pak, ini bukan salah Fifi. Memang saya yang minta dia buat melawan. Soalnya, saya lebih suka melihat dia marah, melampiaskan emosi, dari pada diam dan menangis. Saya merasa lebih mudah menghadapi situasi dalam keadaan marah daripada sedih. Rupanya, ide saya nggak cocok. Maaf."

Jayden menghela napas, mengulurkan tangan untuk mengangkat dagu Summer dan berdecak kecil. "Wajahmu penuh cakaran."

"Ah, nggak apa-apa, Pak. Saya puas, tadi saya tendang dia sampai jatuh, ups!" Summer menutup mulut dengan tangan. "Saya berdosa, maaf."

Jayden tersenyum, menurunkan dagu Summer lalu mengusap rambut perempuan itu. Tindakannya membuat bulu kuduk Summer berdiri dari ujung kaki sampai kepala.

"Terima kasih, Summer. Sudah membela anak-anakku."

Summer mengedip. "Pak Jayden nggak marah?"

Jayden menggeleng. "Aku kurang suka caramu, tapi aku berterima kasih dengan pengorbananmu. Mereka bukan keluarga atau kerabatmu, tapi kamu membela mereka berdua sepenuh hati. Kalau aku marah, bukankah aku seorang papa yang nggak punya hati?"

Summer menghela napas lega. Ternyata, Jayden tidak semarah dugaannya. Kalau dipikir lagi, memang dirinya yang terlalu emosian. Harusnya bisa bicara baik-baik dengan Fifi dan bukan malah menyuruh anak itu bertengkar. Namun, nasi sudah jadi bubur. Bukankah lebih baik memakannya daripada membuangnya?

"Pak, dulu saya pernah merasakan apa yang sekarang dialami Fifi. Papa pergi dan menikahi perempuan lain. Meninggalkan saya dan mama begitu saja tanpa nafkah. Mama saya banting tulang setiap hari untuk biaya hidup dan orang-orang dengan mudah mengatakan, kasihan jadi anak yatim. Nggak diinginkan sama papa sendiri. Awalnya saya hanya sedih lalu menangis. Belakangan saya memilih untuk melawan. Karena yang ada di pikiran saya hanya satu, bagaimana melindungi mama. Saya pikir, apa yang telah saya lakukan benar dan ternyata, tidak cocok untuk Fifi. Sekali lagi, maaf."

Jayden mengamati Summer tanpa kata. Ia bangkit dari sofa, menuju nakas kecil di samping meja dan mengambil kotak P3K, berpikir dengan geli rasanya Summer sering sekali terluka karena anak-anaknya.

Ia berjongkok, seperti yang pernah dilakukannya dulu, mengobati luka-luka Summer. "Kamu, anak yang baik, bisa melindungi mamamu. Kamu juga calon mama yang baik. Seandainya, anak-anakku bisa menjadi anak-anakmu, pasti mereka akan sangat bangga, punya mama yang begitu membela mereka."

Keduanya berpandangan dalam diam. Summer membiarkan Jayden membersihkan dan mengobati luka-lukanya. Ia mengamati, bagaimana laki-laki itu mengusap lembut, meniup dan menempelkan plester. Dari jarak dekat, bukankah Jayden terlihat sangat tampan? Mereka tidak bertemu hanya tiga hari, tapi ia merasa kalau Jayden makin menawan. Memukul sisi kepalanya, Summer berusaha menyadarkan diri untuk tetap berpikir waras.

Fino datang, membawa segelas es teh manis untuknya. Ia meneguk perlahan dan mengucapkan terima kasih. Anak itu, tanpa malu-malu menyelusup masuk dalam pelukannya. Membiarkan Summer mengusap dan membelai punggungnya. Summer tidak tahu, mulai kapan merasakan ini tapi rasa sayangnya pada anak-anak Jayden, makin bertambah setiap harinya.

Sebagai tanda terima kasih pada Summer, Jayden memutuskan untuk mengajaknya makan. Dua anaknya ikut tentu saja. Mereka memilih restoran yang menyajikan masakan khas China. Restoran berada di dalam mall lantai tiga yang cukup ramai pengunjung.

"Makan yang banyak, milih apa saja kesukaan kalian, papa yang traktir."

Dua dewasa dan dua anak-anak, apa yang diharapkan akan dipesan oleh mereka? Tentu saja, makanan yang bisa dinikmati bersama. Summer sendiri, mengalah. Tidak memesan masakan pedas demi Fino. Sebagai gantinya ia meminta tambahan sambal.

"Mamam yang banyak biar cepet gede." Menggunakan sumpit, Summer membantu Fino memisahkan duri ikan dan meletakkan di piring anak itu. "Enak, Sayang?"

Fino mengangguk. "Enak, Mama."

"Kamu juga makan." Jayden mengambil sepotong ayam dan meletakkan di piring Summer. "Makan yang banyak, biar ada energi untuk berantem lagi."

Summer melirik Jayden dengan malu-malu. "Pak, nyindir, ya?"

"Nggak, hanya ngasih saran. Kamu ini sensitif sekali."

Fifi meletakkan sumpit di meja dan menatap keduanya dengan serius. "Pa, aku mau ikut taekwondo."

Jayden menatap anaknya. "Yakin?"

"Iya, Pa."

"Susah, loh, Kak."

"Nggak apa-apa, asalkan bisa berantem."

"Eh, gimana?" Summer menatap Fifi heran. "Kamu mau berantem sama siapa?"

"Sama siapa saja yang ganggu keluarga kita. Langsung pukul, set-set-set, mati!"

"Kakak!" Jayden menegur Fifi. "Dari mana kamu dapat omongan begitu?"

Fifi menunduk, kembali mengambil sendok dan makan sup.

Summer berdehem, menatap Jayden sambil tersenyum. "Pak, Fifi hanya bercanda."

"Nggak, Fifi serius," celetuk Fifi.

"Kalau begitu kamu nggak boleh les beladiri."

"Oh, Papa mau Fifi tetap dibuli?"

Summer bangkit dari kursi, dan berucap keras pada Fino. "Sayang, sudah makannya? Ayo, jalan-jalan."

"Udah kenyang, Mama."

Jayden mengelap mulut, memanggil pelayan dan membayar tagihan. Mereka keluar dari restoran, menggunakan eskalator menuju lantai bawah.

Tiba di depan departemen store, Summer tertarik saat melihat baju anak laki-laki yang dipajang. Ia menatap Fino lalu bertanya pada Jayden.

"Pak, ini pasti bagus buat Fino."

Jayden mengangguk, mengeluarkan kartu dari dalam dompet dan menyerahkan pada Summer. "Boleh, sudah lama anak-anak nggak belanja. Bisakah minta bantuan kamu milih buat mereka berdua?"

Summer mendorong kartu. "Nanti saja bayarnya, kita milih dulu."

Jayden meraih tangan Summer dan meletakkan kartu di telapak tangan. "Aku mau ke toilet. Nanti ke sini lagi. Kalian belanja yang tenang."

Summer menatap punggung Jayden yang menjauh. Mengalihkan pandangan pada Fino dan Fifi.

"Ayo, belanja."

Pertama membeli dua stel pakaian untuk Fino, berikut sepatu, dan tas baru. Lalu dilanjut untuk Fifi. Ia bertanya pada gadis kecil itu, ingin pakaian seperti apa dan jawaban Fifi membuatnya sakit kepala.

"Terserah, yang penting cantik."

Summer memilih mini dress ungu, jumpsuit biru dengan kaos, serta sepasang sepatu cantik warna coklat. Fifi menyukai semuanya dan menerima tanpa bantahan. Saat tiba di pakaian untuk perempuan dewasa, Summer dibuat terpukau pada gaun panjang merah tanpa lengan yang indah. Gaun itu berbahan halus dan lentur yang membuat Summer mendesah penuh damba.

"Ayo, dicoba." Fifi menyuruhnya.

Summer menggigit bibir. "Takut mahal."

"Coba dulu, Kakak. Pasti cocok."

Pramuniaga perempuan datang, menyapa dengan sopan serta senyum di wajah. Summer menatapnya lalu mengangguk. "Baiklah, aku coba."

Ia masuk ke ruang ganti dengan gaun di tangan. Sedikit kesulitan membuka pakaian, dan saat memakai gaun baru, ia tertegun. Gaun itu seperti dibuat khusus untuknya. Melekat pas di tubuh dan membuatnya terlihat langsing. Dengan warna rambutnya yang sekarang, gaun itu benar-benar cocok.

Saat keluar dari ruang ganti, bukan hanya Fifi dan Fino yang ada di sana, melainkan Jayden juga. Mereka menatapnya tertegun saat ia bertanya.

"Bagaimana?"

"Mama, cantik!" Fino mengacungkan jempol.

"Terima kasih, Sayang." Summer menatap Fifi. "Bagaimana, Fifi?"

Fifi mengangguk dengan dua jempol. "Cantik."

Mata Summer menemukan Jayden dan ia tersenyum.

Jayden berdehem. "Bungkus!"

Summer kembali ke ruang ganti, saat ia keluar semua pakaian yang dibeli termasuk gaun baru, sudah dibawa seorang pramuniaga ke kasir, diikuti oleh Jayden. Summer sedang merapikan rambutnya di kaca ruang ganti saat terdengar sapaan lembut.

"Kak, bisa minta tolong?"

Seorang pemuda dengan topi hitam tersenyum padanya.

"Iya?"

"Ehm, minta tolong pilihkan, kaos yang cocok untukku yang mana?" Pemuda itu menenteng dua kaos, hitam dan putih.

Summer melongo. "Kenapa aku yang milih?"

"Soalnya Kakak punya pandangan bagus soal pakaian. Gaun merah tadi, luar biasa cantik."

"Ah, begitu." Summer menatap kaos di tangan pemuda itu lalu menunjuk hitam. "Ini. Bagus modelnya."

"Ternyata, selera kita sama."

Tidak jauh dari mereka, Fifi bersedekap sambil menyipit. Menatap tidak suka pada pemuda yang sedang mengajak Summer bicara. Ia menatap Fino yang sedang memilih mainan, lalu berbisik.

"Adik, kita ke sana. Lihat, mamamu diambil orang."

Fino mengalihkan pandangan dari mobil-mobilan ke arah Summer. Fifi menggandengnya, mendekati Summer. "Panggil Mamamu, Dik."

Fino menurut. "Mamaaa!"

"Kalian dari mana?" Summer menggendong Fino, tidak memperhatikan pemuda di depanya yang terperangah.

"Mama?" gumam pemuda itu. "Bukan keponakan atau adik?"

Summer tersenyum. "Bukan."

Fifi menyela cepat. "Mama, ditunggu papa di kasir!"

Summer mengangguk, dengan Fino dalam gendongan menuju kasir. Fifi bersedekap, menyipit ke arah pemuda yang menatap kepergian Summer dengan binar mata mendamba.

"Ehm!"

Pemuda itu mengalihkan pandangan pada Fifi. "Adik kecil, ada apa?"

"Jangan ganggu mamaku!" ucapnya sengit, meninggalkan pemuda tak dikenal dengan kepala terangkat. Merasa tugasnya menjaga apa yang seharusnya dijaga, berjalan dengan baik.

Summer tak hentinya berterima kasih saat Jayden membayar gaun itu untuknya. Malam itu mereka pulang dengan hati puas dan perut kenyang.

Makin hari hubungan Summer dengan Fifi makin membaik. Gadis kecil itu kini ikut memanggilnya 'mama' dan membuatnya merintih dalam hati.

"Fifi, ini tante."

"Iya, Mama."

"Kenapa kamu jadi ikut-ikutan Fino? Panggil tante."

"Nggak mau, wew, Mama."

"Fifii, aku masih terlalu muda untuk jadi mama kamu."

"Bodo amat! Mama, ya, Mama."

Summer merasa kepalanya sakit. Bagaimana mungkin ia punya anak dua tanpa menikah. Fifi dan Fino adalah anak Jayden, yang kini memanggilnya mama. Lantas, bagaimana hubungannya dengan papa mereka? Hubungannya dengan Jayden, tidak lebih dari teman atau sahabat. Mereka akrab, saling berbagi cerita, tapi tidak lebih dari itu. Sesekali Jayden menggodanya tentang hubungan laki-laki dan perempuan. Sering kali iseng membahas pernikahan tapi sama sekali tidak pernah mengucapkan cinta. Summer tahu diri untuk tidak berharap banyak.

Lagi pula, kalau Jayden menyatakan perasaan, ia sendiri akan bingung menjawabnya. Bagaimana tidak, ia menyukai laki-laki itu, menyayangi anak-anaknya, tapi tidak siap terikat dalam pernikahan. Sedangkan kalau ingin bersama dengan mereka, mau tidak mau harus menikah. Summer belum berpikir sejauh itu.

Mereka mendapatkan babysitter baru, seorang gadis umur 18 tahun yang baru lulus sekolah. Gadis itu berasal dari kota kecil dan datang bekerja karena orang tuanya sakit. Saat melihat pertama kali gadis bernama Wiwin itu, ia yakin kalau Fino akan nyaman bersamanya. Ternyata, dugaannya tidak salah. Tindak tanduk dan tutur kata Wiwin yang lembut dan sabar, mampu membuat Fino menyukainya. Summer pun begitu.

"Tumben milih baby sitter-nya baik, dapat dari mana, Pak?"

"Rexi, sepertinya ada karyawan di kantor yang menawarkan. Katanya, ada saudara yang membutuhkan pekerjaan. Jadi apa saja mau."

"Anak-anak menyukainya."

"Memang, aku sudah bilang sama Wiwin. Dia nggak perlu mengajari anak-anak mata pelajaran apa pun. Cukup menjaga dengan baik, terutama Fino. Memperhatikan soal makan, minum, dan tidurnya. Itu sudah cukup."

"Benar. Fifi les di luar. Fino, biar saja main-main dulu. Tapi, anak itu renang dan olah raganya pintar. Naik sepeda aja ngebut."

Jayden menoleh cepat. "Fino bisa sepeda?"

"Eh, saya belum ngasih tahu Pak Jayden, ya?"

Jayden menggeleng, Summer tersenyum simpul.

"Saya yang membawanya ke arena dekat sini. Awalnya hanya main di taman lalu beberapa anak datang naik sepeda, Fino coba-coba dan akhirnya suka. Dia minta sepeda tapi belum saya belikan. Nunggu tanya papanya dulu."

"Menurutmu, apa sepeda bermanfaat untuk Fino?"

"Jelaas, selain sehat juga bisa membantunya melatih keseimbangan."

"Baiklah, tolong kamu carikan sepedanya."

"Saya akan cari linknya di online shop, Pak Jayden yang bayar."

"Summer, akan lebih mudah kalau kamu memegang kartu kredit, jadi anak-anak mau apa, kamu tinggal beli."

"Pak Jayden, saya nggak mau memegang sesuatu yang bukan hak saya."

Jayden menatap Summer yang sedang makan buah dengan tajam. Mereka duduk di teras samping yang sepi. Jam sembilan malam, anak-anak sudah ada di kamar masing-masing. Sudah beberapa waktu ini, Summer punya rutinitas tetap. Datang ke rumah Jayden untuk makan malam setiap habis kerja. Sehari saja tidak datang, Fino atau Fifi akan mencarinya.

"Summer, kamu tahu anak-anakku memanggilmu apa?"

Summer mengangguk. "Iya, Pak."

"Apa?"

"Mama."

"Nah, kamu seorang mama. Sudah semestinya memegang credit card papa."

Summer tetap menggeleng. "Nggak, Pak. Tetap simpan di Anda saja. Saya takut khilaf."

Percuma Jayden memaksa, karena Summer tetap saja menolak apa pun yang ditawarkan. Perempuan itu, sama sekali tidak mengharapkan hadiah apa pun darinya. Satu-satunya pemberian yang diterima adalah gaun merah, yang menurutnya harganya terlalu murah untuk dipakai Summer. Jayden mencatat dalam hati, akan meluangkan waktu dan membawa Summer ke butik suatu hari.

"Kapan kamu libur kerja?"

"Kenapa, Pak?"

"Oh, cari hari baik untuk pernikahan kita."

"Ish, bercanda terus, Pak. Nanti kalau orang-orang dengar salah paham loh."

Jayden menarik kursi rotan yang diduduki Summer, memutarnya dan membuat mereka duduk dekat sambil berhadapan. Mengabaikan wajah Summer yang kaget dengan wadah buah potong di pangkuan, ia berucap lembut.

"Memangnya kenapa kalau orang-orang salah dengar?"

Summer menghela napas panjang. Jarak mereka yang begitu dekat, membuatnya salah tingkah. Kaki Jayden berada di samping kursinya dan mengurung tubuhnya. Jantungnya bertalu-talu dengan hati berdebar, saat mata Jayden memandangnya tajam dan intens. Ia punya pikiran konyol, seolah-olah dirinya seekor kelinci yang sedang diincar serigala. Benar-benar menggelikan.

"Pak, ada apa ini?"

"Hanya ingin memastikan, Summer. Memangnya kenapa kamu peduli dengan pandangan orang-orang?" Jayden mengusap punggung tangannya dan membuat sekujur tubuhnya menegang. Hangat napas laki-laki itu menerpa wajah, dengan jarak yang begitu dekat, ia bahkan bisa melihat ada tahi lalat kecil di ujung mulut Jayden.

Angin sepoi-sepoi menerbangkan serbuk bunga. Menebar wewangian di udara. Keheningan yang tercipta di antara mereka, membuat napas keduanya yang berat terdengar amat jelas. Pandangan Jayden turun, dari mata ke bibir Summer. Ia tidak dapat menahan geli saat melihat perempuan di depannya, menggigit bibir bawah tanpa henti. Ia tahu, Summer gugup menghadapinya. Bukannya itu bagus? Bagaimana kalau ia mendekatkan wajah dan mengecup bibir itu? Apa Summer akan memukulnya? Jayden tertawa dalam hati karena keinginan gilanya.

Summer mengedip, menolak untuk memalingkan wajah. Namun, bola mata Jayden yang hitam kecoklatan membiusnya. Pesona laki-laki di depannya memang tidak diragukan lagi, bahkan jantungnya pun dibuat bertalu-talu dan wajah terasa panas.

"Summer, kenapa diam?"

Summer meneguk ludah. "Ka-karena, Anda—"

"Duda?"

Summer menggeleng keras. Ia bingung sekarang, bagaimana menjelaskan perasaannya.

"Bu-bukan begitu?"

"Kamu dekat sama seseorang?"

Summer menggeleng lagi. "Ti-tidak, hanya naksir, iya."

Jayden mengangguk. "Oh, kamu lagi naksir cowok. Makanya nggak mau dekat aku karena takut salah paham?"

Makin bingung Summer dibuatnya. "Bukan begitu, Pak. Saya hanya sekadar suka dengan Gandhi."

"Namanya Gandhi. Tinggal di mana dia?"

"Nggak tahu."

"Kalian kenal di mana?"

"Begitu rupanya. Gandhi nggak tahu kamu naksir dia, Summer?"

"Sepertinya, nggak."

"Kamu naksir aja atau naksir berat?"

Summer tercengang sekarang. "Pak, ke-kenapa kita bahas itu?"

"Kalian sudah pernah kencan?"

"Belum."

"Dia nggak pernah mengajakmu?"

"Nggak pernah."

"Bagus, kalau begitu dia pemuda yang tolol. Tidak mengerti kalau ada perempuan baik hati menyukainya."

Summer menghela napas panjang lalu mendesah keras. "Pak, saya merasa seperti ABG sedang diinterograsi."

Jayden tersenyum. "Harus itu, biar anak-anakku tahu, seperti apa mama mereka. Lagi pula, kamu nggak perlu malu. Kita berbagi anak yang sama."

Summer mengerang dalam hati. Sulit sekali menghadapi Jayden yang seolah-olah bisa membaca pikirannya.

"Maksudnya bagaimana, Paak?"

Jari Jayden terulur, mengusap lembut pipi Summer dengan telunjuk. "Suatu saat, kamu akan mengerti, Summer. Aku akan menunggu dengan sabar, sampai kamu tahu arti kata berbagi anak yang sama."

Malam itu, Jayden meninggalkan Summer dengan segudang teka-teki di pikiran. Tidak ada kejelasan apakah laki-laki itu menyukainya atau tidak, dan Summer pun bingung dengan pikirannya sendiri. Meski begitu, hubungan keduanya tetap baik. Jayden memperlakukannya tidak beda dengan hari-hari lain. Begitu pula anak-anak.

Suatu malam, terjadi kehebohan yang membuat semua orang terperangah. Selesai makan malam, Yanti mengabari kalau ada tamu datang berkunjung.

Jayden ke ruang tamu dan mendapati seorang perempuan amat cantik dengan rambut hitam lurus sebahu menyapanya. Summer dan anak-anak mengekor di belakangnya.

"Halo, Jay. Long time no see."

"Sandriana?"

Perempuan itu menghampiri Jayden, memeluk lembut dan mengecup pipi laki-laki itu.

"Senang bertemu denganmu lagi."

Bukan hanya Jayden yang menegang, Summer yang melihat adegan itu pun dibuat kaget. Siapa perempuan cantik itu dan apa hubungannya dengan Jayden? Kenapa mereka terlihat dekat satu sama lain?

**

Fifi: Mama Summer adalah mama kami, nggak ada yang boleh dekat dia! (Menggeram marah pada pemuda yang mendekati Summer di mall)

Fino: Mama, Fino mau sepeda!

Summer: Siapa perempuan itu? Kenapa mereka bisa kecup-kecup pipi dengan santai, apa jangan-jangan? (Penulis: Summer mulai OVT)

Jayden: Summer naksir cowok. Aku ingin tahu, seberapa hebat cowok itu!

Pemuda di mall sibuk bikin video di Tik Tok: Hari ini aku ketemu perempuan cantiiik sekali, Gaes. Aku berusaha mengajak dia kenalan, beruntung dia mau. Tapi, ternyata, semuda itu sudah punya anak dua. Mana anak perempuannya galak dan posesif. Aku patah hati, Gaes. (Memasang video dengan latar foto Summer bergaun merah yang diambil diam-diam, dan menerima banyak ucapan simpati atas kegagalannya berkenalan)

di tempat kerja, atau dia kerja?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro