🐣10: Menemani

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Edel kembali menjadi sosok penyendiri. Mereka yang sempat menjadikan Edel sebagai teman sudah pergi tak tahu ke mana. Seperti kata pepatah, di saat kita berada di puncak, maka semua orang akan mendekat. Begitupun sebaliknya.

Dunia terasa milik sendiri. Tak ada suara, ucapan, bahkan pendengaran yang mau menyapa. Sunyi bagaikan padang pasir yang sepi.

Di saat orang-orang sibuk berbincang, berbahagia bersama teman-temannya, Edel hanya bisa menelungkupkan kepala di jam kosong. Berharap akan kedatangan guru pengganti untuk mengusir penat kala kegelapan alam bawah sadar tiba.

Tak ada tugas ataupun pekerjaan rumah yang bisa Edel kerjakan sekarang. Batinnya pun terus berceloteh ria soal penyebab guru pelajaran hari itu tak masuk.

Edel memang menyukai kesendirian, tapi terkadang ia juga butuh komunikasi. Ia masih bisa merasakan yang namanya bosan, tapi rasa percaya diri sangat segan untuk memihak.

"Edel." Suara itu berhasil membuat gadis berusia enam belas tahun tersebut mengangkat kepala.

"Ya?"

"Bagi tisu, dong! Air gue tumpah."

"Kamu nggak mau ngepel aja?" Dari ancaman Daun kemarin, Edel mulai bisa belajar 'tuk menolak walau rasanya sulit.

"Mager ambil pel-an."

Edel terdiam, kemudian segera memberikan beberapa lembar tisu. Cewek dengan tubuh gemuk dan rambut yang terkepang dua seperti perempuan desa itu tersenyum bahagia.

Tanpa mengucapkan terima kasih ataupun hal lainnya, gadis itu segera pergi dan menumpukkan beberapa lembar tisu di atas genangan kecil yang ia ciptakan sendiri.

"Jorok, ih! Masih basah, anjir!" ucap teman di sebelahnya. "Ambil pel-an aja, Dut."

Ia terdiam dan masih fokus mengeringkan lantai.

"Kurang itu tisunya. Sinilah biar gue mintain."

Saat Edel baru saja kembali menelungkupkan kepala, ketenangan yang baru ia dapat kembali diusik.

"Bagi tisu lagi. Temen gue nggak becus ngelapnya, jadi butuh banyak tisu."

Dengan terpaksa pula Edel harus melayani agar tak dicap sebagai manusia pelit.

"Ya udah, apa mau aku yang lap-in?"

Gadis yang berdiri di hadapan Edel kini membelalakkan mata lebar. Benar-benar bodoh. Tapi baiklah, ia tak akan menolak. Siapa tahu saja dengan bantuan Edel semuanya menjadi lebih cepat beres.

Edel bangkit, lalu mengikuti langkah gadis itu menuju mejanya. Segera membungkukkan badan untuk membantu sekaligus berjaga-jaga agar tisunya tidak habis. Sebab sudah sering sekali Edel kehabisan tisu hanya karena diminta oleh mereka.

Apalagi uangnya harus ia bagi sebaik mungkin agar bisa mencukupi hidup setiap bulan. Apakah mungkin ia akan bekerja demi menambah pundi-pundi? Ah, tapi rasanya tak mungkin. Bisa habis nasibnya bersama Ariyanto nanti. Hiasan indah di dalam tubuhnya pasti bertambah banyak.

Kring ...!

Semua murid sontak bersorak gembira. Andai mereka bisa pulang sedari tadi tanpa mengkhawatirkan larangan dari guru piket, pasti rasanya akan menjadi lebih nikmat.

Edel masih membantu membersihkan cairan bening tersebut tanpa peduli suara apa yang baru saja menelusup, dan tiba-tiba saja Regan sudah berdiri di belakangnya dengan tas ransel hitam polos.

"Woi!" Telunjuk Regan mencolek bahu Edel, dan tentu saja hal itu berhasil membuat Edel menoleh.

Bagaimana bisa Regan ada di sini? Apa yang membuatnya menjadi niat seperti itu sampai mencari Edel?

"Iya?"

"Ikut gue!" Regan segera berjalan keluar kelas dan menunggu Edel di depan.

"Maaf, kamu pegang dulu aja tisunya. Besok balikin." Edel segera bangkit 'tuk menyusul Regan di luar sana, sementara gadis itu tampak tersenyum dan tidak melanjutkan lap-annya. Justru yang membuat dirinya senang adalah bisa membawa pulang tisu Edel ke rumah. Tak akan mungkin gadis itu berani menagih besok, paling juga ia lupa atau sibuk menunggu sampai tisu miliknya kembali.

🐷🐷🐷

"Iya, kenapa kamu panggil aku?" Bersama tas ransel putih dan juga sebuah tas jinjing berisi kotak makan kosong Edel berdiri menghadap Regan di depan kelas.

"Temenin gue ke kolam, dong."

"Ngapain?" tanya Edel bingung.

"Udah ikut aja!" Regan memaksa.

Edel mengangguk. Tapi tumben sekali Regan datang tidak bersama Josh dan juga Doxy.

Mereka terus berjalan sampai akhirnya sampai di depan kolam berwarna biru itu. Ada beberapa orang yang sudah berada di dalam sana, lalu untuk apa Edel di sini? Bukankah Regan bukan anak kecil yang pergi ke mana pun itu harus ditemani?

"Mau ngapain kita ke sini?"

"Renanglah!" jawab Regan sinis. Sudah berdiri di depan kolam, apalagi tujuan lain selain berenang? Belajar ilmu hitam agar bisa mengambang dan berjalan di atas airkah? Atau menangkap kecebong dan juga memancing ikan untuk dipelihara di rumah? Tentu saja tidak, tak akan ada hewan lucu seperti itu di kolam renang penuh kaporit ini.

"Aku nggak bisa renang."

Regan berdecak sembari memijat kening. Hari ini ia ada jadwal eskul renang, dan tentu saja ia akan menyuruh Edel untuk menemani agar gadis itu pulang lebih lambat. Siapa tahu saja jika ia tidak kembali ke rumah tepat waktu, gadis itu akan dimarahi. Bukankah itu hal yang lucu?

"Nggak ada yang ngajak lo renang ke sini."

"Terus?"

"Lo duduk di tribun. Nungguin gue sampe selesai eskul, baru lo boleh pulang."

Edel menggaruk tengkuknya yang tak gatal seraya mengangguk. Ia sudah pasrah mau disuruh melakukan apa pun oleh Regan.

"Sono!"

Lagi-lagi Edel menurut. Ia menaiki tribun dan terduduk di atas sana—menjadi pusat perhatian. Memakai seragam putih dengan rok hitam sendirian di saat semua orang memakai baju renang. Sungguh ... terlihat seperti orang asing yang menyusup walau ia merupakan salah satu bagian dari sekolahnya.

Bahkan guru eskul yang hari itu sedang bertugas pun dibuat bingung dengan kehadiran Edel. Apakah gadis itu sangat baik sampai rela membuang-buang waktu demi menunggu sang pacar? Sungguh gadis impian.

Belum pernah ia menemukan siswi yang sesetia itu pada sang pujaan hati, bahkan istrinya saja tak pernah mau menyaksikan dan lebih memilih untuk tidur di rumah. Katanya, sih, lebih nikmat.

"Kamu nggak pulang, Nak?"

Dengan senyum paksa Edel menggeleng. Ia ingin pulang ke rumah, tapi bagaimana dengan Regan?

Diam-diam pula Regan memperhatikan gerak-gerik Edel dari jauh sembari melempar sorot mata tajam. Terus mengawasi agar gadis itu tidak kabur agar ia bisa menitipkan pakaian kotornya 'tuk dicuci oleh Edel. Bukankah itu perbuatan yang baik karena sudah mengurangi pekerjaan pembantu di rumah?

"Kamu emang nggak capek habis pulang sekolah? Istirahat aja di rumah, besok kan sekolah."

Dari jauh Regan menyipitkan mata seolah memberikan kode tersembunyi.

"Nggak apa-apa, Pak. Saya nunggu aja, sebentar aja, 'kan?"

"Ya ... paling satu jam lebih."

Edel mengangguk walau dalam hatinya ingin sekali berkata bahwa ia sangat ingin pulang.

"Pacar yang baik." Tiga kata terakhir yang diucapkan sebelum guru itu memberikan intruksi untuk para anggota renang.

Ada sesuatu yang menelusup jantung Edel sepertinya. Apakah semua orang yang menunggu di tribun itu sudah pasti memiliki hubungan special? Ah, tapi Edel pun tak mau dengan Regan. Ia ingin lelaki seperti Daun yang bisa memprotek dirinya dari marabahaya dan juga melindungi dari segala sesuatu yang tidak baik.

Mungkin ... andai bersama Regan nantinya, bisa-bisa nasib rumah tangganya akan persis seperti kehidupannya yang sekarang. Penuh siksa dan juga tangis.

Maap kalau suka up malem, kalau siang lagi sok sibuk #plakkk!

Kalau siang beneran sibuk ngerjain sinopsis, revisi, dkk

Libur bongbong produktif, Guys. Tetap sibucks☹️

Kan kebiasaan curhat kann

Happy reading!

Love u,

Bong-Bong❤️

Happy holiday kalian, eh happy rebahan ding🤣. Udah gaes rebahan aja di rumah, jan ke mana-mana. Nikmat kasur jan disia-siakan

#padahalsendirinyajajaneskrim

Nih, anggep aja kalian makan es krim online🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro