Bagian 13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Sayang, ayo masuk. Udaranya dingin."

Saat ini, Maurin duduk di atas kursi roda di teras rumahnya. Sedaritadi, pandangannya lurus ke depan seolah menantikan kehadiran seseorang.

Sudah satu Minggu sejak hari di mana dirinya kecelakaan, dia tak lagi bertemu dengan Elang.

Cowok itu menghilang. Maurin juga tak pernah melihat lampu di rumah Elang menyala.

Semuanya nampak gelap. Bahkan, dia sulit sekali dihubungi. Baik ponselnya, maupun telepon rumahnya.

"Elang malu ya temenan sama cewek lumpuh kayak aku?" tanya Maurin tiba-tiba.

Shanna terdiam. Sejujurnya, dia baru saja mendapat kabar dari tetangganya ketika membeli sayur tadi pagi. Mereka bilang, Anggara—Papanya Elang maninggal satu Minggu yang lalu.

Itu artinya, tepat di mana Maurin mengalami kecelakaan.

Mereka juga bilang, kepergian Anggara diduga atas kasus pembunuhan. Katanya juga, semenjak hari itu ... Rumah milik Elang lampunya tak pernah menyala. Ada juga yang mengatakan, Elang tidak ada di rumah.

Shanna bahkan merasa bingung karena Elang sama sekali tak memberitahunya soal ini. Atau ... Karena dia merasa tidak enak karena Maurin juga tengah terkena musibah?

Shanna sudah mencoba datang ke rumah Elang tadi sore. Namun, gerbangnya digembok. Sepertinya, dia betulan tidak ada di rumah.

"Maurin, Elang enggak mungkin kayak gitu. Kayaknya, dia lagi ada urusan yang enggak bisa ditinggal."

"Tapi Elang enggak bilang apapun sama aku, Ma." Maurin menunduk menatap kakinya yang sama sekali tak bisa dia gerakan.

Bagaimanapun caranya, Shanna juga harus menemui Elang. Dia harus memastikan keadaan sahabat dari putrinya itu.

Biar bagaimanapun, dia yang selalu menjaga Maurin ketika dirinya tidak ada di rumah. Rasanya, jahat sekali jika kali ini Shanna memilih tak acuh pada Elang.

"Sekarang Maurin masuk, ya. Besok Elang pasti dateng." Shanna tersenyum mencoba membujuk putrinya.

Maurin masih diam. Akhirnya, gadis itu mengangguk menyetujui permintaan Mamanya.

Shanna tersenyum. Didorongnya kursi roda milik Maurin ke dalam rumah dan diantarkannya ke kamar Maurin yang baru.

Jika dulu gadis itu tidur di lantai atas, kini pindah di lantai bawah. Melihat kondisinya, sama sekali tidak mungkin jika Maurin bisa tidur di kamar atas.

"Kalau malam ini Elang datang, Mama bangunin aku, ya?"

"Iya, nanti Mama bangunin." Shanna tersenyum. Wanita itu membantu Maurin untuk naik ke atas kasur.

Setelah memastikan Maurin berbaring dengan sempurna, Shanna mencium keningnya dan memilih pamit keluar.

Di dalam kamar dengan suasana berbeda yang sudah Maurin tempati selama dua hari ini, dia menatap langit-langit kamar dengan pandangan sendu.

Biasanya, setiap malam dia akan duduk di koridor dan saling melambaikan tangan dengan Elang yang berdiri di koridornya sendiri.

Elang akan mengiriminya pesan. Menemaninya lewat telepon. Atau, sesekali dia menyalakan kembang api.

Maurin benar-benar merasa sedih jika Elang meninggalkannya hanya karena kondisi Maurin yang sekarang.

Karena, Elang bukanlah orang yang seperti itu. Dia tidak pernah memilih harus dengan orang seperti apa dia berteman.

Tiba-tiba, Maurin merasa haus. Gadis itu melirik ke arah meja di sebelahnya. Namun, tak ada air di sini.

Akhirnya, gadis itu meraih kursi rodanya dan naik ke atas sana dengan susah payah.

Dilajukan kursi roda itu, kemudian Maurin membuka pintu kamar.

Kursi roda kembali berjalan menuju ke arah dapur. Saat Maurin akan mengambil minum, tiba-tiba matanya menangkap Papanya yang tengah duduk di kursi makan.

Lampu sudah dimatikan. Sepertinya, Papanya tidak menyadari kehadiran Maurin.

"Papa udah pulang?" gumamnya.

"Aku juga seneng kita habisin waktu selama beberapa hari ini."

Maurin yang semula akan menyapa Papanya, tiba-tiba mengatupkan bibirnya kembali.

Gadis itu menyimpan gelasnya kembali. Ia memilih mendekat ke arah Papanya dengan hati-hati.

"Iya, sayang. Aku pasti luangin waktu buat kita. Tapi, sabar, ya. Aku juga enggak bisa kalau lama-lama pergi dari rumah. Anak dan Isteri aku pasti curiga."

"Waktunya belum tepat. Aku dan Isteri aku akan cerai, tapi enggak sekarang. Sabar, ya."

Maurin mematung. Tangannya yang semula mendorong roda mendadak berhenti.

Papanya ... Yang selama ini Maurin anggap panutan, melakukan hal seburuk ini di belakangnya?

Papanya yang selama ini dia anggap sebagai panutan, mengkhianati Mamanya?

"Pa ...." Maurin tak mampu mengatakan apapun. Suaranya tercekat bersamaan dengan air matanya yang lagi-lagi menetes.

Panji—Papanya Maurin menoleh. Sambungan langsung dia putuskan secara sepihak. Tangannya menyimpan ponsel di atas meja dan berjalan ke arah Maurin dengan langkah pelan. "Sayang, kamu belum tidur?"

"Kenapa, Pa?" tanya Maurin lirih.

Panji berlutut di depan Maurin. Tak ada rasa bersalah sedikitpun dari raut wajahnya. Yang dia lakukan justru malah tersenyum dengan lebarnya. "Akhirnya ketahuan, ya?" ucapnya.

"Kenapa Papa jahat? Mama salah apa sama Papa? Kurang baik apa Mama sama Papa?!" Maurin hendak berteriak. Namun, suara yang keluar justru malah bergetar.

Dia masih sangat syok mendengar kenyataan yang bahkan terlalu tiba-tiba untuknya.

Ketika Maurin hendak berbicara lagi, rahangnya tiba-tiba saja dicengkeram oleh tangan besar Papanya.

Maurin sontak memekik tertahan merasakan sakit di bagian sana.

"Tutup mulut kamu."

"Enggak!"

"Tutup, dan nurut apa kata Papa."

"P-Papa bahkan udah enggak pantas Maurin sebut sebagai Papa kalau sikap Papa begini!" Napas Maurin terputus-putus. Gadis itu berusaha sebisanya menahan rasa sesak di dadanya.

Tangannya mencengkeram kursi rodanya sebagai pengalihan rasa sakit. Namun, yang ia dapatkan justru cengkraman yang semakin erat.

"Oh, anak Papa ternyata sudah pintar melawan, ya." Panji melepas cengkeramannya.

Maurin langsung menghirup udara sebanyak-banyaknya. Gadis itu menunduk menyentuh dadanya sendiri.

Panji melangkah masuk lebih dalam ke arah dapur. Tak lama, dia kembali bersama sebuah pisau yang berada di tangannya.

"Papa, papa mau apa?!" Maurin mendorong ke belakang rodanya. Namun, Panji menahannya.

Tangannya yang memegang pisau kini terarah pada leher Maurin. Mata gadis itu terpejam bersamaan dengan tubuhnya yang bergetar hebat.

"P-Papa."

"Kamu bergerak sedikit aja, dia bakal nyakitin kamu. Jangan buat Papa jadi pembunuh dan hidup dengan rasa bersalah, Maurin," ujarnya dramatis.

Bahkan, selingkuh dan menyakiti Mamanya saja seharusnya sudah cukup membuatnya merasa bersalah.

Maurin masih diam di tempatnya. Matanya sesekali melirik dengan takut pada pisau yang siap menusuknya kapan saja.

"Kamu sayang sama Mama kamu, kan, anak kesayangan Papa?" sebelah tangannya membelai lembut rambut milik Maurin.

Maurin diam. Sorot matanya berpadu antara rasa takut dan juga benci. Dadanya bergejolak menahan amarah yang tidak bisa dia lepaskan.

Dia terlalu lemah.

"Jawab." Bagian ujung pisau menusuk di lehernya. Sangat tipis, namun, jika Maurin begerak bisa saja dia mati malam ini juga.

"Tanpa Maurin jawab, seharusnya papa tau jawaban Maurin apa." Maurin menjawab dengan lirikan mata tajam pada Papanya.

Panji tersenyum. Namun, senyum itu terlihat seperti psikopat yang siap memangsanya.

"Kalau begitu, jangan pernah bilang hal ini sama Mama kamu. Papa enggak kuat kalau lihat Mama kamu sedih." Dia menampilkan raut wajah sedih yang terlihat jelas dibuat-buat.

"Enggak!"

Maurin memejamkan matanya kala pisau itu sengaja digoreskan. Mata Maurin semakin terpejam takut. Air matanya menetes begitu saja.

"Kalau sampai kamu bilang hal ini sama Mama kamu atau siapapun itu, bukan hanya kamu yang Papa habisi. Tapi Mama kamu juga."

Maurin sontak membuka matanya. Tidak, Mamanya tidak boleh meninggal sebelum Maurin memberitahu soal ini. Mamanya harus menemukan kebahagiaannya dulu.

Jika Maurin masih nekat melawan Papanya. Bukankah sama saja dia akan mati hari ini? Dan kemungkinan itu ... Tidak akan pernah terjadi jika dia mati.

Untuk saat ini, sepertinya Maurin harus menurut. Dia harus berbicara pada Elang apapun resikonya. Maurin hanya punya Elang. Hanya dia yang bisa membantunya.

"Bagaimana? Mau mati hari ini?"

"Maurin enggak akan bilang ke Mama." Keputusan akhir, Maurin memilih mengatakan kalimat itu dengan pelan.

Panji tersenyum puas. Tangannya terulur menyentuh pipi Maurin dan dia usap dengan lembut. "Berarti, setelah ini Papa enggak usah sembunyi-sembunyi di belakang kamu, kan?"

"Apa maksud Papa?"

"Besok lusa, Mama mu akan Papa buat pergi dari rumah untuk beberapa hari. Dan Papa akan kenalin kamu sama calon Ibu tiri yang jauh lebih seksi daripada Mama kamu." Panji tersenyum.

Maurin mengepalkan tangannya. Tidak, apa lagi ini?

Mengapa Papanya jadi seperti ini?

"Pa—"

Maurin menelan Salivanya susah payah kala Panji kembali menyodorkan pisau itu padanya. Maurin diam.

"Jangan mencoba mencari pembelaan sama siapapun. Kamu enggak akan pernah berhasil. Karena Papa, akan dengan mudah menyingkirkan mereka, Maurin."

Panji menurunkan pisaunya. Pria itu berjalan ke arah meja makan dan mengambil satu buah apel dan memotongnya. "Kamu mau, sayang?" tanya Panji menyodorkan setengah apel yang dia potong.

"Gak sudi," gumam Maurin. Wajahnya dia buang ke arah lain enggan menatap ke arah Panji.

"Oke-oke, putriku sangat pemarah rupanya." Panji tertawa pelan.

"Mama kamu itu milik Papa, Maurin. Enggak ada satu orangpun yang bisa jauhin mama dari Papa. Papa akan terus bersikap baik sama Mama kalau kamu masih bisa bersikap seperti biasa. Kalau kamu berani melakukan hal yang bikin Papa marah, Mama kamu yang akan kena dampaknya."

Jika Papanya merasa begitu, lantas, kenapa dia bisa melakukan hal setega ini sampai mengkhianati Mamanya?

Jika Mamanya tidak akan Papanya lepaskan, lantas kenapa pada wanita di telepon dia bilang akan menceriakan Mamanya?

"Kapan Papa akan cerai sama Mama?" Gue lebih lega Mama sama Papa pisah daripada kayak gini keadaannya, lanjut Maurin dalam hati.

Panji yang awalnya sibuk mengunyah apel, langsung menunduk menatap putrinya. "Cerai? Ucapan Papa kurang, ya? Bukannya Papa bilang, enggak ada satu orangpun yang bisa bikin Mama jauh dari Papa?"

"Terus maksud Papa apa bilang sama selingkuhan Papa itu?!"

PLAK!

Maurin memejamkan matanya. Pertama kali dalam hidupnya. Panji, Papanya yang begitu penyayang melakukan kontak fisik padanya.

Dagu Maurin didorong untuk menatap ke arahnya. "Siapa yang ajarin kamu bicara dengan nada tinggi sama Papa?"

Maurin diam. Tangannya terkepal erat.

Tak lama, lampu di dapur menyala. Panji sontak saja menarik Maurin agar memeluknya. Tangannya terulur mengusap punggung tangan Maurin dengan lembut. "Bersikap baik, atau Papa akan melakukan hal buruk buat Mama kamu," bisiknya.

"Mas Panji? Udah pulang?"

Panji melepas pelukannya dari Maurin. Dia tersenyum lembut pada Shanna yang kini berjalan ke arahnya.

Wanita itu dengan sopan meraih tangan Panji dan mencium punggung tangannya.

Panji membalas dengan mencium kening Shanna dengan lembut. "Udah daritadi. Cuman, agak laper. Jadi aku kupas apel ditemenin Maurin." Panji mengangkat apel dan juga pisau di tangannya.

"Yaampun, Mas. Maaf, ya. Aku kira kamu pulang besok."

"Enggak papa, sayang."

Maurin yang melihat itu lantas terdiam. Sifat Papanya benar-benar manipulasi. Dia bisa berubah dengan waktu hitungan detik.

"Maurin, kamu belum tidur, sayang? Mama kira kamu udah tidur."

"Tadi Maurin haus, Ma. Eh pas ke dapur ternyata ada Papa."

"Sampai pelukan gitu, ya. Maurin kangen banget sama Papa, ya?" Shanna tersenyum lembut. Dia merasa bersyukur karena pikirnya, Maurin sudah mau kembali bersikap seperti biasa.

Maurin membalas senyuman Mamanya dengan paksaan.

"Mama kira ada apa rame-rame. Kirain tikus." Shanna terkekeh pelan.

Wanita itu lantas mengusap pipi Panji dengan lembut. "Kamu mau makan apa? Aku masakin. Maurin juga mau sekalian makan, sayang?"

"Maurin gak laper."

"Papa baru aja pulang, lho, masa kamu enggak mau makan bareng-bareng? Biasanya kamu paling semangat." Panji tersenyum pada Maurin. Namun, jika dulu senyum itu menenangkan ... Sekarang tidak. Senyum itu hanya membuat rasa sakit dan rasa bersalah dalam diri Maurin.

Mau sampai kapan dia menutupi ini dari Mamanya?

Jika Maurin mengatakan pada Elang pun, Elang yang akan terancam keselamatannya. Lagipula, Maurin rasa tidak baik jika dia memberitahu orang lain soal aib Papanya sendiri.

"Maurin kayaknya masih sakit, Mas. Maurin habis kecelakaan. Aku udah bilang, kan?"

"Iya. Tadi dia nangis sama aku, Na. Tuh, sisa air matanya masih ada. Kamu tenang, ya, nanti pasti bisa jalan lagi, kok." Panji menunduk mengusap air mata yang tersisa di pipi Maurin.

"Mendingan, sekarang kita makan bareng, ya. Ayo kita bantu Mama kamu." Panji berjalan ke belakang Maurin dan mendorong kursi rodanya.

Maurin tahu ini bukanlah keputusan yang terbaik. Tapi, bolehkah Maurin meminta, tolong beri jalan padanya agar dia menemukan jalan untuk mengakhiri semua ini.

•••

Untuk pertandingan pertamanya, Elang memenangkannya. Tepuk tangan meriah dan sorakkan dari teman-teman Bayu membuat suasana menjadi begitu ramai.

Elang membuka helmnya. Cowok itu sedikit risih ketika gadis-gadis berpakaian terbuka menghampirinya dan memeluk Elang dengan manja.

Elang mendengkus. Cowok itu menggerakkan bahunya seolah meminta mereka untuk menjauh.

Menyadari ketidaksukaan Elang, mereka akhirnya menjauh dan beralih pada Bayu dan Gerry si cowok tukang mabuk.

"Hebat juga, lo."

Gerry memberikan botolnya pada Elang. Elang kembali menerimanya. Jika tadi dia merasa sungkan meminum itu. Kini, untuk kedua kalinya, Elang meminumnya dengan sangat rakus seolah pertandingan tadi begitu menguras tenaga.

Elang kembali memberikannya pada Gerry.

Gerry tersenyum. Sebelah tangannya mengangkat tangan Elang. "Kenalin, temen baru gue!"

Elang memutar bola matanya malas. Tadi, dia meremehkannya. Sekarang, seenaknya mengklaim Elang sebagai teman.

"Nih, duit taruhannya." Gerry memberikan uang beramplop coklat pada Elang.

Elang menerimanya. Cowok itu memasukkannya ke dalam saku jaket.

"Butuh cewek?" tanya Bayu pada Elang. Bahkan, saat ini dia tengah sibuk ditempeli oleh gadis berpakaian terbuka itu.

"Enggak, makasih."

Elang mendorong motornya menuju tempat di mana teman-teman Bayu berkumpul.

Dia memarkirkannya. Kemudian, cowok itu memilih diam menatap lurus ke arah jalanan di depannya.

Helaan napas terdengar. Rasanya begitu berat. Kehidupannya yang kemarin begitu jauh berbeda dengan kehidupannya yang sekarang.

Jika dulu di tongkrongan Elang akan sibuk makan cuanki, kini ... Di tempat ini justru meja dipenuhi oleh minuman keras.

Bahkan, orang-orang di sini juga jauh berbeda dengan teman-temannya di tongkrongan yang dahulu.

Mereka penuh tawa. Di sini, tawa mereka terlihat palsu.

Di sana, seorang gadis begitu dijaga. Biarpun mulut terkadang kurang ajar, mereka tak pernah bersungguh-sungguh.

Di sini, para gadis secara terang-terangan menjual diri mereka. Mereka seakan tak memiliki harga diri sama sekali.

Elang memejamkan matanya. Ini jalannya, sudah seharusnya Elang keluar dari zona nyamannya.

Dan ini ... Jalan yang sudah Elang pilih.

"Maurin, apapun yang terjadi setelah ini, jangan pernah berpikir kalau gue berhenti perduli."

TBC

Kesan setelah baca part ini?

Baru dua nih yang masalahnya anu🥰

Ada yang ingin disampaikan untuk Elang

Maurin

Panji (Papanya Maurin)

Shanna (Mamanya Maurin)


Spam next di Sini!

Elang Januar


Maurin Anastasya

See you!


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro