🦩18: Semakin Hancur

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mau tak mau Edel harus masuk ke dalam kafe. Dua orang lelaki yang menjadi pusat perhatiannya tadi pun ikut menoleh.

Entah apa yang menahan kaki Edel sekarang, tapi rasanya sangat sulit 'tuk melanjutkan langkah. Bagaimana bisa ...?

Lelaki itu juga memberi reaksi yang sama. Tak percaya dengan kehadiran Edel di sini. Apa itu benar-benar si gadis tukang menangis? Josh sama sekali tak pernah bercerita tentang Edel yang bekerja di tempat milik Tante Alya.

"Kok ... lo di sini?" tanya Regan kaget. Bukankah yang ada di pemikirannya itu seorang Edelweiss adalah anak orang berada dan hanya tahu berkata iya?

Doxy pun ikut terbelalak saat menyaksikan tampilan Edel yang mengenakan seragam kerja Kafe Ice Bear.

"Edel, tolong ke sini." Panggilan itu berhasil memecahkan keheningan antara Edel dan juga teman-temannya.

Astaga ada yang ia lupakan, sudah terlambat satu jam lebih, tetapi masih sibuk menghayati suasana.

Dengan cepat Edel berlari masuk—menemui sang manager yang sudah keluar suara.

"Maaf, Pak. Tadi saya ada remedial dulu di sekolah, jadi datang terlambat," ucap Edel takut.

Pria paruh baya itu hanya mengangguk, kemudian memberikan titah pada karyawan part time-nya tersebut 'tuk segera menyimpan barang bawaannya.

"Setelah itu kamu langsung anter pesenan tambahan ini ke meja 11, ya. Itu yang ada dua cowok pake seragam."

Sontak Edel menoleh—mendapati kedua wajah cowok yang juga memberikan tatapan serius. Sepertinya mereka sedang berpikir tentang alasan Edel bekerja di sini.

"K-ke me-me-ja yang deket pintu itu, Pak?"

Hanya sebuah anggukkan yang Edel terima, bahkan pria itu segera pergi tak tahu ke mana.

Seketika terdengar sebuah suara bisikan yang berasal dari bagian belakang tubuhnya. Kupingnya sedikit merasa geli saat mendapati sebuah angin yang masuk.

"Cie ... nganter ke meja Regan." Ya ... itu adalah Josh yang sengaja meledek gadis cengeng itu.

Dia sedikit tertawa, kemudian segera melangkah kembali ke posisi awal untuk membuatkan pesanan dari meja lain.

Edel menatap langit-langit biru muda kafe. Entah apa tujuan ia melakukan itu. Tapi hati kecilnya masih berharap agar ada orang lain yang mau menggantikan posisinya. Ia takut jika Regan kembali berbuat yang aneh-aneh. Cukup di sekolah saja.

"Del," Seperti ada yang menepuk dari belakang, "anterin cepet! Kasian udah laper customer-nya."

Edel menghela napasnya halus, kemudian segera mengangkat sebuah nampan berisi sepiring tortilla dan juga es coklat yang mungkin dipesan oleh Doxy.

Langkahnya terseret seperti orang yang tak niat berjalan. Kepalanya tertunduk—menyaksikan para makanan dan minuman yang berdiri di atas nampan. Lebih baik menatap mereka dibandingkan melihat wajah Regan yang selalu terlihat ganas.

Sampai akhirnya ia pun harus mendaratkan semua pesanan di atas meja, dan di saat itu pula Doxy bersuara.

"Eh, Crying Girl lo kerja di sini?" tanyanya.

Edel mengangguk pelan. Tapi seperti orang yang terserang penyakit parkinson mendadak, tangannya bergetar saat menurunkan pesanan. Sepiring tortila berhasil mendarat dengan selamat, tapi si es coklat—gelas kedua pesanan Regan—masih tak tahu bagaimana nasibnya.

Tanpa disangka, karena kesal akan kelambatan Edel, tangannya pun ikut meraih gelas berisi cairan cokelat tersebut. Tangan mereka seketika bertumpuk di satu posisi yang sama. Dengan kompak pula kedua pasang mata itu kembali tertuju satu sama lain.

"Biar aku aja yang angkat." Edel memaksa, karena sadar ia hanyalah seorang pelayan yang harus melayani pengunjung. Tapi tangan Regan masih saja bertumpu.

Ekhem!

Astaga jantung Edel semakin berdebar saat sebuah dehaman menelusupi telinganya. Dengan cepat ia memaksa 'tuk mengangkat gelas, dan Regan masih berada pada posisi yang sama.

Gelas itu akhirnya melayang di udara dengan tangan Edel, tapi tangan Regan kembali merecohkan. Gadis itu segera melepas genggamannya, dan Regan yang belum benar-benar memegang ikut terkejut.

Plang!

Gelas itu terjatuh, bahkan jika tak segera ditahan oleh Regan, mungkin akan retak dan hancur menjadi beberapa keping.

Ketiganya membeku. Saling melempar tatap walau Doxy sama sekali tak ikut campur dalam permasalahan ini.

"Loh?" Suara berat dari seorang lelaki paruh baya itu berhasil memecahkan keheningan. Tangan Edel secara otomatis bergerak mengambil gelas kosong milik Regan.

Raffa—manager berbadan gendut—yang awalnya hanya menoleh pada sumber suara, kini melangkah menghampiri mereka bertiga.

Wajahnya sudah berubah menjadi masam—dari yang awalnya terkejut.

"Saya bersihin dulu, Pak." Edel segera kembali ke tempat kerjanya 'tuk mengambil sebuah kain lap.

Sementara Raffa yang masih berdiri di samping meja Regan sibuk menyampaikan permohonan maaf.

"Sekali lagi saya memohon maaf atas kelalaian pegawai kami."

Regan mengangguk pelan, sebab ini bukan sepenuhnya salah Edel, melainkan masih ada campur tangan dari tangannya juga.

"Biar saya suruh buatkan yang baru, ya?" Raffa masih berbicara ramah walau Edel telah datang membersihkan cairan lengket tersebut.

Jantung Edel terus berdetak cepat. Hatinya sama sekali tak tenang saat berdiri di samping Raffa. Bukan karena mendapat penghargaan, melainkan ia dibuat takut apabila pekerjaannya berakhir di detik ini juga.

"Nggak usah, Pak. Nggak apa-apa." Sebenarnya muncul sedikit rasa kasihan di hati Regan. Apakah ini adalah titik akhir dari penyiksaan yang siap ia beri?

"Maafin aku." Edel segera berputar posisi setelah meja yang ia bersihkan kembali terlihat kinclong tanpa noda tanpa mengharapkan sebuah balasan.

Namun, sudah pasti jika ia melakukan kesalahan, sebuah konsekuensi pasti diterima.

"Ikut saya." Raffa mengajak Edel masuk ke dalam ruang khusus karyawan. Dengan hati yang bergermetar, gadis itu terpaksa membuntuti dari belakang. Semoga hanya berujung menjadi amarah dan tak berlanjut menjadi pemecatan.

Sampai akhirnya hanya mereka berdua yang berdiri dalam ruang berwarna biru tersebut. Desainnya tak jauh beda dari tempat khusus pengunjung, tetapi di sini hanya disediakan kipas.

Walau kipas yang menggantung menyala, namun keringat Edel masih mengucur deras. Bahkan karena dilanda panik, sang air mata pun ikut bermain bersama si cucuran jasmani.

"Kamu memang hanya karyawan part time, tapi seharusnya tetap berhati-hati waktu bekerja. Ini kafe, bukan rumah kamu yang bisa dipake untuk melakukan apa pun seenaknya." Intonasinya tak terlalu besar, demi menjaga ketenangan di luar.

"Iya, Pak. Saya minta maaf."

Raffa menggelengkan kepala tanpa memperhatikan wajah Edel yang masih tertunduk. Entahlah ... tapi karyawannya ini sangat senang menundukkan kepala.

"Sudah, balik bekerja lagi. Kalau sampai hal yang sama terjadi lagi, kamu bisa saya pecat. Coba bayangkan kalau itu kopi panas, bisa melepuh tangan pelanggan kita." Setelah puas berceloteh ria, Raffa segera keluar dan kembali mengamati situasi kafe. Saat ada pengunjung masuk pun, senyumnya kembali terulas.

Edel segera menghapus sang berlian. Baik, dirinya berjanji akan bekerja lebih baik lagi agar bisa selamat dari terkaman harimau di rumah. Sudah beruntung ia tak memiliki manager garang dan berujung pada peneguran saja di ruang khusus karyawan.

Happy reading, Bebsky!

Love u!

Bong-Bong ❤️

Oh iya lupa, ada materi promosise lageh, Bebsky Piranha.

Kali ini Bong-Bong mau rekomendasiin cerita Dipaksa Menjadi Istri CEO yang ditulis olehhh HairunnisaYs . Bebsky Piranha nggak perlu ragu, Bong-Bong udah baca ini. Sumpah, kalian bakal dibikin gemash sama si Mbak Kan-Kan yang oonnya ngga ketulungan.

Tak usah salfok sm judul ala sinet indosiar, katanya itu wajibes dari ketentuan naskahnya. Yaudine kalian kevoin aja ya!!!!

Terakhir,

ILY

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro