Bagan 13 · Pengagum Venus

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

KARAMEL berteriak frustasi sambil menutup layar laptopnya. "Huahhhh!!!!"

Buntu. Mereka semua saat ini sedang buntu. Seluruh upaya mangobok-obok search engine di jagad maya sedari siang hingga petang, hanya berujungkan data seorang Kavion Krisnanto yang merupakan mahasiswa sekolah kuliner di kota Adelaide. Dan parahnya lagi, Kevin masih tidak tau apa sangkut-pautnya Kavion ini dengan mereka.

"Astoge, iye iye Mel, gue matiin download-nya. Lemot dikit aja dah ngamuk-ngamuk, dasar nene lampir ...." Eliot menanggapi sambil menggeser mouse dalam genggamannya.

"Bukan gitu Yot, ini gue ngerasa hopeless. Gimana coba caranya nemuin Mas Vion. Kevin, lo ada ide nggak?" Karamel menjawab sekaligus mengalihkan pandangannya ke arah Kevin. Tuan rumah yang dipanggil namanya itu sontak mengerjapkan mata.

"Errm ...." Kevin tak sempat berkata-kata. Pikirannya masih terbelah.

Tiba-tiba, suara Eliot menyalak. "Diem-diem bae Kev, ngopi napa. Ngantuk lo ye? Muke ditekuk-tekuk gitu, ntar luntur loh gantengnya."

Kevin sadar pengalihan itu adalah usaha lain untuk memecah konsentrasinya, agar bisa fokus pada Karamel. Fokus, Kevin, fokus. Tapi sayangnya, fokus itu tak kunjung datang. Kevin terlalu penasaran. Akhirnya cowok itu memutuskan untuk menuntaskan hal yang mengganjal pikirannya sedari tadi.

"Ini ... sebenernya, kita nyari siapa sih? Kavion ... Krisnanto? Mantan pacar Karamel, ya?" Kevin berkata dengan rikuh, nada suaranya getir menandakan ketidaknyamanan.

"Hah??" Karamel tergagu seketika.

"HAHAHHAHAHA." Eliot mengumandangkan tawa sekencang TOA, membuat Kevin jadi salah tingkah melihat respons mereka.

"... Kevin sayang, lo kalo cemburu emang bisa jadi buta ya. HAHAHAH!" Lanjutan kalimat Eliot membuat Karamel samar, seperti menahan geli. Kevin seketika langsung salah tingkah.

Harus banget Eliot nembak dengan kata 'cemburu'?

"Bukan kok, Kev, ini abang gue. Dia udah kabur sejak mau kita jemput dari Australi tahun lalu. Lo beneran nggak ada ide cara nemuin dia, ya?" Itu suara Karamel, menjawab dengan tabah sementara Eliot masih terbahak gulung-gulung.

"Ohh ...." Kevin bernapas lega. Seketika, apa yang tadinya buntu menjadi terbuka. Kevin mendadak menemukan cara."Sebenernya, bisa sih ... kayaknya. Kamu ada nomer KK kan, Kar?"

"Kartu Keluarga? Ada sih, cuma—"

Karamel tak sempat menyelesaikan kalimatnya saat pintu kamar tiba-tiba terbuka lebar, menampakkan pria paruh baya dengan kacamata kotak melayangkan pandangan tajam. Papa Kevin, Tuan Tjahyadewa.

"Kevin, kamu lagi ngapain? Papa lihat ada motor temanmu si Eliot itu di depan, kamu nggak berduaan sama—eh ...." Ucapan pria itu terhenti saat pandangannya bertubrukan dengan sosok Karamel. Kevin coba membaca mata papanya; ada keterkejutan bercampur lega di sana.

"Papa apa-apaan sih, bikin kaget aja. Oh iya, ini Karamel, Pa." Kevin menjelaskan seiring Karamel dengan sigap menjulurkan tangan, disambut jabatan Tuan Tjahyadewa.

"Amel, Om ...," gumam gadis itu. Entah kenapa melihat tangan mungil Karamel digenggam papanya, berbumbu senyum yang jarang keluar dari raut keras wajah kepala keluarga Tjahyadewa itu, membuat dada Kevin membuncah dengan gemuruh. Apakah ini pertanda baik?

"Oohh, jadi ini yang namanya Karamel? Nama kamu unik sekali, Amel. Salam kenal ya, saya papanya Kevin." Nada suara pria tersebut melunak, dilengkapi dengan mata tua yang menyipit dalam senyuman yang sangat ramah. Terlampau ramah.

"Yeuu, sama Amel aja dibaek-baekin si Om. Aku dong, nggak disalamin juga?" Eliot menyeletuk dari udara kosong, mencairkan suasana menjadi lebih hangat.

Terkadang Kevin sedikit iri pada keberanian Eliot menyeletuk. Dia bisa membaca situasi dan mood, saat atmosfer baik seperti sekarang ini, segala candaan dan celetukan menjadi masuk.

"Ah, kalau kamu sudah bosan Om lihatnya. Ini sepertinya kalian sibuk, sedang belajar kelompok, ya?" Tuan Tjahyadewa bersuara.

"Iya. Papa ngapain pulang? Bukannya ada meeting sama klien?" Kevin menjawab sekaligus membombardir papanya dengan pertanyaan.

"Papa mau ambil berkas, ada yang ketinggalan. Ya sudah, lanjut saja kalian belajarnya. Kevin, pesankan delivery makan malam sekalian buat teman-teman kamu. Amel, Eliot, Om tinggal dulu ya," pamit Tuan Tjahyadewa sambil berbalik keluar ruangan, meninggalkan Kevin yang berkata putus asa.

"Tutup lagi pintunya, Pa! Nanti si Venus masuk!"

Terlambat. Langkah kaki papanya terlampau jauh sementara sekelebat hewan berlapis kulit cokelat muda baru saja menyelinap memasuki pintu kamar yang setengah terbuka.

"Omaygattt!" Eliot menjerit lebay melihat hewan itu, kedua kakinya tertekuk ke atas sofa dengan gesit, sementara Karamel terkesiap kagum. Gawat, pikir Kevin.

"Wah! Haloo, siapa nih? Kev, kucing sphynx ya ini?"

Di luar dugaan, Karamel segera berlutut untuk menjalarkan telunjuknya ke arah kucing tersebut, membiarkan hewan tanpa bulu itu mengendus ujung jemarinya sebelum mengizinkan gadis itu membelai kepalanya.

"Amel! Iiihh, lo kaga geli? Kucing gada bulu gitu, keriput-keriput mirip otong, kenapa bisa lo pegang-pegang sihhh??" Eliot bergidik melihat interaksi sahabatnya dengan hewan alien tersebut.

"Heh, sembarangan. Ini tuh ras kucing elit tau Yot, harganya bisa belasan juta, apa lagi yang ada gradasi warnanya kayak gini nih, hidung cokelat gelap motif siamese. Duhh lucu banget ...." Karamel berniat menggendong kucing tersebut, namun si Venus dengan gesit meloncat ke arah sofa yang diduduki Kevin dan memanjat sandaran sofa, menggosokkan kepala gundulnya ke arah Kevin.

Aduh, geli, pikir Kevin. Dia menahan gidikan kulit Venus sekaligus rasa kagum pada Karamel. Gadis itu tidak jijik, juga tidak takut. Karamel jelas terlihat ... senang.

"Belasan juta buat megang otong?! Dah gila." Eliot berkomentar sementara Kevin dan Karamel sama-sama menahan tawa mendengar ocehannya.

"Ini si Venus, Kev? Kenapa nggak dibolehin masuk?" Karamel bertanya sambil memperhatikan Kevin.

"Iya, ini Venus. Aku kira kamu takut kucing, apalagi yang bentukannya aneh kayak gini, Eliot aja geli liatnya. Ternyata kamu beda ya, Karamel," Kevin mengerling sekilas ke arah gadis itu, menyuguhkan senyum termanis yang bisa ia lontar. Akibat kehadiran hewan tanpa bulu ini, Kevin jadi tau apa yang menyalakan minat Karamel: kucing.

"Ohh, hehe ... iya, aku juga punya kucing kok di rumah, namanya Mengko," jawab Karamel. Kevin tertegun sejenak saat mendengar kata 'aku' meluncur mulus dari mulut gadis itu. Tapi sayang, sedetik kemudian Karamel meralatnya.

"Erm, guemaksudnya, gue ... eh, iya! KK tadi, butuh buat apaan Kev? Gue ada tapi nggak bawa, yang ada KTP nih, bisa?"

Karamel gelagapan berkata dengan serabutan, dan Eliot mulai tersenyum jayus melihat sahabatnya yang salah tingkah tersebut. Kevin sendiri, jangan ditanya. Kalau ada degupan jantung yang terdengar sampai ke telinga Venus, itu adalah milik Kevin.

Kevin pun berusaha menenangkan diri dengan senyum tipis sebelum melanjutkan, "KTP, ya? Hmm ... bisa sih, kayaknya. Soalnya kan nomor serinya sama kaya di KK. Boleh deh, sini coba."

"Oke, bentar ...." Karamel segera mengaduk tasnya untuk mencari dompet, mengeluarkan selembar Kartu Tanda Penduduk. "... aduh, tapi foto gue jelek banget Kev. Jangan diliat ya?" Karamel mengulurkan kartu tersebut setengah hati.

Kevin menerima kartu itu dan langsung mencelakai perintah Amel. Si bungsu Tjahyadewa tersebut mematai foto KTP Karamel sambil tersenyum penuh arti, memperhatikan ekspresi gadis bernama panjang Karamel Krisnanda yang berpose kaku, dengan poni tipis membingkai wajah mungilnya.

"Cantik gini," simpul Kevin.

Kata itu bagaikan mantra ajaib yang membuat Karamel membisu. Sekaligus, Kevin menyesali ceplosan mulutnya. Cantik? Seenteng itu gue muji dia cantik? Aduh! Dia bisa ilfil sama mulut gue ....

Kevin mengalihkan fokus buru-buru. "Aku pinjem dulu ya, coba nyari sesuatu. Tunggu sini bentar." Cowok itu bangkit, untuk kemudian meninggalkan ruangan diikuti kucing Venus yang membuntut.

Kevin berhasil mengalihkan Venus dengan makanan kucing di dapur, mengamankan kamarnya dari hewan tanpa bulu itu lagi. Sementara KTP yang ada dalam genggamannya pasrah dibawa ke mana-mana, terutama saat Kevin membawanya ke ruang kantor firma hukum keluarga.

Di depan kubikel berisi satu unit meja komputer, Kevin mendapati kakak nomor duanya, Melvin, sedang bekerja menghadap sebuah dokumen.

"Bang Em," sapa Kevin setengah hati. Dia sadar, Melvin bukanlah kandidat tepat untuk membantunya saat ini. Kakaknya yang satu ini terhitung lumayan kepo dan rusuh, terutama masalah perempuan. Kevin sangsi harus merelakan data diri Karamel jatuh ke tangan sang buaya keluarga.

"Kenapa, Key?" jawab Melvin tanpa mengangkat wajah dari layar komputer. Jas yang dipakainya masih rapi, begitu juga kacamata baca yang menandakan Melvin sedang dalam mode kerja. Melihat abangnya yang bisa berlaku begini serius dan bertanggungjawab, perlahan keraguan Kevin mencair.

"Bang Em bisa bantu, nggak?" Perlahan Kevin menyodorkan KTP Karamel ke atas meja kerja Melvin.

"Abang lagi sibuk, Adek." Melvin menjawab tanpa sedikitpun melirik KTP yang disodorkan Kevin. Si bungsu spontan mendecak.

"Sejak kapan Bang Em sibuk? Biasanya juga gabut."

Melvin menghentikan gerakan matanya yang sedang membaca. "Abang tadi dari pengadilan. Ada klien ribet yang bikin kerjaan gampang jadi susah. Lagian ini apaan, sih—" Melvin meraih KTP di tangan Kevin secara refleks, dan matanya membesar.

"Wow. Cakep. Ini siapa?"

"Tuh ada namanya." Kevin menggumam sebagai jawaban, malas.

"Ka-ra-mel. Hm, leg uga. Bilang dong kalo bantu-membantunya masalah cewek gini. Apa yang Dedek butuhin, hm? Sini, cerita sama Abang." Melvin menyuguhkan senyum kelewat lebar, yang membuat Kevin langsung memutar mata. Benar. Melvin Tjahyadewa punya banyak bentuk. Bisa jadi cicak, biawak, dan hewan versi lain menyerupai buaya. Tidak konsisten.

"Bang Em biasanya kroscek data klien bisa sejauh apa? Kevin butuh data keluarga cewek itu, kakaknya, namanya Kavion Kris—something. Bisa, ya?"

Melvin menjentikkan jari sambil membuka program baru di komputernya. Senyum masih terplester lebar. "Gampang mah itu!" ujarnya sebelum menelusuri data sesuai nomor induk KTP Karamel.

Selagi abangnya menjalankan tugas mulia, Kevin membuka ponsel untuk memesan pizza delivery. Beberapa menit di ruang kerja firma Tjahyadewa, ponsel Kevin bergetar. Bukan karena notifikasi aplikasi delivery yang muncul, melainkan jendela chat dari Eliot.

[Lo lemot. Gw gemes. Gw spill ke Amel sekarang juga.]

Kevin mengerutkan kening, tak mengerti. Dengan gesit, jemarinya mengetik: [Maksudnya?]

Hanya berselang beberapa detik sebelum ponsel Kevin kembali bergetar. Eliot membalas.

[Gw bilang ke Amel kalo lo naksir. Siap-siap aja ya. Abis ini lo kudu nganter doi pulang. Titik.]

Jantung Kevin melesat sampai lutut, membuat kakinya lemas. Belum sempat cowok itu mengetik balasan, pesan baru masuk dari Eliot.

[Ur welcome]

Kali ini jantung Kevin sudah sampai mata kaki. Dia terpaku di tempatnya berdiri.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro