Bagi 5 · Pencarian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

__________

"Baru tau apaan, El?" suara Kevin jelas terdengar.

"Baru tau kalo ukuran beha Amel naik satu cup," ceplos Eliot asal, membuat wajah Kevin bersemu merah sementara Amel reflek memeluk silang lengannya erat-erat, menutupi dadanya.

"Udah, biarin aja si Eliot. Gimana, Kev? Dapet sesuatu?" Amel berusaha mengeluarkan nada senormal mungkin, ia bertanya dengan mengalihkan pandangannya kemana sajaasal bukan wajah Kevin.

"Eh iya, ini..." Kevin menyodorkan kedua lengannya, dimana Eliot merogoh kotakan pizza dengan semangat, sementara Amel mengambil kertas tadi dan melihat isinya. Dua belas digit nomor telepon asing tertera disitu.

"Ini... jangan bilang, kalo nomor ini..." Amel tak sanggup melanjutkan kalimatnya, matanya membundar takjub sambil melihat langsung kearah Kevin. Keputusan yang salah, sebab wajah Kevin yang masih bersemu merah menatap balik Karamel di detik yang sama.

"Erm, iya, bener. Nomor itu terdaftar atas nama Kavion Krisnanto." Kevin menjawab sambil melayangkan pandang, tak mengindahkan Eliot yang mulai meng-unboxing makanan bawaan Kevin tadi.

"Kok... gimana? Kobisa? Kevin, lo... lo beneran mirip detektif!" Amel tak bisa menahan tubuhnya untuk tidak melunjak-lunjak kegirangan.

"Hahaha, magician never reveal their secrets. Tapi yang jelas, karena nomor KTP dan anggota keluarga di KK biasanya berurutan, masih ada korelasinya sama KTP kamu dan bisa dilacak." Kevin menjelaskan singkat sambil mengedipkan sebelah mata. Amel merasa jantungnya meletup detik itu juga, membuatnya menelan oksigen banyak-banyak.

"Makasih banget ya, Kevin..." ucap Amel pada akhirnya.

"Sama-sama. Coba hubungin dong." Kevin menunjuk carikan kertas itu, disambut dengan anggukan yakin oleh Amel seraya gadis itu memungut ponselnya.

Satu menit dihabiskan gadis itu mengutak-atik gadget layar sentuh tersebut, meninggalkan Eliot yang sibuk mengunyah pizza dan Kevin yang tak henti meneliti gerak-gerik Amel dengan perhatian penuh.

"Kedip bo', kedip... mlototin aja terus, kering tuh mata lama-lama," komentar Eliot pada udara kosong, entah ditujukan pada siapa. 

Amel melirik sekilas dari atas layar datar, hanya untuk kembali menekuri kegiatannya yang terputus tadi. Beberapa detik berlalu, hingga akhirnya,

"Ah! Ada WA-nya nih, aktif. Waahh... beneran, ini Mas Vion!" gadis itu memekik kegirangan sambil menunjukkan layar ponselnya. Disana, terpampang foto profil pemuda berkacamata yang sedari tadi mereka telusuri keberadaannya seantero search engine.

"Telepon dong, cus!" Eliot menyemangati disela-sela kunyahannya, sementara Kevin memberikan anggukan setuju. Karamel tersenyum lebar sebelum menekan tombol dial di ponselnya.

Tuuutt...

Dering pertama, begitu mendebarkan. Amel menelan ludah dengan susah payah ketika tulisan dibawah nama kotak Vion berganti, dari 'calling' menjadi 'ringing'

Tuutt... tuuuttt...

Dering demi dering terus berlalu, panggilan itu terus berdering tanpa ada jawaban. Akhirnya, sambungan itu terputus tanpa respon di sisi lain. Amel menghela napas, setengah lega dan kecewa, untuk kemudian mencoba menekan tombol yang sama, dial.

Dering demi dering kembali berkumandang, panggilan kedua itu terus berdering. Amel sudah hampir menyerah ketika tiba-tiba terdengar jawaban,

"Halo?" Huara yang begitu familiar menyembul dari ponselnya.

"H-HALO?! Mas... Mas Vion??" Amel tak dapat menahan pekikan suaranya,

"Hah? Siapa... Amel? Ini kamu?" suara Vion timbul tenggelam diantara hiruk-pikuk kegaduhan disekitarnya. Amel bisa mendengar suara denting dan desisan, diikuti sesekali teriakan suara-suara asing berbunyikan 'ya, chef'.

"Mas? Mas lagi dimana? Iya, ini Amel. Mas, ayo pulang, Amel harus bawa Mas Vion pulang..."

"Apa? Pulang? Mel, kalo kamu ngehubungin Mas cuma buat ngomongin itu, mending kamu hapus nomor Mas dari kontak kamu." Suara Vion tegas menembus telinga Amel, membuat gadis itu mengerutkan kening ditabur kekecewaan.

"Mas kok ngomong gitu sih? Amel kangen Mas, pengen ketemu. Apa Mas Vion nggak bisa pulang, bentaarr aja?" Gadis itu terus memohon sementara suara di seberang sana terus timbul tenggelam. Disela-sela kegaduhan tersebut, Amel bisa menangkap samar potongan kalimat 'Vion, jangan terima telefon disaat rush hour!', yang disambut dengan 'maaf, chef' familiar oleh suara Vion. 

"Sudah, Mel. Jawaban Mas tetap tidak, dan selamanya akan tidak. Udah, kamu jangan hubungi Mas lagi!" —klik

Sambungan itu terputus, Amel menurunkan ponsel dari sisi wajahnya dengan ekspresi kuyu. Eliot menganga dengan potongan pizza tak terkunyah, sementara Kevin memandangi sosok gadis itu dengan pandangan prihatin. Perlahan, pemuda itu mengulurkan tangannya dan menggosok satu lengan Amel, menepuk-nepuk beberapa kali seiring gadis itu mulai terisak tanpa bisa ditahan.

Air mata mulai meleleh di pipi Karamel, gadis itu menggigit bibirnya yang bergetar sementara Kevin dengan sigap memotong jarak diantara mereka, sedikit ragu merangkulkan lengannya di sepanjang bahu Amel, memberikan jeda sedetik berupa kesempatan bagi gadis itu untuk menolak gesturnya. Amel terpaku diam. 

Kevin perlahan melanjutkan pelukannya, membiarkan Amel menenggelamkan wajah di bahunya untuk kemudian menangis tersedu-sedu. Dari sisi lain ruangan, Eliot menontoni drama ini sambil lanjut mengunyah potongan pizza.

___

"Percuma kalo dari hubungan telepon aja udah ditolak, Mel. Lo harus cari cara lain." Eliot menelan kunyahan terakhir pizzanya sambil membuka laptop dan mulai mengetikkan sesuatu.

"Jadi... menurut lo kita kudu gimana lagi... Yot?" Amel menjawab disela isakannya yang mulai reda, dibantu dengan segelas teh hangat yang diberikan oleh Kevin.

"Siniin nomornya," perintah Eliot yang dituruti oleh Amel, menyerahkan carikan kertas berisi nomor ponsel Vion tadi.

"Lo bisa ngelacak lokasi langsung dari nomor hape, El? Canggih bener, gue aja boro-boro." Kevin berkomentar disela perhatiannya pada Amel, yang langsung disadari gadis itu bahwa... Kevin hanya ber-aku-kamu pada dirinya seorang.

"Yeuu, kaga secanggih itu juga ai mah. Cuma ini ada cara lain, getcontacts. Kita bisa lihat nomor ini disimpan sebagai nama apa di kontak orang-orang, dan biasanya, nama kontak itu sepaket ama identitas, tempat kerja, ato apalah..." Eliot lanjut mengetikkan beberapa tuts keyboard sambil menjelaskan, sebelum kemudian,

"Aha! Liat nih, Mel. Ada yang familiar nggak?" Eliot menunjukkan layar laptopnya kearah Amel, membuat gadis itu mengeja nama-nama yang tertera di layar,

"Vion, Vion Koki, Vion K, Vion Pasta... Vion Celes? Ini apa lagi, Vion CH?" Amel mengangkat pandang yang disambut senyum kemenangan di wajah Eliot.

"Ini clue, Mel. Koki, pasta, celes, ini semua pasti nyambung. Coba, dari telepon tadi, lo ada nangkep sesuatu ngga?" Eliot menelusuri nama-nama tersebut dengan teliti. Amel memiringkan kepala, mencoba menyatukan kembali petunjuk-petunjuk tadi.

"Kayaknya... Mas Vion kerja di dapur, deh. Jadi koki pasta, soalnya tadi gue sempet denger ada yang teriak-teriak 'chef, chef' gitu." Adik bungsu buronan itu mulai menyimpulkan.

"Nah! Oke, kalo gitu sekarang masalahnya dimana? Kita punya apa.. Celes? CH? Apaan tuh, resto, warteg, bistro?" Eliot memiringkan bibir tanda berpikir, mendadak menarik kembali laptopnya untuk mengakses search engine.

"Gue nggak yakin kalo tempat kerja gituan ngupload database pegawainya di internet, El." Kevin bersuara setelah meneliti gerak-gerik Eliot.

"No need, karena cukup dengan nama, kita bisa nelusuri apa aja di dunia maya. Nih, liat." Eliot tersenyum bangga menunjukkan kurasi nama-nama tempat yang berhasil ia telusuri. Eliot dengan mudah mengetikkan keyword 'celes h' yang langsung dikoreksi oleh mesin pencari menjadi 'did you mean : Celestial Hotel' . 

"Kok hasilnya bisa se-spesifik itu, El? Jangan sembarangan loh." Kevin bertanya sambil memperhatikan layar tersebut, yang dibalas dengan decakkan gemas oleh Eliot.

"Bebski, jangan curigaan gitu dong ah! Liat nih, ada tab kecil diatas hasil search-nya. Itu filter bar yang gue kembangin sendiri. Gue taroh filter tempat-tempat dengan nama 'celes' yang ada resto dan menu pasta-nya, dan tada~ Crut, keluar deh..." Eliot menjawab dengan gestur nakal yang berbuahkan tatapan menusuk sekaligus kagum oleh Amel. Kevin berdecak heran sambil masih memperhatikan layar laptop.

"Coba liat, Yot, itu dimana tempatnya?" Amel bekata penuh harap, masih memperhatikan dengan mata sembab dan jejak air lakrima kering di pipinya.

"Oke, bentar ya..." Eliot kembali mengutak-atik laptopnya. "Ketemu! Dan lokasinya... 789 kilometer ke arah timur dari tempat kita sekarang, 9 jam perjalanan naik mobil, 18 jam naik motor, dan 6 hari jalan kaki. Tapi tenang, ada rute udara juga, cuma 30 menit dari Soetta ke Juanda."

"Jadi lokasinya di Jawa Timur, El?" simpul Kevin instan.

"Yap." Eliot menjawab tak kalah instan.

"Kirimin alamatnya ke gue, Yot. Sekarang," perintah Amel sambil mengemasi barang-barangnya.

"Lo mau kemana, Mel? Cabut lo?" Eliot bertanya sambil meng-klik sesuatu pada mouse-nya, mengirim alamat Celestial Hotel sesuai permintaan Amel.

"Sekarang udah mau jam sembilan, gue harus pulang." Amel berkata sambil mulai memasang sepatu.

"Aku anter, Kar." Kevin buru-buru bangkit untuk mencari kunci mobil.

"Eh, nggak usah Kev. Gue balik sama Eliot aja," tolak Amel buru-buru.

"Dih, ngadi-ngadi! Gue masih mau disini yeu, donlot-donlot. Kapan lagi coba ada internet ngebut kek sekarang." Eliot juga menolak mentah-mentah kalimat Amel, membuat gadis itu mendesah pasrah sementara Kevin telah kembali dengan melambaikan kunci mobilnya,

"Yuk?" ajak cowok itu.

___

Kevin mengemudi dengan pandangan lurus terarah menuju jalan raya. Profil wajahnya yang menawan tampak semakin mencengangkan dari samping, beralaskan kaca jendela yang disinari lampu-lampu pinggir jalan.

Amel melirik sekilas sambil kembali duduk kaku. Pernyataan Eliot tentang fakta bahwa sebenarnya Kevin tertarik pada dirinya tadi tak membuat posisi berduaan dengan cowok itu menjadi mudah bagi debaran jantung Amel. 

"Gugup? Excited?" suara Kevin memecah keheningan.

Amel terkesiap sedetik sebelum tergagap,
"Ha? Hm? Apa?"

"Kamu baru aja ngobrol sama abangmu yang udah lama hilang. Gimana rasanya?" Kevin mendenguskan senyum melihat respon gadis yang duduk di sampingnya.

"Erm... ya, itu. Gugup campur excited sih. Sedih juga tadi, ditolak," jawab Amel seraya tanpa sadar memilin-milin jemari tangannya.

"Tenang aja, Kar. Darah lebih kental dari pada air. Gimanapun dia tetap keluarga kamu, dan keluarga pasti balik sama-sama lagi."

"Gitu, ya?"

"Iya."

Sunyi kembali membendungi seisi mobil itu. Amel berdeham lirih sambil mulai merasakan perutnya bergejolak.

"Kev, boleh tanya sesuatu?"

"Hm?"

Amel mulai menata pikirannya untuk mulai meluruskan kusut yang menyangkut di benaknya.

"Papa kamu... kayaknya tadi familiar sama nama aku. Kamu ada cerita apa aja?" Kalimat itu meluncur dari bibir Amel, tak tersaring akan panggilan aku-kamu yang sudah mencair entah sejak kapan di lidahnya.

"Ohh... cerita, hmm... apa ya." Kevin mengulur sambil mencoba mengingat-ingat. "Cerita kalo... ada cewek yang diem-diem nyelundup ke kelas Pengantar Dasar-dasar Pancasila di awal semester ini. Anaknya lucu, pinter, tapi nggak kuliah di kampus kita. Karena aku nggak tega bikin dia kena masalah, akhirnya aku ngecover penyamaran dia dengan cara masukin si cewek itu ke kelompokku waktu ituah, sama Eliot juga ya kalo nggak salah? Haha. Akhirnya kita presentasi sama-sama dong, dia pake nama samaran anak yang nggak pernah masuk kuliah dari hari pertama. Siapa deh, itu..."

"Eka Rizky, namanya. Nggak tau itu cewek apa cowok, kita pake aja ya. Hahahaha." Amel tanpa sadar melanjutkan kalimat Kevin, membuat cowok itu ikut tertawa perlahan.

"Hahaha, hmm... iya. Seru banget. Itu jadi kelas favorit sepanjang aku kuliah. Tapi sedih sih, ada satu hal yang disayangkan," lanjut Kevin.

"Kenapa?" 

"Cewek itu nggak satu jurusan sama aku. Dia bahkan bukan mahasiswa resmi UI, haha. Ah, ya itu aja sih sayangnya. Coba aja kita satu jurusan beneran, bisa sekelas terus, kita bakal KRSan bareng, belajar buat UTS bareng, skripsian bareng juga." Kata-kata Kevin mulai melambung tinggi seiring mobilnya mulai berkelok kearah gerbang masuk perumahan Amel.

"Kevin, aku... Mau minta maaf," ujar Amel tiba-tiba.

"Hm? Minta maaf kenapa?"

"Karena udah ngira kamu homo, soalnya nempel sama Eliot terus," Amel menundukkan kepalanya,

"Hah?" Kevin terkejut seketika.

"Iya. Maaf, ya. Tadinya aku nggak tau," suara Amel semakin lirih sementara ban mobil berputar semakin pelan. Jarak antara mereka dan kediaman Amel mulai dekat.

"Tadinya?" Kevin memiringkan kepala.

"Iya, tadinya. Tapi sekarang udah tau," ucap Amel.

"Tau apa?" tanya Kevin, tak mengerti.

"Tentang siapa yang sebenernya kamu taksir," jawab Amel.

"Oh ya?" Kevin membelalakkan matanya seiring mobil berhenti sempurna di depan pekarangan rumah keluarga Krisna—rumah Amel.

"Yap," Amel mengangguk yakin.

"Jadi?" pancing Kevin.

"Jadi... kamu tutup mata dulu coba, bentar." Amel menghadap cowok itu sambil menatapnya sungguh-sungguh. Kevin balas menatap netra Amel sambil perlahan mulai menutup matanya.

Karamel Krisnanda tak pernah merasa seberdebar ini sepanjang hidupnya. Wajah Kevin Tjahyadewa yang terpejam tampak begitu damai, membuat Amel berpikir lancang, beginikah wajahnya ketika dia sedang tidur?

Perlahan, Amel mencondongkan wajahnya dan ikut memejamkan mata. Detik berikutnya, sebuah kecupan singkat mendarat di pipi Kevin.

Cowok itu membuka mata saat merasakan napas Amel telah menjauh dari wajahnya. Rona muka merah menghiasi dua sejoli ini, membuat mereka saling berbagi senyum penuh sipu.

"Bye, Kevin. Sampai ketemu di kampus ya," pamit Amel sambil membuka pintu mobil, meninggalkan Kevin yang terdiam memegangi pipinya yang panas.

___

Pintu rumah keluarga Krisna terbuka, menampilkan putri bungsu yang baru saja tiba di rumah mereka.

"Amel? Sudah pulang kamu?" Suara Ayah samar-samar terdengar dari ruang TV.

"Dari mana saja kamu, Mel? Kenapa baru pulang? Tadi diantar siapa?" Sambutan Bunda merentet tak putus.

"Bun, Yah..." Amel memandang yakin kearah Bunda dan Ayahnya yang baru saja tiba dari ruang sebelah, sementara gadis itu menarik napas mengumpulkan nyali,

"... ayo kita ke Surabaya."

__________


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro