Bagian 15

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pemakaman Haikal tak hanya dihadiri oleh Elang, dan Maurin saja. Gara, Galang, Tomi, bahkan Helga pun turut hadir. Maurin yang memberitahu Galang, dan sepertinya mereka tengah berkumpul sehingga semuanya ikut.

Awalnya mereka tidak percaya Elang memiliki Abang. Namun, setelah Maurin mengirim lokasi ... Mereka akhirnya datang.

Tangan Galang sedaritadi sibuk menepuk pundak Elang yang menunduk menatap makam keluarganya yang berjajar.

Ada rasa sedih melihat Elang seperti ini. Biarpun dirinya orang susah, tapi dia bersyukur masih memiliki Ibu dan juga keluarga yang menyayanginya.

Sedangkan Elang? Biarpun secara finansial terjamin, namun, siapa yang tahu batin lelaki itu, kan?

"Padahal gue belum sempet kenalin kalian sama Abang gue." Elang tersenyum kecut.

Mamanya, Papanya, dan Haikal. Mungkin, mereka sudah bertemu sekarang. Sedangkan di sini, Elang sendiri.

Cowok itu menghela napas pelan. Ingin rasanya Elang meminta pada Tuhan agar Elang ikut serta dipanggil saja. Namun, Elang tidak boleh berpikiran begitu. Masih banyak teka teki yang harus Elang pecahkan.

Elang tidak mungkin meninggal disaat dirinya belum menemukan dalang dari semua ini.

"Lang."

"Gak papa. Ayo pulang." Elang mengajak teman-teman untuk pergi.

Mereka memilih mengikuti Elang yang mendorong kursi roda Maurin. Sepanjang perjalanan menuju mobil, Elang tersenyum. Tak sedikitpun dia melunturkan senyumnya.

Namun, yang Galang lihat dari sorot matanya, Elang tidak benar-benar bahagia.

"Lang, biar gue aja yang nyetir." Gara menawarkan diri.

"Gar, mending Tomi aja. Gue mau pinjem motor Tomi soalnya." Helga tiba-tiba saja menyahut.

Sontak Tomi menoleh ke arah Helga dengan alis berkerut. "Lo mau ke mana?"

"Bentaran doang. Lo mending naik mobil sama Elang. Kasihan dia kalau harus nyetir dalam keadaan kayak gini." Helga langsung mengambil kunci motor milik Tomi dan bergegas menuju motor milik Tomi.

Tomi memicingkan matanya. "Aneh emang."

Elang melempar kunci mobilnya pada Tomi. Cowok itu sontak saja tersadar dan menangkap dengan sigap. "Sialan lo."

"Ke rumah Elang dulu?" tanya Galang.

Elang menghela napas pelan. Sejujurnya dia ingin segera menemui Bayu untuk meminta bantuan. Namun, tidak tega juga jika harus mengusir teman-temannya.

Akhirnya, Elang memilih masuk ke dalam mobil setelah membantu Maurin masuk.

Di perjalanan, Elang lebih banyak diam. Maurin yang duduk di belakang pun sama. Dia bingung harus memulai percakapan seperti apa.

Selama itu juga, mereka bertahan seperti itu.

Tak lama, mobil milik almarhum Papanya Elang terparkir di depan rumah. Elang, Tomi, dan Maurin masuk ke dalam rumah dengan Maurin yang berada di gendongan Elang.

Sedangkan Tomi, dia memilih membawa kursi roda milik Maurin.

Ketiganya duduk di ruang tamu seraya menunggu kehadiran Galang dan juga Gara.

Selang beberapa menit, mereka datang dan langsung menyelonong masuk dan bergabung.

"Eh, gue buatin minum, ya," kata Galang.

"Udahlah, gue aja. Duduk lo." Elang berdiri. Cowok itu berjalan menuju dapur dan memilih membuatkan teman-temannya minum.

Saat sibuk membuatnya, tiba-tiba saja Elang menoleh ke arah samping. Cowok itu terdiam beberapa saat.

"Wah, bikin apa, nih? Buat Papa aja, ya. Haus, nih."

"Pa! Bikin sendiri kenapa, sih? Elang harus ngumpulin niat yang banyak buat bikin ini." Elang berdecak kesal kala minuman yang baru saja dia buat diambil alih oleh Anggara.

Papanya itu tertawa setelah menghabiskan minumannya. "Yah, udah habis. Mumpung masih niat bikin lagi. Papa udah beli makanan, kita nonton bareng mumpung Papa libur." Anggara menepuk puncak kepala Elang dengan senyum yang tak pernah luntur.

Elang yang awalnya merasa kesal, mendadak tersenyum lebar. "Nah, daritadi, kek. Kan Elang enggak usah marah-marah. Energi habis, nih."

Elang menghela napas pelan. Dulu, ketika Anggara libur bekerja, dia akan menghabiskan waktunya bersama Elang. Membuat momen sederhana, yang sekarang malah Elang rindukan.

Dia satu-satunya keluarga Elang yang bertahan di sisinya sampai Elang beranjak seperti sekarang. Namun, Tuhan lebih sayang Anggara dan memilih mengambilnya dari Elang.

"Pa, kalau Papa masih ada di sini, Elang cuman mau bilang ... Abang udah nyusul Mama sama Papa. Elang juga minta maaf karena enggak bisa jaga Abang dengan baik."

Tak mau berlama-lama dengan bayangan membuatnya sedih, Elang cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya.

Namun, ketika hendak mengambil sendok, Elang dikejutkan dengan kehadiran Helga di belakangnya. Gadis itu menenteng kresek berisi makanan ringan.

"Ngapain? Bikin kaget aja lo." Elang mengusap dadanya pelan.

Helga menyimpan kresek itu. Kemudian, tangannya terulur meraih tangan milik Elang. "Lang, ada yang harus gue omongin."

"Apa?"

"Kita harus pacaran."

"Hah? Gue kan udah bilang, Ga. Sampai kapanpun gue enggak akan pernah pacaran. Bukan cuman sama lo, sama—"

"Lo suka gue?"

•••

Maurin mendengkus kesal ketika Elang dan Helga tak kunjung keluar. Sebenarnya, Maurin juga sudah kesal ketika Helga datang dan tiba-tiba menanyakan keberadaan Elang.

Dia langsung masuk begitu saja dan berakhir mereka begitu lama di dapur. Entah apa yang sebenarnya kedua orang itu lakukan.

"Gue susulin, deh. Takut ada setan." Tomi beranjak. Cowok itu melangkah memasuki dapur meninggalkan Maurin, Galang, dan juga Gara.

Gara yang pada dasarnya cuek, lelaki itu sedaritadi melipat kedua tangannya seraya menyandarkan punggung pada sofa. Mata tajamnya melirik ke arah dapur sesekali.

Maurin kira, setelah Tomi menyusul, mereka akan segera kembali. Namun nyatanya ... Tidak. Sudah hampir 10 menit, tapi ketiganya tak juga menunjukan batang hidung mereka.

"Rin, lo udah pernah ketemu sama Neneknya Elang?" tanya Galang tiba-tiba.

Maurin menggeleng. "Selama berteman sama Elang, gue cuman tahu Om Anggara doang."

Galang lantas terdiam. Jadi, selama ini, Elang sama sekali tak pernah bercerita perihal Neneknya yang jahat itu? Jangankan pada dirinya, pada Maurin yang notabene sahabat kecilnya saja tidak diberitahu.

"Emang kenapa?"

"Enggak papa. Nanya aja." Galang meringis pelan. Memberitahu Maurin, takut disangka tidak sopan. Lagipula, itu kan privasi elang.

Tak lama, tiga orang itu akhirnya muncul. Ketiganya berjalan dengan raut wajah yang sudah berubah.

Terutama Tomi, dia benar-benar terlihat bingung layaknya orang yang tidak percaya akan sesuatu yang baru saja dia temui.

Sedangkan Elang dan Helga, keduanya diam dan saling lirik.

"Lo pada kenapa?" tanya Galang heran.

"Gak papa." Elang menyimpan airnya di atas meja. Setelah itu, dia duduk di samping Galang.

Maurin lantas terheran. Bukankah tadi Elang duduk di sampingnya? Kenapa sekarang malah pindah?

Dan kini, malah beralih Tomi yang duduk di samping Maurin. Dan kekesalan Maurin semakin bertambah kala Helga duduk di sebelah Elang dengan lengan yang melingkar pada lengan milik Elang.

Seolah tak keberatan, Elang merangkul Helga seraya mengusap puncak kepalanya dengan lembut.

"Tom, ada apaan, sih?" tanya Galang heran.

Pasalnya, dia tidak pernah melihat Elang sampai segitunya pada lawan jenis terkecuali Maurin.

Dan sekarang, apa yang dia lihat? Elang malah asik melakukan hal seperti itu di depan Maurin?

"Elang sama Helga ... Jadian," kata Tomi. Cowok itu melirik Elang dengan sorot yang masih terlihat jelas bahwa dirinya kaget.

Gara sontak menegakkan tubuhnya. Cowok itu mengernyit. "Maurin?" tanya Gara pada Elang.

Elang melirik Gara. Jika biasanya Elang akan membalas dengan senyum hangat atau menjawab dengan nada ketus, kali ini ... Dia menatap Gara seolah dia adalah musuhnya.

Gara jelas saja heran ketika mendapati tatapan seperti itu.

"Maurin bukan siapa-siapa gue," jawab Elang.

Maurin sontak saja menoleh ke arah Elang. Padahal, tadi pagi ketika bercerita Elang terlihat begitu lembut padanya. "Lang ... Beneran sama Kak Helga?" tanya Maurin pelan. Bukankah saat Maurin di labrak, Elang begitu marah ketika dia tahu Helga yang sudah menamparnya?

Mengapa dadanya terasa sesak mendengar kabar yang begitu tiba-tiba ini?

"Katanya, lo enggak akan pacaran—"

"Gue suka sama Helga. Udah dari lama."

Jawaban Elang membuat Maurin kembali diam. Gadis itu membuang arah pandangnya ke sembarang arah. Tiba-tiba, dia merasakan tangan Tomi mengelus pundaknya seolah menguatkan.

Helga dengan angkuhnya tersenyum dan semakin memepet pada Elang.

Setelah jawaban Elang tadi, semua orang yang berada di ruangan ini mendadak bungkam.

Suasana menjadi hening dan mencekam. Belum lagi, Elang yang secara terang-terangan menatap Gara dengan sorot tak suka.

Gara tentunya sadar. Dia bukan tipe manusia tidak peka. Dia sadar betul bahwa Elang tidak menyukai kehadirannya.

Dan Gara ... Benar-benar heran.

•••

Elang merebahkan tubuhnya di atas kasur. Sore tadi, Maurin diantar pulang oleh Tomi. Sedangkan dirinya malah bergegas mengantar Helga pulang.

Bukan tanpa alasan. Elang hanya ingin Helga aman. Lagipula, rumah Maurin hanya diseberang jalan, Tomi juga tidak akan nyasar, kan?

Elang memejamkan matanya.

Elang tiba-tiba saja mendengar suara langkah kaki dari luar menuju kamarnya. Elang sontak saja meraih sesuatu di dalam laci dan menemukan pisau lipat yang sering dia gunakan untuk mengupas buah di dalam kamar.

Ada untungnya juga, pikirnya.

Kemudian, Elang beralih mengambil sebuah petasan yang jika dilempar akan menimbulkan suara tanpa percikan api.

Dan setelah itu, Elang memilih kembali ke dalam selimut. Elang yakin, dirinya sedang tidak aman.

Ceklek

Jantung Elang berdebar begitu cepat. Suara langkah kaki itu semakin mendekat. Kemudian, Elang merasakan lehernya disentuh.

Di saat itu juga Elang menepisnya dan membuka mata.

Elang dibuat kaget ketika melihat sebuah pisau yang sudah siap di tangan yang lainnya.

"Mau apa lo?!" Elang menyingkap selimutnya.

Orang itu menjauh ketika Elang melempar petasan pada lantai dan menimbulkan bunyi yang membuatnya kaget.

Saat dia mundur, Elang maju. Ketika hendak meraih topeng yang dia gunakan, orang itu menepis tangan Elang dan beralih menusuk Elang.

Namun, Elang berhasil menghindar sehingga hanya tangannya saja yang tergores.

BUGH!

Elang menendang perut orang itu sampai dia tersungkur. Dia berangsur mundur kala Elang berjongkok dan hendak membuka topeng hitam itu.

Namun, sayang, Elang ditendang hingga dia terjatuh ke arah berlawanan.

Orang itu bergegas berdiri dan berlari. Elang mengejarnya. Ketika sampai di anak tangga, Elang berhasil menarik jaket yang dia gunakan.

Namun, orang itu berhasil kabur dan menjatuhkan beberapa lembar foto yang berasal dari saku jaket.

Elang memejamkan matanya dan memilih duduk di anak tangga.

Tangannya terlur mengambil beberapa lembar foto yang terjatuh.

"Foto gue?" gumam Elang. Dibalikkanya foto itu dan membuat Elang membelalakan matanya.

Di sana tertulis “Target utama”. Kemudian, tangannya beralih meraih foto lain.

Di sana bukan hanya foto dirinya yang mengunjungi Haikal, tapi, ketika di pemakaman pun ada. Bahkan yang membuat Elang heran adalah, foto ketika di makam siang tadi, hanya wajah Helga, Maurin, Galang, dan juga Tomi yang dilingkari. Gara tidak.

Elang membalikan foto itu.

Di sana tertulis, targetnya adalah Elang dan Helga. Sedangkan Tomi dan Galang hanya diawasi. Dan Maurin, tidak ada keterangan apapun.

Lembar terakhir terdapat foto Elang yang mengantar Helga tadi sore.

"Apa maksudnya?" gumam Elang.

Seakan teringat sesuatu, Elang bergegas berlari ke arah kamarnya dan meraih ponsel miliknya yang baru saja dikembalikan oleh Tomi.

Dia menelepon Helga.

"Ga, lo di mana?"

"Gue di rumah."

"Sendiri?"

"Iya."

"Gue ke sana!" Elang khawatir orang tadi malah datang ke rumah Helga dan berniat membunuhnya.

Elang memejamkan matanya kuat. Setidaknya dia menemukan sedikit titik terang perihal orang yang membunuh Papa dan Haikal.

Elang yakin, orang tadi bukan dalangnya. Dia hanya orang suruhan. Jika dia dalangnya, tidak mungkin dia repot-repot membawa foto target, kan?

Dan elang juga yakin, dirinya pasti diawasi. Orang yang memotretnya bukan orang tadi, namun orang lain.

Mereka tidak sendiri.

TBC

Kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Elang

Helga

Maurin

Tomi

Gara

Galang

Spam next di sini

See you

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro