20. Kamu dan Kerupuk

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Caca ingin menanyakan banyak hal pada laki-laki itu. Terutama tentang Trophospere yang mengganjal hati. Bukan keanehan isi puisi tersebut, melainkan penulisnya. Caca merasa ada kisah Fella yang tak diketahuinya dalam tiap baitnya. Mereka kini saling berhadapan, tapi pertanyaan-pertanyaan tadi tertahan di ujung lidah. Bulan dikelilingi taburan bintang. Tidak ada hujan badai melanda pula. Kenapa sorot mata Dio memercikkan kekhawatiran hebat?

"Maaf, tadi kamu udah tidur ya?" Tangan kanannya tersembunyi di balik punggung, sementara yang lain menyentuh pipi Caca. "Aku cuma mau lihat keadaan kamu."

"Hah?" Caca mengernyit dan menyentuh punggung tangan laki-laki itu di pipinya. "Tumben banget, ini bukan Kak Dio yang biasanya."

"Bunda baik-baik aja 'kan?"

Dahi Caca makin mengerut. "Hmm ... baik kok. Kamu malah yang ... Kak Dio baik-baik aja 'kan?"

Dio menurunkan tangannya dan mengulas senyum tipis. "Ya udah aku pulang, ya."

"Enggak boleh."

Sikap Dio malam ini aneh. Laki-laki itu bukan tipikal cowok romantis yang datang dengan kejutan manis. Laki-laki itu pun bukan pecinta basa-basi, berbuat sesuatu tanpa alasan.

Sekarang hampir larut malam dan dia bilang cuma mau lihat keadaan gue? batin Caca.

"Kenapa tangan kanannya? Aku yakin kamu enggak sedang menyembunyikan setangkai mawar, apalagi sekotak cokelat di balik punggung kamu. Karena itu bukan gaya kamu banget." Caca membawa sejumput rambut ke belakang telinga. "Jadi, kenapa?"

Dio memaksakan tawa kecil. Langkahnya perlahan mundur. "Lain kali aku bawa deh." Melihat gadis itu tak menanggapi, ia berujar lagi, "Bukan apa-apa, Ca."

Hening sempat merengkuh sesaat. Dio tahu sia-sia saja melakukan hal konyol ini. Mau bagaimana lagi? Ia tidak menyiapkan apa-apa ketika melakukan motor ke rumah Caca. Seseorang bernama Herdian Cokroatmojo tidak pernah main-main dengan ucapannya. Dio tak akan membiarkan gadis itu terjebak dalam situasi buruk hanya karena perebutan tahta Atmojo Group.

Usai pura-pura mengangguk, Caca menarik pelan tangan Dio dan tertegun. Ada rembesan darah pada perban yang dibalut asal-asalan itu. "Kamu habis ngapain sih?"

"Kena gores pecahan kaca. Sabrina jatuhin gelas di ruang tamu." Dio mencoba menarik tangannya kembali. "Aku pulang, ya?"

Caca menyipitkan matanya. "Dio Anggara, kamu tuh cerdas. Sayangnya kamu enggak cerdas dalam hal membohongi aku. Pertama, kamu enggak begitu peduli dan akrab sama Sabrina. Kedua, ART di rumah kamu enggak mungkin membiarkan kamu memungut pecahan kaca, seandainya Sabrina memang memecahkan gelas."

"Aku tadi bilang sama Ayah cuma mau ketemu kamu sebentar, enggak enak sama beliau," kilah Dio.

Mata mereka kembali terpaut ketika Caca mendongak. "Tunggu di sini. Kalau kamu pulang tanpa pamit, aku enggak akan balas chat kamu."

"Ca ...." Dio menahan pergelangan tangan gadis itu. "Aku enggak apa-apa."

"Ya, kamunya memang enggak kenapa-kenapa, tapi tangan kamu yang kenapa-kenapa." Caca menunjuk tangan Dio yang terbalut perban asal-asalan. "Udah deh ... Kak Dio tuh duduk manis aja di sana kayak tadi. Bisa enggak sih?"

Dio masih bergeming, sementara gadis itu lenyap ditelan tikungan menuju dapur. Ia mengusap tengkuk lalu memandang sekitar. Bapak Zenar yang budiman pasti tidak menyukai ini. Lagi-lagi Dio berdecak lirih, pikirannya berkelana bersama rapat esok pagi. Ah, perusahaan setan itu selalu menghadirkan masalah dan hal-hal tak menyenangkan. Tidak bisakah Papa melepas jabatan supaya mereka merintis sesuatu yang baru? CV atau perusahaan yang lebih sehat?

***

"Sepuluh menit lagi."

Hampir saja Caca tersandung kakinya sendiri. Kalau baskom berisi air hangat yang ia bawa tumpah, akan ada kerusuhan yang tidak diinginkan. Misal, jeritan Bunda. Ia berbalik, meniup kasar anak rambut di dahi. Kacamata ayah melorot, tapi Caca sedang malas mengurai tawa.

"Ampun deh, Ayah ... udah kayak penjaga rental warnet!" Caca memanyunkan bibir, sementara hidungnya kembang-kempis. "Aku pasang dua jam deh."

"Masih ada besok, Ca. Ampun deh, anak muda."

Ayah menggeleng diiringi decakan patah-patah. Caca meletakkan sejenak baskom berisi air hangat di atas lemari pajangan berukuran 1,5 meter. Ia mengambil kotak P3K kecil dari laci, memeriksa isinya sebentar lalu meraih baskom.

"Iya, tapi ini urgent, Yah. Kak Dio tuh tangannya luka, aku enggak akan biarin dia pulang begitu aja. Soalnya dia nyetir motor."

Ayah menghalangi jalannya menuju pintu utama. "Benar-benar deh, anak muda zaman sekarang ada-ada aja. Tangan luka bukannya diobati di rumah atau dibawa ke dokter, malah ke rumah pacar."

Kedua sudut bibir Caca melengkung ke bawah, matanya dibuat berkaca-kaca. Terkadang saat bicara dengan ayah, ia merasa umurnya menjadi sepuluh tahun lebih tua dan akhirnya timbul banyak kerutan pada wajah. "Ayah, please deh ... Ayah tuh enggak tahu asal-usul asapnya dari mana. Jadi, jangan menyalakan api sendiri."

Ayah berdecak. "Kita ini lagi ngobrolin pacar kamu. Bukan mau bakar sampah, Ca."

"Kenapa sih ribut malam-malam begini?" Bunda yang muncul bersama rambut digelung asal-asalan bak Dewi penyelamat di mata Caca.

"Bun, coba Ayah mindset-nya diubah sedikit. Aku mau ke depan sebentar, menyelamatkan pacar yang lebih berharga dari tas Hermes, oke?"

Bunda mengernyit lantas menatap ayah. Setelah tiga langkah menjauh, Caca mendengar Bunda membujuk ayah untuk tidur. Keluarganya terhitung harmonis, kadang kala perdebatan kecil mereka sering kali berujung pada tawa serta canda. Ketika tiba di teras Caca bernapas lega karena masih menemukan laki-laki itu. Tentu saja, ancamannya bukan pepesan kosong.

"Kak, kok enggak diminum tehnya?" Meski tidak melihat isi cangkir di meja. Caca yakin Dio belum menyesapnya sama sekali.

"Tahu aja."

Dio meraih satu-satunya cangkir di atas meja. Kepulan asap pada cangkir itu sudah menguap entah sejak kapan. Tadinya ia berpikir ingin pulang diam-diam tanpa pamit. Namun, Dio memutuskan tetap tinggal. Bukan karena takut dengan ancaman Caca, tapi karena itu bukan cara yang patut dilakukan saat berkunjung ke rumah seseorang.

"Pindah duduk di teras, Kak. Susah kalau di situ." Gadis yang mengenakan piyama Doraemon berwarna biru itu duduk bersila di teras. "Sini, Kak."

Dio mengangguk. Saat berjalan menghampiri Caca, ia mengingat hari gerimis dan lagu J-Rocks yang mengalun menemani tawa mereka di kantin kampus. Demi kilat menyambar, Dio tidak pernah menyesali keputusan spontanitas tersebut.

"Ca, maaf kamu jadi repot."

Mata gadis itu mengerjap tiga kali. "Enggak gratis, kok. Besok 'kan Kakak mau bawain aku cokelat satu kontainer."

"Oh, fotonya aja ya."

"Payah." Caca mencebikkan bibir. Sebelah tangannya membuka kotak P3K, kemudian menarik tangan Dio pelan. "Love yourself dong, Kak. Masa tangan kayak gini dibilang tergores."

Dio hanya memperhatikan Caca membuka perban secara perlahan. Ia tadi melilitnya secara asal-asalan hanya untuk menghentikan darah yang mengalir. Sebab ia sangat mengkhawatirkan ucapan sang ayah. Kalimat yang terselip ancaman halus itu tidak bisa diabaikan begitu saja.

"Kak Dio tuh habis ngapain sih? Ini tangan kanan, nanti kamu susah makan, susah nulis. Terus susah mengetik, perih juga kena air." Ucapan Caca terhenti kala menatap buku jari Dio. Mata mereka bersitatap dalam keheningan malam. "Jujur, habis memukul apa?"

Dio mengalihkan pandangannya. "Cermin."

"Kenapa Kak Dio melakukan itu?"

Dio mungkin punya bom mengerikan yang tersembunyi dalam sorot mata, juga sudut hati. Sekarang Caca telah mengetahui sedikit banyak latar belakang keluarga laki-laki itu. Akan tetapi, untuk alasan apa pun, melukai diri sendiri adalah sesuatu yang sangat salah. Ia mengembuskan napas pelan, mengambil kapas dan mencelupkannya ke baskom.

"Biasa." Dio meringis ketika air hangat merembes dari setiap kapas yang Caca gunakan. "Maaf, aku ngerepotin kamu malam-malam begini, tapi sebenarnya--"

"Kak Dio tuh nyebelin."

Pandangan mereka kembali mengait. Dio menunggu kalimat selanjutnya. Omong-omong selain menyebalkan, ia sadar sudah sangat merepotkan. Ah, harusnya tadi ia cukup sampai di depan gerbang lantas menelepon saja.

"Besok-besok sehabis ngobrol sama Papa, gigit kerupuk aja kalau emosi." Senyum lembut mengembang di bibir gadis itu. "Aku enggak mau lihat tangan Kakak begini lagi. Oke?"

Dio mengangguk cepat tanpa ragu. Memang hanya Oxafia Djenara Nindyar yang bisa membuatnya tertawa kecil dalam kondisi semacam ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro