Intermission 006: Sang Penggembala

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gawaine.



Alkisah, hiduplah seorang anak yang terlahir di keluarga biasa-biasa saja dan menghidupi hari-hari yang biasa-biasa saja.

Di lingkungannya, besar dan bekerja di peternakan, dan nantinya mewarisi peternakan yang sudah berjalan turun-temurun dari generasi ke generasi adalah hal yang lumrah. Sebuah pilihan hidup yang 'semestinya', atau bisa dibilang adalah sebuah garis lurus. Garis itu telah ditentukan dari bagaimana kamu dilahirkan dan terus berjalan seiring dengan kamu hidup.

Bagi Celia Gawaine, keluarga besar itu adalah bagaimana dia melihat kehidupan.

Hierarki keluarga mereka hampir sama dengan seluruh peternak, petani, dan penggembala di sana yang umumnya tinggal di satu rumah besar yang memuat lebih dari satu keluarga atau satu generasi. Dari rumah itu juga mereka akan mengurus ladang-ladang yang sudah lama keluarga mereka miliki, merawat taman atau mencabut rumput liar, mengurus sapi-sapi dan pakannya, mengajari kuda-kuda untuk membantu pekerjaan mereka di peternakan, memelihara ayam dan unggas lain untuk daging dan telurnya, atau menggembala domba untuk nantinya diambil bulunya.

Nantinya mereka, keturunan-keturunan di keluarga itu akan lahir, mengurus peternakan, berkeluarga, dan terus-menerus seperti itu sehingga siklus pun terbentuk.

Bagi Celia Gawaine, bangun di pagi-pagi buta karena kokok ayam sudahlah biasa. Itu adalah waktu untuk membuka gerbang dan membiarkan sapi dan domba merumput, juga mengisi jerami di kandang kuda dan mengisi pakan-pakan ayam juga mengambil telur. Rutinitas itu biasanya akan diakhirnya menuju pertengahan pagi setelah dia memeras susu sapi untuk dibawa ayahnya ke kota, dan dia pun akan kembali ke kamarnya sambil bersantai saja, mungkin mandi, atau mungkin dia sudah akan mengurus makan siang bersama nenek karena keluarga besar mereka itu butuh banyak sekali makanan.

Suatu ketika, ayahnya pulang membawa sebuah hadiah aneh dari kota. Katanya itu adalah tongkat sihir yang diberikan pada si ayah sekedar sebagai tanda saja karena peternakan mereka memasok susu yang segar dan enak.

Celia kecil yang penasaran pun menarik tongkat itu dan merasakan bagaimana rasanya 'memegang' sihir. Ibu, nenek, saudara-saudara dan sepupu Celia yang masih kecil tampak terpukau karena di antara mereka semua, Celia-lah yang menunjukkan 'tanda' seperti itu saat dia memegang tongkat itu. Ayahnya pun memberikan tongkat itu untuk Celia pegang, katanya Celia bisa saja mencoba untuk belajar sihir dengan benar bila mau.

Di Aira yang segalanya serba sihir, keluarga peternak seperti mereka kurang paham mengenai hal itu. Celia pun mencari balai desa untuk menanyakan tentang sihir, balai desa bilang Celia harus ke kota untuk mencoba mencari tahu soal penggunaan sihir, dan mengingatkan Celia untuk tidak sembarangan menggunakan sihir di depan umum asal 'diperbolehkan' oleh orang kota.

Semenjak itu, Celia pun turut sang ayah atau ibu ketika mereka hendak ke kota Asteria untuk menjajakan susu atau menjual telur ... hingga suatu hari, Celia dan ibunya sampai ke rumah bangsawan yang terletak di hamparan bukit hijau.



Salah satu dari banyak kegiatan yang Celia gemari saat malam tiba adalah masak dan mencuci piring. Masak adalah kewajibannya sebagai anak tertua di keluarga, apalagi ketika itu neneknya sudah tidak bisa banyak bekerja berat dan saudara-sepupu Celia masih kecil. Masak pun akhirnya menjadi banyak rutinitas yang mendarah daging bagi Celia yang terbiasa dengan 'hidup' seperti ini, walau jalan yang dia tempuh tidak lagi serupa garis lurus seperti apa yang dia bayangkan setiap harinya.

Tidak hanya Sharon dan Nadia, kehidupan Celia Gawaine berubah di hari itu, dua belas tahun yang lalu ketika anak peternak, anak jalanan, dan seorang bangsawan bertemu sebagai tiga gadis kecil. Di waktu yang singkat, Celia mengenal kota Asteria tidak lagi sekedar pasarnya, tapi juga gedung opera, panggung pertunjukkan, dan gang-gang kecil sempit yang dihuni oleh anak-anak tanpa tujuan yang bekerja serabutan.

Di saat yang bersamaan Sharon menerima tawaran Nadia, Sharon pun menjadi pembantu cilik di peternakan Celia, upahnya awalnya berupa makan dua kali sehari dan susu segar nantinya berubah menjadi uang gaji seiring Sharon bertambah dewasa. Celia yang menjadi pengawas Sharon dan mengajarinya untuk bekerja di sekitar peternakan pun turut menyaksikan dia dan Nadia berkembang.

Saat Sharon bersikukuh untuk menguasai sihirnya, Celia pun turut. Dia menyemangati Nadia dan Sharon dan segala yang mereka lakukan, sebagai teman dan juga pengamat—pengamat yang tidak sadar hidupnya turut berubah dari sekedar anak penggembala, namun menjadi penggembala penyihir.

Tangan Celia terhenti setelah mengelap piring terakhir di malam itu. Urusan cuci-mencuci dan beres-memberes telah selesai, tetapi Celia hanya menatap tangannya yang basah, tetesan air turun di bak cuci piring, seraya dia masih dalam keadaan menerawang. Jendela yang gelap di hadapannya itu memantulkan wilayah meja makan di belakangnya, menampilkan Nadia dan Sharon yang sedari tadi mengobrol sambil menikmati teh yang Celia seduh untuk mereka.

Sharon seperti biasa belajar hingga larut. Nadia yang mengurus pekerjaannya dari Perpustakaan Utama juga turut, menulis laporan sambil menikmati teh. Di keadaan seperti ini, biasanya mereka bertiga akan masing-masing diam, masing-masing tahu mereka butuh waktu dan ketenangan untuk fokus.

Celia menahan napasnya, menunggu. Keheningan itu adalah wahana yang tepat untuknya kembali larut dalam nostalgia, larut dalam segala memori yang telah mengubahnya hingga ia tiba di tempat ini - di keadaan ini. Si penggembala penyihir, si anak jalanan penyihir, dan si bangsawan penyihir—mereka bertiga sudah berjalan jauh sekali selama dua belas tahun ini, menempuh halangan dan rintangan yang menerjang, dan sebentar lagi mereka akhirnya lulus dengan gelar sihir, dan mereka bisa bekerja, kembali ke kampung, atau menggapai mimpi yang lebih tinggi.

Bibir Celia membuka dan mengatup seraya dia masih melihat pantulan di jendela itu. Sharon yang selalu memaksakan diri dan terus belajar tidak akan pernah berucap apa-apa kalau dia kelelahan, kebiasaan yang tidak pernah berubah walau diomeli oleh Nadia sekalipun. Sharon pun sepertinya tidak sadar kadang kalau kepalanya sudah menempel di atas buku yang dibacanya, penanya masih di tangan, ketika dia tidur saja di atas meja.

Di saat itu, Nadia akan memasang muka sebal melihat Sharon yang ketiduran di atas meja, tapi Nadia—sama sepertinya—tidak akan tega membangunkan Sharon.

Tangan Nadia naik perlahan untuk mengelus rambut coklat Sharon, pinggiran rambut yang biasa urakan itu bercabang, kemerahan terkena sinar matahari. Nadia akan tersenyum, pipinya memerah ketika memainkan rambut itu di tangannya, senyum yang diyakininya tidak pernah dilihat atau ditunjukkan pada siapa pun ... lagi itu senyum yang selalu Celia perhatikan ketika dia melihat Nadia memandang Sharon.

Nadia selalu mengutarakan apa yang ada di pikirannya dengan gamblang, karena itulah dia banyak disalah artikan oleh orang-orang di sekitarnya sebagai sosok angkuh yang tidak mengindahkan orang lain, lagi kenyataan selalu berkata sebaliknya. Nadia itu seorang yang peka, perasa; seorang yang sangat besar hatinya.

Celia menghela napas pelan, hatinya mulai mencelus melihat sesuatu yang selalu dilihatnya hampir setiap malam, atau di saat-saat ketika mereka mengira keheningan menelan keraguan antara mereka bertiga.

Tangan Nadia terhenti saat Sharon mengangkat kepalanya. Sharon akan berusaha bangun dan Nadia bersikap kalau dia tidak tahu Sharon sudah tertidur. Mereka berdua akan kembali ke rutinitas mereka sementara Celia akan memerhatikan mereka berdua layaknya mereka adalah sosok yang jauh.

Bagi Celia Gawaine, Sharon Tristania adalah panutan—panutan karena dia bersikeras untuk mengubah 'garis lurus' kehidupannya walau dia selalu dikata-katai miskin, tidak berguna, kurang.

Sharon adalah orang yang sangat berbeda dari Celia. Celia merasa dia yang ditemukan sebagai 'berbakat' dalam sihir menganggap dunia tidak adil. Bukan dia yang seharusnya dipuji.

Bagi Celia Gawaine, Nadia Loherangrin adalah teman pertama dan seorang yang juga sangat dekat dengannya. Celia nyaman dengan kebesaran hati seorang Nadia, dan dia tidak keberatan meluruskan apa yang Nadia sampaikan ke orang lain agar tidak ada yang menganggapnya sebagai seorang culas.

Nadia yang kerap membuktikan dirinya membuat Celia gundah saat tahu Bu Freya Nadir Romania memilih kelompok mereka karena bakat Celia. Celia merasa itu tidak adil. Nadia-lah yang harusnya mendapat perhatian lebih dari Bu Nadir karena piawainya dalam penyampaian tugas dan menjadi pemimpin bagi kelompok mereka.

Di saat yang bersamaan, Celia Gawaine tahu walau dia menyayangi kedua teman baiknya itu, ada tunas di dalam hatinya yang sudah lama berkembang, bertumbuh dan mengakar, dan dia-lah yang membiarkan perasaan itu terus membesar.

Garis lurus hidupnya kini terlihat semakin berantakan, seperti sebuah benang kusut di mana Celia tidak lagi melihat posisi awal dan posisi akhirnya.

Celia akhirnya mengelap tangannya dengan handuk dan mendekati mereka, senyumnya lemas seperti biasa.

"Ngantuk. Tidur yuk?" ajaknya, seakan dia tidak pernah memikirkan tentang mereka bertiga, atau memikirkan hari esok.

"Hm, boleh," saat Nadia tersenyum ke arahnya, Celia mengulum bibir. "Tehnya enak, rasa apa malam ini?"

"Oh, aku nggak lihat bungkusnya, sudah habis tadi." dia berbohong. Dia hafal jenisnya. Dia akan membelikan itu nanti saat gilirannya ke kota lagi untuk menyetok bahan makanan.

"Celia, Celia," Nadia menggelengkan kepala. "Hei, ayo tidur. Jangan masih nyatet aja."

Sharon menarik kertasnya. "Tunggu—dua baris lagi—"

Nadia mendecih. Celia pun tertawa saja.

Sekusut apa pun garis itu, Celia tidak ingin situasi ini berubah dalam waktu dekat.

Dia tidak ingin kejadian yang sama berulang di antara mereka bertiga, ketika segalanya retak dan pecah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro