🍬40: Terpaksa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Mau ngapain, sih?" tanya Regan kesal. Sungguh ... kalau saja bukan sepupu dan tidak memberi manfaat, pasti sudah ia usir.

"Cepetan, Biskuit Regal!"

Regan menghela napas kasar, lalu menarik sang ponsel dari kediamannya dan menyerahkan secara paksa pada Ziva.

Ziva tersenyum penuh kemenangan. Baiklah, ini adalah saat yang tepat untuk membuat Edel jatuh cinta pada Regan. Lagi pula, nasib Regan itu sebenarnya miris. Mau menggapai hati seorang cewek aja sulit seperti mencari jarum dalam tumpukkan jerami.

"Cepetan, nih, buka dulu pake face id! Eh, nggak jadi, password aja! Nanti hpnya nggak dibalikin!"

"1 2 3 4 5 6," balas Regan sinis.

Ziva kembali tersenyum penuh arti, lalu membuka aplikasi WhatsApp, dan mengetik nama Edel di sana. Namun, selang beberapa lama mesin pencari itu bekerja, nama Edel tak kunjung ditemukan.

"Loh, contact Ayang Mbeb nggak disimpen?!" teriak Ziva kencang, sementara Nusa hanya menggelengkan kepala. Lantaran sudah merasa pusing dengan apa yang dilakukan oleh gadis di sampingnya.

"Mau ngapain, sih, lo? Nggak mungkin dia angkat. Lagi berantem gue."

Ziva menjentikkan jarinya seketika. Sip, ini adalah waktu yang semakin tepat. Ia akan menjadi penengah.

"Cepetan namanya siapa! Nanti gue bantu supaya baikkan!"

"Ziva, itu privasi orang, loh," sahut Nusa lagi yang tampak merasa kasihan dengan Regan sekarang. Cowok itu sangat pasrah, bahkan menuruti kemauan Ziva terus.

Tampak tak peduli dengan ucapan Nusa, Ziva akhirnya membuka pesan WhatsApp milik Regan satu persatu. Oh, jadi diberi nama Manusia? Ya ampun sungguh tidak memiliki perasaan. Baiklah akan ia ganti menjadi Ayang Mbeb Edel.

Setelah puas dengan nama karangannya, jempolnya pun berjalan dan menginjak gambar video call di sudut kanan atas.

Calling

"Ih, kok nggak diangkat? Astaga ... ayo, dong, Ziva kepo sama muka kamu, Edel."

"Ziva!" Mata Regan kembali terbelalak lebar, bahkan secara otomatis langkah kakinya ikut bergerak—hendak merampas ponsel miliknya.

Namun, secepat kilat gadis itu menyembunyikan ponsel milik Regan ke belakang pinggang, lalu bangkit berdiri. "Kalo Biskuit Regal ngerampas, nanti Ziva delete contact!"

Lagi-lagi Regan dibuat kembali ke tempat asal. Semoga ia selalu diberi kesabaran dan bisa hidup bahagia selama berhadapan dengan Ziva.

Jari telunjuk Ziva kini sudah berpindah posisi ke depan bibir—mengisyaratkan semua manusia agar terdiam ketika ia melakukan panggilan biasa. Biarkan pulsa sepupunya habis, yang penting ia bisa berkenalan.

Bukan Ziva namanya kalau ia menyerah, sudah sepuluh kali panggilan yang ia lakukan. Ia sangat yakin, di panggilan ke-11, pasti diangkat.

Ya, benar dugaan gadis itu. Sebuah suara langsung terdengar dari ujung sana. Dengan cepat tangan Ziva menyentuh gambar pengeras suara agar bisa didengar oleh Regan dan juga Nusa.

"Ha-halo," ucapnya bersama sedikit isak tangis. Edel memang masih bermain dengan air mata sekarang, apalagi saat melihat tampilan nama Regan, semua yang terjadi di rumah Alya kembali tampil secara jelas.

"Halo, Edel! Salam kenal, gue Ziva," ucapnya di telepon. "Eh, kok nangis? Lo diapain sama Biskuit Regal? Hah?" Baru saja berkomunikasi untuk kali pertama, tapi gadis ini sudah menginterogasi.

"Nggak apa-apa. Ka-kamu s-si-siapa?"

Bukannya menjawab, Ziva justru bangkit dan menghampiri Regan. Jari jempol dan telunjuknya sudah sejajar, dan ini adalah waktunya untuk membalas semua air mata gebetan Regan. Dicapitnya telinga Regan kencang, sampai Nusa pun bangkit 'tuk membantu melepaskan capitan itu.

"Kenapa lo bikin Edel nangis?!"

"Ad-aduh, sakit, Va. Ntar gue jelasin. Lepasin dulu!"

Nusa yang sudah kehabisan akal hanya berusaha menarik capitan tangan Ziva dari kuping Regan. Beruntung, sentuhan tangannya berhasil membuat Ziva melepaskan tangannya dan kembali ke posisi.

"Kakak Ganteng! Kan kalau dipegang kayak gitu, Ziva jadi gampang ngelepasnya!" celoteh si gadis berambut sebahu.

Regan menghela napas pelan sembari mengusap telinganya lembut. Syukurlah, capitan kepiting sudah lepas. Tunggu ... kenapa Mari justru tidak turun dan membela anaknya? Bahkan membiarkan Regan disiksa oleh sepupu sendiri. Pasti, wanita itu sedang asyik menonton YouTube.

"Oh, iya, sampe lupa!" Dengan cepat Ziva kembali mengambil ponsel milik Regan yang ia letakkan di atas sofa.

"Halo?"

"I-iya?" balas Edel lagi yang baru saja selesai mengernyit setelah mendengar pertengkaran. Beruntung pula nasibnya, di saat ada pertengkaran, ia jadi bisa menghapus segala macam air mata.

"Regan mau minta maaf! Edel dengerin, ya."

Ziva segera mengarahkan ponselnya menuju bibir Regan, lalu segera mengangkat dagu—memberi kode agar Regan benar-benar melakukan apa yang sudah ia ucap.

"Gue minta maaf kalau ada salah sama lo. Tolong, jangan kayak tadi lagi. Besok kita ketemu dan omongin semuanya biar clear, oke?"

Belum sempat Edel menjawab, Ziva kembali bersuara. "Regan itu suka sama lo. Tau, nggak?"

Edel yang baru saja meletakkan puntung rokoknya di atas asbak sontak tersedak air liurnya sendiri. Astaga apa yang baru saja ia dengar?

"Ka-kamu tau darimana?"

"Oh, Edel ngomongnya pake aku-kamu. Oke, Ziva ikutan. Dia yang ceritain sendiri setiap malem. Walau sebenernya aku juga ngantuk, sih, pengen bobo. Tapi karena kasian, aku tanggepin, deh."

Rahang Regan mengetat kuat. Kalau saja bukan seorang perempuan, pasti sudah ia bawa ke ring tinju dan menghajarnya sampai pingsan.

"Sabar." Nusa terlihat menahan tawa, tapi tetap berusaha untuk menenangkan cowok itu.

"Oh, iya, Edel. Aku penasaran sama muka kamu, ayok kita video call. Pasti kamu mau liat muka Regan juga. Pasti kangen, 'kan?"

Apakah masih sopan untuk mematikan sambungan telepon sepihak? Sungguh ... Edel tak nyaman berada di posisi seperti ini. Jujur, sepupu Regan sudah sangat mengganggu.

"Maaf, ya."

"Ih, kamu jangan minta maaf. Oh, iya, tadi Regan mukanya lesu banget. Kayaknya dia udah nyesel sama apa yang dia perbuat ke kamu. Dimaafin, 'kan?"

Agar cepat selesai, Edel akhirnya menjawab, "Ya udah."

Walau sebenarnya persetujuan untuk menjawab itu tak terlalu ikhlas ia ucapkan.

"Oke, bye ... Edel!"

Senyum Ziva kembali mengembang, lalu melempar ponsel yang baru saja ia pakai seenak hati ke atas sofa—tempat Regan duduk.

"Kak, yuk kita pulang. Bye, Regan! Makasih, misi Ziva udah berhasil." Ziva segera bangkit, lalu berjalan menaiki anak tangga dan mengetuk pintu kamar Mari bersama Nusa. Segera meminta izin untuk pulang, kemudian menghilang dari kediaman Regan.

Bukan tak sopan, tapi memang budaya di keluarganya Regan seperti itu. Andai sudah dekat, pasti diperbolehkan untuk menggunakan rumah seperti milik sendiri.

Di saat dirinya tertinggal sendirian di ruang tamu, hanya tersisa dua buah rasa. Lega dan juga malu. Bersyukur sudah mendapat maaf, tapi apakah Edel masih mau berbincang dengannya setelah bertemu Ziva? Apalagi tadi terdengar tak ikhlas pula yang terucap.


Bongbong ngakak baca scene Ziva. Ya ampun, ayo buat yang kepo sama kisah hidup cewek pecicilan itu bisa baca Drama Queen Life.

Tapi berkat Ziva, Regan jadi dimaafin sama Edel. Astaga makhluk itu berguna juga😂

Happy reading!

Love u,

Bong-Bong❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro