♠Dynamite [TIGA]♠

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bertemu denganmu membuatku merasa hidup kembali."

-Mite

Dyna melangkahkan kaki sambil menghela napas, tidak terhitung berapa kali ia menghela napas. Kalau bisa ia berharap napasnya habis saja sekalian, lagian tidak ada yang mengharapkan dia hidup, kan?

Ia masih mempunyai keluarga, tapi mereka bahkan tidak menganggap Dyna ada. Lantas buat apa ia tetap bertahan? Dyna tersenyum miris, dulu keluarganya begitu hangat namun sejak hari itu semua berubah.

Sikap Ayah dan Ibunya, cara mereka memandang Dyna juga berubah. Tidak ada lagi kasih sayang yang ia rasakan, ia rindu orangtuanya.

Mengapa mereka berubah seakan-akan menyalahkan Dyna atas kejadian waktu itu. Dyna menangis setiap kali mengingat hal itu, ia memang masih punya keluarga yang lengkap tapi ia kekurangan kasih sayang. Rumah itu seperti tempat penampungan saja, namun tidak ada cinta di sana.

Ternyata di ujung jalan ada taman, ia segera melangkah ke sana dan duduk di ayunan. Sekalian saja ia bermain ayunan seperti yang sering dilakukanya ketika kecil, bedanya dulu ada Ayah yang setia menemaninya, kalau sekarang memandang Dyna saja sudah tidak sudi sepertinya.

Dyna menengadahkan kepalanya ke atas, menatap langit yang ditaburi gemerlap bintang yang indah, "Langitnya sedang cerah. Berarti aku tidak boleh sedih, suatu hari nanti pasti aku akan bahagia." Dyna tersenyum dan mengingat kejadian tadi.

Dyna begitu panik sehingga ia mondar-mandir di Instalasi Gawat Darurat, semua pemikiran buruk sudah menghantuinya sejak tadi. "Bagaimana jika ia salah melakukan tindakan tadi? Bagaimana jika ia membuat korban malah meninggal? Aku jadi pembunuh dong?" gumamnya dengan wajah pucat.

Dari ekor matanya, ia bisa melihat cowok yang ia tarik paksa itu masih setia duduk dan memandangnya dengan iba atau mungkin muak?

Dyna baru saja ingin bertanya, namun cowok itu sudah pergi ketika ia membalikan badan. Dyna mengehela napasnya panjang, "Bahkan orang baru pun enggan lama-lama berada di dekatku."

Malam semakin dingin saja, terlebih angin yang berhembus begitu kencang. Bulu kuduknya sudah merinding sejak tadi, "Semoga saja tidak ada kejadian aneh disini," gumamnya dengan nada takut. Pasalnya ia adalah penakut kelas kakap. Ia takut pada hantu, takut pada serangga.

Badannya menegak, bulu kuduknya semakin merinding saja begitu ia sekilas melihat bayangan putih di hadapannya, "Nggak, aku cuman mengkhayal saja," rapalnya dalam hati.

Untung saja di ruangan itu masih ada beberapa orang, kalau ia hanya sendirian tadi mungkin ia sudah pingsan sekarang.

Bisa bayangkan itu? Sekilas tadi ia melihat bayangan itu di hadapannya, seperti sedang tersenyum menatapnya. Padahal tidak ada orang di depannya sekarang.

"Ah sial, kenapa cowok itu pergi sih? Kan nggak ada yang temanin aku," gerutunya kesal. Ia terus memandang ke sekitarnya, berharap orang-orang di dekatnya tidak cepat pergi dan membuat situasi menjadi semakin sepi. Pasalnya ia merupakan penakut yang kepo sama film hantu, jadi dia sering menonton film horor dengan menggunakan tempat di rumah sakit.

Dia terus mondar-mandir hingga ada tangan yang memegang bahunya, matanya membulat dan bisa dipastikan ia merinding. Hampir saja ia berteriak jika pemilik tangan tadi tidak bersuara, "Mbak, pasiennya selamat."

Dokter itu tersenyum menatapnya. Ia bertanya siapa yang melakukan pertolongan pertama, "Saya, dok yang melakukannya," ujar Dyna dengan nada gemetar. Ia takut tindakanya itu membuat korban kenapa-kenapa.

Dokter dengan name tag Dion Sujana itu tersenyum menatap Dyna, "Apakah kamu mahasiswa kedokteran? atau sudah lulus?" tanyanya dengan alis terangkat sebelah.

Dyna terkejut mendengar pertanyaan itu dan menggeleng pelan, "Saya bukan mahasiswa kedokteran, dok. Hanya saja saya pernah belajar soal pertolongan pertama ini."

Ia tersenyum miris, melihat dokter tadi membuatnya berandai jika ia yang berada disana mengenakan jas putih itu. Seandainya Ayahnya tidak berbuat ulah, pasti ia bisa mewujudkan cita-citanya sedari kecil. Padahal ia sudah berhasil lulus dari ujian masuk ke jurusan itu.

Dengan keras kepala, Dyna tetap masuk dan mengikuti perkuliahan. Tapi, Ayahnya jatuh sakit dan meminta Dyna pindah ke jurusan yang ia mau. Dyna begitu takut jika ini menjadi permintaan terakhirnya. Ia bisa memarahi dirinya sendiri karena menjadi anak yang durhaka.

Dengan berat hati akhirnya ia melepaskan cita-citanya dan memenuhi keinginan orangtuanya, menjadi seorang apoteker. Dyna tersenyum, dulu Ayahnya selalu menggunakan jurus andalan yaitu mengancam akan mengeluarkan Dyna dari rumah jika masih menjadi pembangkang.

"Ayah itu ada-ada aja, kenapa harus mengancam seperti itu pada anaknya sendiri? Memangnya dia tidak menganggapku anak kali ya?" gumamnya dengan nada sedih.

Ia terus bermain ayunan, membiarkan dirinya seperti terbawa angin. Ia tidak ingin terus berlarut dalam kesedihan, tapi apa dayanya jika kebahagiaan enggan menyapanya?

Ia berhenti bermain ayunan dan menepuk pipinya dengan keras, "Setidaknya hari ini aku menjadi orang yang berguna!" serunya dengan semangat.

Masih teringat perkataan dokter tadi , "Pertolongan pertama yang kamu lakukan tadi benar-benar membantu pasien. Terimakasih ya".

Ia terus tersenyum setiap kali mengingatnya, ia sangat bersyukur tidak membuat korban tadi meninggal. Setidaknya apa yang ia pelajari dulu saat menempuh ilmu di Fakultas Kedokteran tidak sia-sia, ia masih bisa membantu sebisanya.

Saking leganya ia langsung meninggalkan tempat itu, sebab ia kira cowok tadi sudah meninggalkanya terlebih dahulu. Mengingat tentang cowok tadi, ia menyesal tadi tidak mengajaknya berkenalan.

"Hah, harusnya tadi aku ajak dia kenalan deh. Kapan lagi bisa ketemu cowok setampan itu?" ucapnya sambil tersenyum senang. Wajahnya seperti lukisan yang indah, bahkan ia ragu tadi itu manusia saking sempurnanya. Membayangkan tentang cowok itu, membuatnya menjadi histeris di tengah malam.

"Gila, tadi dia keren banget pas angkat motor itu. Apalagi tangannya."

Dyna memandang telapak tangannya dan berteriak histeris lagi.

"Saat aku menariknya tadi, jemari kita bertaut dengan begitu pas. Jemariku cocok bertaut di jemarinya. Apakah itu pertanda kami jodoh?" tanyanya dengan wajah bersemu merah.

Ia memandang langit sambil mengajukan permohonan, "Semoga bisa dipertemukan lagi dengan cowok itu. Dia bisa membuatku yang tidak tertarik pada siapapun menjadi tertarik untuk memandangnya lama-lama.

Padahal kami baru saja dipertemukan di lokasi kejadian namun aku sudah nyaman berada di dekat dia. Kabulkan doaku ya!" teriaknya dengan bahagia. Akhirnya ia menemukan sesuatu yang akan menjadi sumber bahagianya kelak.

Dyna bahkan melupakan jika ia sedang marah dengan Ayahnya, semua karena ia memikirkan cowok tadi terlalu lama, "Gawat, dia aja nggak tahu aku masih hidup atau nggak. Duh, udah ah."

Dyna segera berdiri dan berjalan menuju rumahnya. Ia sudah tidak sabar rebahan di kasur empuknya itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro