Bagian 17

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Maksud lo, gue ke rumah Maurin malam ini, gitu? Ngapain?!"

Setelah pulang dari rumah Elang, malam harinya Tomi berkumpul bersama teman-temannya. Namun, dia sedikit tak menyangka ketika Elang menghubunginya malam-malam begini.

"Ini udah tengah malem, bego." Tomi mendengkus.

"Ngecek doang. Kalau ada yang aneh langsung lapor gue."

"Ogah! Gue bukan babu."

"Anjing lo, ya. Tadi siang di rumah gue lo udah sepakat! Uang kost lo gue yang bayar. 2 bulan! Asal Maurin lo awasin." Elang mengumpat di seberang sana.

"Ya enggak jam segini juga, sialan. Ini udah tengah malem. Masa iya gue datengin anak gadis malem-malem gini?" Tomi kembali berbicara.

Terdengar helaan napas berat di sana. Tomi tertawa pelan. Dia paling suka mendengar Elang mengumpat dibanding melihat dia diam seperti tadi.

"Ogah ah 2 bulan. 6 bulan, deh. Gue otw sekarang."

"Yaudah. Buruan!"

Sambungan dimatikan sepihak oleh Elang. Tomi menggelengkan kepalanya pelan. Elang itu perduli pada Maurin. Hanya saja, kondisinya yang memang tidak memungkinkan untuk dia dekat dengan Maurin saat ini.

Tomi juga masih sedikit tidak percaya dengan apa yang Helga lakukan demi Elang. Padahal, Tomi tahu betul gadis itu mencintai Elang.

Jika saja tadi siang Tomi tidak menyusul mereka, mungkin, Elang akan menghadapi semuanya sendirian.

"Ke mana, Tom?" tanya salah satu temannya kala Tomi beranjak dan bersalaman dengan mereka semua.

"Ada urusan, nih. Duluan, ya!"

"Buset, masih jam segini. Takut diomelin Emak, lo?"

"Mana ada. Gue ngekost sendiri ya. Gue beneran ada urusan, nih. Gak usah banyak tanya lo pada. Kepo banget kayak doi." Tomi naik ke atas motornya dan melajukannya dengan kecepatan sedang.

Jalanan sudah lumayan sepi. Namun, itu tak membuat Tomi takut. Karena dirinya sudah terbiasa pulang lebih larut daripada hari ini.

Perlu waktu beberapa menit untuk Tomi sampai di depan rumah Maurin. Tidak ada yang mencurigakan.

Lampu di rumahnya juga sudah mati. Itu artinya, orang rumah sudah tidur. Begitu pikir Tomi. Akhirnya, dia memilih pulang setelah melapor pada Elang.

•••

Esok harinya, Tomi lagi-lagi diganggu oleh Elang. Dia meminta Tomi untuk kembali ke rumah Maurin dan berpura-pura mengunjungi rumah Elang.

Cowok itu sangat repot sampai marah-marah hanya karena Tomi baru saja bangun jam 11 siang.

Dan di sinilah Tomi sekarang. Di atas motor yang melaju mengikuti mobil yang lambat sekali berjalan.

Tomi mendengkus kesal. Untungnya, rumah Elang sudah dekat. Ketika dirinya berhenti di depan rumah Elang, mobil itu justru berhenti di depan rumah Maurin.

Tomi membuka helmnya. Dia melihat Maurin duduk di teras rumahnya sendirian di atas kursi roda.

Kemudian, dua orang berbeda jenis kelamin keluar dari dalam mobil dan berjalan menuju Maurin.

"Siapanya, ya? Gue foto aja kali ya buat laporan sama si mesin buat bayar kost? Siapa tau kostan gue di perpanjang bayarannya." Tomi meraih ponselnya dan memotretnya.

Dan adegan tak terduga, dia melihat Maurin dijambak oleh pria itu.

"Duh, gue Vidio atau gue tolongin, ya?" Tomi berdecak pelan.

Cowok itu memilih memvidionya sebentar. Kemudian, ketika dia turun dari atas motor, dua orang yang keluar dari dalam mobil tadi masuk ke dalam rumah meninggalkan Maurin yang menangis.

"Rin, gue mau nyamperin lo. Tapi tolong, jangan baper sama gue. Doi gue galak soalnya, bisa-bisa gue kena tendang, nanti." Tomi bergumam pelan.

Demi uang kost!

Tomi akhirnya berjalan mendekat ke arah Maurin dan sempat terkejut kala dirinya mendengar Maurin berkata, "Lang, gue butuh lo." Dia terisak.

Tomi tidak tega. Kali ini bukan demi uang kost. Tapi, dia benar-benar tidak tega melihat Maurin begini.

Tomi bersimpuh di depan Maurin. "Rin, lo gak papa?"

Dan, betapa terkejutnya Tomi kala Maurin memeluknya dengan tiba-tiba tanpa meredakan tangisanya. "Bawa gue pergi."

Dan setelah itu, Tomi berharap dia tidak bertemu dengan kekasihnya atau teman-temannya. Jika ada yang menemukan Tomi tengah bersama Maurin, bukan hanya dirinya yang dalam bahaya.

Tapi Maurin juga. Pacarnya sadis, tukang senggol bacok. Bahaya.

"Maaf, sayang, demi duit kost." Tomi berucap dalam hati.

•••

"Tante, Tante harus pulang sekarang. Demi Maurin, apa Tante tega biarin Maurin sendirian setelah lihat Vidio yang Elang kirim tadi?"

Elang baru saja mendapat Vidio dan juga foto bukti dari Tomi. Tentu saja Elang langsung menghubungi Shanna dan mengirim bukti itu padanya.

Jika kalian pikir Elang lebih fokus pada permasalahannya saja. Kalian salah. Elang sudah berjanji pada Maurin akan membantunya memberitahu soal Papanya yang selingkuh itu pada Shanna. Itu artinya, Elang akan menepati apa yang dia bicarakan.

"Sore nanti Tante pulang. Tolong jangan biarin Maurin pulang sebelum Tante kabari, Lang."

"Iya. Hati-hati di jalan. Maaf Elang malah ngasih kabar buruk."

"Tante justru makasih sama kamu."

Setelah itu, sambungan terputus. Elang kembali berjalan ke arah Helga yang tengah duduk di teras rumah sendirian.

Helga menatap Elang. "Udah?"

"Udah."

"Permasalahan Maurin berat banget, ya?" tanya Helga.

Elang mengedikkan bahunya. "Buat Maurin, gue rasa ini berat. Dia baru aja kena musibah. Dan dia malah dapet kabar enggak enak dari Papanya sendiri."

"Lo enggak masalah kalau Maurin benci lo karena lo enggak ada di samping dia?"

Elang menggeleng. "Yang penting dia aman. Itu udah lebih cukup."

"Pacarnya gue. Yang disayangnya Maurin." Helga mencibir pelan.

Melihat Helga begitu, Elang lantas tertawa pelan. Tangannya terulur menepuk puncak kepala Helga. "Yang minta lo. Padahal gue awalnya kan enggak setuju. Tapi lo maksa. Yaudah."

"Tapi, Ga, gue janji. Gue pasti bakal lindungi lo," sambung Elang.

Helga tersenyum dan mengangguk. Andai saja Elang menyayanginya sama seperti Elang menyayangi Maurin.

Namun, itu hanya harapan belaka. Lagipula, Elang pantas mendapatkan gadis baik-baik. Bukan seperti dirinya.

"Mau ke tempat temen gue sekarang?" tanya Elang.

Helga mengangguk. Keduanya kini berjalan menuju motor milik Elang.

Setelah keduanya naik, motor melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan rumah milik Helga.

•••

Elang dan Helga sampai di basecamp yang tadi Bayu kirim lokasinya. Yap, Elang meminta untuk bertemu dengan Bayu.

Dia ingin meminta bantuan pada lelaki itu untuk mencaritahu soal pembunuhan yang terjadi pada Papa dan Abangnya.

Entah kenapa, Elang merasa Bayu bisa membantunya dengan mengandalkan teman-temannya yang lebih banyak daripada Elang.

Dan kini, di atas kursi lusuh Helga, Elang, Bayu, dan juga Gerry duduk dengan minuman alkohol di atas meja.

"Ke mana aja lo?" tanya Bayu.

"Ada."

Bayu memperhatikan wajah Helga dengan mata memicing. Begitupun dengan Helga. Dia terlihat memperhatikan wajah Bayu seolah-olah dia pernah bertemu dengan cowok itu.

Bayu berdecih pelan. "Lo cewek yang pernah gue sewa, kan?" tanya Bayu.

Dia beralih menatap Elang. "Cewek lo?"

"Iya." Elang merangkul Helga. Entah kenapa, dia merasa tak suka ketika mendengar kata tidak sopan yang keluar dari mulut Bayu.

"Iya, gue cewek yang pernah lo sewa. Harusnya, lo sewa adik lo sendiri kali, ya. Daripada gue. Pantesan adiknya jadi pelacur. Abangnya aja tukang nyewa orang." Helga menjawab dengan nada kesal.

Bayu memicingkan matanya tak suka. Pria itu lantas meraih minumannya dan ia telan dengan cepat. "Gak usah samain posisi lo sama adik gue. Beda."

"Sama, kok. Dia satu kerjaan sama gue. Sama-sama disewa."

Elang mengerutkan alisnya. "Bay?"

"Gak usah dengerin dia. Mau apa lo ke sini?" tanya Bayu.

"Bokap sama Abang gue di bunuh. Dan kemarin, gue di datengin sama orang yang enggak gue kenal. Gue mau minta bantuan lo buat cari tahu pembunuhnya," kata Elang.

Bayu menatap Elang. "Dibunuh?"

"Iya. Cuman mereka yang gue punya. Gue rela mati hari ini, asalkan gue tau siapa dalang dari semuanya."

"Kenapa lo bisa yakin mereka dibunuh?"

"Pertama, bokap gue meninggal dan ada bekas tusukan di perutnya. Tapi enggak ada senjata tajam di dekat dia. Kedua, Abang gue meninggal setelah gue dateng ke tempat Abang gue. Ketiga, orang kemarin yang berniat bunuh gue jatuhin ini." Elang meletakkan tiga lembar foto di atas meja.

Bayu mengambilnya. Cowok berumur 22 tahun itu diam memperhatikan. Sampai akhirnya dia mengangguk. "Masuk akal. Rencana lo setelah ini, apa?"

"Malam ini gue sama Helga mau ke club tempat dia kerja."

"Buat?"

Helga menghela napas pelan. Gadis itu kemudian menceritakan apa yang terjadi sampai dirinya ikut campur.

Malam itu, Helga tengah duduk bersama teman-temannya yang lain menunggu pelanggan. Namun, dirinya tiba-tiba saja ingin buang air kecil dan menyebabkan dirinya untuk berjalan ke arah toilet sendirian.

Saat selesai menuntaskan apa yang dia inginkan, alis Helga berkerut kala melihat foto Elang yang berada di atas lantai tepat di depan toilet pria.

"Lah? Kok nyasar ke sini?" gumam Helga.

Helga awalnya tak acuh. Dia mengira ada seseorang yang mungkin suka pada Elang dan menjadi penggum rahasia atau semacamnya. Helga tahu betul banyak yang menyukai cowok itu.

Namun, ketika dirinya melewati ruangan bosnya, tiba-tiba saja dia mendengar obrolan yang membuat dirinya penasaran.

"Elang Januar. Lo harus bisa singkirin dia. Tapi sebelum itu, lo juga harus singkirin orang terdekatnya dan buat dia tersiksa baik fisik maupun batin."

"Satu orang terdekat Elang berhasil disingkirin Minggu lalu. Dan akhir-akhir ini, gue udah enggak pernah lihat dia keluar rumah."

Elang diawasi? Begitu pikiran Helga.

"Terus awasi rumahnya. Inget, singkirin orang-orang terdekat dia duluan."

"Buat cewek yang suka bareng dia, lo cari tahu—"

Helga membelalakan matanya kala mendapati Gara yang tengah berjalan ke arah tempat di mana dia berdiri. Akhirnya, mau tak mau, Helga memilih berbalik dan berjalan cepat kembali ke arah toilet.

Di dalam toilet, Helga mencoba menghubungi Elang. Namun, ponsel milik Elang tidak aktif.

Dan esoknya, Helga malah mendapat kabar Abangnya Elang meninggal.

Setelah menceritakan itu, Bayu mengangguk-anggukan kepalanya.

"Jadi ... Cewek yang deket sama lo itu ... Siapa? Dia?" tanya Bayu.

Elang menggeleng. "Bukan. Tapi, buat sekarang ... Helga emang prioritas buat gue lindungi," jawab Elang. "Dia dalam bahaya gara-gara gue," lanjutnya.

"Jadi ... Cewek yang dimaksud ... Siapa?"

"Sahabat gue."

Bayu menganggukkan kepalanya. "Oke, kita cari tahu ke sana malam ini."

"Woi, gue ikut." Gerry menyahut.

Elang mengangguk.

TBC

Kesan setelah baca part ini?

Tomi udah ada pawang gais🙈

Ada yang ingin disampaikan untuk Elang

Maurin

Helga

Bayu

Spam next di sini

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro