Intermission 004: Mengasah Pistol

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Kebagian tugas pertama untuk jaga malam, yang Alena Valerian lakukan adalah mengitari kapal itu sekali lagi. Ada peta di setiap bagian kapal, tapi Val selalu memastikan dia menggambar peta sendiri.

Mereka sempat menyesuaikan Cincin Peri mereka sebelum berangkat, tapi menurut Fiore, dia nantinya akan menyesuaikannya lagi tergantung pada situasi garis ley di Aira. Val kurang paham deskripsi Fiore mengenai abstraknya garis ley. Apa yang dia tangkap adalah kondisi di kontinen baru akan berbeda, dan bedanya bisa akan jauh sekali dibandingkan ketika orang seperti Karen yang berasal dari Spriggan, pulau yang terpisah dari dataran Angia utama, datang ke provinsi seperti Leanan.

Val menangkap Fiore yang sangat perhatian pada mereka semua dengan caranya sendiri, sampai-sampai Val sendiri merasa bersalah karena ketuanya yang memang besar hati itu.

Sebagai ketua kelas bagi mereka, Val mengira dia yang biasa-biasa saja tidak akan pernah menonjol di kelas yang berisi mereka yang muda namun berlatar belakang luar biasa. Tuan putri Bluebeard, duta kedamaian Spriggan, si yang paling pintar di kelas, mantan tentara, narapidana...

Lagi Val menyadari bahwa seorang misionaris Kota Suci seperti teman sekamarnya Hildegard pun hanya gadis biasa. Mereka semua sama. Mereka adalah gadis yang perlahan tumbuh menjadi wanita muda biasa, hanya saja tugas yang mereka punya dan kewajiban yang mereka emban berbeda.

Val mengucapkan salam hormat setelah mendapati salah satu kru senior menjawab pertanyaannya seputar pelayaran. Dia mencatatnya dengan Cincin Peri dan sang kru memperbolehkan Val untuk merekam suaranya. Sudah jadi kebiasaannya untuk mengumpulkan banyak hal yang dapat membantu mereka, informasi sekecil apa pun itu.

Saat malam seperti ini, lebih sedikit kru yang bertugas, utamanya akan ada yang melakukan patroli di geladak, sementara sisanya biasanya menempati ruang-ruang vital, seperti ruang navigasi di bagian anjungan, ruang mesin, dan ruang komunikasi.

Seragamnya yang kebetulan berwarna putih membuatnya tidak mencolok di antara kru-kru kapal yang semuanya mengenakan seragam putih dengan aksen berupa garis biru di topi dan di kerah mereka. Logo maritim Angia yang berupa lambang sayap berwarna biru langit dan jangkar melengkapi bagian punggung seragam mereka.

Val berhenti ketika dia sampai di bagian buritan kapal. Tidak lagi terlihat di sekitar mereka tanda-tanda daratan, mereka sudah jauh sekali dari Angia dalam waktu singkat, berada di tengah laut yang sekarang gelap dan tak berujung. Val menaikkan kacamatanya sejenak, memandang sejauh apa yang dia bisa. Melihat di sekelilingnya tidak ada yang sedang melihat, Val melepas kacamatanya dan menaruhnya di dalam tas kecil yang dipasang di lengannya.

Matanya yang rabun dekat itu ternyata masih bisa melihat jelas untuk jarak jauh dalam gelap malam seperti ini, dan dia merasa itu penemuan yang luar biasa.

Rasanya sudah lama sekali dia tidak seperti bebas tanpa kacamata, apalagi karena dirinya sangat, sangat sibuk. Biasa ditugaskan di balik meja, dia banyak berurusan dengan surat-menyurat dan perihal interpersonal. Walau demikian, bila dia diturunkan untuk tugas kemiliteran dan latihan, Val tidak akan sekedar merasa dirinya kurang latihan.

Dia melirik ke arah pistol yang tersemat di pinggangnya, pistol yang bisa dibilang baru dirakit sebelum dia menyelesaikan masa wajib militer.

Sejak kecil karena ayahnya yang gemar sekali dengan senjata api, Alena Valerian terbiasa melihat garasi sang ayah dipenuhi perkakas-perkakas pistol dan senapan. Bagi beberapa bangsawan di kota, berburu binatang atau menembak target di waktu senggang adalah salah satu olahraga pilihan. Val menjadi satu dari banyak penonton kecil yang memperhatikan ayahnya mengurus senapan angin atau menunjukkan pistol-pistol untuk olahraga bagi mereka, dan lama-kelamaan Val mulai belajar merakit pistol karena ayahnya.

Pistol bukanlah barang mewah di Angia, tapi bukan juga barang yang selalu ada seperti pedang. Penggunaan pistol yang masih kurang umum membuat Val harus berusaha sendiri bila perlu melakukan pembersihan, penggantian parts, dan servis. Dia juga yang membuat sendiri peluru untuk digunakan pada pistol, sampai dia membawa segala perlengkapan pembuatan peluru kemana pun dia pergi.

Memang, rabun dekatnya kadang jadi masalah kalau dia butuh membuat banyak sekali peluru, untungnya dia bisa sedikit sihir untuk memastikan masing-masing cangkang pelurunya terisi dengan benar dan menempati cartridge yang sesuai.

Val mengecek pistolnya. Magasin pistol ini sengaja dibiarkannya kosong sebelum perlu untuk digunakan.

Val mengambil aba-aba, lengannya lurus ketika mengarahkan moncong pistolnya ke udara. Gerakan tangannya dia atur sedemikian rupa agar lebih luwes, lebih cepat.

Kerap kali dia masih merasa banyak pikiran, panik, tidak tegas—segalanya bisa berpengaruh dalam kemampuannya membidik. Ayahnya selalu mengingatkannya itu, dan Val sering menghitung saat-saat di mana dia terlalu panik untuk mengambil keputusan.

Saat dia merasa sudah berkembang selama dua tahun ini, dia juga merasa dia masih orang yang sama. Val yang mudah panik. Val yang harus melihat segalanya tertata, Val yang—

Seseorang menepuk pundaknya, dan refleksnya segera bekerja. Dia menerjang orang itu, menargetkan area bahu dan area leher, lalu segera membantingnya ke depan, lalu mengarahkan pistolnya ke arah wajah lawannya-

"... Alicia." decak Val saat dia memicingkan mata, melihat wajah familier itu tersungkur di buritan kapal.

"Wow, wow! Time, ketua, time! I-Itu nggak ada isinya 'kan?" Alicia pucat pasi.

Alih-alih menekan bagian safety, dengan tentunya Alicia tidak tahu pistol itu kosong, Val sekedar tersenyum, "Mau coba?"

"Ketuaaaaa!"



Mereka berdua berdiri di buritan, Alicia masih manyun ketika Val tersenyum-senyum sambil minta maaf.

Alicia bilang dia tidak bisa tidur, dan mungkin setelah ke kamar kecil dia akan tiba-tiba bisa tidur ... tapi kebetulan dia melihat Val berjalan ke arah geladak menuju buritan, jadi Alicia hendak menyapa.

Sapaannya yang semula bermaksud baik menjadi teror karena Val membantingnya dan menodong moncong pistol di depan wajahnya. Ini bukan kali pertama Val menodongkan pistol ke hadapan Alicia juga, sih.

Alicia kemudian bersandar di arah tralis saat Val kembali melatih aba-aba menarik pistolnya.

"Bakal susah ya latihan di kapal begini?" tanya Alicia penasaran.

"Yah, pistol juga bukan untuk sembarang ditembak," Val mengulang gayanya lagi sampai ia merasa ayunannya lebih mantap, sebelum akhirnya menyarungkan kembali pistolnya dan menepi bersama Alicia.

"Mana kacamatamu?"

"Di sini," dia menunjuk lengannya. "Tenang saja, aku cuma rabun dekat."

"Beda banget ngelihat orang yang biasa pakai kacamata terus nggak!" ucap Alicia, entah maksudnya memuji atau mengejek.

"Kamu kayak nggak pernah lihat orang kacamataan aja." Val mendesah pelan. "Sana balik tidur lagi, atau kamu mau aku dongengin pake 'Sejarah Sihir Aira'?"

"Lagi?" Alicia terkekeh. "Kamu rasanya udah hafal satu buku itu."

Gadis berambut hitam itu bersedekap. "Nggak kok? Aku nggak kayak Karen yang selalu bisa menyimpulkan satu bab sekali baca."

"Kalian berdua emang seram kalau udah masalah itu ..." Alicia tertegun. "Sebentar, Fio itu lebih pintar dari kalian 'kan? Ah, dia monster juga."

Val terkekeh, "Apaan, sih. Kalau hitung-hitungan juga masih jagoan kamu."

Alicia menunjuk kepalanya, "Oh! Apa kita dipilih satu skuadron karena kita semua otaknya encer?"

"Ngelunjak deh."

"Eh gapapa dong, anggap aja begitu!" Alicia sudah terbahak, senang sekali. Val tersenyum saja melihat Alicia sudah sedikit banyak lebih riang seperti biasa.

Val berusaha tidak mengungkit soal Aira untuk saat ini, membiarkan angin malam menyapu di antara mereka berdua yang tengah berdiri membelakangi sisi laut yang mereka tinggalkan.

"Alicia."

"Apa?"

"Kamu jangan pernah sungkan, ya?"

Alicia terdiam, tidak menoleh ke arah Val. Dia sejenak menggaruk pipinya. Val membiarkan Alicia menafsirkan implikasi ucapannya itu sendiri—entah sebagai nasihat, peringatan, atau sekedar sambil lalu.

"Tenang saja, ketua. Aku nggak apa-apa kok."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro