Saat Kepalsuan Menjadi Nyata

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kitab Harapan Palsu.

Salah satu dari empat Kitab di Endia yang menjalankan fungsinya sebagai perpanjangan tangan dari Para Peri yang mendiami empat kontinen.

Mirip dengan Kitab lainnya yang memiliki ciri khas masing-masing, Kitab Harapan Palsu yang mendiami kontinen yang tidak pernah lepas dari pengaruh Sang Peri secara langsung itu pun memiliki sebuah keunikan.

Bila mereka berkata Kitab Kejayaan Hampa milik Angia, mereka akan identik dengan kemampuan untuk memperkirakan masa depan, asal sang Pemegang Kitab memiliki pertanyaan yang rinci untuk ditanyakan pada kitab yang dimaksud. Kitab Kejayaan Hampa adalah kitab yang sesuai dengan namanya, sebuah 'buku' yang hanya dapat dilihat oleh Pemegang Kitab yang sudah disahkan oleh institusi terkait di Angia, Kota Suci Norma.

Bila mereka berkata Kitab Takhta Tak Berguna milik Kaldera, kitab itu akan memetakan segala kemungkinan yang bisa digapai oleh pengetahuan. Kitab Kaldera memiliki inti berupa 'ego' yang membuat kitab itu lebih hidup dan mampu memilih Pemegang Kitab yang pantas untuk mengemban luasnya pengetahuan tanpa menggunakannya untuk kepentingan yang berat sebelah.

Bila mereka berkata Kitab Nyawa Tak Berharga milik Pusara, kitab yang hanya diturunkan pada keluarga 'Penjaga Makam' itu cenderung lebih tertutup dan tersembunyi. Sebagai kitab yang lebih selektif ketimbang kitab Angia, kitab Pusara dikatakan menyimpan rahasia mengenai siklus kehidupan, dan segala cakupan lain yang tidak pernah dibeberkan ke khalayak umum.

Lalu, seperti apa sebenarnya kitab milik tanah Nymph—Kitab Harapan Palsu?

Apabila diibaratkan, Kitab Harapan Palsu menyiarkan isinya bak air mengalir. Nymph menguntai nada-nada dunia untuk dimainkan oleh kitab yang nantinya akan ditafsirkan isinya oleh sang Pemegang Kitab.

Tugas Nymph tidak pernah berubah dari dahulu kala: sebagai seorang pengawas. Sebagai satu-satunya Sang Peri yang nampak. Sebagai yang selalu ada ketika mereka yang ingin bertanya membutuhkan jawaban.

Lagi, yang mengetahui arti nada dunia milik Nymph hanyalah Pemegang Kitab itu sendiri.

Freya Nadir Romania, Pemegang Kitab Harapan Palsu saat ini tengah terdiam di tengah riak tenang danau. Kitab itu dipegangnya di tangannya, alih-alih dia tidak takut instrumen serupa suling itu kemasukan air payau muka danau. Matanya terpejam, telinganya terbuka lebar untuk menangkap suara-suara saat Nymph berbicara.

Siapa pun di Aira bisa mengklaim mereka melihat Sang Peri, lagi hanya Pemegang Kitab-lah yang bisa mengenali Sang Peri.

Freya Nadir Romania sudah tahu takdirnya setelah dia terpilih menjadi Pemegang Kitab di suatu hari ketika semuanya terasa hilang.

Hari itu diingat Nadir sebagai hari ketika segala kebohongan menjadi nyata. Hari demi hari sudah berlalu setelah saat itu tiba baginya, saat untuk menjadi harapan bagi dunia yang sudah kehilangan.

Atau bahkan, dunia ini sudah tidak perlu lagi mengenal harap?

"Miss Nadir," suara lain yang terdengar sayup dari kejauhan membuat profesor sihir itu membuka mata, dan dia kembali ke 'dunia' hidup. Dia yang tengah mengapung di danau, rambut pirang kecoklatannya turut mengambang ketika dia mencoba bergerak menepi menuju asal suara itu.

Mungkin bila ada orang lain melihat, seorang profesor terkemuka sihir di Aira - terutama di Cosmo Ostina - hobi mengambangkan diri di air danau dangkal untuk berpikir jernih, mereka pasti akan mengira dia sudah gila. Toh di Cosmo Ostina tidak ada yang mengira Nadir minimal masih 'waras'. Titelnya sebagai profesor di usia muda mengundang tatapan iri dan juga suara-suara nyaring nan skeptis. Nadir tidak terlalu memeduilkan hal itu. Kalau mereka butuh pembuktian, dirinya sendiri sudah cukup membuktikan kalau titel itu ada karena alasan yang kuat, bukan hanya karena dia dikenal sebagai 'Pemegang Kitab Harapan Palsu'.

Nadir menghitung sampai tiga, akhirnya saat suara itu mencoba memanggil namanya lagi, dia menyerah. Ia menepi untuk melihat sosok muridnya itu lebih dekat. Bajunya yang berupa blus gelap dan rok hitam basah sempurna karena menghabiskan waktu di air danau.

"Oh, Tristan. Pagi."

"... Panggil saya Sharon aja, Bu Dosen. Dan iya, pagi juga." ia mengernyit. Salah satu dari ketiga murid yang diampu untuk tugas akhir datang. Dia sudah bersimpuh di tepi dengan handuk kering di pangkuannya.

Wanita berambut coklat gelap sebahu itu selalu mengenakan pita rambut merah untuk mengikat sebagian rambutnya. Kemeja seragamnya yang tampak lusuh nan kekuningan dibandingkan milik siswa-siswi lain di Cosmo Ostina mencerminkan latar belakangnya sebagai satu dari segelintir siswi miskin yang hidup dari beasiswa. Seragam akademi sihir tingkat lanjut Cosmo Ostina memang bisa dibeli kapan saja ketika ada kerusakan atau ada yang bolong, atau mungkin ada yang kreatif menjahit dengan sihir, tapi muridnya ini kerap terlihat membetulkan rok hitam atau jubah seragamnya manual entah di sudut kampus sebelah mana di antara waktu senggangnya yang mengambil banyak sekali kelas karena 'mumpung gratis'.

Tentu, Nadir tidak akan mengkritik atau menanggapi aneh kelakuan muridnya, karena dia sendiri pun adalah sosok anomali.

"Ada apa? Hari ini bukannya saya nggak ada kelas ajar yang pagi sekali, 'kan?"

"Sebentar lagi waktunya sarapan, Bu," Tristan—Sharon Tristania, nama muridnya itu, kadang dia lebih senang memanggilnya Tristan, atau Sharon, terserah mana yang diingatnya—menyodorkan handuk saat Nadir bangkit dari danau dangkal itu, mulai meremas rambut ikalnya dan mengibas tetesan air berlebih dari kemejanya.

Dengan sekali jentikan, dia menyembunyikan Kitab Harapan Palsu, dan di jentikkan berikutnya, rambut dan pakaiannya sudah kering sempurna.

"Kamu bisa aja manggil saya nanti." biar ceritanya dia lupa kalau ada kelas ajar hari ini.

"Ya gapapa Bu, biar makanannya masih hangat," ucap Sharon. "Lagian Celia dan Nadia juga belum bangun, sepi makan sendirian."

Sebagai sosok murid teladan, Sharon menanti dan mendengarkan saja saat sang guru meracau soal kelas sihir hari ini. Nadir bisa membedakan siapa yang sengaja dekat dan baik dengannya karena kemauan tertentu, tapi Sharon termasuk kategori yang benar-benar melakukan sesuatu karena itu adalah tugasnya.

Dia terlalu penurut, pikir Nadir kadang. Bukan hal baik untuk dunia yang tidak mengenal lagi belas kasih.

Dari area danau itu, mereka melintasi semak belukar menuju setapak bebatuan yang merupakan jalan utama di belantara itu. Rumah pohon terlihat tidak jauh dari lokasi danau favorit Nadir, 'rumah' dengan berbagai ruangan menyembul dan 'membengkak' di cabang-cabangnya yang seperti tumbuh alami dengan pohon ek besar yang berada di lingkungan hutan itu.

Nadir dan tiga muridnya itu tinggal bersama sepanjang beberapa tahun ini untuk tugas akhir. Soal 'akomodasi bersama' ini merupakan keharusan dari pihak akademis, katanya untuk menghemat waktu antara dosen ampu dan murid sehingga lebih efisien. 

Nadir selalu mendamba hidup tenang, berada di tempat yang tepat untuk dirinya menangkap suara-suara tertentu, dan dia tidak suka iramanya diganggu. Itu adalah secuplik dari sekian banyak alasan seorang profesor muda Nadir tidak pernah mengambil murid untuk diampu, tapi untuk kali ini, dia punya alasan tersendiri.

Rumah pohon itu juga adalah karya Nadir setelah dia berhasil menguasai 'sihir' yang ingin dia idamkan, juga baginya sebagai salah satu cara untuk memperingati hari di saat kepalsuan menjadi nyata.

Ya, segala yang ada di dunia ini palsu, sama seperti bagaimana nada-nada yang menandakan Kitab Aira memberikan Harapan Palsu.

Pelosok Hutan Penyihir, daerah hijau yang terletak di utara Provinsi Salazar, memang cukup jauh dari mana-mana, tapi itu tidak masalah bagi mereka bertiga. Ketiga muridnya itu menyanggupi untuk tinggal di antah berantah setelah Nadir mempertanyakan kesiapan mereka untuk diampu olehnya demi menyelesaikan tugas akhir. 'Toh ada portal bila mereka butuh langsung ke Cosmo Ostina, dan hampir semua pengguna sihir di Aira bisa melakukan sihir teleportasi yang merupakan sihir dasar', Nadir bisa mendengar salah satu dari mereka berucap demikian.

"Sarapan apa hari ini?" tanya Nadir, mengalihkan dari ocehannya soal kelas yang ogah-ogahan diajarnya hari ini. Nadir sengaja berjalan lambat, tapi Sharon sepertinya sadar dan sedikit mendorong sang guru yang lebih pendek darinya sedikit demi sedikit agar lebih cepat jalannya.

"Adanya roti kering sama telur, Bu. Kemarin yang harusnya belanja buat stok malah lupa, untung masih ada persediaan."

Nadir mengerling, mata gelapnya menangkap ketidakpuasan di mata hijau Sharon, "Gawaine?"

Sharon mendecak, "Iya, Bu."

Nadir melipat kembali handuk bekas pakai ke tangan Sharon yang siap mengekori sang guru yang sudah mulai berjalan kembali ke rumah pohon mereka, dia bersiul sejenak menanggapi burung-burung yang mulai berterbangan di kala matahari pagi belum sempurna menyingsing.

"Lalu tadi ada dua telegram penting yang keduanya dilabeli untuk dibalas segera."

"Hee," Nadir mengangguk. "Dari mana telegramnya?"

"Saya nggak sempat baca asalnya, Bu, tapi yang satu kayaknya ada cap khusus yang saya nggak pernah lihat simbolnya di Aira," jelas Sharon. "Simbol perusahaan? Kemiliteran?"

"Ohh, dari Angia," ucap Nadir ringan. Senyumnya misterius ketika ia menatap kembali Sharon. "Jadi sudah waktunya angin untuk tidak tinggal diam, ya."

Sharon menelengkan kepala, "Angin?"

"Nanti kalian juga tahu kalau akan ada kejadian luar biasa dalam waktu dekat." pungkasnya.

--

A/N: "Hah kitabnya kayak apa?"

Kayak begini (maaf cast Aira tidak bergambar karena takada biaya)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro