Bagian 22

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudah hampir seminggu semenjak keputusan Maurin memilih ikut bersama dengan Neneknya.

Gara, Galang, dan Tomi. Pagi sampai siang mereka bersekolah, dan pulangnya akan langsung kembali ke rumah sakit dan berharap Elang segera sadar.

Namun, yang mereka dapati justru Elang yang masih setia menutup matanya.

Tangan Gara menyentuh kaca yang memberi jarak antara mereka dan juga Elang yang masih terbaring di sana.

Gara menghela napas pelan. "Lo kapan mau sadar, Lang?" tanya Gara lirih.

Tomi baru saja datang. Cowok itu menatap ke arah Gara dan juga Galang yang belum menampakan raut bahagia. "Elang ... Belum sadar?" tanya Tomi.

Gara dan juga Galang menggeleng sebagai jawaban.

Lantas, Tomi beralih menatap kondisi Elang di balik kaca. Cowok itu menghela napas pelan. "Mau sampai kapan dia milih buat tidur?"

"Mau sampai kapan dia bikin gue khawatir?" tanya Tomi lagi.

Tomi menyandarkan punggungnya pada tembok dan berangsur duduk bersandar di atas lantai.

Matanya menatap ke arah tembok dengan pandangan lurus.

Elang belum sadar. Dan dia benar-benar takut Elang menyerah dan tak berniat untuk kembali, begitu pikirannya sekarang.

Sama halnya dengan Gara. Dia memilih duduk seraya menatap ke arah lantai di kursi koridor.

Tidak, dia  tidak akan menyerah menunggu Elang kembali. Elang pasti akan sadar, dia hanya lelah dan butuh waktu untuk beristirahat sebelum kembali. Gara mencoba berpikir positif.

Namun, jauh dari dalam lubuk hatinya. Diapun takut. Takut Elang memilih menyerah dan pergi meninggalkannya.

"Kalau aja gue enggak ngomong, Maurin pasti ada di sini. Terus, kalau Elang sadar ... Dia pasti seneng kalau ada Maurin kan, Gal?"

"Mungkin ..." Galang terkekeh pelan.

Tomi menggeleng. "Elang enggak butuh orang egois kayak Maurin."

"Tom—"

"Maurin terlalu mudah menyimpulkan. Dia enggak mau dengerin dari sudut pandang Elang. Kalau dia beneran sayang sama Elang, dia bakal nunggu Elang sampai dia sadar dan cerita gimana sudut pandang Elang atas apa yang terjadi."

"Elang tuh, bego. Di saat dia punya masalah, bisa-bisanya dia mentingin cewek egois kayak dia," sambung Tomi.

Gara menggeleng. Tidak, wajar Maurin seperti itu. Dia marah, dia kecewa. Semata-mata bukan hanya karena kasus yang ada, tapi karena Elang juga tak pernah mau jujur pada Maurin.

Elang menganggap Maurin spesial, tapi dia tidak pernah terbuka pada Maurin. Sehingga, membuat gadis itu merasa dirinya tidak sepenting itu untuk Elang.

Belum lagi, Maurin bilang dia tidak tahu apapun soal Elang. Padahal, Gara yakin, baik Maurin ataupun Elang, keduanya sama-sama saling menyayangi.

Namun, Gara memilih diam. Dia takut terjadi keributan antara dirinya dan Tomi dan menyebabkan Tomi pergi meninggalkan Elang seperti Maurin.

Tomi akhirnya berhenti berbicara. Cowok itu memilih kembali ke depan jendela untuk melihat keadaan Elang.

Namun, yang dia lihat masih sama. Elang ... Masih tertidur.

Dan pertanyaannya, mau sampai kapan dia bertahan di sana?

•••

"Ga, lo mau ke mana?" Elang menatap Helga yang saat ini tersenyum padanya.

Gadis itu mengenakan baju putih. Wajahnya nampak bersinar dihiasi dengan senyum manis di bibirnya. "Gue mau jemput lo, Lang. Ayo kita pergi."

"Ga—"

"Elang."

Elang menoleh, matanya memanas kala mendapati Mamanya kini berdiri di belakang Helga seraya tersenyum.

"Mama." Elang berjalan mendekat.

"Ayo, sayang, Elang mau ikut Mama, kan?"

Elang mengangguk bersamaan dengan air mata yang menetes membasahi pipinya. Namun, tak dapat dipungkiri, dia merasa senang bisa bertemu dengan Mamanya lagi. "Elang boleh ikut Mama?" tanya Elang.

"Boleh, sayang. Mama ke sini buat jemput Elang. Tugas kamu udah selesai, Mama enggak mau lihat Elang menderita sendirian."

Elang melangkah semakin dekat. Kemudian, dia memeluk Mamanya dengan erat. "Iya, ma. Elang mau sama Mama. Elang capek, Ma. Hati Elang sakit. Badan Elang juga sakit semua, Ma."

Air mata Elang semakin menetes kala dia merasakan pelukan lainnya. Elang mendongak, alangkah terkejutnya Elang kala mendapati Haikal dan juga Papanya di sini. "P-Papa."

"Ayo kita pergi, Lang," ajak Anggara.

Elang mengangguk. Helga menghampirinya. Kemudian, dia memegang tangan Elang dan mengajaknya untuk pergi.

Namun, ketika dirinya hendak melangkah mengikuti keluarganya dan juga Helga, tiba-tiba dia melihat Maurin di depannya. Dia menatap Elang, namun, tak ada satu patah katapun yang dia ucapkan.

•••

Tomi, Gara, dan juga Galang benar-benar kaget ketika Elang kembali kritis.

Ruang operasi sudah ditutup begitu rapat. Ketiganya kini duduk dengan wajah muram mereka.

Sudah satu Minggu mereka menunggu. Namun, selama itu juga Elang tak mengalami perubahan. Sekalinya mendapat kabar, mereka malah mendapat kabar mengejutkan.

Elang kritis. Itu benar-benar membuat mereka panik bukan main.

Elang harus selamat, dia harus hidup. Begitu pikiran mereka sekarang.

Gara beranjak, cowok itu melangkah sedikit menjauh dari Galang dan juga Tomi.

Kemudian, dia mencoba menghubungi Maurin. Namun, tak ada balasan dari gadis itu. Sepertinya, dia benar-benar marah.

Gara menghela napas pelan. Akhirnya, cowok itu memilih mengirim pesan pada Maurin dan memberi tahu bahwa Elang kembali kritis.

Sebenarnya bukan saat ini saja. Semenjak Maurin pergi, Gara kerap kali memberitahu kabar soal Elang. Walaupun, tetap saja. Tak ada satupun balasan yang muncul.

Gara menghela napas pelan. Cowok itu kembali melangkah mendekat ke arah Tomi dan juga Galang.

"Kalau Elang bangun, gue enggak akan protes dia nitip tas ke gue, Gal. Yang penting dia balik lagi, yang penting dia ada di depan gue lagi." Galang menunduk.

Biarpun Elang menyebalkan, dialah yang membuat Galang tidak merasa minder berteman dengan siapa saja. Elang bilang, berteman itu bukan karena uang. Dia yang mengajak Galang di saat semua orang menyudutkannya dan menghinanya karena dirinya adalah orang berkekurangan.

"Gue juga enggak akan nagih uang kost yang dia janjiin. Asalkan dia sehat lagi." Tomi ikut menyahut dan menunduk menatap lantai.

Gara diam. Dia berjanji akan menjaga Elang jika dia bangun. Gara berjanji akan menemaninya berobat. Gara berjanji akan memberikan semua yang dia punya, dan akan memenuhi segala kebutuhan Elang asalkan dia kembali.

Gara tak akan bisa memaafkan dirinya sendiri jika Elang benar-benar pergi.

"Bertahan, Lang." Gara bergumam pelan.

Tring

Maurin : Berhenti kasih kabar yang enggak gue butuh. Lo tahu gue enggak akan perduli sampai dia mati sekalipun.

Gara mencengkeram erat ponselnya. Maurin keterlaluan.

Elang sama sekali tidak salah. Dia tida tahu apapun atas apa yang terjadi. Dia hanya korban.

Bukan hanya Maurin, Elang juga. Elang tengah berjuang untuk hidupnya.

Tomi menatap Gara. Kemudian, dia merebut ponsel cowok itu dan membaca isinya. Tomi memicingkan matanya. "Ngapain lo kasih kabar sama cewek gak tahu diri kayak dia, Gar?"

"Tom, Maurin—"

"Dia egois. Di saat Elang lagi hadapin masalahnya sendiri, dia mementingkan Maurin duluan, Gar. Yang ada di pikiran Elang Maurin, cuman Maurin. Tapi dia sama sekali enggak mau perduli sama Elang!"

Gara diam. Cowok itu menghela napas. "Maurin kecewa sama Elang. Gue yakin dia sayang sama Elang, Tom."

"Sayang? Sayang kayak apa yang lo maksud? Dia bilang, dia enggak perduli mau Elang mati sekalipun. Berhenti kasih kabar soal Elang sama cewek gak tahu diri itu!"

Galang diam. Dia setuju pada Tomi. Galang tahu bagaimana sayangnya Elang pada Maurin. Galang tahu bagaimana mata berbinar Elang ketika bercerita soal Maurin.

Galang tahu sepenting apa Maurin dihidup Elang.

"Gue setuju sama Tomi. Berhenti kasih kabar soal Elang sama dia. Kalau dia sayang sama Elang, sekali lo kasih kabar, dia pasti bakal dateng buat lihat keadaan Elang. Atau seenggaknya, dia enggak perlu doain Elang cepet mati."

Gara menunduk. Akhirnya dia mengangguk.

TBC

Kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Elang

Maurin

Gara

Tomi

Galang

Spam next di sini

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro