2. Kubangan Kenangan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sore telah menyambut ketika bus yang Elang tumpangi berhasil lolos dari kemacetan. Sesekali laki-laki itu menahan suara batuknya. Padahal ia sudah mengurangi batang rokok yang diisap per hari, tetapi belum memberi banyak pengaruh. Bukan karena takut pada slogan di belakang bungkus rokok. Hanya saja batuk itu membuat kenyamanan Elang terusik.

Beberapa penumpang turun saat bus berhenti di sebuah halte. Elang sengaja memilih duduk dekat jendela supaya tidurnya tak terganggu tiap kali penumpang silih berganti. Gerimis yang sempat menemani perjalanan, meninggalkan uap pada jendela dan mengubah suhu udara. Sudah merasa cukup tidur, ia beralih pada pemandangan jalan. Sebelah tangannya digunakan untuk mengelap permukaan kaca. Seketika pandangannya tertambat pada sebuah Firma Hukum ternama. Hanya melihat sekilas tempat di mana ibunya bekerja, Elang mengingat hari di mana ia meninggalkan rumah.

"Coba jelaskan apa maksudnya ini, Elang?" tanya Bunda yang tengah mengacungkan sebuah surat.

Wanita itu berdiri di samping meja belajar, pakaian kerja masih membungkus tubuhnya. Tersirat amarah tertahan di raut wajah itu. Nada sukanyaA terdengar susah payah dipaksakan lembut. Namun, Elang sama sekali enggan menghentikan kegiatan menjejali kaus ke ransel. Sekadar merespons pun tidak. Niatnya memang sengaja ingin menguji batas kesabaran wanita itu.

"Elang, Bunda sedang bicara!" Bunda menghampirinya lalu melemparkan surat dari sekolah ke samping ransel yang sedang ia bereskan. "Bunda nggak ngerti lagi sama kamu." Terdengar helaan napas frustrasi cukup keras. "Coba beritahu Bunda. Apa mau kamu, Nak?"

Tanpa perlu membaca surat itu pun Elang tahu. Sudah pasti isinya pernyataan kalau ia resmi dikeluarkan dari sekolah. Alih-alih menjawab pertanyaan sang ibu, ia justru meremas surat itu lantas membuangnya. Seolah-olah surat itu memang sebatas sampah baginya.

"Kamu mau ke mana lagi, Nak?" Bunda menahan sebelah tangannya sesudah ia menyampirkan ransel. Kali ini suara Bunda terdengar bergetar. "Bunda tahu ini semua nggak mudah. Kita bisa mulai dari awal, Nak .. Bunda akan turuti semua mau kamu."

Mulai dari awal? Bagian mana yang bisa dimulai dari awal? Kata orang, cinta pertama setiap anak laki-laki adalah ibunya. Mereka pun akan mencari pasangan hidup yang mirip dengan sang ibu sesudah dewasa nanti. Akan tetapi, bagi Elang, Erlina Mayangsari merupakan penyebab patah hati terhebat. Bersama berbagai macam badai di atas kepala, Elang menyentak tangan itu sebelum berbalik. Rasanya begitu sulit memandang Bunda tanpa amarah setitik pun.

Elang mengangguk lamat-lamat. "Kalau begitu jangan pernah cari Elang." Ia menatap dingin wanita yang pipinya dipenuhi jejak air mata itu. Sayangnya, hati Elang tak tergerak sama sekali untuk menyekanya.

Sekian ton kekecewaan harus dibayar pula dengan hal yang sebanding, pikir Elang.

Lamunannya buyar begitu Wake Me Up When September Ends milik Green Day menggema di telinga. Elang paling malas mendengar lagu itu. Ia lantas melepas headset, menggulungkannya pada ponsel yang kebetulan dayanya melemah.

"Dor ...." Jari Nuri membentuk pistol yang menodong Elang. "Hai, Kak Elang."

Baiklah, sekarang Elang memercayai pepatah dunia selebar daun kelor. Kenapa bisa cewek aneh itu ada di mana-mana? Dari sekian bus dan kursi? Ia memasang headset lagi dan memejamkan mata. Omong-omong dari mana cewek itu tahu namanya? Padahal Elang belum pernah menyebutkan. Cewek itu juga bukan teman SMA atau teman pecandunya. Malas menelaah terlalu jauh, ia menyingkirkan pertanyaan yang dirasa tidak perlu dianalisis.

Nuri dan kicauannya bukanlah hal penting.

Cewek itu tiba-tiba merapatkan diri pada Elang. "Kak Elang, aku tahu loh ... headset Kakak nggak ada musiknya. Balas sapaan orang nggak seberat menggeret kapal Titanic di kaki kok." Lalu ia menjauh dan menembangkan lagu yang dinyanyikan pengamen.

"Semua kata rindumu semakin membuatku tak berdaya." Kepala Nuri bergerak ke kanan dan kiri diikuti kedua tangan melambai. "Menahan rasa ingin jumpa ... percayalah padaku aku pun rindu kamu, ku akan pulang ...."

Sesekali tangan cewek itu menyenggol lengan Elang entah sengaja atau tidak. Ia hanya berdecak dan melirik sekilas.

"Jangan katakan cinta, menambah beban rasa. Sudah simpan saja sedihmu itu ...."

Nuri mendorong santai kacamata yang melorot, meski merasakan lirikan tajam Elang. Selain sikap masa bodoh, ia tahu kalau Elang perokok berat. Bila berada sedekat ini, sisa-sisa asap rokoknya sangat tercium kuat. Ya, jangankan asap rokok, gas elpiji bocor pun sanggup Nuri hirup demi berada sedekat ini dengan laki-laki itu.

Pada beberapa malam Nuri sering kali memilih belajar di balkon kamar. Jika sedang beruntung, ia dapat menemukan Elang di teras kos tanpa kepulan asap rokok. Entah teori jodoh pasti bertemu sedang berkonspirasi atau tidak, area kos cowok itu kebetulan dekat dengan rumahnya. Nuri pun sering menemukan Elang di rumah makan ibunya beberapa kali dan itu sangat menyenangkan.

Elang Dirgantara, idola sekaligus cinta pertama sejak masa putih-biru. Peraih medali perak IJSO dan juara bertahan OSN. Cowok itu merupakan salah satu motivasi Nuri untuk lolos setiap seleksi OSN. Tentu saja, supaya peluangnya bertemu Elang Dirgantara bisa jauh lebih tinggi dan bisa menyamai langkah idolanya.

Bagi cowok itu, Nuri mungkin hanya bagian kecil dari kenangan yang terlupakan. Atau bisa jadi cewek itu bukan apa-apa dari sekian milyar ingatan yang Elang simpan. Sedangkan bagi Nuri, cowok itu adalah segala hal indah di alam semesta yang selalu ingin ia temui. Cara orang-orang melihat bintang pasti menggunakan teropong yang terarah ke langit. Sementara caranya melihat bintang, yakni mengarahkan teropong ke arah pintu kos Elang.

Iya, bintang Nuri memang bukanlah bagian benda langit.

"Kakak habis dari mana?" Akhirnya Nuri berani membuka percakapan.

"Bukan urusan kamu." Elang mengedarkan pandangan. Barangkali masih ada kursi kosong lain. Sayangnya, orang-orang yang berdiri memegang Sukira saja saling berimpitan. Mustahil ada kursi kosong.

"Oke." Nuri membuat huruf O dengan ibu jari dan telunjuk. "Aku selalu naik bus ini tiap berangkat dan pulang sekolah, Kak. Soalnya bus ini melewati halte di dekat sekolahku. Aku juga biasa pulang jam segini tiap latihan OSN. Kita bisa pulang bareng kalau Kak Elang mau."

Elang tidak merespons Nuri sama sekali. Ia terpaku pada tiga huruf tadi, OSN. Sains, dunia yang membawanya ke luar kota bahkan luar negeri tanpa perlu mengeluarkan uang. Elang pernah berjuang setengah mati demi setiap kemenangan yang diraihnya. Tak ingin tenggelam, ia segera menarik diri dari kubangan kenangan.

Dunianya tak lagi berkutat pada sebuah kompetisi.

"Kalau aku berhasil bawa pulang medali OSN. Aku bisa pilih tempat kuliah tanpa tes nantinya. Ini kompetisi terakhirku." Satu tangan Nuri terkepal, pandangannya mengarah ke depan. "Omong-omong setelah kemenangan OSN di Bali Kakak nggak pernah kelihatan lagi. Aku kira Kakak akan ada di ISO, soalnya Kakak 'kan pernah ikut IJSO." Nuri bicara tanpa memandang Elang. Ia sudah fokus pada buku di pangkuannya.

Bali, perjuangan, dan kemenangan terakhir Elang.

Pantas saja. Ternyata cewek itu bukan hanya mengetahui namanya, tetapi hampir separuh perjalanan hidup Elang. Jadi, sekarang ia harus merasa bangga atau bagaimana setelah menemukan penggemar beratnya? Mendadak ia menyesal tidak menghemat daya ponsel dan tidur di awal perjalanan.

"Nama kamu Nuri 'kan?"

Sorot mata Nuri langsung berbinar. "Iya, Kak."

"Pertama, berhenti mencari tahu tentang saya. Kedua, berhenti mengajak saya ngobrol, karena saya nggak berminat."

Nuri mengulas senyum. "Oke." Diiringi jari yang membentuk huruf O.

Sebelah alis Elang terangkat karena reaksi cewek itu.

Setelahnya mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Hujan mulai membasahi jalanan, para pejalan kaki di trotoar berusaha menutupi kepala dengan apa saja yang dibawa. Tiba-tiba Elang merasakan berat di sebelah bahunya. Wajah damai Nuri adalah pemandangan yang ia temui usai beralih dari jalanan. Cewek itu terlelap.

Elang menyingkirkan kepala cewek itu tanpa pikir panjang. Namun, selalu kembali jatuh di bahunya belum sampai hitungan sepuluh detik. Karena malas menahan kepala Nuri dengan sebelah tangan sepanjang sisa perjalanan, Elang membiarkan kepala gadis itu bersandar. Misi mengambil barang di markas bayangan yang terletak di daerah perbatasan kabupaten Bandung dan Cianjur sudah cukup menguras tenaga.

Markas bayangan merupakan istilah lainnya markas sementara. Hanya berguna untuk sekali transaksi. Gedung tua yang terkenal angker di kalangan warga dan jauh dari permukiman, kemarin dipilih sebagai tempat mengambil barang serta menyetor uang. Biasanya Elang akan menemui Gian dan beberapa orang.

Gian yang kali pertama mengenalkan ekstasi pada Elang. Cowok itu pun satu-satunya orang yang menghampirinya, saat ia duduk sendiri di trotoar jembatan layang bersama segala kekosongan. Hari di mana ayah telah dikebumikan. Kala itu tengah malam dan jalanan sepi. Elang sendiri juga tidak tahu, kenapa langkah kaki membawanya ke tempat itu. Sementara pikirannya telah mengembara bersama angin malam yang berembus kasar.

"Lo ngapain di sini tengah malam?" tanya Gian yang memandangnya dari atas ke bawah.

Celana seragam sekolah masih melekat di tubuh Elang, kecuali kemeja yang sudah berganti kaus.

"Bukan urusan lo."

Gian memarkirkan motor dan melepas helm. "Sekarang jadi urusan gue. Motor gue satu-satunya yang lewat dan berhenti. Kayaknya lo depresi banget."

"Gue bilang, bukan urusan lo!" Tanpa segan-segan Elang melayangkan tatapan menusuk.

Cowok itu menghela napas panjang. "Udah, ayo gue antar pulang."

Elang mengabaikan laki-laki itu, ia memilih tetap duduk di trotoar.

"Ya udah, gue numpang duduk," lanjut Gian.

Berawal dari sana Elang mengenal Gian sebagai sosok teman. Cowok itu merupakan mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta dan anak salah satu pejabat daerah. Gian merupakan salah satu di antara mereka yang cukup sering mengadakan pesta di vilanya. Setelah berteman dengan laki-laki itu, ekstasi menjadi tempat pelarian yang ia pilih. Termasuk melakukan serangan balik terhadap sang ibu.

Suara kenek bus berhasil menarik Elang dari masa yang sudah terlewat. Ia melirik cewek yang masih terlelap bersama buku dan ransel dalam dekapan. Beberapa helai rambutnya yang tergerai, jatuh menutupi dahi. Perpaduan antara mata, hidung dan bibir tipis di wajah Nuri itu cocok dirangkum satu kata yaitu ....

Elang memalingkan wajah. "Bangun, udah sampai." Lalu ia mendorong kepala Nuri.

"Kak, supirnya suruh muter lagi aja sampai ujung Jawa Timur," gumam Nuri, matanya masih terpejam. "Aku ngantuk banget!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro