Mulut Arief

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bahaya terbesar adalah ketika dirimu dicelakai oleh orang lain. Namun yang lebih besar dari itu adalah bahaya dari salah langkahmu sendiri.

***

Bammm!

Alfian membentur mejaku hingga aku terbangun dengan detak jantung tak karuan. Istirahat pertama adalah awaktu yang tepat untuk tidur. Namun, seseorang berani membangunkanku dengan cara yang sama sekali kasar dan tidak bisa ditoleransi.

Apa salahku dengan Alfian? Sampai dia membentur mejaku dan membuatku terkejut? Padahal selama ini aku sudah berusaha menjadi orang yang tenang. Benar-benar tenang agar aku tidak terkejut seperti sekarang ini.

Dadaku sesak. Aku segera bangkit dan menatap Alfian dengan tatapan penuh kebencian. Aku ingin dia hilang dari kelas ini, mati saja kalau perlu.

"Apa? Sorry bro. Tadi cuma nyenggol dikit. Lagian kenapa pula tidur hahaha."

Aku masih menatapnya serius. Lalu melihat ke belakang Alfian ada Yudhis. Sama-sama ada peluh di dahi mereka berdua. Jelas mereka habis lari-lari dari luar.

Seperti tergerak sendiri. Napasku tak beraturan dan tangan kananku meraih kerah Alfian. Tangan kiriku menggenggam siap melepaskan apa yang memang harus dilepaskan.

"Bang! Tenang Bang!" Mendadak sebelum lengan kiriku yang sudah kaku itu hendak melayang untuk menggampar wajah Alfian, Hari menarikku menjauh.

"Sampah!" Aku melepaskan diri dari Hari dan hendak keluar.

"Yang sampah itu siapa. Yang di kelas cuma jadi beban. Yang nggak pernah mau tahu. Yang egois. Yang mikirnya cuma cari duwit. Pantes nggak punya teman. Tempatmu memang di pasar jadi berandal. Hahaha."

Aku terhenti. Itu kalimat biasa. Namun yang paling akhir tidak pernah kudengar sebelumnya. Aku tidak pernah cerita dengan siapapun soal bagaimana kegiatanku selain di sekolah. Aku menyembunyikannya rapi seperti menyimpan peti mati di dalam tanah. Kukubur dalam-dalam.

Aku berbalik dan kembali berada di depan Alfian dengan darah mendidih.

"Dari mana kamu tahu, huh?" Suaraku terdengar serak tetapi tegas.

"Tahu yang mana? Semua orang tahu kamu di kelas seperti apa, semua orang di sekolah ini mungkin tahu." Alfian mengedikkan bahu.

Dia hendak berbalik dan pergi tetapi aku menarik lengan bajunya.

"Bagaimana kamu tahu soal apa yang kukerjakan?"

"Oh, yang kamu dagang di pasar setiap pagi itu? Bentar, kemarin aku les sama Arief dan dia cerita soal itu. Aku pun baru tahu." Alfian kembali mengedikkan bahu.

"Btw, benar juga. Ali nggak usah belajar. Dia sudah bisa cari duit dengan dagang di pasar pagi. Pantes kerjaannya cuma tidur."

"Yap, tul. Nggak modal lagi. Bau-bau cowok matre."

Aku mendorong Alfian dan segera berjalan cepat keluar kelas. Untunglah isi kelas hanya sedikit orang karena kebanyakan orang berada di luar untuk istirahat.

Kata-kata Alfian sangat menyakitkan tetapi lebih menyakitkan setelah aku tahu kalau Arief yang mengumbar permasalahan ini. Semua ini permasalahanku sendiri. 

Aku melenggang ke kantin Pak Robert. Hanya di sana aku bisa menenangkan diri bersama segelas es teh. Namun, tempat itu pun mengingatkanku pada Arief. Kebiasaan kami berdua langganan kantin itu. Kenapa? Kenapa Arief cerita-cerita? Kupikir dia orang yang bisa dipercaya untuk menjaga rahasia kecil.

Bahkan sejak SMP aman-aman saja. Ada apa dengannya?

Apa alasannya menceritakan sifat atau apa saja yang melekat pada diriku kepada orang lain?

Otakku sangat bunek. Bunek soal pelajaran dan kini ditambah dengan masalah sosial. Masalah hubunganku dengan orang lain. Aku harus bagaimana? Bagaimana kalau orang tahu betapa menyedihkannya diriku? Apa aku akan dianggap materialistis? Seperti yang dikatan oleh Alfian.

Sepertinya itu benar.

"Bang, jangan sedih atuh. Itu si Alfian kan tahu sendiri gimana orangnya. Dia anak cerewet. Cowok tukang gosip. Yah, walaupun aku baru tahu juga kalau hidupmu berat. Tetapi tenang, Bang.  Mungkin si Arief juga cuma terpancing ikut gosip sama si Alfian, ye kan? Atau gimana ya."

Aku tertegun. Hirupan air es teh di sedotanku seperti tercekat dan terasa menyakitkan di tenggorokan. Sejak kapan Hari mengikutiku?

Aku menoleh kepada Hari dengan wajah malas. Dia memesan es jeruk.

"Jangan marah, Bang. Niat saya baik."Hari mengaduk es jeruk yang gulanya mengendap di dasar.

Bulir-bulir embun di luar gelas mengalir berjatuhan. Tepat di bawah sekeliling gelas tinggi es jeruk milik Hari, genangan air itu terbentuk. Meja yang hanya dibalut karpet tipis ini kedap air. Hari tidak peduli soal itu. Dia hanya terus mengaduk es jeruknya dengan wajah tidak sabar untuk minum.

"Aku nggak butuh rasa kasihan sama kebaikanmu. Aku biasa saja dan baik-baik saja."

Aku kembali kepada es tehku. Baru kusadari kalau ada endapan teh pula di dasar gelasku. Apa aku memang melewatkan sesuatu? Bukankah itu hal yang lumrah buat manusia?

"Ali, kupikir hal itu nggak baik. Kita ini makhluk sosial, kita hidup berdampingan." Hari mengatakan hal itu dengan pelan.

Aku tahu dirinya tidak ingin menyinggung perasaanku.

"Kau macam anak IPS saja. Makasih." Aku berusaha tersenyum tipis menyembunyikan segala perasaanku sendiri.

"Yah, begitulah. Sebenarnya, ulangan Matematika Peminatan kemarin pun tak kukerjakan satu soal pun."

Hari terkekeh pelan.

Aku ikut tertawa sedikit. Hari memang tahu bagaimana membuatku sedikit merasa lebih baik. Mungkin, untuk sementara waktu ini pula, aku akan jauh-jauh dari Arief. Bagaimana kalau anak-anak kelas tahu?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro