01 ~ Si Pewaris

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terkadang ada jarak yang sulit aku lewati.
Kadang juga ada sekat yang tidak bisa aku tembus.
Sesederhana itu, jika semua adalah hakku maka akan aku terima.
Namun, jika bukan maka tidak akan aku dapat meski memaksa.
(Hanggara Syauqi)

🍂🍂🍂

Semangatnya kembali terisi setelah wejangan-wejangan dari orang terdekat memenuhi gendang telinganya. Hanggara Syauqi---yang biasa dipanggil Angga---sudah bersiap untuk bertemu dosen. Aroma nasi goreng buatan mamanya bahkan sudah menggelitik hidung dan membuat perutnya keroncongan.

Rumahnya terasa sepi, ayah yang berstatus pengusaha lebih banyak kegiatan di luar rumah. Sedangkan ibu yang mengelola butik hanya sesekali berangkat lebih siang demi membuatkan sarapan untuk putra semata wayangnya.

Angga mengendap-endap seperti seorang maling. Berjalan perlahan seolah lantai akan berderit nyaring jika dia terburu-buru. Anak tangga yang dilewati terasa tidak ada habisnya. Belum juga menapaki anak tangga terakhir dia terjengkang karena melihat ayahnya melintas.

"Allahuakbar!" Angga terduduk sambil mengusap dadanya. Dia yang berharap tidak bertemu dengan ayahnya justru mengalami kegagalan.

Ayahnya hanya menengok dan berlalu begitu saja. Ayah Ahsya, begitu Angga biasa memanggilnya. Pemilik J.A Express sebuah perusahaan bidang jasa kurir yang bernama lengkap Ahmad Syauqi ini memang terkenal pendiam di keluarganya.

"Kenapa, Mas?" tanya sang ibu yang juga kaget mendengar suara putranya.

"Nggak apa-apa, Bu. Ada yang lewat dadakan."

Lelaki itu beranjak dan berusaha menyembunyikan rasa canggungnya begitu melihat sang ayah sudah duduk di meja makan. Bukan tanpa alasan Angga merasa canggung di hadapan sang ayah.

Mahasiswa semester akhir yang baru saja berusia 21 tahun itu merasa sungkan dan takut jika Ayah Ahsya menanyakan perihal kuliahnya. Angga melirik dalam diam pada Ibu Ayushita Adiningrum dan memohon untuk bisa memulai sarapan dengan cepat.

"Mas, kuliahnya berapa lama lagi?" Suara berat sang ayah sukses membuat Angga membatu.

Ayah Ahsya bertanya, tetapi pandangannya sibuk menatap layar ponsel pintarnya. Dia tidak melihat bagaimana Angga sang putra tunggal duduk dengan gelisah. Sang ibu yang biasanya menengahi justru sibuk menata nasi goreng dan tersenyum geli melihat kecanggungan antara ayah dan anak.

"M-masih nunggu dosen ACC untuk judul," jawab Angga dengan suara tersendat-sendat.

"Dari awal semester masih sampai judul skripsi? Kalau Rafka sudah selesai?"

"Iya, Yah. Maaf! Kalau Rafka bisa ikut wisuda yang gelombang pertama."

"Ayah ndak butuh maafmu, Mas. Ayah butuhnya pembuktian dari kamu. Sebelum pertengan tahun apa sudah bisa selesai?"

"Insya Allah, kalau sudah dibukakan kemudahan untuk pengajuan judul."

"Bu, Ayah berangkat dulu. Nasi gorengnya pindah ke kotak bekal saja."

Ibu Ayu bergegas memindahkan nasi goreng yang sudah ditata di piring ke dalam kotak bekal suaminya. Kebiasaan yang memang sulit dirubah. Sesibuk apa pun jika sang istri sudah memasak, Ayah Ahsya pasti memakannya meski di lain tempat.

Angga bernapas lega begitu ayah dan ibunya berjalan beriringan ke pintu depan. Lelaki itu menatap sepiring nasi goreng dengan telur mata sapi dan kerupuk udang kesukaannya. Nafsu makannya mendadak luntur setelah mendengar pertanyaan ayahnya.

"Itu nasi goreng nggak akan pindah kalau dilihatin saja, Mas!" Suara lembut dari ibunya membuat Angga menoleh dan melempar senyum kecutnya.

"Bu Ayu, kenapa Ayah jadi banyak nanya? Biasanya juga diem-diem."

"Karena Mas Angga sudah waktunya bantu Ayah Ahsya di J.A Express, makanya ditanyain kapan lulusnya."

"Kalau Mas nggak mau, gimana? Mas sudah kadung persiapan buka kafe sama teman-teman, Bu."

"Coba bilang sama Ayah. Siapa tahu dikasih jalan buat lancar jalanin kafenya."

"Kalau dikasih, kalau dimarahi?"

"Deritamu, Mas! Ibu ndak ikut-ikut, ya!"

Angga berdecak kesal dan memilih menandaskan sarapan paginya. Dia bergegas berangkat untuk menemui dosen tercinta yang sudah menolaknya beberapa kali perihal judul-judul skripsinnya.

Klakson bersahutan memekakkan telinga. Angga dengan motor trail Yamaha WR 155R berwarna biru terjebak kemacetan pagi hari. Dari kejauhan sayup-sayup Angga mendengar suara ambulans. Dia memutar kepala dan melihat kendaraan itu terjebak diantara beberapa mobil yang tidak mau mengalah dan memberi jalan.

Lelaki 21 tahun itu menepikan motornya dan menggedor beberapa mobil untuk memberi jalan. Beberapa orang balik mengumpat. Sementara yang lain berusaha sadar bahwa keadaan darurat harus didahulukan.

Di bawah terik matahari yang mulai merangkak naik Angga berlarian dan meminta pengemudi ambulans untuk maju. Begitu jalanan sudah mulai terbuka, Angga kembali ke motornya dan menyusul ambulans dan mengawalnya hingga mencapai rumah sakit tujuan.

Dia bergegas ke kampus dan mendapati lebih dari dua puluh panggilan tak terjawab dari Rafka, sahabatnya dan Agis kekasihnya. Setelah memarkikan motor, dia berlari menuju ruang dosen dengan napas yang tersengal dan peluh menetes di pelipisnya.

"Dari mana saja, sih? Bu Agnes sudah keluar tanduknya!" ujar Rafka kesal.

Agis memilih untuk diam dan menyodorkan tisu pada Angga sembari membantunya mengipas untuk mengurangi wajah kemerahan sang kekasih. Angga masih tidak bisa menjawab. Dia menyambar botol minuman yang selalu tersedia disisi samping tas ransel milik Rafka.

"Sori, ada kejadian darurat di jalan. Kejebak macet, Raf!" ujarnya setelah nyaris menghabiskan isi botol ke dalam lambungnya.

"Gue takut Bu Agnes makin ilfeel dan makin mempersulit lo, Ga. Gue sama Agis sampe mohon-mohon sama beliau buat atur jadwal hari ini, tapi kejadiannya di luar prediksi. Gue nggak tahu lagi harus gimana."

"Nggak apa-apa, kita coba lagi! Semoga Bu Agnes dalam kondisi yang baik. Sudah siap, Ga? Temui Bu Agnes sekarang!" Agis membantu memegang tas ransel sementara Angga membuka jaketnya.

"Doakan semoga dikasih lancar, ya!"

"Amin ...." sahut Rafka dan Agis bersamaan.

Dua orang terdekat Angga menunggu dengan cemas. Mereka berharap apa yang dilakukan kali ini akan membuahkan hasil. Hanya sebatas judul skripsi, tetapi begitu berarti. Bagaimana tidak? Jika kali ini tidak mendapatkan deal dari Bu Agnes, maka lengkaplah pengajuan ini adalan penolakan yang kelima kalinya.

Rafka dan Agis menoleh bersamaan saat melihat yang ditunggu berdiri sambil menghela napas di depan pintu ruang dosen. Lelaki itu menutup wajah dengan kedua tangannya. Angga tersentak begitu mendapat dorongan dari belakang tubuhnya.

Dia menoleh dan mendapati Bu Agnes tanpa sengaja mendorong dan membuatnya nyaris terjungkal. Dosen berwajah oriental itu membungkuk dan meminta maaf kemudian berlalu begitu saja.

"Kok buru-buru gitu? Kenapa?" tanya Rafka.

"Kayaknya keadaan darurat, dah! Makasih sudah sabar ngadepin gue. Kali ini gagal, gue salah naruh variabel., tapi untuk berikutnya gue yakin gue bisa." Angga menunduk dan merasa bersalah karena sudah mengabaikan pengorbanan Rafka dan Agis.

"Nggak apa-apa. Bisa dicoba lagi, nggak bisa? Coba aja lagi! Thomas Alfa Edison bisa nemuin lampu nggak ngelewati satu atau dua kali percobaan. Ada banyak percobaan." Agis menepuk bahu kekasihnya untuk menguatkan.

"Maksudnya? Gue kudu ngelewati ratusan seleksi judul? Keburu bengek dan tua, Gis!"

"Kagak gitu, Mas Angga! Kuat-kuatin dah ngadepin Bu Agnes. Semoga yang selanjutnya nggak di-PHP-in lagi. Kuy, ke kafe aja!" ajak Rafka.

Ketiganya bergerak menuju kafe milik bersama yang digagas oleh Angga dan Rafka. Kafe kekinian dengan desain interior berkonsep shabby itu sedang dalam proses pengecatan. Untuk menghemat pembiayaan, mereka memutuskan untuk mengecat dan mendesain ruangan sekaligus penataannya.

Angga berusaha melupakan kejadian penolakan oleh Bu Agnes. Dia fokus untuk menyelesaikan pengecatan di sisi bagian luar. Rafka juga tidak kalah sibuk, dia mengecat bagian kusen yang membutuhkan ketelitian dan ketelatenan. Tiga teman lainnya yang lebih paham pada desain ruang memilih dan memilah barang apa saja yang akan digunakan sebagai pajangan.

"Ga, aku pulang! Nanti jangan lupa makan dan salat Isya', kalau capek berhenti dulu jangan dirapel sampe teler!"

"Gue anter, Gis!"

"Gojek pesanan udah ada di depan, Ga. Kamu lanjut saja kerjain itu biar lekas beres dan bisa pulang."

"Gue udah bilang Ibu kalau bakal nginep sini. Aman, Ayah ada kerjaan ke luar kota. Gojeknya ntar gue bayarin aja."

Agis mengangkat bahu dan memilih duduk sementara Angga ke dalam mengambil perlengkapan motornya dan tidak lupa membayar gojek yang sudah terlanjur datang. Agis mengekor dan turut meminta maaf karena tidak jadi menggunakan jasanya.

Seperti yang dikatakan pada Agis, Angga kembali ke kafe. Dia mendapati dua temannya tidak ada. Hanya tersisa Rafka dan satu orang yang biasa dipanggilnya dengan sebutan Bang Satya.

"Bang Sat udah tidur? Dah salat belum?" ujar Angga pelan karena takut membangunkan kakak tingkatnya yang belum lulus-lulus itu.

"Kebiasaan! Berasa ngumpat kalau manggilnya sepotong-sepotong gitu, Ga! Udah makan, udah salat, udah boker, udah semuanya!"

"Alhamdulillah, gue mandi dulu dah. Abis itu baru lanjut ke dalem, yang depan dah beres sisa bagian jendela dan itu bagian lo, Raf!"

"Istirahat dulu, lah!"

"Nggak enak lihat ini nggak beres-beres, Raf!"

Angga meninggalkan Rafka yang berdecak kesal karena tidak mendengarkan ucapannya. Dia bergegas menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim. Disaat Rafka dan Bang Satya beristirahat di kamar yang terletak di lantai 2, Angga justru memulai kembali pekerjaannya.

Tangannya menggerakkan roll cat dengan luwes. Meski anak tunggal, dia sama sekali tidak dimanja. Terbiasa ditinggal sendiri atau dititipkan di rumah neneknya membuat Angga mandiri dan bisa melakukan pekerjaan kasar.

Enam puntung rokok sudah berserak di lantai. Lelaki itu sama sekali tidak terlihat lelah. Dia justru semakin asik mengayunkan roll cat hingga permukaan dinding memiliki warna yang sama. Angga menoleh saat melihat seseorang menuruni tangga.

"Gue berisik, Raf? Sori ganggu jam tidurnya."

"Lo kerja gitu amat, Ga? Kayak nggak ada hari besok. Kerjaan lo terlalu sunyi, gue mikir lo udah ketiduran sambil meluk itu roll cat. Udahan, ini udah pagi, Ga!"

"Tanggung, Raf. Tinggal sebelah sana," ujar Angga sembari menunjuk dinding di sebelah Rafka."

"Kalau dah capek tuh tidur, Ga, jangan maksain diri!"

"Bentar lagi gue udahan, Raf."

Rafka memilih kembali ke lantai atas dan melanjutkan tidurnya bersama Bang Satya. Lelaki itu kesal karena tidak berhasil membujuk sahabatnya untuk beristirahat. Rafka paham betul bahwa Angga memang sangat gila kerja. Apa pun yang dikerjakan, jika belum selesai maka akan dikejarnya sampai tuntas.

Sebuah kesunyian menjelah Subuh tiba-tiba saja dikagetkan dengan suara gaduh di lantai bawah. Suara kaleng beradu dengan lantai serta debuman dan benda jatuh lainnya.

"Bang Sat, bangun, Bang! Angga kenapa tuh, Bang?"

Bang Satya terduduk dan memasang kuda-kuda memukul kawan di sebelahnya. "Malingnya kenapa, Raf?"

Rafka memukul pipi Bang Satya dengan keras. "Angga, Bang! Molor udah lama nggak sadar-sadar nih orang!"

Kedua lelaki beda usia itu bergegas menuju lantai dasar setelah kesadaran Bang Satya utuh. Mereka terkejut dan berlari menuju sahabat yang sudah bekerja semalaman.

"Astagfirullah, Angga!" teriak Rafka.

🍂🍂🍂

ANFIGHT BATCH 8
#DAY 1

Bondowoso, 04 April 2021
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro