Bagan 11 · Konflik Manusia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

UJIAN Akhir Semester tiba. Kevin sudah mempersiapkan diri dengan bolak-balik mempelajari kisi-kisi materi yang ia rangkum sendiri selama minggu tenang. Kini, di pagi hari pertama UAS, Kevin menelusuri namanya di barisan absensi untuk menemukan nomor kursinya.

Ruang kelas tampak siap menjadi arena ujian yang diatur dengan kursi berjarak, nomor tertempel sesuai urutan absen, dan kertas soal serta jawaban yang siap diambil di meja pengawas. Kevin melangkahkan kaki dan langsung bertemu tatap dengan sosok yang lumayan mengganggu konsentrasinya dalam belajar belakangan ini. Vero.

Veronica Putri tampak membuang muka saat selesai mengambil kertas soal dan jawaban. Perempuan itu langsung melenggang menuju bangkunya sendiri di sudut ruangan.

Aneh. Tak sewajarnya Vero melengos saat melihat Kevin. Biasanya, Vero akan melemparkan senyum termanisnya atau memanggil-manggil nama Kevin dengan nada lantang. Memang hal itu cukup mengganggu Kevin, tapi sepertinya perbedaan sikap Vero saat ini lebih mengganggunya.

Cewek itu jelas sekali sedang menghindar.

Bagus deh, pikir Kevin. Gue bisa fokus ujian.

Enam puluh menit kemudian, soal yang beranak pinak telah sukses membuat Kevin menghela napas. Dia harus meminta kertas ujian ekstra untuk bisa menampung semua penjabaran dari soal-soal UAS yang dijawabnya.

Saat Kevin akhirnya mengumpulkan lembar jawaban, beberapa mahasiswa melirik dengan pandangan setengah iri dan putus asa, seakan-akan dari tatapan mereka tereja kata-kata 'ya wajar bisa pinter gitu, punya privilese keluarga Tjahyadewa'. Namun Kevin cuek saja, dia berlalu ke luar ruangan, dan sekali melirik ke sudut bangku tempat Vero berada. Cewek itu masih menekuri kertas soalnya.

Ngapain juga gue peduli?

Kevin menggelengkan kepala. Dia buru-buru berlalu.

Kalau memang Veronica Putri memang akan hilang dari hidupnya, tak apa. Toh tidak ada alasan Kevin harus uring-uringan, ya kan?

___

SATU hal yang menguntungkan dari minggu ujian adalah pendeknya hari kuliah bagi Kevin. Bisa menyelesaikan soal 30 menit lebih cepat dari batas waktu telah memberikan si bungsu Tjahyadewa ini kesempatan untuk meninggalkan kampus lebih cepat dari biasanya.

Pesan singkat yang dikirim Eliot membuat Kevin memarkirkan mobilnya di lapangan parkir perpus pusat. Kevin segera menuju lantai atas, menengok kanan kiri untuk mencari sosok familier di antara belasan mahasiswa lain.

Pandangan Kevin berhenti di salah satu meja perpus. Eliot tampak melambai-lambai samar, seakan menahan gerakannya agar seseorang yang sedang duduk di hadapannya tidak sadar. Karamel.

Pemandangan itu seketika membawa Kevin kembali ke beberapa minggu belakangan ini. Eliot memang berencana mendekatkan Kevin dengan Karamel. Dan cara yang Eliot tempeh itu lumayan ... sesuatu.

Eliot kerap tiba-tiba meng-chat Kevin saat ada kelas, menanyakan apa dia bisa mampir ke kantin, ke perpus, ke kafe, atau ke mana saja setiap kali Eliot berada dengan Karamel. Lelaki gemulai itu lantas mengobrol ke sana dan kemari, mengobral waktu agar Kevin bisa berlama-lama bercengkerama dengan sahabat karibnya.

Kevin tidak keberatan, tentu saja. Itu lah alasan dia saat ini berada di perpus pusat, menuruti instruksi Eliot, meluangkan waktu dan energinya yang berharga untuk bisa menatap Karamel lama-lama. Meskipun, sampai detik ini, tak ada kemajuan berarti dalam hubungannya dan gadis itu. Buktinya, Kevin tak pernah sekalipun sukses mengajak Karamel jalan berdua. Yah, dia juga belum mencoba.

"Hai El, oh! Ada Karamel juga?"

Kevin menyapa meja mereka, membuat Eliot tersenyum lebar dan Karamel--yang sepertinya sedang melamun--terperanjat sedikit.

"Heyyy Kev, omaygat! Siang-siang gini udah ganteng gila bo', bikin kita jadi melting ajah ...." Eliot membuka suara, mulai melancarkan aksinya.

Kevin menatap Karamel yang masih berkedip-kedip, seakan belum sadar dari tidur dengan mata terbukanya. Seketika dada Kevin terasa jatuh, luruh, lumer sampai lantai dan menggetarkan lututnya. Melihat wajah Karamel, Kevin benar-benar lupa dengan kegundahannya seminggu ini. Dengan teka-teki dan rasa bersalahnya. Dengan Vero. Di mata Karamel, Kevin menemukan tenang.

"Kok bengong aja, Kar? Halo ... kamu nggak tidur sambil berdiri kan?" Kevin memberanikan diri melambaikan telapak tangan di depan wajah Karamel. Tidak biasanya gadis itu hobi melamun seperti ini.

"Oh, eh ... ya ...," gagap Karamel sambil kembali mengedip cepat. Kan, aneh. Sejak kapan Karamel hemat bicara?

"Maklumin aje Kev, doi lagi ada masalah tuh, makanya otaknya jadi gesrek kaga fokus disapa cogan segini rupa," timpal Eliot seakan bisa menebak pertanyaan di benak Kevin.

Oh, jadi ini alasan Eliot nyuruh gue ke sini? Buat jadi tempat curhat Karamel? Kevin membatin.

"Oh ya? Masalah apa?" Kevin mengikuti alur Eliot sambil lurus menatap Karamel, memperhatikan gadis itu menghela napas sebelum akhirnya mulai bercerita.

Siang itu, mengalirlah cerita hidup seorang Karamel Krisnanda, lepas bebas keluar dari mulut Eliot untuk konsumsi grup kecil mereka.

Ternyata, Karamel adalah anak bungsu dari dua bersaudara, dengan kakak laki-laki yang kabur di hari kelulusan sekolah kuliner di Australia setahun lalu. Ternyata, orang tua Karamel adalah tipe orang tua yang controlling, suka mengatur dan over protektif, memaksa anak-anak mereka untuk mengikuti jejak karir melestarikan usaha kuliner keluarga. Ternyata, Karamel selama ini memendam luka dan beban itu sendirian, menjadi anak tunggal sekaligus tumbal bulan-bulanan orang tua mereka. Ternyata, aksi mogok kuliah Karamel adalah bentuk protes atas keputusan orang tuanya yang masih kukuh memaksa gadis itu untuk mengikuti kemauan mereka.

Pada akhirnya. Kevin belajar banyak tentang Karamel dan ternyata-ternyata yang lain.

Kamu kuat banget, Karamel. Selama ini kamu senyum lebar-lebar, ternyata beban kamu berat begini. Gimana bisa? Kevin menyimpulkan dalam benak, seraya fokusnya kembali hinggap di pusat permasalahan mereka siang itu. Masalah Karamel.

"Hmmm ... jadi kamu ngerasa, sifat mereka yang belakangan ini baik banget, tiba-tiba berubah drastis gitu, Kar?" Kevin mulai buka suara. Sependek pemahamannya dari cerita Eliot, orang tua Karamel yang biasanya ketat, mendadak bersikap baik, hanya untuk menjatuhkan bom nuklir pada Karamel bahwa gadis itu harus menuruti mereka untuk sekolah kuliner. Karamel karam.

"Yap, begitu. Gue jadi bingung aja, kenapa tiba-tiba berubah gini," ucap Karamel lirih. Gadis itu memainkan ujung rambut panjangnya.

"Kayaknya ... kamu lagi di-love bombing deh. Pernah denger istilah itu?" Kevin seketika ingat taktik manipulasi dengan mengumpankan kebaikan demi tujuan tertentu.

"Bom cinta? Bagus dong, kedengarannya romantis gitu ...." Suara Eliot menjawab. Kevin buru-buru menggeleng. Ini nggak ada kaitannya sama hal yang romantis.

"Nggak sebagus itu, El. Love bombing itu usaha manipulasi yang dilakukan seseorang, dengan cara ngasi afeksi, perhatian, cinta berlebihan untuk mendapatkan apa yang mereka mau. In this case, orang tua Karamel ngasih dia kebebasan, hanya untuk ditarik kembali dengan dalih 'kamu udah dapet apa yang kamu mau, sekarang turutin apa kemauan kami', gitu," tutur Kevin.

Akhirnya Eliot mengangguk. "Oh, jadi ngasi cinta tapi pamrih, ya? Ngarepin balasan?"

"Iyaya, bener juga. Soalnya salah satu kalimat yang bokap gue bawa pas marah-marahin gue kemarin ya mirip-mirip gitu, kayak ... 'kamu kan kemarin sudah melakukan sesukamu, sekarang harus jalani kewajiban' apa gimanaa gitu. Bodo ah, lupa, kuping gue panas," Karamel seakan mendapatkan secercah cahayanya kembali. Bisa mengomel adalah ciri khas gadis itu. Kevin tersenyum lega.

"Oh iya! Dan juga timing-nya pas banget nih, mau-mau tahun ajaran baru! Wahhh, klik ini nih Mel!" Eliot menimpali, diiringi anggukan setuju oleh Karamel. Kevin turut mengangguk. Biarlah dia jadi pencetus teori, sementara Eliot dan Karamel yang melakukan cocoklogi.

"Oke, kita tau istilahnya ... tapi terus, solusinya gimana, Kev?" suara Eliot lanjut mengudara.

Kevin berpikir sejenak. "Yah, kalo itu sih tergantung Karamel, dia maunya gimana. Sebenernya solusi terbaik dari segala masalah ya open conversation, sih. Bicarakan dengan terbuka duduk masalahnya gimana, apa yang kalian rasakan ... soalnya kalo dibiarin gini lama-lama keluarganya Karamel bisa jadi toksik."

"Hoooo, hebat juga ye lau punya ilmu beginian, Kev. Lo bukan jurusan psikologi kan padahal?" Eliot memuji dengan mata berbinar, membuat Kevin tersenyum tipis. Pasti ini salah satu teknik marketing 'menjual' Kevin di hadapan Karamel, dengan cara puji-pujian.

"Ah, nggak. Gue Kriminologi, emang ada sedikit psikologinya juga kok. Kan hybrid, El, jurusan gue gabungan dari ilmu Hukum, Sosiologi, Psikologi, sama Jurnalistik. Jadi taulah, dikit-dikit." Kevin coba merendah.

"Wuihhh, keren bats. Kalo gue mah TI, bikin mata juling ngoding terus tiap hari. Eh tapi lo ntar prospek kerjanya jadi apa dah?" Eliot masih menekan topik pada prodi Kevin, membuat cowok itu menerawang sejenak mencerna pertanyaan Eliot.

"Hmm ... jadi penyidik, sih, mungkin. Di Kepolisian, BNN, KPK—"

"WAHHH!! KEREN EDAN!!" Teriakan Eliot tak dapat ditahan, memotong jawaban Kevin. Oke, kali ini Eliot agak lebay. Kevin hanya bisa tersenyum kecut.

Baru saja Kevin hendak protes, tiba-tiba suara Karamel memecah konsentrasinya.

"Kev, kayaknya gue tau harus gimana ngatasin masalah ini, dan gue butuh bantuan lo ...."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro