28. Eat This

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Cie dandan, mau ketemu siapa sih?"

Laki-laki itu bersedekap di pintu kamar dengan senyum mengejek, sedangkan Caca masih duduk di depan meja rias.

"Mau ketemu Kakak tingkat nih."

"Kakak tingkat atau mantan gebetan?"

"Oh iya, Kakak tingkat yang jadi mantan gebetan deh."

Laki-laki itu menyambut tawa kecilnya. Selama Caca memulas lip gloss, mata mereka bertemu lewat pantulan di cermin. Kegiatan sederhana itu membuat Caca berpikir kalau mereka punya banyak kesempatan untuk mengembalikan kata kita seutuhnya. Laki-laki itu pun tidak pernah absen menjenguknya selama di rumah sakit. Meski komunikasi lewat perpesanan atau media sosial sudah tak lagi mengalir.

Langit belum dipenuhi semburat jingga ketika mereka keluar rumah. Laki-laki itu mengajaknya ke tempat yang tidak pernah ia duga. Kantor pusat Atmojo group. Kali ini mereka saling menautkan jemari selama melewati jajaran pintu dan kubikel.

"Sepi banget, Kak. Udah kayak kantor terbengkalai."

Dio menoleh dan tersenyum tipis. "Kalau ramai namanya pasar, Ca. Hari ini aku minta tolong Papa kasih cuti semua pegawai tanpa terkecuali."

Caca mengernyit. "Kok bisa?" Kemudian ia tersenyum lebar memandangi Dio dari samping. "Cie sekarang akur banget sama Papa."

"Aku udah janji akan melakukan yang terbaik untuk perusahaan ini kelak."

"Bagus, dong! Aku senang dengarnya!" Caca lagi-lagi mengernyit saat tersadar akan sesuatu yang ganjil. "Eh, tapi kenapa ngajak aku ke sini sampai ngosongin gedung?"

Dio mengeratkan tautan jemari mereka. "Aku mau ngomongin sesuatu, Ca. Kantor ini punya jenis rooftop impian kamu."

"Oh ya? Ih, aku enggak sabar pengin lihat!" Caca menggoyang-goyangkan sebelah lengan Dio. "Mau ngobrol tentang apa sih, Kak? Kayaknya spesial banget."

Dio mengulas senyum samar. Tidak ada waktu lagi untuk menunda rahasia sialan ini. Caca harus tahu. Sekalipun banyak hal yang harus dipertaruhkan saat tiba di rooftop nanti. Papa menyetujui permintaannya setelah beradu argumen pelik. Sebab alasan yang ia berikan cukup rasional. Rahasia tersebut menyangkut nama baik seorang Herdian Cokroatmojo. Selain itu rooftop Atmojo Group dipilih supaya Caca tidak lari ke mana-mana saat mendengarkan penjelasan darinya.

"Nanti aja kalau udah sampai, ya," tukas Dio.

Setelah tiba mereka menduduki sebuah kursi panjang. Caca langsung menyukai rooftop Atmojo Group yang mirip kebun dengan hamparan bermacam-macam mawar. Ini benar-benar rooftop impiannya. Obrolan ringan diawali semacam kabar keluarga, kondisi kesehatan, dan tentang perkuliahan. Tak ketinggalan diselingi tawa dan canda seolah kebekuan sudah benar-benar mencair. Seperti yang lalu-lalu, Dio mungkin tidak pernah menunjukkan banyak ekspresi di depan orang lain, pengecualian jika bersamanya.

Tiba-tiba saja Dio beranjak, pindah duduk bersila di lantai. Laki-laki itu meraih kedua tangan Caca layaknya orang yang hendak menyatakan perasaan atau menanyakan will you marry me. Ya, ekspektasinya terhadap seseorang bernama Dio Anggara Cokroatmojo memang sebesar itu.

"Kak Dio ngapain?" Caca yang merasa tidak nyaman karena duduk di kursi mencoba beranjak mengikuti. Namun, laki-laki itu menahannya.

"Ca ..., aku mau minta maaf atas nama Ditha," pinta Dio. Wajahnya mendadak mendung tanpa petir.

"Minta maaf?"

Dio membawa kedua tangannya ke dalam sebuah genggaman. "Jangan menjeda sebelum aku selesai, bisa?"

Caca mengangguk.

"Ca, aku udah menemukan penyebab Ditha depresi. Penyebab Ditha jadi pecandu sampai overdosis. Aku dapat petunjuk dari buku diary-nya. Ada satu nama cewek yang dia tulis di hampir separuh halaman buku. Isi kalimatnya sama semua. Habis itu aku lacak buku tahunan sekolah dia, bahkan aku sampai meretas email Rendra. Ditha punya rasa bersalah yang begitu besar sama Fella."

Dahi Caca makin berkerut dalam. "Kak—"

"Tiga tahun yang lalu." Dio menarik napas panjang, kepalanya tertunduk. "Ditha ikut balapan liar, dia kalah dari Rendra. Sepupuku yang gila itu kasih pilihan, nyawa kedua atau video seks mantan ketua OSIS Puspanegara angkatan ke enam belas."

Caca merasa jantungnya lepas. Matanya membulat, tetapi pandangannya kosong. Ia lantas menggenggam erat sebelah tangan laki-laki itu.

"Nyawa kedua di sini maksudnya adalah saham di Atmojo Group. Kami dapat warisan itu dari Kakek sejak lahir. Ditha pilih opsi kedua karena nyawa kedua memang berharga buat kami kalau mau bertahan hidup. Selain itu, dia enggak akur sama Papa. Dia merasa enggak memerlukan bantuan Papa untuk masalah apa pun termasuk teror Rendra. Ditha enggak pernah cerita soal ini, tapi dari isi diary, sikap dia, aku paham kenapa dia mengambil resiko bodoh itu."

Setetes air mata jatuh di pipi Caca. Ia menyentak tangan Dio, meski pandangannya masih kosong.

"Dia jebak Fella, dia bawa kakak kamu ke tempat yang Rendra dan Aksel minta. Laki-laki yang melakukan hal itu ke Fella adalah Aksel. Dia kembaran Daniel yang punya dendam dan pikiran enggak sehat. Rendra melakukan itu supaya bisa menyeret Ditha ke ranah hukum, supaya reputasi Papa hancur. Sementara Aksel, dia melakukan itu ... karena Fella adalah pacar rahasia Daniel. Iya, berita ini enggak sampai ke polisi atau meja hijau karena Papa mengerahkan banyak orang."

Caca memalingkan wajah. Ia menarik napas susah payah. Tangisnya pecah tanpa suara. Ia dapat membayangkan bagaimana kondisi psikis Fella saat itu dan mendadak benci dengan orang-orang yang semacam Dio. Crazy rich, darah biru. Mereka bisa mempermainkan orang seperti sebuah mainan. Di mana hati nurani mereka? Persetan dengan nyawa kedua. Nyawa kakaknya melayang karena kebodohan mereka.

"Kenapa baru kasih tahu sekarang?"

Suaranya terbata-bata. Ia menekan pusat dada untuk mengenyahkan segala sesak. Atas nama pelangi setelah hujan, ia tahu laki-laki itu tidak bersalah sama sekali. Hanya saja, mustahil ia bisa berpura-pura merasa baik-baik saja di dekat Dio.

"Sejujurnya aku lebih memilih untuk enggak tahu rahasia ini." Dio mencoba meraih tangan Caca, tapi gadis itu langsung menepis. "Ca, ini berat buat aku, berat ngejelasin semua ini ke kamu karena—"

"Karena kamu egois! Kamu sama kayak mereka!" Caca berdiri dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia merasa sudah mengkhianati Fella. "Gimana bisa ..., gimana bisa gue pacaran sama lo? Gimana bisa gue pacaran sama orang yang keluarganya busuk kayak lo!"

Caca memberanikan diri menatap Dio lekat. Sepasang mata itu kemarin masih menghiasi bunga tidur dan sanggup melepas penatnya ketika belajar. Namun, sekarang Caca tidak bisa lagi melihatnya dengan cara yang sama.

"Ca, aku tahu, aku minta—"

"Gue enggak peduli!" Pipi Caca yang basah itu disertai mata menyalang merah. Bibirnya bergetar hebat. "Maaf lo enggak bisa bikin kakak gue balik, Dio! Dia gantung diri karena masa depannya hancur!"

Laki-laki itu berusaha merengkuhnya, tetapi Caca mendorongnya menjauh meski itu tidak benar-benar terjadi. Karena kenyataannya, laki-laki itu hanya berjarak sekian senti. Sekarang mereka benar-benar kehilangan banyak kata. Mata Dio menyorotkan luka yang pernah ia temukan setelah Ditha dimakamkan.

"Kamu boleh marah, tapi waktu enggak akan bisa kembali, Ca."

Laki-laki itu tidak perlu menjelaskan perkara waktu. Caca sendiri sulit percaya, waktu bisa menciptakan jurang tak kasat mata dalam hitungan menit.

"Lo tahu kenapa Ditha mati overdosis?"

"Kamu berhak marah, Ca, tapi jangan bawa-bawa Ditha."

"Karena dia pantas menerima itu!"

"Ca!" Dio menarik tangannya hingga ia berbalik.

"Apa lagi? Lepasin gue!" Caca mengucapkannya susah payah. Rongga dadanya semakin terasa sesak. "Tolong ..., lepasin gue ...." Suaranya nyaris habis, begitu pun dengan tenaganya.

Entah kenapa Dio tidak menggubris permintaan itu, dia tetap menghapus jarak di antara mereka. Dia memeluk gadis itu secara paksa. "Kali ini aja, Ca ... tolong pura-pura kalau aku masih orang yang sama di mata kamu. Orang yang enggak pernah bikin kamu ragu untuk balas peluk ... ketika aku peluk," tuturnya lirih.

Dengan bodohnya, gerakan Caca yang mencoba melepaskan diri terhenti begitu saja. Dio Anggara Cokroatmojo, dia adalah penyebab tangis dan tawanya menjadi satu paket. Dengan jeda pergantian yang lebih cepat dibanding cuaca di musim hujan.

"Gimana bisa gue sayang sama lo, Dio? Gimana bisa?" racau Caca di sela-sela isakannya.

"I will never leave, Ca. I swear that I will never leave, kecuali kamu yang minta." Setelah Dio berbisik, gadis itu pingsan dalam dekapannya.

***

Apa yang dikatakan Pidi Baiq itu benar. Perpisahan adalah upacara menyambut hari-hari penuh rindu. Caca hanya tidak pernah mengira bahwa mereka berakhir karena sebuah cerita dari masa yang sudah lama terlewat. Dari sekian miliar manusia di dunia ini kenapa harus Dio? Ia rindu sekaligus enggan melihat laki-laki itu.

Langkah kakinya menyusuri koridor kampus bersama pening yang ditahan sejak tadi pagi. Ada hal penting yang harus ia lakukan, yakni meminta toleransi. Sebenarnya ia sudah tahu itu mustahil terwujud dan terasa percuma bila dilakukan, tapi tidak ada salahnya mencoba 'kan? Barang kali dosen tersebut punya sedikit rasa iba usai melihat wajahnya yang mirip mayat.

"Maaf, Pak. Saya boleh minta toleransi waktu untuk tugas Akuntansi Biaya?" Caca langsung bertanya tanpa basa-basi setelah tiba di depan meja Pak Joko. Dosen mata kuliah Akuntansi Biaya semester ini. "Saya, Oxafia Djenara Nindyar." Ia pun menyebutkan Nomor Pokok Mahasiswa.

"Kamu sakit?"

Gadis itu langsung bernapas lega. Satu pertanyaan yang sangat manusiawi memberinya harapan besar. "Iya, Pak. Saya bawa surat dari dokter."

"Ini tugas kamu sudah masuk, kok." Pak Joko menunjukkan layar laptopnya. "Email kamu masuk lima menit yang lalu. Terlambat memang, tapi masih saya terima."

Dahi Caca mengerut. Ia sakit selama dua hari dan tidak sanggup mengerjakan tugas sama sekali. Alamat email itu memang miliknya, tapi siapa yang mengirim? Karena tidak mau kelihatan bodoh, maka ia memutuskan pamit dari hadapan Pak Joko. Sepanjang jalan melintasi koridor, jarinya berselancar pada layar ponsel. Tidak lama, ia tahu siapa melakukan itu lewat nama perangkat yang log in menggunakan email-nya.

"Kak Dio, enggak perlu kayak gitu," sembur Caca sesudah menemukan laki-laki itu di taman belakang gedung fakultas MIPA.

Laki-laki itu beralih dari layar laptop, lalu menghampirinya. Efek tatapannya sudah berubah. Bukan lagi menimbulkan kesejukan, melainkan denyut menyakitkan.

"Aku kira hari ini kamu enggak masuk lagi. Kata Dahlia kamu sakit, terus aku dengar ada tugas Akuntansi Biaya yang—aku cuma mau bantu sedikit, enggak ada maksud apa-apa, Ca," jelas Dio.

"Makasih. Aku bisa urus masalahku sendiri. Tolong berhenti peduli, bisa? Kita udah selesai. Aku enggak mau punya urusan sama Kak Dio lagi."

Caca sudah memuntahkan bentuk kemarahan dan kekecewaan dua minggu lalu di rooftop Atmojo Group. Sekarang ia hanya mau menganggap Dio sebatas Kakak tingkat. Ia tidak akan menggunakan kalimat-kalimat kasar lagi.

"Ca ...."

Caca yang hendak melangkah pergi, terpaksa berbalik karena panggilan lembut itu.

"Buat kamu."

Dio menyerahkan sebuah kotak makan yang sangat ia kenal. Ya, karena ia memang pemiliknya.

"Makasih."

Seusai melangkah cukup jauh meninggalkan Dio. Ia membuka tutup kotak makan itu karena penasaran, kemudian detik seolah menghilang, terserap spons bernama kenangan. Ada berbagai macam jenis batangan cokelat dengan tempelan sticky note. Isi kalimatnya sama.

Eat this when you remember me.

Bagaimana bisa sederet kalimat berubah menjadi kunci pintu yang sudah lama ia tutup rapat? Tidak, seharusnya Caca bisa lebih teguh dengan prinsipnya. Dio hanya masa lalu. Mereka dua orang yang ditakdirkan berbagi rindu, hangat peluk, dan rasa untuk sementara. Ia kembali melangkah setelah menarik napas panjang. Itu benar-benar terakhir kalinya Caca bicara dengan Dio.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro