16. Kastil Alamut

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Lebih baik naik pesawat enggak makan waktu dua jam udah sampai Denpasar," ujar Dio yang merangkul bahu Caca sejak turun dari kereta. Selain menggendong tas di punggung, tangannya yang lain menarik kopor gadis itu.

Mereka baru saja melewati perjalanan panjang dari stasiun Pasar Senen ke Surabaya selama 10 jam dengan kereta api eksekutif. Selama perjalanan itu mereka berdua kerap bolak-balik ke gerbong sebelah atau sekadar berdiri di depan pintu, demi meredakan bokong yang panas. Sehabis ini mereka masih harus menempuh perjalan dari Probowangi menuju Banyuwangi selama 6 jam. Pencapaian luar biasa untuk Dio yang gemar mengendarai motor.

"Ini enggak apa-apa kok, cuma bengkak sedikit," jawab gadis yang tengah berjalan tertatih itu.

Dio menghentikan langkahnya. "Caca ...."

"Kak Dio ...." Caca meniru suara Dio, lalu memutar bola mata sebelum menatap laki-laki di sampingnya. "Udah dong, jangan marah-marah terus."

"Aku enggak memarahi kamu." Lewat sorotan mata Dio yang lembut itu saja memang tidak memberikan tanda-tanda bahwa ia sedang marah.

"Iya ... 'kan aku udah bilang, sekalian jalan-jalan. Enggak perlu menguras tabungan terlalu banyak. Naik pesawat pulang-pergi hampir delapan juta kan sayang."

"Kita naik yang ekonomi enggak sampai satu koma lima untuk satu tiketnya, Ca. 'Kan aku tawari yang itu."

Caca menghela napas. Angin malam Surabaya meniup helai rambutnya hingga menutupi mata. Sebelum berniat menyingkirkan rambutnya, Dio sudah melakukan itu lebih dulu. "Kakak tuh cuma mau pesan dari maskapai Garuda. Kan aku tawarin yang lain yang tujuh ratus ribu, tapi enggak mau."

Baik, ini entah sudah ke berapa kali mereka beradu argumen tentang harga tiket pesawat dan fasilitasnya.

"Uang itu enggak seberapa dibanding naik pesawat yang enggak jelas. Sama aja kayak menggadai nyawa," jelas Dio.

Dio Anggara menyebut pesawat yang rate-nya di bawah maskapai Garuda Indonesia sebagai pesawat abu-abu. Laki-laki itu boleh jadi bisa makan di mana saja dan bukan pemilih makanan. Pengecualian untuk kendaraan umum jarak jauh, apalagi sekelas pesawat.

"Kak Dio, udah dong ... marah-marahnya."

Dio menghela napas sebelum menggiring Caca ke salah satu kursi panjang di area tunggu stasiun. Perdebatan tiket pesawat yang sebelum pemberangkatan ke Bali, berujung dengan pilihan naik kereta eksekutif dari Pasar Senen sampai Surabaya. Ia berlutut untuk meneliti punggung kaki Caca yang bengkak. Efek sekian jam duduk di kereta. Flatshoes yang gadis itu kenakan juga sudah disulap menjadi sandal jepit karena hal tersebut. Caca belum pernah naik kereta tujuan luar kota sejauh itu, kampung halamannya sendiri di Manado.

Dio mengolesi punggung kaki Caca dengan minyak kayu putih, lalu memijatnya pelan-pelan. "Kita masih harus naik kereta dari sini ke Banyuwangi, Ca. Kamu yakin?"

Sekali lagi Caca memutar bola mata. "Kak Dio, please deh. Kita enggak jalan kaki ke Banyuwangi terus renang sampai pelabuhan Gilimanuk." Ia menarik kedua tangan Dio pelan dari kaki. "Aku enggak apa-apa, serius." Nada bicaranya kini melirih.

Bola mata hitam pekat di balik kacamata itu menatapnya dalam-dalam. "Cuma beli tiket pulang-pergi Bali, aku masih sanggup. Aku cuma mau bikin kamu nyaman selama perjalanan."

"Aku tahu kok, dan aku nyaman-nyaman aja sekarang." Caca merapikan helai rambut laki-laki itu.

"Kenapa kamu suka rapihin rambut aku? Seberantakan itu ya?"

Caca menggeleng seraya tersenyum lebar. "Di beberapa waktu kamu kelihatan mirip anak kecil. Jadi ... gitu."

Hal itu membuat Dio berhenti memijat kaki Caca. Ia duduk di sebelah gadis itu. "Barusan yang kamu bilang mirip anak kecil itu presma merangkap programmer loh. Enggak salah?"

"Tadi aku bilang di beberapa waktu, terkadang. Terus cuma aku aja yang bisa lihat. Nilai bahasa Indonesianya berapa sih nih presma? Jangan keseringan pakai bahasa pemrograman nanti lupa sama bahasa manusia."

Di antara lalu-lalang dan percakapan lirih orang-orang yang hendak berpergian, Dio mengacak puncak kepalanya. Tawa mereka saling bersambut. Caca menikmati rongga dadanya yang menghangat.

"Dio Anggara C. Kepanjangannya apa, Kak?" Tiba-tiba Caca mengingat singkatan nama Dio yang kerap membuatnya penasaran. Di mana-mana selalu disingkat seperti itu.

Dio berdeham. "Dio Anggara Cokroatmojo." Ia kembali mengusap lembut puncak kepala gadis itu.

***

"Ganti, jangan Beauty and The Best."

Dio protes di sela-sela kesibukan penyusunan coding dalam JavaScript dan mendengarkan Caca menyanyikan salah satu theme song film garapan Walt Disney. Visual basic, Java, PHP dan JavaScript adalah mainan sehari-hari bagi Dio. Dunia per-coding-an adalah the second world, tempat pelarian yang menghasilkan nominal dalam rekening. Maka dari itu ranselnya hanya berisi laptop, hoodie, dan jeans. Masalah kaus dapat dibeli nanti daripada meninggalkan laptop.

"Aku suka Beauty and The beast daripada princess Disney yang lain," balas Caca yang kini menyandarkan kepala di bahu Dio.

"Bukan Cinderella?" Jujur saja Dio memang hanya tahu itu dari segala macam dongeng garapan Disney.

"Aku lebih suka Belle. Princess yang lain jatuh cinta sama pangerannya dalam wujud yang kasep dan bageur gitu, sedangkan Belle jatuh cinta sama pangerannya bahkan saat pangerannya masih jadi monster. Dari sana bisa dilihat seberapa besar ketulusan hatinya Belle, Kak." Bola mata gadis itu kini mengarah ke sudut kanan atas, bibirnya mengerucut.

"Awal Belle menerobos hutan untuk cari ayahnya yang hilang sampai akhirnya dia bertemu si pangeran dalam wujud yang saat itu enggak kelihatan kayak pangeran. Terus Belle rela menggantikan posisi ayahnya yang ditawan si pangeran. Belle sabar menghadapi pangeran yang agak lupa kodratnya sebagai manusia. Sampai akhirnya kekuatan cinta mereka yang membuat kutukan si pangeran lenyap."

"Kalau gitu temani aku dari nol sampai berdigit-digit. Dari bukan apa-apa sampai jadi sesuatu. Sampai lepas nih dari kutukan klan Cokroatmojo."

Caca tertawa kecil, kedua alisnya terangkat. "Kutukan apa coba? Kamu enggak jelek, enggak miskin." Gadis itu memberi jeda. "Kalau boleh tahu ... Kakak punya masalah apa sih sama Papa?"

Kalau saja Caca tahu apa saja yang ada di balik Atmojo Group, gadis itu tak akan pernah melontarkan tanya itu. Dio menarik senyum tipis. "Kamu dongeng aja lagi, Ca. Suara kamu lebih enak didengar daripada lagu."

Dapat Dio rasakan Caca yang menatapnya lekat-lekat dari samping, tapi ia memilih mengabaikan. "Hmm ... ya udah lain kali aja. Udahan dulu ngoding-nya, mata kamu kasihan nanti minusnya bertambah."

"Sebentar, ini lagi cari uang, Ca."

"Pilih kamu yang matiin atau aku yang langsung tekan power?" Tiba-tiba telunjuk Caca sudah bertengger di atas keyboard.

"Kamu tekan tombol power sama aja menghilangkan ratusan ribu rupiah yang udah aku susun."

Tawa Caca lagi-lagi mengudara. "Uuu ... kasihan banget Iyo." Ia mengusap-usap kepala Dio.

Serta-merta Dio berdecak. "Bukan anak kecil." Ia menepis tangan gadis itu.

Ponsel Dio yang berdering mengalihkan atensi mereka. Caca merogoh sling bag di pangkuan. Usai melihat nama yang tertera di layar, ia menyodorkan ponsel Dio. Semua barang berharga disimpan Caca menjadi satu, dompet dan ponsel mereka. Jika sling bag itu dicopet orang, sudah dapat dipastikan mereka akan jadi gembel seketika.

"Kok, dinamain Tante Silvi, Kak?"

Dio tidak juga meraih ponselnya, ia masih setia berkutat pada layar laptop. "Memang kamu manggilnya apa?"

"Tante Silvi," jawab Caca polos.

"Ya udah."

"Kok, ya udah? Ini angkat dong, Kak. Manja banget, harus aku pegangin nih HP-nya?"

"Kamu aja yang angkat." Dio sama sekali tak melirik ponselnya.

Caca menggeser tombol hijau seraya menghela napas. "Halo? Bukan Tante, ini Caca. Oh ... itu Kak Dio lagi ngoding, Tan. Tanggung katanya kalau berhenti nanti ada yang terlewat, programnya enggak jalan."

Dalam keadaan apa pun, Caca selalu melindungi nama baiknya di depan wanita itu. Padahal Dio tidak begitu peduli sekalipun Caca mengatakan yang sesungguhnya. Toh, Silvi memang tahu Dio akan selalu mengabaikannya.

"Jangan khawatir, Tante. Kita di perjalanan ke Banyuwangi. Iya, nanti aku kabari kalau udah sampai. Iya, Tante."

Obrolan via telepon selesai sampai di sana. Dio menoleh malas saat Caca memindahkan laptop dari pangkuannya. Gadis itu menutup paksa laptopnya tanpa permisi.

"Ca!"

"Sssshhh ... malas, enggak usah ngalus. Laptop ini lama-lama rasanya pengin aku jual aja." Caca memasukkan benda tersebut ke dalam ransel di sebelah kakinya.

"Tinggal beli baru."

"Kak Dio, kebalik tahu." Caca menggerutu karena Dio yang tiba-tiba bersandar pada bahunya. Biar begitu ia tidak bergerak seinci pun.

"Emansipasi, Ca." Dio memejamkan mata, menikmati aroma shampoo bercampur parfum. Sesederhana itu caranya menghilangkan penat.

"Kamu tuh capek, tapi hobinya memaksakan diri."

Dio memandangi gadis yang saat ini tengah menjelaskan pentingnya pola hidup teratur. Tentang pola makan dan tidur yang baik. Berlanjut ke menu makanan sampai batas waktu begadang. Ditambah organ tubuh yang rusak karena efek begadang, lalu magh kronis yang dapat berujung pada radang usus. Dio hanya mendengarkan sembari sesekali menyingkirkan helai rambut yang jatuh di dahi gadis itu.

"Kak Dio, dengerin aku enggak sih?" Caca memanyunkan bibir, lalu menyilangkan tangan di dada.

"Iya, dengar."

"Aku ngomong apa coba?"

"Kalau aku ulang nanti kayak lagi ujian lisan, terus kamu bingung ngasih nilai berapa."

"Bajaj terus, Bang."

Di antara candaan mereka, Dio menangkap kegelisahan dalam sorot mata Caca. "Mau ngobrol tentang apa?" Ia menautkan jemari mereka.

Caca terdiam cukup lama sebelum bertanya, "Kamu ... benci banget sama Tante Silvi?"

Dio menggeleng. "Kenapa?"

"Beliau baik banget, Kak. Sayang banget sama Kakak dan Kak Ditha. Cuma Tante susah mau mendekati dan mengajak ngobrol kalian. Kamu bangun benteng pertahanan yang terlalu kuat, lebih kuat dibanding Kastil Alamutnya Iran kayaknya."

Mau tidak mau Dio tersenyum kecil karena Kastil Alamut yang dijadikan perumpamaan.

"Udahan dong Kak perang dinginnya. Tante Silvi 'kan Mama kamu juga. Meski ibu sambung, tapi kasih sayangnya mungkin bisa sebanding sama Mama di Bali. Aku lihat, Tante memang peduli banget sama kamu."

Dio mengalihkan pandangan pada motif sarung jok bis. "Perempuan itu enggak tulus."

"Satu yang Kak Dio harus ingat. Laki-laki di dunia ini tidak dianjurkan untuk mencintai perempuan lain lebih dari ibunya. Karena sekali pun aku jadi istri kamu, aku enggak ada apa-apanya dibandingkan sama perempuan yang susah payah melahirkan kamu. Membesarkan kamu. Sampai kamu tahu langit itu indah, garam itu asin, dan sampai kamu tahu ... cara memperlakukan perempuan lewat cara ibu menyayangi kamu."

Dio hanya meresapi kalimat-kalimat yang Caca lontarkan. Kalau saja menghapus tumpukan rasa kecewa semudah ombak menghapus jejak di pasir. Ia mungkin tidak akan membangun benteng yang lebih kuat dibanding Kastil Alamut Iran.

"Kak ...." Caca memanggilnya lembut.

Mata mereka terpaut, kali ini tanpa debaran yang menggila. Hanya sorotan yang saling beradu, menimbulkan rasa hangat tak terelakkan dalam rongga dada masing-masing.

"Butuh waktu, Ca," ucap Dio lirih.

"Habiskan rasa kecewa kamu setelah ketemu Mama, ya?"

Lagi, Dio mengalihkan pandangan. "I don't know what to say when I meet her." Tiba-tiba ia berdecak. "Harusnya kita nggak ke Bali untuk nyari orang itu."

Caca membawa jemari mereka yang masih saling terpaut ke pangkuannya. "Kak, udah dong ... jangan ditambahi terus takaran rasa benci kamu. Promise me?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro