18. Trophospere

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebelah tangan Caca meraba tepian kasur di atas kepala. Usai menemukan sumber nada dering yang sedikit menganggu tidur, matanya menyipit karena sinar layar ponsel. Ia mengernyit sejenak lalu menarik tangan tangan Dio. Laki-laki itu tidur tertelungkup di sampingnya. Masih dengan mata menyipit, ia menyamakan jam yang tertera pada ponsel dengan jam digital Dio.

"Halo, Bun," sapanya sesudah beringsut ke tepi kasur.

"Sudah tidur, Ca?"

Caca mengusap mata seraya menguap lebar. "Di sini jam dua pagi, Bunda sayang."

"Bunda khawatir, makanya telepon. Maaf ya, Nak?"

Senyum kecil terukir di wajah Caca. "Iya, Bunda. Ada apa? Bunda mimpi buruk ya?"

"Bunda memimpikan Kakakmu. Lusa kamu pulang 'kan?"

"Iya, Bun."

Caca menyibak selimut dengan gerakan pelan. Ia melirik sejenak ke arah karpet. Laptop Dio masih terbuka lebar tapi layarnya sudah menggelap, lalu ada kabel headphone dan charger berserakan. Laki-laki itu memang patut diacungi jempol kalau soal daya juang. Pemandangan lainnya adalah tumpukan kulit kacang serta sekaleng kopi. Tadinya Caca ingin merapikan, tetapi batal. Ia berjalan mendekati jendela kamar.

"Naik pesawat saja, Ca. Nanti kaki kamu bengkak lagi kalau naik kereta. Lusa 'kan harinya Kakak loh."

"Kak Dio udah pesan tiket pesawat, Bun. Tiket keretanya juga udah di-refund."

"Oh, ya sudah kalau gitu. Ambil penerbangan jam berapa?"

Caca menjelaskan jam penerbangan mereka seraya melepas ikatan rambut. Ia menggelangkan ikat rambut pada pergelangan tangan, kemudian menghela napas. Sejenak bayangan mendiang sang kakak membuka pintu kenangan. Ia menyibak tirai hingga menyisakan sedikit celah. Setelah bermalam di rumah Mama Deasy dan mengantar wanita itu ke bandara. Mereka menjatuhkan pilihan pada salah satu resor dekat pantai Sanur. Kaus lengan pendek dan celana selutut tidak cukup melindungi permukaan kulitnya dari suhu ruangan yang rendah, tapi Caca enggan kembali meringkuk dalam selimut.

"Ya sudah kamu tidur lagi, biar istirahatnya cukup. Kalian tidur di kamar yang berbeda 'kan, Ca?"

Kekehan lirih lolos dari bibirnya untuk menetralkan nada suara. "Iyalah, Bun. Kak Dio udah kirim bukti booking-nya ke Bunda kan?"

"Hmm ... Iya sih. Ya sudah ... good night sayang."

"Good night, Bunda."

Caca tahu, baru saja ia melanggar kesepakatan dengan Bunda untuk tidak menyembunyikan apa pun. Mereka tidur bersampingan selama di Bali, kecuali saat di rumah Mama Deasy. Hanya sebatas tidur dan tidak melakukan apa-apa lagi. Semua berawal dari Caca yang kerap tertidur saat menemani laki-laki itu menyusun coding. Rasanya malas pindah ke kamarnya sendiri, ia pun memindahkan kopor ke kamar Dio. Sepasang matanya dimanjakan oleh pemandangan ombak yang bergulung di luar sana. Ia jadi mengingat Fella yang begitu menyukai pantai dan angin laut. Mendiang sang kakak memang pergi dengan cara yang mengerikan. Namun, Caca hanya ingin mengingat momen terbaik mereka.

"Kamu enggak tidur lagi?" Suara serak khas bangun tidur itu membuatnya menoleh.

"Kamu sendiri kenapa bangun?" tanya Caca pada laki-laki yang berjalan ke arahnya. Kaus Linkin Park yang agak kusut itu senada dengan tatanan rambut Dio.

Dio berdecak seraya mengenakan kacamatanya. "Ditanya malah balik tanya. Aku enggak bisa tidur kalau kamu juga enggak tidur."

"Kak Dio 'kan baru tidur sebentar. Semalaman udah di depan laptop. Enggak pegal emang? Kakak tidur lagi sana, nanti sakit loh."

"Iya, mau nunggu kamu dulu."

Laki-laki itu kini berdiri di hadapannya. Tinggi badan mereka terlihat jelas sekarang. Karena Caca perlu mendongak untuk sekadar menyelami lautan hitam pekat dalam bola mata Dio. Teduh seperti biasanya, sedikit lucu saja sebab si empunya tengah menahan kantuk.

Senyum Caca terkembang. Ia berbalik menunjuk permukaan kaca. "Lihat ombak jadi ingat kakakku. Lusa kamu bisa ke rumah?"

Dio berdeham sejenak, memindai betapa mungilnya punggung gadis itu. Tanpa sengaja tangannya bergerak memainkan ujung rambut Caca. Sekarang sudah hitam legam tanpa ada sentuhan warna lain. Satu lagi, ia selalu menyukai aroma shampo gadis itu.

"Lusa ... aku ada janji sama orang yang pesan aplikasi. Baru ingat juga, ada pertemuan sama komunitas programmer. Paling aku cuma bisa antar kamu sampai rumah."

Lusa adalah hari Minggu. Dio rutin mengantar gadis itu pulang dan bertamu sejenak. Zenar Adiyaksa sekarang terlihat lebih ramah dibanding kali pertama bertemu. Ia mendapat izin dengan mudah dari pria paruh baya itu. Beberapa kali Zenar sempat mengulik latar belakang keluarganya. Wajar, Dio terhitung sebagai laki-laki pertama yang mengencani sang putri. Ia ingin dikenal sebagai kakak tingkat Caca saja. Jadi, tak perlu menceritakan tentang keluarganya lebih jauh, apalagi Atmojo Group.

"Oh, ya udah enggak apa-apa. Aku lupa juga mau nanyain ini ke Kakak sebelum ke Bali."

"Yuk." Dio menyentuh puncak kepala gadis itu, mengacaknya pelan.

"Aku enggak bisa tidur lagi kayaknya. Keluar yuk?" Gadis itu berbalik bersama binar di matanya.

"Ini jam berapa, mau ke mana coba?"

"Pantai?" Caca tertawa kecil.

Serta-merta Dio menghela napas pendek. Gadis cerewet itu dan keinginannya sering kali sulit dimengerti.

"Jam segini ke pantai kayak orang mau lempar sesajen aja. Tidur yuk, tiga jam lagi juga udah pagi."

"Jam segini kan pantai sepi, Kak."

Dio menggeleng seraya berkacak pinggang. "Gelap."

Gadis itu malah mengangkat bahunya berjalan melewati Dio menuju pintu. "Ya udah aku aja sendiri."

Terdengar helaan napas lagi dari Dio. "Caca ...," panggilnya lembut. Ia sudah seperti bapak-bapak yang membujuk anaknya.

"Kak Dio ...," ulang Caca dengan nada yang sama sembari berbalik menatap laki-laki itu. "Enggak usah khawatir."

"Sini, aku bisa bikin kamu tidur nyenyak." Dio menarik sebelah tangan gadis itu menuju ke tempat tidur.

"Oke, let's prove!" tantang Caca di sela-sela tawa.

Biasanya akan ada banyak kejutan setelah menggoda Dio Anggara mati-matian. Berselang dua menit kemudian prediksi Caca memang tak meleset. Ia tidur dengan posisi tertelungkup. Alunan "Nuvole Bianche" memenuhi kamar, sedangkan tangan Dio mengusap-usap punggungnya. Perlahan aroma kantuk menggelayuti kelopak mata.

"Kak ...," panggil Caca.

Hanya gumaman yang menjadi jawaban Dio. Matanya tertutup rapat, tapi ia tetap mengusap punggung gadis yang memeluk guling di sisinya.

"Kamu menang, Kak," kata Caca di sela-sela kantuknya. "Your touch and this music is so damn hard to deny."

"I know. So, please lay in your dream, Oxafia Djenara Nindya."

Caca mengangkat telunjuknya, tapi Dio mengembalikannya ke tempat semula. "My last name is Nindyar."

"I don't wanna put R in your last name."

Entah, Dio lebih senang menyebut Nindya. Oleh karena itu kontak nama sang kekasih pun tidak menggunakan nama panggilan.

"Hmm ... whatever. Bacain puisi dong, Kak."

"Banyak maunya nih." Dio mencubit hidung gadis itu. "Trophospere ... lapisan terdalam dari atmosfer--"

Tiba-tiba Caca tersenyum geli. "Ih, puisi apaan coba."

"Udah sih dengerin aja." Dio mencoba mengingat-ingat puisi absurd yang pernah dibaca saat melongok laptop Daniel. Ia hafal di luar kepala karena begitu absurdnya. "Tempat kita biasa jumpa, di bawah cumulus atau cumulonimbus. Di antara panas terik atau hujan badai."

Omong-omong, puisi tersebut lebih layak disebut contekan mata pelajaran geografi. Ya, tapi tak mengapa, Dio bukan penyair sekelas Shakespeare. Ia juga bukan penggemar Sapardi Djoko Damono.

"Indonesia beriklim tropis, hanya ada musim hujan dan kemarau. Hari kita terlalu manis, hingga kuarungi samudera bernama risau," tutup Dio.

Kali aja ada yg mau polow Ig Ku 🤭💔

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro