💙27: Tata itu Siapa?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Akhirnya Daun kembali bersama handuk dan juga seragam baru untuk Edel. Dirinya sendiri? Tentu saja sudah berganti pakaian. Beruntung pula di lokernya selalu tersedia dua buah handuk, jadi masih bisa dipakai oleh sang sepupu.

Setelah keheningan terpecah di dalam ruang UKS, akhirnya Dokter Ninis berjalan keluar 'tuk mengambil barang-barang pemberian Daun.

"Terima kasih, Nak."

Daun mengangguk pelan, lalu segera kembali dan berdiri di depan UKS—sibuk menunggu Edel sampai selesai melakukan pemeriksaan, dan kemudian bisa diantar pulang.

Dokter Ninis akhirnya kembali ke dalam ruangan, lalu memberikan Edel sebuah handuk untuk mengeringkan tubuh di balik kain bilik. Sebab pastinya gadis itu punya privasi, apalagi untuk bagian tubuhnya.

Setelah itu Edel melangkah keluar bersama seragam baru. Lebih nyaman rasanya dibandingkan tadi, walau pakaian dalamnya masih basah. Tak mungkin juga gadis itu melepas, bagaimana nasibnya saat di jalan nanti? Bisa-bisa diperkosa oleh banyak pria tak memiliki otak.

"Sudah lebih baik, Nak? Mau saya mintai OB untuk buatkan teh manis supaya lebih segar tubuhmu? Sebab gula itu mengandung energi," tawar Dokter Ninis lembut.

"Nggak perlu, Dok," balas Edel tak kalah lembut.

"Baiklah, baring di sini, Nak." Tangan Dokter Ninis menunjuk ke arah kasur berlapis kain putih dan juga sebuah bantal yang sama warnanya.

Edel mengangguk pasrah, lalu menaikkan tubuhnya ke atas sana dengan gemetar. Bukan, bukan karena takut dengan sentuhan jarum yang bisa saja terjadi, namun ia hanya khawatir jika lebam-lebam bekas ukiran Ariyanto terlihat jelas.

Dokter Ninis perlahan memainkan stetoskopnya di atas tubuh Edel. Jari-jari kurus keringnya membuka kancing baju Edel untuk memeriksa bagian dalam. Sebenarnya ia sedikit bingung, mengapa gadis ini tak bisa diam? Tubuhnya terus begemetar takut. Padahal ia sudah mencoba 'tuk menjadi dokter yang ramah.

"Kamu tidak perlu takut, Nak."

Edel menggeleng. "I-iya."

"Maaf, ya," ucapnya.

Gadis itu terdiam bersama beberapa pikiran negatif. Berpikir bahwa dokter cantik ini akan melapor pada Daun dan menyuruh sepupunya untuk menyaksikan sendiri. Tapi ... semoga itu hanyalah sebuah pikiran.

Dalam hitungan detik, mata Dokter Ninis terbelalak lebar. Bagaimana bisa ada banyak luka lebam dan juga bekas sundutan rokok? Apa yang sebenarnya terjadi pada gadis ini?

"Loh, Nak, kamu kenapa?"

Edel menggeleng. Sudah pasti air matanya kembali bertamasya tanpa isakan. Tapi ia tak boleh menjawab jujur, bagaimana jika Ariyanto dipanggil ke sekolah 'tuk menyelesaikan semua permasalahan di depan guru?

"Kamu tadi hanya tenggelam saja, 'kan? Tidak disiksa sama siapa pun, 'kan?" seru Dokter Ninis sedikit khawatir. Siapa yang tega melakukan kekerasan terhadap gadis di bawah umur ini?

Edel terdiam. Hening sebentar.

"Hei ... tidak ada yang baik-baik saja kalau sudah banyak luka seperti ini. Kamu harus jawab jujur sama saya, Nak."

"Mung-mungkin sa-saya ke-ke-kebentur aja, Dok. Iya, kebentur. Ta-tadi tan-tanpa sadar kebentur lantai kolam." Bola mata Edel terus bergerak ke sana-kemari. Tak berani menatap lekat mata Dokter Ninis seolah membuktikan bahwa ia sedang berbohong. Mungkin ... jika yang ada di hadapannya ini adalah Daun, pasti ia akan dipaksa 'tuk fokus.

Dokter Ninis menggeleng. Ya ... iya tahu Edel berbohong. Tak mungkin sampai seperti ini jika hanya terbentur. Pasti ada sesuatu yang aneh.

"Kamu diam, biar saya beri obat."

Dokter Ninis segera melangkah mengambil kain kasa dan juga alkohol. Setelahnya segera kembali menghampiri Edel yang terbaring lemah bersama air mata. Pasti ... bahkan sangat jelas bahwa ia memiliki sebuah permasalahan.

"Tahan, ya. Mungkin akan sedikit sakit. Tapi jika tidak diobati, lukamu akan menjadi semakin parah," ucapnya sembari menuangkan alkohol.

Saat kain kasa itu menyentuh luka-luka milik Edel, gadis itu hanya meringis dalam diam. Terasa sakit, tapi masih tak sebanding dengan ucapan Ariyanto semalam. Matanya terpejam, dan perlahan seperti berjalan memasuki sebuah alam mimpi.

Walau wajahnya tampak tenang dan isakannya terhenti, Dokter Ninis masih bisa mendengar beberapa kata yang keluar dari bibir Edel.

"Please, Pa, jangan salahin Tata terus. Tata ngerokok juga karena lelah disiksa Papa. Tata cuman ngelampiasin aja semuanya. Kalau memang bener Tata itu bukan anak Papa, kenapa Papa masih larang Tata buat ngerokok?" Kata-kata ini lolos begitu saja dari bibir Edel tanpa sadar. Air mata yang semulanya sudah mengering, kini kembali mengalir deras dalam diam.

Dokter Ninis kembali dibuat terkejut. Bagaimana bisa gadis lugu ini merokok? Apakah mungkin luka-luka ini sengaja disundut oleh sang ayah karena kecewa dengan anaknya sendiri?

"Kasian kamu, Nak. Tapi bukan begini caranya kalau kamu kesal atau marah," ucap Dokter Ninis sembari mengancingkan kemeja Edel.

"Ya sudah, deh. Tidak apa-apa kamu tidur dulu. Nanti saya bangunkan lima belas menit lagi." Dokter Ninis kembali terduduk di kursinya sembari menuliskan resep yang mungkin bisa membuat Edel pulih.

"Papa, kalau Tata emang bukan anak Papa, boleh nggak Tata pergi aja? Biar kita sama-sama bahagia. Papa nggak perlu nyiksa Tata lagi, Tata juga nggak perlu nerima siksaan Papa. Jadi, kita impas, Pa." Bibir Edel kembali bergerak tanpa sadar. Sang mata nyatanya masih betah untuk mengistirahatkan diri sejenak.

Dokter Ninis yang masih menuliskan resep pun hanya menggelengkan kepala sembari bernostalgia tentang masa kecilnya dulu. Bersyukur sangat ia tak pernah mengalami kekerasan fisik maupun mental. Sekarang ia jadi sadar bahwa tak semua anak bisa mendapatkan kasih sayang yang cukup.

☘️☘️☘️

Daun dan Regan dapat mendegar jelas apa yang diucap oleh Edel di dalam. Entah rasanya Daun semakin kesal dengan Ariyanto, apalagi kepada Regan yang dengan tak tahu dirinya masih menyiksa Edel.

"Bakal gue penjarain si Ari suatu saat nanti. Lo nggak perlu khawatir lagi gimana kelanjutannya, Edelweiss," desis Daun.

Sementara Regan, ia masih sibuk berpikir keras tentang siapa itu Tata. Apakah itu benar-benar Edel atau hanyalah anak lain?

Daun kembali melempar tatapan sinis ke arah Regan yang tak lagi tahu harus bergerak seperti apa. Kedua tangan Daun terlipat di depan dada, napasnya sedikit memburu saat mengingat apa yang terjadi tadi di kolam.

Lihat saja, tak akan ia bantu Regan 'tuk menjadi ketua eskul, bahkan ia rela menjelek-jelekkan cowok itu di hadapan Pak Tayo.

Regan terdiam kaku saat menyadari apa yang diperbuat Daun. Di mana Josh dan Doxy saat ini? Apakah mereka tak mau membantu temannya yang sedang terintimidasi oleh mantan ketua eskul panutannya itu?

"Ma-maaf, Bang. Tata yang disebut sama Edel itu siapa? Adiknya si Manusia, eh Edel?" tanya Regan dengan wajah sok polos. Berharap Daun akan menjawab dan mau menerima permintaan maafnya nanti.

Yeyyy bongbong nggak telat upnyaa!!😆

Eh, btw, anw, busway, itu si Regan kenapa nanya gitu dah ke Daun ☹️. Haduh pake keceplosan segala pula. Plis dasar, eh sadar siapa yang lagi berhadapan sama dia!!!!

Btw bongbong pas ngetik yang edel ngigo, nangis masa :(

Oh, ya, hari ini mau iklan ceritanya oh si kaka paling kejam yang udah cem silent killer, iya kek pembunuh berdarah dingin gitu, itu tu si Nova_Lindah . Ceritana genrenya fantasy, Bebsky Piranha. Judulnya Mark Jeden. Kata doi sih seri penyihir gitcu. Kalian kepoin aja, kalau nggak mau juga nggak apa WKWKKWKWKW. #keknggakikhlasgituya🤣

Happy reading!

Love u,

Bong-Bong❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro