🌴35: Konsultasi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Eh, lo waktu itu juga kesusahan kan ngedapetin pacar?" Regan bertanya melalui telepon. Baiklah, hatinya sudah meronta ingin segera mendapat solusi. Kini, hanya Ziva-lah yang menjadi satu-satunya harapan untuk menjadi obat penenang.

"Iya, tapi kayaknya karena gue imut dan cantik. Jadi manusia paling tampan se-Alderra itu pasti luluh, Regan." Dengan penuh kepercayaan diri yang tinggi, Ziva menjawab. Bukankah memang fisiknya ini hampir sempurna hingga bisa meluluhkan kedinginan seorang lelaki?

"Heh, nggak sadar apa lo udah kayak bocil SMP?"

Bukannya kesal, Ziva justru bangga. Berarti memang benar kalau dirinya imut. Buktinya Regan saja sampai tak tahan untuk memuja.

"Kan ... sekarang Regan ngaku kalau Ziva imyut."

Mata Regan terbebelak lebar, bahkan rongga pernapasannya pun sedikit menyempit. Kenapa semakin hari sepupunya semakin menjadi? Kenapa sejak berpacaran dengan Nusa justru menjadi alay?

"Coba Biskuit Regal kirim fotonya Edel. Dia imyut kayak Ziva juga apa enggak? Kalau iya, gue dukung. Dibantuin, deh, biar lo nggak jomlo lagi." Ziva berucap penuh gelak tawa—seolah menyadari bahwa dirinya sendiri pun memang menggelikan, tapi ia percaya bahwa semua itu bisa menghibur siapa pun. Terkecuali Mela dan juga Hardie.

Dengan cepat Regan segera menyembunyikan tampilan sedang menelepon, dan berganti membuka galeri. Eh, kok galeri? Tak ada satu pun fotonya di sana. Sejak kapan wajah Edel pernah berdiam diri di sana?

"Mana, Biskuit Regal?"

"Ya ampun, gue lupa. Lo liat aja Instagram-nya @Sam.Edelweiss.Nad."

"Nggak ada fotonya, anjir," pekik Ziva dari kejauhan, bahkan tampilannya sama persis seperti Nusa. Tak pernah memposting satu pun foto. Baiklah, berarti Edel itu merupakan tipe kepribadian introvert, dan mungkin saja cara pendekatannya sama seperti ia ke sang kekasih.

"Oh, iya, lupa," balas Regan santai sembari menyenderkan tubuhnya ke pinggir kasur, setelah lelah berputar bolak-balik ke segala penjuru kamar.

"Ya udah, pokoknya gue harus liat Edel dulu! Nggak pake koma, titik, tanda seru."

"Hah?!" Sungguh ... sudah gila sepertinya manusia di seberang sana. Bertemu dengan Regan saja rasanya sulit, bagaimana bisa jika dipaksa menghadang Ziva? Aduh ... mengingat kepribadian sang sepupu yang begitu agresif, Edel pasti ketakutan.

"Iya, pokoknya gue mau liat."

Regan menghela napas kasar. Apakah ia sudah salah dalam meminta saran? Kenapa tadi ia tidak menelepon Rilla saja? Astaga ... tapi gadis yang satu itu pun tak terlalu mengerti tentang cinta sepertinya. Mungkin memang setiap manusia memiliki sisi positif dan juga negatif. Tapi yang lebih mendominasi kepribadian Ziva adalah sisi terburuk.

"Tadi gue pulangnya bareng Ayang Mbeb. Biskuit Regal mau tau, nggak? Di jalan, dia narik tangan gue supaya meluk pinggang dia. Terus tau nggak dia ngomong apa? 'Pegangan, nanti jatoh.' Gila, ya. Kalo bisa jingkrak-jingkrak atas motor, gue lakuin dah. Eh, harusnya tadi gue kayak gitu, ya, kalo jatoh kan ditangkep." Ziva justru bercerita tanpa henti. Lagi pula, Regan pun tampak hanyut dalam pembicaraan. Semoga saja, ia bisa patuh pada komitmennya. Memberikan saran setelah ia memberikan restu pada hubungan Regan dan juga Edel.

"Ziv, lo—?"

Tak ada suara, tapi sepertinya gadis itu sedang memikirkan mana jawaban yang tepat untuk ia ucapkan.

"Terus, ya, Regan, tadi Ayang Mbebnya Ziva juga mampir dulu, loh, sebelum pulang" balas Ziva penuh semangat. Apakah mungkin esok akan terjadi hal yang sama lagi?

"Cepet, gimana caranya biar gue bisa ngedeketin Edel."

"Lo harus agresif pokoknya—kayak gue." Setelah berbicara, sambungan telepon diputuskan secara sepihak. Ah, memang tidak salah lagi kalau ini benar-benar Ziva. Tak ada sepupu laknat lainnya yang ia kenal, terkecuali si manusia bucin itu.

"Anjir!" Bagaimana caranya ia harus bertindak agresif? Bukankah itu sama saja mempermalukan dirinya sendiri di depan pujaan hati? Lagi pula reputasi dirinya di sekolah kan bukan tipe yang seperti Josh—asal dekat, lalu berpacaran.

Apakah ada jasa santet daring yang bisa ia gunakan untuk dikirim ke rumah Edel? Eh, tapi tunggu. Ia saja tak tahu di mana alamat jelasnya, habya mengetahui arah yang dilewati dari sekolah.

"Tunggu ... tapi masa gue jadi agresif, sih? Buat ngomong langsung aja susah kayak jadi ketua eskul."

Regan memandang sekeliling kamarnya. Berharap bahwa tembok pun akan berbicara tentang bagaimana caranya, walau sayangnya hal itu terkesan tidak mungkin dan penuh halusinasi.

"Eh, iya, ngomong-ngomong ketua eskul, kenapa gue nggak minta tips sama cowoknya Ziva aja, ya? Walau dia emang sih di choir, tapi siapa tau aja kan sama?"

"Astaga, kok gue jadi mikirin ketua eskul lagi?" Rambutnya kini teracak karena terus digaruk kasar oleh sang pemilik.

"Tapi gue harus tau mana yang jadi prioritas. Edel atau ketua eskul?"

"Kenapa perjuangin cinta itu sama susahnya kayak jadi ketua? Tapi ... kalau gue deket dan pacaran sama Edel, gimana reaksi Bang Daun nanti kalau misal sampe dia liat?"

"Tapi gue suka sama adik sepupunya. Kenapa dia udah ninggalin jejak di sini?" Sembari memegang rumah—bagi hatinya, Regan seketika terdiam. Sibuk berpikir tentang apa yang salah dari dirinya sampai Edel pun sulit untuk digapai. Walau sebenarnya ia sendiri pun sadar, sejak sentuhan cinta yang diberi secara diam-diam, karakternya pun menjadi ikut berubah.

Mungkin hanya dirinya sendiri yang sadar. Bukan mirip seperti Josh yang konyol, tapi semakin banyak pula puing-puing kegalauan yang terus turun deras di atas kepala. Sumpah ... Edel sudah mengubah segalanya menjadi lebih aneh. Tapi wajar, 'kan?

Kalau Ziva aja dapetin Bang Nusa berbulan-bulan, apa gue juga butuh waktu yang sama? Tapi itu kelamaan. Gue maunya yang instan aja kayak Indomi.

Apa mungkin ini Karma? Gue udah jahat banget sama manusia yang satu itu, dan bukannya pantes kalau gue diginiin sekarang? Tapi kenapa urusannya harus sama cinta? Apa mungkin Edel juga ngerasain hal yang sama? Kayaknya mustahil. Mungkin kalau Bang Daun itu bukan sepupunya, mereka udah pacaran sekarang.

Tapi nggak apa-apa, deh, mereka sepupuan walau jadi banyak rintangan buat ngedapetin dia. Setidaknya masih ada peluang walau cuman satu persen.

Entahlah, Regan sendiri pun bingung dengan apa yang terpikir sekarang. Hari demi hari rasanya hanya terbayang oleh wajah Edel. Tak lagi tersedia sedikit pun posisi untuk mencerna pelajaran, apalagi hobinya yang dulu sering dijadikan bahan untuk menghilangkan rasa penat. Sekarang ... semuanya sudah berubah.

Walau ia sendiri pun selalu berpikir, apakah haru-hari yang terlewati kemarin justru menjadi bumerang untuk melangkah maju atau membuatnya semakin mundur?

Pas banget 1000 kata🤣. Tadinya mau 500 aja, tapi ntah.

Ini adalah iklan yang terakhir🤣. Cerita Letter dari adik tiri mahilastories baca yaws!

Happy reading!

Love u,

Bong-Bong

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro