4. Bahan Taruhan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Elang yang dipanggil, tapi malah tiga cowok lain yang serempak menoleh bersama satu alis terangkat. Sementara Elang tetap menatap lurus ke depan, ia mungkin lebih mirip udara kosong bagi Elang. Tiga cowok lainnya menatapnya dari atas sampai bawah dan kembali lagi ke atas, lalu saling berpandangan. Cowok yang memakai topi hitam menepuk bahu Elang.

"Lo jangan pura-pura budek apalagi buta," katanya pada Elang. "Kita makan duluan." Cowok itu masuk ke rumah makan disusul dua temannya.

Kalau saja mereka tidak bertemu di rumah makan ini, Elang pasti lebih mudah mengabaikan cewek aneh itu. Seperginya para tiga pemuda tersesat, Elang terpaksa menoleh. Di bawah awan berarak serta belaian manja dari angin sore. Entah karena cardigan merah muda yang membalut seragam cewek itu atau amfetamin sudah mengaburkan pandangannya. Sepasang mata yang biasanya terhalang kacamata itu berhasil membuat satu sudut bibir Elang tertarik tanpa disadari. Sial, kenapa ia jadi sulit beralih?

"Kak Elang mau makan ya? Aku juga belum makan, bareng yuk."

Cewek itu teritorial yang lebih berbahaya dari pelanggaran wilayah dan umpan polisi. Lo bisa mati konyol secara mengenaskan, Elang, batinnya.

Seketika Elang mengerjapkan mata. "Iya."

Nuri menghela napas pelan, cara dari Sana dan Momo sudah gagal total. Buktinya Elang masih juga malas bicara dengannya. Atau jangan-jangan setelah menghilang dari hilir-mudik olimpiade, cowok itu terkena sakit parah! Sampai-sampai jika terlalu banyak bicara Elang bisa mati terkapar bersimbah darah! Ah, tidak, itu tidak boleh terjadi. Elang sudah sedekat ini di matanya, bahkan tempat tinggal mereka sekarang ibarat lagu pacar lima langkah. Ia rela melakukan apa saja supaya Elang bertahan hidup. Termasuk merekatkan mulut Elang dengan semen, kalau perlu.

Oke, abaikan isi pikiran Nuri yang selaras igauan pasien RSJ.

Nuri hanya sedang berusaha menghibur diri dengan segala macam pikiran konyolnya. Lalu seperti yang sudah-sudah, Elang meninggalkannya begitu saja. Namun atas nama deburan ombak di pantai, batu karang pun sanggup dikikis habis bila terus diterjang. Jadi Nuri tidak akan menyerah! Ia akan terus menerjang batu karang di hati dan kepala Elang!

***

"Muka lo jelek semua," ujar Elang setelah duduk di depan Gian.

"Jelek kenapa? Kita semua sedang merayakan kesembuhan lo dari trauma mengenaskan bernama anti tisu magic," balas Rai santai. Sementara Gian dan Satria yang mulutnya penuh sedang berusaha menahan tawa.

Elang mengerutkan dahi ketika melihat makanan di piring mereka tersisa separuh, hanya ada tiga piring di meja. "Makanan gue mana?"

"Lo pesan sendiri lah jangan manja," jawab Satria.

Tiga pemuda tersesat dan perut lapar bukan hal yang baik bagi keberlangsungan emosi Elang. Ia mendengus keras lalu mendorong kursi ke belakang. Tiba-tiba piring berisi nasi beserta lauk dan teh tawar hangat tersaji satu persatu di meja. Secara otomatis Elang kembali duduk tenang. Dari aroma strawberry yang terhidu begitu kuat, tidak lain dan bukan, si pengantar makanan yang berdiri di sampingnya pasti..

"Selamat makan, Kak Elang." Nuri mengembangkan senyum normal saat mereka bersitatap. Kenapa Elang menyebutnya normal? Karena biasanya Nuri melebarkan senyum lima jari di depannya. Sekarang cewek itu sudah kembali mengenakan kacamata. Perlahan raut wajahnya berubah khawatir, kemudian punggung tangannya menempel di dahi Elang. "Kak Elang sakit?"

Elang menyingkirkan pelan tangan Nuri. Ia berdeham sebelum beralih menatap makanan di piring. Tanpa perlu menatap satu persatu teman sialannya, Elang tahu mereka sedang memasang mata dan telinga baik-baik. "Masuk angin."

"Jangan telat makan, ya, Kak."

"Makasih," sahutnya.

Setelah merasa Nuri berjalan menjauh, ia kembali mengangkat kepala dan menemukan tiga temannya yang sudah berhenti makan. Padahal piring mereka belum benar-benar kosong. Gian bersandar sambil menyilangkan tangan, raut wajahnya menyiratkan orang yang sedang berpikir keras. Satria memegangi sebelah dadanya dengan mata terpejam. Kemudian Rai menumpukan kedua siku di meja sembari meremas rambut, raut wajahnya menyiratkan orang yang sedang begitu frustrasi.

"Insting Ketua Kaki Utara memang nggak bisa diragukan." Pernyataan Satria memecah keheningan di antara mereka.

"Jadi gimana? Kalian udah siap nyikat kamar mandi dan cuci kaus kaki gue sebulan?" tanya Gian.

"Anak pemilik rumah makan ini dan dia juga yang antar makanan Elang ke meja kita tanpa dipesan lebih dulu. Gila, benar semua, Yan. Gue nyesal ikut-ikutan Satria," sahut Rai yang sekarang tertawa getir.

Elang yang baru menyadari dirinya dan Nuri dijadikan bahan taruhan meletakkan sendoknya. Ia meremas jemari yang mengepal di kedua tangan secara bergantian, hingga menimbulkan bunyi mirip tulang-belulang yang patah. "Gue pastiin lo semua babak belur sebelum keluar gang."

"Nggak masalah, Lang. Gue aja hampir sekarat lihat jidat lo dielus-elus," sahut Satria.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro