Cantik itu Bahaya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cantik itu Bahaya
By Sarinaava




Ia tidak pernah meminta untuk dilahirkan seperti itu. Kalau bisa memilih sendiri bagaimana rupa yang diinginkan, ia pasti memilih memiliki wajah yang mulus, putih, tirus, pokoknya yang rupawanlah! Namun, kenyataannya, wajah bulat persis seperti tubuhnya, berminyak, dan dihiasi jerawat besar-besar. Belum cukup sampai di sana, rambutnya juga keriting kering yang mudah sekali bercabang. Elie tidak pernah kuat berlama-lama menatap cermin, ia benci wajahnya sendiri.

Meskipun ia tidak bisa menyalahkan orang tuanya atas gen yang diturunkan pada dirinya, Elie tetap tidak bisa menerima tampang yang ia punya. Jadi, perempuan yang seminggu lagi genap berusia enam belas tahun itu berupaya semaksimal mungkin untuk merawat diri.
Ia bukan tipe perempuan yang pasrah keadaan atau cuma bisa mengeluh saja. Elie juga bertindak untuk perubahan dirinya. Sayangnya, semua yang diharapkan tidak semudah itu.

"Makanya, El, sudah aku bilang kulit kamu berminyak harusnya pakai sabun cuci muka yang merek CorLien aja!"

Temen sebangkunya itu membuat Elie ingin membalikkan meja. Merek CorLien emang terkenal bagus dan ampuh, tapi harganya minta ampun mahalnya. Kalau mau beli itu Elie harus rela tidak jajan selama tiga bulan, itu pun hanya mampu membeli yang ukuran kecil. Benar-benar!

Menunggu uang terkumpul, jerawat Elie pasti sudah berkembang biak semakin banyak. Mengembuskan napas panjang, ia menatap kembali layar ponsel pintarnya, aplikasi toko online itu tengah menunjukkan harga produk CorLien. Ia sudah memasukkannya dalam keranjang, tapi entah kapan akan ia check out.

"Masih mikir lagi, El? Belum mau beli?" Sarah–nama teman sebangkunya–berdecak gemas. "Tinggal bilang orang tuamu untuk beli, lagi pula ini, kan, untuk kebaikan anaknya juga."

Perempuan yang punya rupa berbanding seratus delapan puluh derajat dengannya itu mematikan layar ponsel Elie. Layar hitam itu memantulkan bayangan wajah Elie.

"Lihat wajahmu, El."

Buru-buru Elie mengubah ponsel itu jadi menelungkup, ia benci rupanya.
"Kan! Mengerikan, El. Apa mereka tidak peduli akan kesehatan wajah anak mereka?" Sarah berkata dengan kepedulian.

Memang, di antara teman-teman yang Elie punya, hanya satu ini  yang peduli dirinya. Biasanya Elie hanya menerima ejekan, bukannya nasehat dan informasi untuk merawat wajah.

Berangkat dari perbincangan hari itu, Elie benar-benar mengikuti perintah Sarah. Selepas sang ibu pulang bekerja, ia menghampiri wanita itu di kamar sambil membawa minyak urut. Elie tidak bisa langsung mengatakan maksudnya, ia lebih dulu mengambil hati ibunya dengan memijat tubuhnya.

"Tumben kamu baik gini, El. Pasti mau minta sesuatu," ucap ibunya sambil menatap penuh selidik Elie yang tengah serius memijat kakinya.

"Ibuk, mah, gitu. Elie baik selalu dituduh yang enggak-enggak." Tangannya yang bulat dan sedikit besar itu menekan kaki sang ibu yang telah dilumuri minyak urut dengan tenaga sedang. "Hanya saja, Elie mau cerita sesuatu."

"Halah, El. Macam baru sehari kamu jadi anak Ibuk."

"Ih, Buk! Kan, Elie mau cerita dulu baru minta!" Elie hanya menyengir memberitahu tujuan aslinya.

Tangannya berhenti bekerja di kaki sang Ibu, Menyapukan sebentar tangan ke bajunya, ia mengambil ponsel dari saku baju tidur. Ketika dihidupkan, ponselnya sudah otomatis menunjukkan gambar tangkapan layar yang memperlihatkan sabun cuci muka CorLien beserta harganya. "Kata temanku, ini dijamin ampuh, Buk."
Ibunya hanya melihat sekilas dan langsung melotot melihat nominal yang tertera. "Mahal amat, El."

"Namanya juga barang berkualitas, Buk."

Wanita itu menatap Elie dengan sedih. Ia tahu selama ini anaknya itu sangat ingin menghilangkan jerawatnya, ia tahu kalau Elie bersungguh-sungguh ingin segera memiliki wajah yang mulus. "Bulan depan aja, ya, El."

Raut wajah anaknya langsung cemberut. "Maaf, El." Ibunya menggenggam tangan Elie lalu berucap, "Kamu tahu sendiri, gaji Ibuk enggak seberapa. Ada adik kamu, dia yang juga butuh bayar sekolah bulan ini. Ayahmu jangan lupa harus diperiksa ke dokter sekali sebulan."

"Tapi Elie cuma minta ini. Selama ini Elie gak pernah minta apa-apa." Gadis remaja itu menahan tangis, lagi-lagi ia tidak mendapatkan yang dia inginkan. Ia benci keadaan hidupnya yang menyedihkan.

"El ...."

"Elie sudah menghemat, apa-apa juga Elie akan nabung dulu bukan minta Ibuk. Tapi sekalinya minta, Ibuk selalu nggak bisa kasih."

Bangkit berdiri dari ranjang Ibunya, Elia keluar kamar tanpa menanggapi panggilan ibunya yang merasa bersalah.Sampai kamar ia langsung berbaring di kasur kecilnya yang amat minimalis dan tergeletak di lantai. "Huft ... selalu saja."
Malam itu ia menangis untuk pertama kalinya setelah selama ini cukup kuat bertahan. Ia menumpahkan rasa kesalnya satu malam tersebut. Alhasil, paginya matanya bengkak, tambah lagi alasan mengapa wajahnya jelek.


***


Sampai di sekolah, Elie melihat laki-laki yang ia sukai melewati dirinya dengan menggandeng seorang cewek dengan mesra. Hatinya hancur berkeping-keping atas pemandangan tersebut. Lebih-lebih karena cewek itu sangat cantik.

Tidak kuat dengan hatinya yang terluka, ia lari ke toilet untuk menumpahkan air mata yang tiba-tiba saja menggenang di pelupuk matanya.

"Ya, Tuhan. Elie enggak ku--at ...."
Ia sudah menyukai Ari–nama laki-laki yang disukainya–sejak SMP. Bahkan ia masuk SMA ini karena ingin terus melihat Ari. Bagaimana hatinya tidak sakit saat tahu orang yang disukai punya pacar. Elie tidak pernah percaya diri untuk sekadar berbicara dengan Ari, ia tidak akan kuat bila laki-laki itu menatapnya jijik. Jadilah ia hanya sebagai pengagum rahasia saja.

Melihat wajahnya yang makin buruk dengan mata sembab dan wajah tak karuan itu, Elie rasanya ingin memecahkan cermin toilet itu. Ia menghidupkan air di wastafel dan membasuh wajahnya. Tiba-tiba pikiran itu muncul di kepala Elie.
Satu hal yang gila, yang dalam satu bulan ke depan membuat ia kecanduan dan tidak bisa berpikir jernih.

Setelah insiden itu, Elie makin terobsesi untuk cantik dengan harapan Ari bisa melihatnya kalau ia sudah glowing. Meskipun ia menempuhnya dengan cara kotor.


Rutinitas barunya akhir-akhir ini adalah memakai sebelas bahan skincare sebelum tidur. Setelah sebulan memakai, Elie jadi sedikit percaya diri untuk menatap dirinya di cermin.

"Duh, ini benar-benar ampuh. Kenapa enggak dari dulu, sih, aku pakai. Pasti aku udah cantik dari dulu."

Wajahnya memang jadi lebih bersih, hanya tersisa satu dua jerawat kecil, kulitnya pun kini lebih putih dan mulus. Ia suka mengelus wajahnya, karena rasanya sangat lembut.
Sedang asyik mengoles serum ke wajahnya, pintu kamar terbuka, Ibu muncul dan jantung Elie langsung berdebar kencang.

"El, kamu ngapain?"

Rahasia terbongkar! Mampus!

Elie tidak sanggup melanjutkan aktivitasnya. Ia rasanya ingin punya kekuatan untuk memindahkan seluruh skincare ke tempat tersembunyi.

"Ini?" Ibunya melotot melihat sebelas produk perawatan wajah itu, wanita itu tahu semua yang tengah dipakai Elie itu mahal. Ia ingat harga salah satunya yang sangat mahal saat Elie meminta untuk dibelikan waktu itu.

"Jadi kamu yang selama ini curi uang Ibuk?!"

Elie mati kutu, wajahnya kehilangan warna, pucat. Tangannya sudah dingin dan jantungnya berdebar lebih kencang lagi.

"Buk ...."

"KAMU BENAR-BENAR KURANG AJAR, EL!"

"Bu—"

"KITA ITU MISKIN! KENAPA KAMU MALAH PAKAI BARANG-BARANG MEWAH BEGINI!" Wanita itu menatap frustrasi Elie yang sudah menangis di depannya.

"Ayah kamu sampai tidak tertolong seminggu yang lalu, karena anaknya lebih mementingkan kecantikan daripada kesehatan Ayahnya sendiri!!!"

Elie semakin menangis dan tubuhnya bergetar hebat. Ia tahu kesalahannya hari itu. Mencuri uang pengobatan ayahnya untuk membeli paket lengkap skincare. Tapi ia tidak punya pilihan lain, Elie berpikir ayahnya itu sudah tua dan sakit-sakitan sudah sangat lama, akan lebih baik bila pria itu mati saja.

Namun sekarang, tiba-tiba saja ia tersadar akan semuanya dan itu berputar di kepalanya. Ia amat menyesal.

"Ma--maaf, Buk. Elie khilaf." Suara lirih itu sampai pada pendengaran Ibunya, tetapi tidak mampu menghilangkan amarah itu.

"Kamu gila Elie! Kamu sama aja membunuh Ayahmu!"
Menjambak rambutnya sendiri, wanita itu dengan amarahnya mengambil semua skincare di meja dan mencampakkannya ke lantai.
"Kamu terobsesi untuk cantik, El? Sampai otak kamu gila begitu?!"

Elie membelalak melihat barang-barang itu hancur, mendadak rasa sedihnya hilang dan terganti oleh rasa kesal. Namun, ia hanya bisa memandangi benda-benda itu sampai sang ibu keluar dari kamarnya setelah memakinya beberapa kali lagi.

"Skincare aku ...."


***


Tampilannya bisa dikatakan sangat jauh berubah. Elie kini sudah memiliki wajah yang terbilang rupawan, pun berkat obat pelangsing yang ia beli, ia sekarang punya tubuh yang ideal.

Duduk di bangku penonton ia tidak lagi menutup diri dari banyak orang di sana, seperti sebelum-sebelumnya. Kini ia tampil percaya diri, memperlihatkan penampilannya dengan berani pada orang-orang.
Ia berteriak mengucapkan nama Erik yang tengah menggiring bola di lapangan. Elie tidak peduli dengan pacar laki-laki itu yang melihatnya tidak suka. Kini dengan kecantikannya Elie tidak lagi memedulikan apapun.

"SEMANGAT ERIK!!!"

Usahanya berteriak-teriak sepanjang pertandingan membuahkan hasil, selesai dengan permainannya di lapangan Erik mengabaikan wajah pacarnya yang marah karena diabaikan malah mendatangi Elie.

"Makasih udah menyemangati dengan heboh dari tadi."

Satu persatu keinginan Elie mulai tercapai berkat penampilan barunya. Sedikit rasa sesal tertinggal di hatinya kini hilang tak bersisa. Ia rasa ia sudah berjalan di jalan yang benar.
Ia terobsesi dengan kecantikan, untuk mendapatkan hal tersebut rela melakukan apa saja. Bahkan yang terakhir ini lagi-lagi ia melakukan hal gila dengan menjual perhiasan ibunya untuk memperbaharui skincare-nya yang habis.

Menutup telinga rapat-rapat ketika ibunya memarahinya lagi dengan sangat murka.

"Kamu lebih cantik lagi kalau rambutnya lurus, loh, El." Perkataan Ari waktu pulang bersama suatu hari bergema di kepala Elie.

Ia sudah tidak punya ide lagi untuk memenuhi hal terakhir yang akan membuat ia sempurna cantik itu.
Karena tidak ada barang yang bisa dijual dan uang yang bisa di curi. Elia dengan otak "gilanya" mendatangi ibunya malam itu.

"Buk, El butuh uang untuk meluruskan rambut!"

"Gila kamu, El, gila. Tidak cukup semua yang kamu lakukan?"

"El mau kayak temen-temen yang lain, yang punya penampilan cantik. Siapa suruh Ibuk dan Ayah jelek akhirnya nurun ke anaknya."

"ASTAGFIRULLAH!"

Tidak memedulikan ibunya yang menangis tidak menyangka bahwa Elie bisa terobsesi seperti ini, ia malah memutar mata jengah.

"Berhenti dramanya, Buk. Elie minta duit ini."

"Sadar kamu, El. Sadar!"

"Elie cuma mau normal kayak yang lain, Buk."

"Istighfar, Nak. Kamu sudah kelewatan." Ibunya tidak bisa menghentikan tangisnya karena merasa gagal mendidik anak dan oleh rasa kecewa yang begitu besar melihat tingkah Elie.

"Ibuk mau ngasih duit atau Elie bunuh diri?!"

Plak

Ibunya sudah tidak tahu apa yang harus dilakukan dan sangat geram dengan tingkah Elie, menampar gadis itu berharap anak perempuannya itu bisa sadar. Elie sendiri terkejut dengan tindakan sang ibu, dan memegang pipinya yang kini dibakar sensasi panas. Ia melihat dirinya di cermin meja rias ibunya. Pipi yang ditampar itu memerah.

“Ibuk! Astaga, pipi aku merah. Aku sudah capek-capek merawatnya, malah Ibuk rusak!”

Elie terbakar rasa marah maju ke depan dan mencekik leher wanita itu. “Dasar enggak berguna sudah miskin, jelek, pelit pulak. Mati aja!”

Ibunya meronta-ronta ingin lepas dari genggaman tangan Elie, kuku-kuku panjang milik gadis itu menambah rasa sakit dan sesak. Akhirnya wanita itu menyerah dan mengembuskan napas terakhirnya.

Saat Elie sadar ibunya tidak lagi bergerak, ia melepaskan tangannya, dan menutup mulut. “Ibuk?”

Jantungnya berhenti sedetik untuk berdebar kencang kemudian. Takut bercampur perasaan menyesal dan sedih, tetapi yang ia lakukan malah berlari dari sana dan kabur sejauh-jauhnya.

Pada dasarnya sekali obsesi akan sangat sukar untuk dihilangkan. Bagaimana perasaan penderita tidak akan berhenti jika yang dinginkan tidak tercapai dan rela melakukan segalanya. Bahkan menyakiti orang yang ia sayangi.


Tamat

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro