26. So, Tell Me

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Caca memuntahkan menu makan malam dan sarapan di toilet kampus. Ia hanya berhasil melewati jam mata kuliah kedua. Baru saja menyalakan keran untuk membilas sisa muntahan, perutnya melilit lagi. Kali ini yang keluar cairan saja, bagaimana tidak? Lambung Caca pasti sudah kosong. Sambil memegangi perut yang nyerinya tak kunjung reda, ia berjalan tertatih-tatih.

"Ca, gue mau minta maaf. Gue sadar omongan gue keterlaluan."

Mia mencegatnya setelah jauh sepuluh langkah di depan toilet. Sekian belas hari mereka saling berdiam diri sekalipun satu kamar. Caca mengangguk pelan atas permintaan maaf Mia. Rasa sakit luar biasa membuatnya kehilangan energi untuk bicara.

"Ca? Muka lo pucat banget!" Mia segera memapah Caca yang mendadak ringkih.

Caca membekap mulut, matanya terpejam rapat. "Gue ..., gue mau muntah." Ia melangkah tergesa-gesa menuju bak sampah, memuntahkan lagi isi lambung.

Tak peduli sekotor apa pun, Caca mencengkram pinggiran bak sampah. Rasanya ia ingin mati saja agar tak lagi merasa sakit. Bukannya semakin berkurang, sekarang ususnya seperti dipelintir.

"Ca, lo kenapa?" Mia terus mengusap punggung Caca selama muntah.

"Gue ...." Kata-katanya terhambat karena asam lambung kembali naik. "Enggak bisa ..., berhenti."

"Kita ke dokter ya? Gue telepon Vena sama Dahlia."

Caca menahan tangan Mia. Gadis itu panik setengah mati merogoh tas. "Tolong telepon bunda gue aja."

Mia menerima ransel yang Caca sodorkan. Gadis itu sibuk mencari ponsel, sedangkan ia lagi-lagi muntah. Kejadian ini menguak kenangan dua tahun lalu. Di mana ia terkulai lemah di brankar bersama selang infus dan kateter, melewati koridor sepi menuju ruang operasi. Suster di sisi kiri dan kanan napasnya terengah-engah, mereka berpacu dengan waktu. Sekarang benaknya bertanya-tanya, apakah fase itu akan terulang atau ada hal yang lebih buruk? Caca mencengkeram erat almamater dalam dekapan.

Sekitar satu jam lebih menunggu, Bunda datang bersama Ayah. Mobil mereka mengarah ke rumah sakit di kawasan Jakarta Selatan. Kondisi Caca cukup mengkhawatirkan. Usapan lembut Bunda tak menghilangkan nyeri, tapi cukup menenangkan hatinya yang gundah. Ia membenci rumah sakit beserta seluruh isinya. Bukan apa-apa, ia benci terlihat lemah tak berdaya. Bekas operasi bukan sekadar menjadi tanda mengerikan di tubuhnya, tapi juga sekelumit memori menyedihkan. Sesuatu yang sudah terkoyak tak akan bisa lagi sama, sekalipun dijahit atau direkatkan dengan lem. Entah itu yang bernyawa maupun benda mati.

***

Kipas angin dan dengkuran halus berkolaborasi memecah keheningan sebuah kamar gelap. Dio baru memejamkan mata sekitar pukul tujuh pagi. Pesanan dua website institusi dengan domain berbayar membuatnya bekerja semalaman suntuk hingga menjelang pagi. Beruntung, jadwal kuliah hari ini kosong.

"Yo, lihat jam tangan gue enggak?"

Jimmy menekan saklar, kegelapan kamar sirna seketika. Ia baru saja bertamu ke kamar Gusti dan berniat mengajak Dio membeli makan siang. Namun, temannya yang satu itu masih sibuk membangun pulau di bantal.

"Enggak." Dio menutup kedua telinga dengan guling.

"Lo mau nitip makan enggak?"

Tidak ada jawaban.

"Woi!" Jimmy iseng menendang sebelah kaki temannya.

Dio terduduk, matanya yang merah menguliti jimmy. "Lo pilih pergi atau mati di sini?"

"Haha serem dah."

Jimmy lenyap di balik pintu setelah mengantongi dompet dan ia hendak melanjutkan berhibernasi. Namun, rencananya gagal total karena ponselnya berdering.

Dengan mata setengah watt, Dio mengusap layar ponsel. "Halo?"

"Kamu lagi di mana, Nak?"

Dio menjauhkan ponselnya, mengeja nama yang tertera di layar. Nomornya tidak dia simpan, tapi suara wanita di seberang sana tak asing.

"Saya lagi di kos, Bu."

"Bunda mau kasih kabar, siang ini Caca masuk ruang operasi."

Caca? Terakhir kali mereka bicara di ruang laboraturium, gadis itu kelihatan sehat.

Itu 'kan tiga minggu yang lalu!

Dio langsung beranjak dari tempat tidur. Secara serampangan ia menyambar jaket yang pertama kali tertangkap mata. Ponselnya dijepit di sebelah bahu. Ia menyimak penjelasan alamat rumah sakit, sedangkan tangannya yang lain meraba-raba meja belajar serta rak, mencari keberadaan si kunci motor.

"Lo mau ke mana?" tanya Jimmy yang baru memasuki kamar kos mereka. Ia menenteng kantong plastik hitam.

"Rumah sakit."

"Siapa yang sakit?"

Usai memasukkan dompet dan menemukan kunci motor, Dio memakai converse-nya secara asal.

"Siapa yang sakit, Yo?" Jimmy bertanya lagi karena kekalutan Dio tak bisa ditutupi.

"Caca mau dioperasi kata bundanya."

"Hah? Caca yang ketua asrama putri itu?" Jimmy terperangah sesaat. "Bundanya telepon elu?"

Otak Jimmy berpikir keras, kenapa kabar Caca yang akan menjalani operasi bisa membuat Dio luar biasa kalut? Tentu saja, sesama pimpinan organisasi mereka pasti akan menjenguk satu sama lain, saling bahu-membahu. Akan tetapi, kekalutan Dio sangat tidak wajar untuk sebatas kepedulian sesama pimpinan organisasi. Mereka malah sering kali bertengkar karena jam rapat BEM. Terkecuali jika mereka punya hubungan yang lebih dari sekadar teman debat di koridor kampus, Jimmy tak akan heran.

Pacar Dio 'kan si Nindya yang identitasnya masih dirahasiakan itu. Nindya ..., Nindya ..., bentar deh! Oxafia Djenara Nindya-r? Wah, dasar kambing! rutuk Jimmy.

"Nanti malam Daniel ke sini, tolong kasih flashdisk gue ya."

Jimmy sengaja menutup jalan Dio di depan pintu. Ia mengangkat kedua tangan. "Sorry, bentar, Yo. Gue mau konfirmasi sesuatu." Dio berdecak, sedangkan ia menarik napas panjang. "Nindya itu Caca ya?"

Mereka saling berpandangan sesaat. Dio membuang napas keras. "Iya, minggir lu."

Jimmy membenturkan kening ke dinding terdekat. "Gila bener dah temen gue! Kelihatannya doang sering adu argumen padahal mah pacaran!"

Dio keluar kamar dengan perasaan bercampur aduk, mengabaikan ketidakjelasan teman sekamarnya. Motor yang ia kendarai berkecepatan tinggi. Angin pertanda hujan akan turun berembus sedikit kasar. Pikirannya melayang bersama rindu yang sempat dipaksakan tenggelam. Tidak ada yang Dio inginkan selain menemui gadis itu. Hampir tiga minggu percakapan di antara mereka lenyap. Tidak ada lagi suara Caca yang kerap ia temui di ujung telepon. Chat berisi teror emoticon dari gadis itu pun ikut lenyap.

Tidak ada lagi sekantung buah apel yang tertempel sticky note bertuliskan eat this when you feel boring, eat this when you feel so tired, atau eat this when you miss me di setiap apelnya.

So tell me, what I have to eat when I feel like this, Ca? gumam Dio dalam hati.

Seharusnya itu dampak wajar dari kata break yang Dio minta. Akan tetapi, kini ia merasa hampa. Jagat raya yang luas ini terasa asing.

***

"Yah," panggil Dio.

Dia menyentuh bahu pria yang duduk bersedekap. Matanya terpejam rapat. Sempat terdengar dengkuran halus, lalu pelan-pelan mata pria tua itu terbuka.

"Eh, Yo, terima kasih sudah datang." Zenar menepuk sebelah bahunya. "Caca sudah di ruang operasi, cuma Bunda yang nunggu di sana."

"Apa kata dokter, Yah?"

"Tadi sore sempat dicek USG. Hampir saja ayah mau nemuin kamu bawa parang kalau di perut Caca ada janin."

Zenar pasti akan benar-benar menebas lehernya kalau tahu Dio adalah bagian dari klan Cokroatmojo. Keluarga konglomerat yang pernah ikut campur tangan membuat putri sulungnya mati sia-sia. Ia tersenyum tipis seraya mengucap syukur dalam hati. Detik ini Zenar belum mengetahui fakta sialan itu. Kalau tidak, mereka mungkin sudah mengubah koridor menjadi arena gladiator. Terdengar sangat jahat, tapi sejatinya Dio hanya ingin berada di sisi Caca sekarang.

"Enggak tahunya perlengketan usus, kata dokter itu memang bisa terjadi sama orang yang pernah operasi usus buntu," lanjut Zenar yang melepas kacamatanya.

"Semoga ini yang terakhir."

"Semoga." Zenar memijat pangkal hidung, lalu menghela napas. "Ayah kasihan sama Caca. Sedari kecil dia memang lebih ringkih dari mendiang kakaknya."

"Caca pasti kuat."

"Padahal baru dua tahun yang lalu dia operasi usus buntu, Yo. Kamu masih sering mengingatkan pantangan makan dia 'kan?"

Dio terdiam cukup lama sampai akhirnya ia memilih jawaban, "Masih, Yah."

"Sudah takdir mungkin, ya." Zenar menepuk sebelah bahunya lagi. "Terima kasih sudah menjaga anak ayah selama di sana."

Detik itu Dio kesulitan menelan ludahnya. Caca belum menceritakan tentang hubungan mereka kepada ibunya. Sekali lagi, ia bersyukur dalam hati. Mana mungkin Nadia sudi meneleponnya kalau tahu Dio yang membuat anak gadisnya menangis. Ia mengeluarkan Rosario dari saku jaket, kemudian memanjatkan doa untuk Caca. Semoga Tuhan melimpahkan kebahagiaan pada gadis itu dengan atau tanpanya.

Kata Daniel, cinta itu bukan tentang mempertahankan. Melepas juga termasuk salah satu bagiannya.

We're too young, too dumb to know things like love, tapi ..., kamu segalanya, Ca.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro