Intermission 008: Yang Senantiasa Maju

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Apakah hal-hal yang terjadi di masa lalu selalu lebih baik? Terkadang Karen Ray Spriggan menanyakan ini pada dirinya sendiri.

Terus menjadi anak-anak. Terus menjadi yang dilindungi. Terus hidup di kabin kayu milik sang kakek dan menikmati cerita-cerita mengenai Spriggan dari kacamata sang kakek. Terus menjadi si sakit-sakitan yang mungkin tinggal menunggu hari atau menanti waktu.

Karen sangat menyayangi sang kakek. Kakeknya-lah yang peduli padanya ketika orang tuanya sibuk memikirkan diri mereka sendiri, dan kegagalan mereka-lah yang membuat Karen kehilangan banyak sekali bagian memorinya, ditukar dengan kekuatan yang bahkan mampu membunuhnya.

Lagi, apakah memori itu penting? Karen merasa dia tidak perlu untuk mengingat sesuatu jauh di masa lampau atau sesuatu yang sangat banyak di masa kini. Kemampuan adaptasinya membuat Karen tidak pernah dicurigai kalau dia memiliki gangguan ingatan. Tidak berarti juga dia melupakan segala yang terjadi di sekitarnya begitu saja karena 'anomali'-nya itu.

Dia masih ingat sang kakek. Dia masih ingat kematian sang kakek yang merupakan titik balik baginya. Dia masih mengingat perjanjiannya dengan Schwarz dan memberikan dirinya sebagai bagian dari Algoritma sang Ratu Putih. Dia masih ingat bertemu dan berteman dengan Gloria. Dia ingat memilih untuk menuju Angia sebagai 'perlambang kedamaian' antara Spriggan dan Angia. Dia masih ingat mimpi-mimpi kakeknya dan semangat menggebu beliau yang ingin Spriggan merdeka lagi.

Namun, dia tidak ingat bagaimana kekuatannya itu bermula. Dia tidak tahu apa saja yang orangtuanya perbuat sampai mereka merasa lepas tanggung jawab. Dia hanya hidup di masa kini, mengkalkulasikan masa depan, walau jarak pandangnya sempit.

Kalau dia tetap terperangkap di masa lalu, apa yang akan dia lakukan?

Yang Karen kecil tahu hanyalah menunggu, menanti—walau dia sendiri tidak tahu menunggu apa. Tubuhnya yang lemah itu tidak bisa menjangkau dunia di luar pintu, hingga seseorang datang membawakan dunia itu padanya, entah melalui sang kakek atau Gloria.

Bila dia tidak tahu perang yang terjadi antara Spriggan dan Angia, bila dia tidak tahu idealisme sang pemimpin, bila dia tidak pernah melihat langit dan menghirup udara di luar kabin, apakah dia akan tetap menjadi seorang gadis lemah yang hanya bisa menunggu?

Atau andaikata dia menolak tawaran Putih untuk memberikannya sebuah 'kompromi', apakah dia akan ikut saja dengan arus?

.

Karen membuka matanya mendapati ruang tidur di Rumah Pohon yang dihuni mereka berempat. Suara kicau burung yang terdengar jauh menandakan bahwa pagi bahkan sudah lewat, dan dia masih terbaring di kasur dengan pelupuk matanya berat dan tubuhnya tidak nyaman.

Dia merasakan ada seseorang tengah menempelkan kain di dahinya, kompres hangat yang terasa dingin di kulitnya yang remang. Karen mencoba menoleh, mendapati Celia Gawaine tengah bersimpuh di sampingnya dan merawatnya.

"Selamat pagi—siang? Tapi ini belum siang. Setengah siang." ucap Celia seraya tersenyum. Karen mengerjap. Tidak ada kehadiran anggota skuadron Glacialis yang lain, artinya mereka sudah pergi ke Cosmo Ostina karena urusan tertentu.

Karen menghela napas, menatap langit-langit lagi dan menarik selimut.

"Kalau dilihat dari bagaimana kamu bersikap, kamu nggak ingat apa-apa, ya?"

Karen terkesiap, dia mengulum bibir, enggan menjawab pertanyaan Celia. Celia, akan tetapi, tidak bermaksud menghakimi atau mencoba mencari sesuatu darinya, dia hanya sekedar bertanya.

"Tenang saja, akan kuceritakan pelan-pelan~" ucapnya ringan. "Tadi pagi, Fiore turun untuk bergabung dengan kami di meja makan, dia bilang dia harus kembali karena kamu panas tinggi dan tidak sadarkan diri."

Karen sekedar menaikkan alis, itu bukan hal yang aneh mengingat dirinya memang akan separah itu, terutama saat memaksakan sihirnya. Walau mungkin bagi mereka bertiga anggota Avalon, itu bisa saja situasi darurat.

"Fiore bilang akan merawatmu, tapi karena dia, Nadia, dan Lena dipanggil untuk menghadap kepala kemahasiswaan, mereka harus meninggalkanmu,"

Celia menceritakan detailnya bagaimana situasi Karen membuat panik mereka bertiga, walau Fiore dan Val menjawab pertanyaan mereka bertiga dengan cepat. Tanpa menjelaskan detailnya, Celia, Sharon, dan Nadia sudah bisa memperkirakan kondisi tubuh Karen ini adalah efek dari penggunaan sihir sehingga Fiore tidak perlu sampai panjang lebar.

Dikarenakan panggilan dari kemahasiswaan, seluruh penghuni Rumah Pohon terkecuali Celia segera pergi ke Cosmo Ostina.

Situasi pagi yang cukup mencengangkan itu akhirnya menjadi sesi tanya jawab antara Celia pada Fiore. Karen menoleh ke sisi kasurnya, tempat mereka berempat menjejerkan empat kasur lipat untuk alas tidur. Mereka sepertinya sengaja menjaga tempatnya rapi dan lowong untuk Karen beristirahat.

Di sisi Celia, selain ada baskom air hangat, dia sudah menyiapkan semangkuk sup. Karen bisa melihat sebuah botol kecil dengan cairan tidak berwarna, sepertinya titipan dari Fiore.

"Dan kebetulan saja, ada mahasiswa drop-out yang tidak ada kerjaan lagi yang bisa merawatmu jadi aku di sini~"

"... Oh. Err. Wow?" Karen memberengut. "Aku, bingung harus berkata apa, antara kamu yang santai sekali atau ... sikap Fiore, sikap kalian berdua."

"Ini mungkin yang dinamakan sebagai profesional? Ah, tapi rasanya bukan, ya?" Celia tertawa saja.

Karen tahu Fiore masih merasa bersalah karena menjadi penyebab Celia keluar dari Cosmo Ostina, dan ada juga ketegangan antara anggota Avalon setelah Duel Harga Diri itu, lagi mereka berkomunikasi layaknya biasa. Celia yang terlihat biasa saja dengan Fiore pun membuat Fiore berusaha untuk tidak menunjukkan keengganannya, walau mungkin Celia tahu jelas kalau Fiore merasa bersalah.

"Maaf sudah merepotkanmu, kalau begitu."

"Jangan begitu, ah. Orang sakit harusnya istirahat saja, nggak usah mikir aneh-aneh~" sambut Celia yang kemudian mengambil kompres itu dan memeras airnya ke baskom agar tidak terlalu lembab.

Karen memerhatikan bagaimana Celia selalu 'bekerja', selayaknya sebuah sistem, sesuatu yang tidak terduga dari perangainya yang lemas dan kurang bersemangat.

"Aku kurang tahu pengobatan sihir dibanding Nadia, tapi Fiore sudah menitipkanku ini." dia memperlihatkan botol kecil berisi cairan bening itu. "Fiore nggak terlalu menjelaskan, tapi katanya kalau aku coba buka botolnya dan pakai isinya, aku bisa tahu."

Karen mengerjap. Dia mengingat ketika Fiore selayaknya biasa mengobati melepuh tangannya dengan 'cara kasar', seingatnya 'cara halus' Fiore pun berkaitan dengan sihir esnya.

Celia mengeluarkan tongkat sihir yang tersemat di pinggangnya, dia mengetuk sumbat botol itu sekali dan mengeluarkan isinya. Dia tertegun sejenak, sebelum mengangguk-angguk. "Ah ... jadi begitu, aku paham sekarang."

"Itu ... bukan obat pahit, 'kan?"

"Bukan, ini air yang sudah dimurnikan dan diisi sihir khusus," jelasnya sambil mengayunkan tongkatnya. Cairan bening itu kemudian dibalurkan Celia ke punggung tangan dan dahi Karen dengan bantuan sihirnya. "Hmm, mungkin istilahnya bukan diisi. Kamu tahu reinforce? Sejenis sihir untuk mengamplifikasi tingkatan elemen tertentu."

Tidak lama kemudian, Karen merasa lebih nyaman, seperti saat dua tahun lalu Fiore menyetem level energi sihir Karen dengan energinya.

"Susunannya amatir, tapi ini sangat ampuh. Mungkin dia baru pertama kali melakukan ini untuk zat dalam keadaan statis yang disimpan." Celia menyimpulkan. "Maaf kalau aku terasa meracau, aku terbiasa melakukan itu untuk kelas-kelas asistensi Miss Nadir."

Karen mengingat bagaimana di antara mereka berempat, walau Fiore adalah yang paling 'jago' istilahnya untuk soal sihir, segala sihir terapan adalah bidang yang dikuasai oleh ketua kelas mereka. Teknik ini mirip bagaimana Val akan mengisi pelurunya untuk pemakaian jangka panjang, berbeda dengan yang sekedar menggunakan sihir penguat untuk kebutuhan langsung.

"Ah, nggak masalah. Terdengar menarik." Karen mengangguk. "Cuma bisa tidur terus itu ngebosenin."

Sejenak, Karen berpikir bahwa siapa pun yang selalu mengurus dirinya ketika sakit itu luar biasa, karena mereka selalu memikirkan apa saja untuk membuat Karen lebih nyaman.

Termasuk Gloria.

Dia tahu dia sudah selalu merepotkan orang di sekitarnya, tapi bisa apa dia untuk membalas mereka? Yang ada ketika dia punya kesempatan memilih jalannya dan berlaku sendiri, dia hanya kembali merepotkan saja.

"Hehe, jadi kamu kalau lagi sakit itu tipe merajuk, ya?"

"A—Ap!?"

"Salah satu sepupuku juga begitu." Celia berujar. "Aku lahir sebagai anak tunggal, tapi karena keluarga besarku tinggal di satu peternakan, aku jadi kebagian mengurus saudara sepupu yang lebih muda."

Karen tidak tahu harus memasang ekspresi apa karena dalam waktu singkat saja, Celia seperti sudah membaca dirinya, lagi dia tidak bermaksud untuk mengejek, menghina, atau mencari kelemahannya.

Mungkin ini yang Fiore lihat dari Celia—sosok yang terlalu tenang. Saking tenangnya, mungkin kamu akan mengira dia tidak memiliki masalah.

"Kadang Nadia juga seperti ini, tapi dia biasanya kalau nggak diam saja, dia cuma akan minta dibawakan makanan lalu dia tidur seharian. Kalau Sharon, sih, biasanya dia akan sok-sok bilang dia masih kuat dan nggak mau dibantu," tukasnya dengan pandangan penuh nostalgia. "Oh, apa kamu mau minum, Karen? Mau kubantu?"

"Ngg, nggak usah. Tapi boleh tolong tuangkan ..."

"Fufu, senang mendengarmu bersikap jujur~"

Karen menggeram ketika mencoba duduk sejenak. Celia menuangkannya segelas air. Karen tidak tahu dia harus berterima kasih atas latihan kemiliteran, dia yang sudah terbiasa dengan kondisinya, atau hal-hal lain yang membuatnya masih bisa duduk tanpa dilanda pusing.

Celia yang lalu diam saat Karen minum sedikit demi sedikit membuat Karen merasakan jeda yang sangat, sangat kosong.

Wanita berambut pirang itu menyilangkan jarinya di pangkuan. Tongkat sihir masih ada di tangannya, dipegangnya erat.

"Akan aneh kalau aku bertanya kamu nggak apa-apa ketika aku yang sedang apa-apa." ucap Karen membelah keheningan. "... Fiore pastinya sudah menyatakan kalau dia bersalah atas ini."

"Ini adalah pilihanku," ucap Celia, masih tertunduk. "Aku tidak melakukan hal ini, bertaruh posisiku, tanpa alasan."

"Begitu ..." Karen memerhatikan bagaimana Celia memutar bola matanya, ekspresinya sejenak kalut, lagi dia tidak berlama-lama dalam kesedihan atau keraguan. "Aku bisa lihat kalau yang lain mungkin tidak menerimanya."

"Oh tentu. Nadia bilang dia tidak akan memaafkanku," sebutnya dengan nada ringan. "Memang ini cocok kalau dibilang tiada ampun."

Karen yang mendengar Celia menanggapi situasinya itu dengan lapang dada dan santai hanya bisa tertegun. "Lalu kalian masih mengobrol seperti biasa, hebat sekali ..."

Celia memasang senyum miris, "Karena kita sudah lama kenal satu sama lain, mungkin. Kesal bukan berarti harus saling mendiamkan atau menunjukkannya terang-terangan," dia terhenti sejenak. "Itu yang kami pelajari selama bersama di dua belas tahun ini, kurasa."

Dua belas tahun, waktu yang bisa dibilang cukup lama, dan mereka terlihat solid, walau Celia sudah mengutarakan kalau Nadia tidak memaafkan perilaku Celia, atau Sharon yang bersikeras netral.

"Apa itu yang namanya sudah berpengalaman?"

"Relatif," Celia mengimbuh. "Usia itu kadang cuma angka. Bisa saja ada yang usianya berangka besar tapi belum bisa kompromi satu sama lain. Tapi aku nggak akan bilang sikap ini adalah kedewasaan."

Karen menaikkan alis. Mata hijau Celia menatap Karen lurus, alih-alih hendak memberitahukan Karen sebuah rahasia.

"Ini adalah keegoisanku." ucapnya, dan Karen pun seperti merasa bercermin pada dirinya sendiri.

Suatu hal terjadi karena sebuah alasan. Baginya yang ingin menjunjung idealisme sang kakek, melakukan apa pun untuk Spriggan adalah segalanya. Dia tidak akan melihat opsi lain karena merasa dirinya selalu 'sendiri', lagi dia sebenarnya tahu betul kalau dia masih punya pilihan kedua.

Celia punya alasan khusus mengapa dia memberikan status kemahasiswaan dan posisinya di Cosmo Ostina sebagai jaminan, dan Karen hanya bisa membayangkan kalau ini berkaitan dengan Kelompok Belajar Avalon—atau mungkin sekedar berkaitan pada mereka bertiga sebagai teman kecil.

"Omong-omong, apakah kamu tetap akan menjadi bagian Avalon?"

"Aku diperbolehkan tetap di sini hingga awal April," ucapnya, dia mengedarkan pandangannya menjauh. "Lagi aku tidak boleh ke Cosmo Ostina selain untuk panggilan urusan akademik dan sebagainya. Bisa dibilang sekarang aku sekedar pembantu di Rumah Pohon?"

"Itu rasanya bukan untuk bercandaan, deh."

Celia terkekeh, "Yah, harusnya aku dan kamu yang kondisinya sakit nggak ngomongin begini juga, 'kan?"

Pada akhirnya, mungkin di benaknya, dia hanya ingin terus berada di zona nyaman. Dia ingin terus melihat apa yang dia sering lihat tetap ada dan tetap abadi. Akan tetapi, dunia selalu berubah, kehidupan pun berlangsung dinamis dan seseorang tidak akan terus-menerus berada dalam cangkangnya.

Ada keputusan berat yang harus diambil. Ada konsekuensi yang harus dibayarkan karena pengambilan keputusan. Ada berbagai jalan yang bisa ditempuh untuk meluruskan sebuah kesalahan. Ada juga kesalahan yang akan terus semakin memburuk bila terus dibiarkan menjadi sebuah kebiasaan.

Dia tidak ingin mengulangi kesalahannya, dia ingin menuntaskan apa yang sudah diperbuatnya.

Dan Karen bisa melihat Celia pun sama.

"Makan dulu, yuk? Sayang supnya dingin," Celia menelengkan kepala, melirik ke arah mangkuk sup. "Tapi untuk yang ini mending aku yang suapi, ya? Tangan kamu nggak berhenti gemetaran tuh pas megang gelas."

Kali ini, Karen hanya bisa menyerah. Celia memasang senyum cerah saat dia mulai menyuapi Karen, Karen pun meminta agar Celia tidak mengucapkan hal ini pada siapa-siapa.

Ada kalanya memang dia harus membiarkan orang lain menolongnya, karena dia membutuhkannya—dan mungkin dia kangen memiliki seseorang yang selalu ada.

Dibantu atau ditolong bukanlah berarti dirinya tidak berdaya. Bukan berarti mereka iba karena mendapati Karen yang bertubuh lemah.

Ah, sial, tidak disangkanya, ada bagian dirinya yang memang menginginkan untuk kembali, sekedar tinggal di kabin itu, dan bermain saja tidak kenal waktu, berdua saja.

Ternyata orang sepertinya pun masih tahu apa itu 'rindu'.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro