Bagi 7 · Keputusan // END

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


BANDAR UDARA Juanda, 21.29 WIB.

Langit malam menaungi gundah wajah seorang Karamel. Pandangannya tertekuk, fokus menuju roda mungil kopor yang diseret oleh Ayahnya. Ia melangkah pelan dibelakang, dengan hati kecil yang tak henti memberontak sejak mereka berkendara dalam taksi 15 menit yang lalu.

Beberapa langkah menuju gerbang bertuliskan 'Domestic Departures', Amel membulatkan niatnya. Tidak. Perjalanan hari ini tak boleh berakhir sia-sia.

"Ayah, Bunda, kita nggak bisa pergi sekarang." 

Dua orang yang terpanggil itu berhenti, berbalik sejenak untuk memandangi putri bungsu mereka yang berdiri tegak. Tatapan matanya tajam, kukuh, penuh tekad.

"Mel, apa kamu lupa persetujuan kita kemarin, nak? Kalau Mas Vion menolak, ya sudah, artinya..."

"Nggak!" Amel memotong kalimat Bundanya, "Kita nggak bisa nyerah gini aja, Bun. Udah sejauh ini kita ngejar Mas Vion, pasti ada cara lain—"

"KARAMEL!" bentak sang Ayah, "Apa kamu tidak paham dengan kata-kata Masmu tadi, hah? Dia sudah membuat keputusan! Itu hak asasi dia untuk menentukan dimana dia mau bertempat di bumi ini! Dia bahkan ingin memisahkan Kartu Kependudukan agar tidak menjadi satu dengan keluarga kita lagi! Sudah, kamu menurut saja mulai sekarang. Tidak ada kompromi lagi. Ayo!" Kalimat itu lantang dan tegas, membuat beberapa orang di sekitar mereka menoleh sekilas. 

Air telah siap merembes di ekor mata Amel. Hatinya remuk. Sudah puluhan, tidak, ratusan—bahkan ribuan kali Ayah menaikkan beberapa oktaf nada suara untuk mendikte hidup Amel. Kali ini, konsekuensinya akan fatal. Beberapa langkah memasuki gerbang bandara itu, hidup Amel tak akan sama lagi. Sepeninggal mereka dari tempat ini, Amel akan kehilangan seorang kakak. Selamanya.

"Amel nggak mau kehilangan Mas Vion!" jerit gadis itu sambil membalikkan badan, berlari sekencang-kencangnya.

"AMEL!" sang Ayah bersiap lari menyusul, hanya untuk ditahan oleh Bunda yang reflek mencengkeram lengannya.

"Sudah, Yah, biarkan saja. Feeling bunda mengatakan untuk membiarkan dia, kali ini saja.."

"Tapi, Bun.."

"Nggak apa, Yah. Ada Kavion di sini, pasti bisa menjaga adiknya. Biarkan mereka bertemu, anggap saja untuk berpamitan terakhir kalinya."

Pandangan teduh yang ditujukan istrinya sukses membuat Tuan Krisna mendesah pasrah. Setengah tak rela, ia menuruti perkataan sang Bunda.

___

SUASANA dapur Celestial Hotel yang sudah memasuki closing hour tak lagi segaduh dan sesibuk beberapa jam lalu. Beberapa staf ada yang membersihkan station mereka, mencuci peralatan masak, dan ada pula yang asyik mengobrol.

Kavion Krisnanto sedang menyicipi kaldu untuk stok esok hari, saat mendadak pintu dapur terbuka dan menampakkan sesosok pria berseragam security berdiri di sana.

"Ada apa, Mang Ujang?" Chef Raka langsung menyambut security tadi dengan satu pertanyaan.

"Ini, Aa' Chep, ada yang nyari Kang Pion. Perempuan, itu, lagi nungguin..." pria yang dipanggil Mang Ujang tadi menjawab sambil memandang kearah Vion. Koki pasta itu balas menatap dan mengedikkan kedua bahu.

"Begitu? Ya sudah, temui saja, Vion. Kita juga sudah closing kan," putus Chef Raka ringan.

"Tapi, ini kaldunya kan belum fix, Chef..." Vion memandangi pot raksasa di hadapannya.

"Nggak pa-pa, biar saya yang lanjutkan."

"Yaudah kalo gitu. Thank you Chef," jawab Vion akhirnya sebelum berjalan keluar dapur mengikuti Mang Ujang. 

Pemuda itu berusaha menata debaran jantungnya dengan tarikan napas teratur. Berbekal intuisi, hatinya seakan sadar siapa sosok yang akan menemuinya. Gadis yang paling keras kepala, yang paling disayanginya se-dunia.

"Ngapain kamu disini, Mel..." Kalimat itu retoris, berbalas tatapan Amel yang mengangkat wajah dari tundukan.

"Mas..." Hanya itu yang bisa keluar dari mulut adiknya.

"Kamu kenapa nggak pulang, hm? Nanti siapa yang kasi makan Mengko?" Pertanyaan remeh itu membuat Amel tersedu seketika, detik berikutnya, gadis itu telah berlari ke pelukan Vion, membasahi seragam putih abangnya dengan air mata.

___

CHEF RAKA menghentikan langkah kakinya saat melihat kerumunan staf dapur berdesakan di pintu penghubung menuju lobby hotel. Salah satu diantara mereka adalah Lisa, gadis yang ia cari keberadaannya.

"Kalian lagi ngapain?" suara Chef Raka sukses membuat gerombolan itu berjengit kaget. Mereka membalikkan badan seketika.

"Eeh, anu, ini Chef..."
"... kita nggak lagi ngintipin Vion, kok."
"Nggak! Errh, bukan. Nih, pasti Chef nyari Lisa kan? Nih-nih."

Duo kembar Pram dan Pras yang bekerja sebegai kitchen porter bergantian menyahutkan kalimat dengan kompak, sementara salah satu dari mereka reflek mendorong-dorong tubuh kecil Lisa yang pasrah terbawa kearah Chef Raka.

Satu pandangan saja dari Raka sudah sukses membuat Lisa gelagapan dalam diamnya.

"Maaf, Ka... nggak ada maksud apa-apa, kok... kita cuma penasaran aja, soalnya Vion jarang interaksi sama manusia lain." Gadis itu mengaku setelah tertangkap basah.

"Saya ngerti... tapi ini nggak bener, kalian sama aja kayak stalker yang ngusik privasi orang lain. Udah, bubar-bubar!" perintah tegas dari Chef Raka membuat grup kecil staf dapur sontak mengeluh seraya membubarkan diri dengan setengah hati.

Berdecak dan menggeleng heran, Raka kemudian melanjutkan.

"Ada-ada saja kelakuan kalian. Dah ah, pulang yuk?" ajak pemuda itu yang ditanggapi dengan anggukan Lisa, seraya gadis itu melingkarkan tangan mungilnya di lengan Raka.

Tak jauh dari sana, berbatas pintu yang kini tertutup, di lobby Celestial Hotel yang hanya diselingi suara sayup-sayup dari Televisi layar datar tergantung di dinding, terdapat dua orang kakak-beradik yang sedang duduk di sofa sudut ruangan. Vion dan Amel.

"Amel tau kenapa Mas Vion nggak mau kembali lagi ke rumah kita... Ayah sama Bunda itu orangtua yang toksik sama anak-anaknya, mereka selalu memaksakan kehendak tanpa mau peduli pendapat kita dan apa yang kita rasakan..." Amel membuka suara sambil tak putus menatap tali sepatu Vion. Wajahnya tertunduk, matanya sembab akibat menangis beberapa kali dalam hari ini.

"Mel, kamu nggak boleh ngomong gitu..."

"Tadi aja mereka nggak bisa muji masakan Mas Vion! Cuma bilang 'enak' aja, atau 'iya, masmu udah hebat' gitu aja susah banget, Mas! Mereka selalu mandang rendah kita, padahal..."

"Amel! Mereka itu orangtua kita. Suka nggak suka, mereka tetap yang bikin kita jadi ada."

"Terus kenapa Mas Vion mau misahin diri dari mereka, Hah?"

"..."

Vion tak menyangka adiknya telah sedewasa ini, dengan pikiran matang yang bisa mengerti dan membalikkan omongan sesuai fakta, menampar Vion dengan kenyataan bahwa dirinya...

"Munafik." Kata itu keluar dari mulut Amel tanpa ampun.

"Mas Vion munafik. Amel tau kok, kalo kita nggak bisa milih orangtua. Tapi kita masih bisa milih jalan hidup kita masing-masing, kan? Walaupun dengan cara paksaan... itu yang Amel pelajari dari Mas Vion," lanjut sang Adik, membuat Vion terdiam dalam renungannya sejenak.

Aku nggak nyangka kalau keputusanku berdampak segini besar sama kamu, Amel, batinnya.

"Mas Vion juga egois, tega ninggalin Amel buat jadi tumbal bulan-bulanan Ayah-Bunda. Mas Vion nggak mikirin nasib Amel gimana, hah?" kini kata-kata gadis itu mulai mengalir, menyalurkan emosi yang berbulan-bulan terendap, menunggu untuk meledak.

"Mas vion tega! Jahat! MAS VION JELEK!!" 

Vion tak bisa menahan senyum mendengar kalimat terakhir adiknya. Ya, Karamel jika sudah emosi, bisa mengeluarkan ejekan apa saja sebebas mulutnya.

"Maafin Mas, ya? Tell me, how can I make it up to you?" tawar Vion pada akhirnya, sambil menatap adiknya yang cemberut dengan penuh arti.

"Mas Vion tetep jadi Mas-nya Amel, ya? Jangan misahin diri dari keluarga kita lagi.. Amel tau Ayah sama Bunda itu keras, tapi Amel yakin kita bisa ngadepin mereka kalo kita ngejalaninya sama-sama."

Kalimat itu membuat Vion kembali terhenyak. Kali ini dia benar-benar mempertimbangkan apa yang dikatakan adiknya barusan.

"Kita udah dua dekade jadi anak mereka, Mas Vion. Kita kuat karena kita punya satu sama lain. Tapi setahun kemarin, hidup Amel rasanya berat banget.. Itu karena beban di rumah Amel tanggung sendiri, nggak ada Mas Vion yang nguatin Amel." 

"Mel.. Mas bener-bener minta maaf, ya.."

Karamel memandang kakaknya dengan sungguh-sungguh, melihat sekelebat keseriusan di matanya. Anggukan persetujuan Amel pun akhirnya terwujud, diikuti senyum manis Vion yang telah berdamai dengan satu masalah hidupnya : keluarga.

"Mas janji, Mas nggak akan hilang dan putusin kontak sama kalian lagi. Sebaliknya, kamu coba kompromi sama kemauan Ayah-Bunda, ya? Kalau kamu keberatan sama apa maunya mereka, bilang sama Mas, nanti Mas bantu ngomong."

Vion berkata yakin diiringi senyum mengembang dari bibir adiknya. Tawa lega membahana diantara mereka, namun segera terputus dengan vibrasi ponsel di saku jaket Karamel. Gadis itu buru-buru mengeluarkan ponselnya dan menekan tombol merah, reject.

"Kenapa ditolak, Mel? Dari siapa?" Vion bertanya sementara adiknya menaruh ponsel tadi di atas meja kopi dekat mereka.

"Dari maskapai penerbangan, Mas. Pasti mereka mau kroscek kenapa Amel nggak ikut boarding barusan," jawab gadis itu ringan.

Ponsel bergetar lagi, dengan nama berejakan 'Brahmajaya Air' berkedip di layar.

"Angkat aja, Mel," saran sang kakak, yang dituruti dengan setengah hati oleh adiknya.

"Halo?" Suara Karamel membahana.

Detik-detik dialui dengan percakapan satu arah di sambungan telepon itu, Amel mendengarkan sementar Vion mengalihkan pandangannya ke layar TV.

Air muka Karamel Krisnanda mendadak surut, pucat pasi bagai kehidupan tersedot dari sana. Bibirnya bergetar, matanya berkedip dengan pandangan kosong.

"Apa??" Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Vion menangkap perubahan ekspresi itu, bersamaan dengan genggaman Amel yang meloloskan ponsel di sisi wajahnya jatuh ke lantai. Gadis itu lunglai, pandangannya nanar tertuju ke langit-langit dan air mata mulai merembes deras tanpa terkontrol.

"Mel? Kenapa, Mel? Ada apa?" Vion mengguncang bahu adiknya yang tak memberikan respon apapun. Perhatian Vion tersedot samar-samar akan potongan suara televisi yang menyiarkan berita saat itu,

'Tepat pukul 22.11, satu menit setelah jadwal penerbangan, Pesawat Brahmajaya Air BJ-295 mengalami malfungsi pada mesin utama yang menyebabkan kegagalan proses take off di trek lepas landas Bandar Udara Juanda, Surabaya..

..Kapal Boeing dengan nomor seri 737-800 ini terekam di cctv tower pengawas menabrak pagar besi pembatas bandara, dengan membawa total 185 penumpang. Untuk sementara, kondisi korban jiwa dan terluka saat ini masih belum diketahui. Berita lanjutan akan kembali disiarkan beberapa saat lagi. Saat ini, reporter kami yang bertugas...'

Dunia Vion menjadi gelap seketika. Bumi dan kepalanya berputar, realita mendadak serasa tak nyata. Satu-satunya hal yang mengembalikan kesadarannya adalah tarikan kecil di lengan seragamnya, oleh lengan yang bergerak lemah. Amel.

"Nggak.. Ini nggak beneran kejadian kan, Mel? IYA KAN?" suara Vion bergetar sementara adiknya terus terisak. Amel menggeleng kuat-kuat sementara Vion segera merangkul gadis itu dalam pelukannya, erat. Tubuh mereka bergetar.

"M-mereka... nggak selamat, Mas..." Suara Amel memecah tangis.

"... Amel... tadi bentak-bentak Ayah sama Bunda pas mau pergi... Mas... hikss.. Amel nggak sempat pamit, nggak sempat minta maaf..." Isakan gadis itu mengeluarkan kalimat patah-patah, terbungkam pelukan kakaknya yang sekuat tenaga berusaha tegar, membendung air mata.

"Mas juga nggak baik sama mereka, Mel.." bisik Vion seraya menenggelamkan wajah di kepala adiknya. 

Kakak beradik itu mengeratkan pelukan, menguatkan tubuh yang serasa lebur dalam kenyataan pahit bahwa mereka hanya punya satu sama lain. 

Tak lagi, tak akan lagi, Vion melepaskan Amel seorang diri.

T A M A T

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro