V. | Reconchestra

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mereka bilang, pendidikan sihir hanya boleh dienyam oleh orang-orang kaya saja.

Semua orang di Aira bisa menggunakan sihir. Katanya, itu adalah fitrah alamiah karena mereka hidup berdampingan dengan Para Peri dan mereka yang diberkahi oleh peri. Semua orang seperti mengenal siapa itu Nymph, peri air yang sudah lama tinggal dan selalu ada di Aira. Semua orang bilang, asal mereka tetap berpegang pada bakat sihir yang mereka punya, nantinya orang lain akan melihat mereka.

Tapi bagi banyak sekali yang tidak beruntung, pendidikan sihir hanya boleh dienyam orang-orang kaya saja.

Semua orang di Aira bisa menggunakan sihir? Ya, bisa. Sayangnya mereka yang tidak memiliki izin atau sertifikat kelulusan dari akademi sihir akan dianggap sebagai pemakai ilegal. Peraturannya memang sudah dibuat sedikit lebih 'baik' sekarang, asal mereka yang tidak berizin hanya menggunakan sihir untuk keperluan sehari-hari, itu tidak apa-apa. Lagi, masyarakat yang tersegmentasi sudah membedakan antara mereka yang bisa bersekolah dan memegang sertifikat, atau mereka yang harus menggunakan sihir untuk hidup tapi tidak bisa mendapat sertifikat itu. Mereka yang disebut-sebut 'menyalahgunakan sihir' itu nanti dikenal sebagai Anomali.

Memang, pihak berkepentingan Aira masih cukup baik untuk mencoba mengimbangi ketimpangan ini dengan mencanangkan program yang dinamakan Program Kesetaraan. Program Kesetaraan ini memungkinkan siapa saja, asal terdaftar di wilayah kota setempat, untuk mencoba mencari sponsor agar mereka bisa mengenyam pendidikan sihir atau melaksanakan ujian sertifikat sihir.

Lagi, tidak semua 'donor' dan 'sponsor' berbaik hati untuk memberikan kesempatan luas bagi mereka yang memilih untuk menjadi Anomali.

.

Dulu, Sharon Tristania adalah satu dari banyak anak jalanan Aira yang melanglang buana dari satu etalase toko ke toko lainnya untuk meminta belas kasih atau sekedar menumpang tidur. Dia dan banyak anak jalanan hanya ingat ditinggalkan begitu saja di pojokan desa atau kota, atau bahkan ditelantarkan di tengah-tengah balai yang begitu padat.

Mereka termasuk dalam Anomali karena mereka dapat menggunakan sihir, tapi tidak akan ada yang mau mengadopsi atau mengasihani mereka yang hidup sekedar mengemis atau mencuri demi sepotong roti atau sesuap nasi.

Sharon adalah satu dari banyak yang hidup sambung-menyambung dari kota ke desa, berjalan tanpa henti, bergabung dengan anak-anak Anomali setempat untuk mencari makan, atau dipekerjakan serabutan untuk menggunakan sihir mereka untuk keperluan produksi ilegal benda-benda sihir atau lain-lainnya yang mereka tidak tahu memiliki izin atau tidak. Pokoknya asal mereka bisa makan, asal mereka bisa punya atap untuk berteduh sementara. Andaikan mereka nanti ditangkap oleh Polisi Sihir Aira, pun, mereka akan dibebaskan setelah beberapa saat karena mereka tidak mau menampung anak-anak di bawah umur.

Hari itu, Sharon ingat kalau tidak salah itu adalah musim semi yang tidak terlalu dingin. Usianya, menurut laporan Polisi Sihir tempatnya terakhir ditangkap, sepertinya dia sekarang dua belas tahun.

Dia sampai ke kota yang berpenduduk cukup padat, dengan trotoar yang gemerlap dan hingar-bingar jalanan kota yang lebar. Walau kota itu terlihat sangat maju, ada bagian pedesaan berdampingan dengan wilayah kota yang tertata rapi. Ada perkebunan yang menghasilkan apel, anggur, gandum, juga peternakan yang berisi banyak sekali sapi dan domba.

Kota itu, namanya adalah 'Asteria', Sharon memberitahukan kawan-kawannya agar mereka tidak salah sebut bila diperlukan. Hanya sedikit dari kelompok nomaden mereka yang mampu membaca, Sharon termasuk salah satunya karena dia sempat bekerja di perpustakaan di entah-desa-bernama-apa. Akhirnya mereka diusir karena ada satu anggota mereka yang dituduh mencuri sebuah pusaka berharga dari rumah tuan tanah di sana.

Asteria merupakan persinggahan mereka yang kesekian, dan seperti biasa mereka masing-masing berpencar dan akan berkumpul setiap tiga minggu sekali untuk bertukar informasi.

Tentu saja, kalau baru sampai di kota yang belum pernah mereka kunjungi, kegiatan utama mereka adalah mencuri. Makanan, terutama.

"Hei, gadis itu lagi!" ada seorang anak lelaki yang mulai menunjuk dia yang tengah mengambil roti. Dia mengenakan pakaian yang bagus sekali, jaket beludru dengan kemeja putih bersih, bahkan sepatunya saja mengilat seakan setiap hari disemir.

"Heh, dia nyolong lagi ya!?"

Teman-teman anak itu mulai berkumpul mengerubungi Sharon yang kumal, kemejanya sudah menguning (atau bahkan sudah tumbuh bercak coklat) dan suspender terusan yang dia gunakan sudah bolong-bolong. Mereka adalah laki-laki dan segelintir perempuan dengan pakaian baru dan wangi. Salah satu dari mereka mulai menarik Sharon dan melemparnya ke sisi luar toko itu. Sharon masih memeluk roti yang sudah diambilnya, sementara anak lelaki yang mengerubunginya itu mulai menjahilinya menggunakan sihir.

"Air selokan!" panggil salah satu bocah bertopi. "Mandikan maling kotor itu!"

Sharon memberengut, menutup matanya saja ketika cipratan air selokan membasahi kepala dan wajahnya. Saat dia berusaha berdiri, ada yang sudah siap membantingnya lagi, tetap dengan sihir karena mereka bahkan jijik untuk sekedar menyentuh Sharon.

Sharon bisa saja melawan, tapi dia memilih untuk memeluk roti yang akan menjadi makanannya untuk hari itu, tidak masalah dia harus bau air selokan atau babak belur, yang penting dia bisa makan.

"Laporkan aja dia ke polisi?" tanya salah satu anak perempuan.

"Ngapain? Dia nggak bakal dihukum, nggak seru." cecar anak laki-laki pertama yang membanting Sharon ke tanah bebatuan. "Bahkan penjaga toko roti tadi nggak sadar kalau dia sudah ambil roti dan membiarkannya! Dia harus dihajar!"

"Hajar, hajar, hajar!"

Bocah tengik. Pikirnya. Kalau saja dia bisa merelakan rotinya, dia pasti akan membalas—

"Apa-apaan ini!"

Sharon membuka mata, serangan-serangan pada dirinya terhenti tiba-tiba ketika ada suara melengking memecah keramaian.

"Hei, bukannya itu si anak keluarga ...? Itu lho, yang ..." Sharon menangkap bisikan-bisikan halus mereka. Pelipisnya lebam, jadi sedikit susah untuk melihat.

"Hah? Bisa-bisa kita nanti diadukan ke orang tua kita! Kabur yuk?"

Sharon tidak bisa mendengar jelas apa yang mereka bicarakan, selain derap-derap langkah menjauh. Dia berusaha menoleh, mencari anak laki-laki yang sudah menariknya dari toko roti dan menghempaskannya di jalanan. Sharon beringsut dengan tangan kiri dan sebagian tubuhnya, lengan kanannya masih memeluk roti yang sudah tidak karuan bentuknya.

Dia melihat anak laki-laki itu di sana, wajahnya tampak pucat sesaat dia melangkah mundur, menjauh dari sosok yang melerai mereka. Sharon menggertakkan giginya geram. Tangan kanannya sudah mulai mengayun, mengarahkan sihir yang diketahuinya untuk sekedar membuat laki-laki itu terjerembap.

"Ma-Maafkan aku! Jangan laporkan ini ke ayahku!" dia keburu lari tunggang-langgang, bahkan tidak memedulikan bahwa pakaiannya sobek karena ulah Sharon.

Sharon melongo ketika dia dihadapkan dengan dua orang gadis yang terlihat umurnya tidak jauh dengannya. Satu di antara mereka berpakaian bagus sekali, tidak ada bedanya dengan mereka yang menjahili Sharon tadi. Rambutnya yang perak keunguan sangat halus dan terawat, layaknya model-model yang biasa ditampilkan di papan-papan pengumuman kota. Yang satunya berambut pirang dan berpakaian biasa saja, seperti anak-anak yang tinggal di peternakan kota itu, tapi pakaiannya bersih. Si pirang mengulurkan tangannya pada Sharon, sementara si rambut perak masih mendengus karena bocah tadi.

"Kamu mencuri roti itu, benar?" hardik sang rambut perak. Sharon menghela napas saja. Oh, pikirnya, mungkin dia akan segera diserahkan ke Polisi Sihir setempat.

"Iya." Sharon menjawab pendek. "Sudah kotor juga. Kalian nggak perlu repot menyerahkanku karena mencuri."

"Siapa bilang aku mau menyerahkan ke polisi?" dia menyalak. "Hei, err, siapa namamu tadi? Katanya kamu butuh orang untuk menampung lebihan susu dari peternakan. Kasih aja ke dia."

"Nggak apa-apa? Nanti orang tuamu marah lho tidak ada jatah susu. Lagian susunya juga nggak lebih ..."

"Terserah aku, dong. Siapa suruh menyuruhku untuk belanja-belanja."

Sharon mengernyit melihat mereka berdua. Jadi mereka bukan teman, tapi dua orang yang kebetulan lewat ... mungkin kenal, tapi si rambut perak terlihat congkak, tipikal orang kaya yang sukanya disuapi.

Dua gadis itu memiliki tongkat sihir pada bawaan mereka. Si pirang mencabut tongkatnya untuk memanggil air dan mulai mengelap wajah dan tangan Sharon dari air selokan, sementara si rambut perak, walau masih meracau tidak jelas sambil diingatkan si pirang, membantu merapikan baju Sharon.

Sharon sudah tidak mengerti lagi mereka ini siapa, sekedar orang baik yang kebetulan lewat dan pergi, teman baik, atau ... hubungan mereka menyangkut bisnis?

"Sama ... oh, ya, tadi kebetulan aku dapat ekstra roti, nih, buatmu saja." si rambut perak mengambil roti baget dari kantong kertasnya dan menyerahkannya ke tangan Sharon yang sudah dibersihkan oleh si rambut pirang dengan sihir.

Tiba-tiba saja Sharon yang lusuh kini sedikit lebih bersih, dan di tangannya ada sebotol besar susu segar, roti pemberian si rambut perak, dan sebagian roti curian yang masih bisa dimakan.

"Ah, hei, tunggu—"

"Aku nggak minta bayaran. Sudah sana pergi!" titah si rambut pirang. Dia melirik ke arah pelataran toko, para pemilik mulai mencuri lirik mencari sumber keributan, mata hijaunya mengerling kembali ke Sharon menyuruhnya segera lari.

"Terima kasih!" pekiknya sebelum menuruti saran mereka.

Benar-benar hari yang aneh, pikir Sharon. Yang penting dia dapat roti, sih, dan susu. Wah, malam ini dia bisa tidur kenyang dan membagikan susunya ke yang lain saat pertemuan rutin.



Pertemuan tiga mingguan itu berjalan seperti biasanya. Mereka biasanya akan memilih sudut pasar tempat orang-orang menumpuk sisa makanan yang sudah mau basi. Itu adalah tumpukan harta karun bagi mereka, sambil memilah apa yang bisa dimakan, sambil nyerocos soal apa yang sudah mereka temukan selama tiga minggu.

"Kamu kenapa? Dihajar bocah bangsawan lagi?" sindir si badan besar dengan topi kulit. Seperti biasa dia yang paling bersahaja karena dia pandai sekali mencuri.

"Nggak usah nanya-nanya," cibir Sharon balik. Dia yang membawa susu untuk mereka diperlakukan layaknya Tuhan, dan Sharon tidak menjelaskan dari mana gerangan dia bisa tiba-tiba dapat susu. "Jadi, ada kerjaan nggak?"

"Legal apa nggak? Yang gak legal banyak, tapi kayaknya cuma seminggu-dua minggu, belom tentu pas sampai dibayar, keburu dijarah." Si Besar mengedikkan bahu. Sharon mengantongi beberapa telur, dia sudah mulai memeriksa karton-karton berisi keju yang mulai tengik. Mereka berdua segera menutup hidung.

Ada satu orang yang baru datang. Sharon selalu menyebutnya sebagai Si Cingkrang karena kakinya yang panjang dan celana yang didapatnya selalu kekecilan. Dia paling jago berlari di antara mereka semua kalau sudah ada masalah. Wajahnya berseri-seri saat dia menghampiri mereka.

"Ada kerjaan di pusat Asteria, nih. Ada yang mau ikut?"

"Sekarang banget, Cing?" tanya Si Besar.

"Iya, soalnya angkutannya keburu pergi." Si Cingkrang menunjuk antrian kereta kuda karavan yang ada tidak jauh di tepi pasar. "Ayo, ayo!"

Si Besar mendecak, "Aku nggak dulu deh, Sharon?"

Sharon mengulum bibir. "Oke deh, boleh."

"Asyik! Panen besar hari ini!" seru Si Cingkrang semangat. Dia menarik Sharon yang sudah menyerahkan diri, dan mereka turut dengan rombongan di karavan itu. Tidak lama kemudian mereka berangkat ke pusat kota.

Selain dengan kotanya yang terlihat seimbang antara area metropolis dan area peternakan, Asteria juga dikenal sebuah gedung opera yang katanya selalu menayangkan pertunjukan setiap malamnya. Sharon pernah melihat opera di buku-buku, ternyata kalau yang aslinya posternya akan sangat apik dan menyenangkan mata.

"Oh iya, kita bakal ngapain ini?"

"Nggak tahu?" Si Cingkrang mengedikkan bahu. "Katanya sih cukup kerja semalaman, nanti kita bakal dapat minimal 500."

"Lima ratus?" Sharon tak kuasa menaikkan alis. Dia melirik isi karavan yang kebanyakan wanita muda, ada juga laki-laki seperti Si Cingkrang, sih. Sharon mulai curiga. "... Aku percaya deh."

.

Malam itu adalah malam di mana Sharon merasa dia berlari paling cepat dan paling lama sepanjang hidupnya di gang-gang sempit Asteria di pelataran zona hiburan.



Bagi gadis seumur Sharon, mencari kerja sudah merupakan hal lumrah, apalagi mereka yang tidak memiliki keluarga jelas, atau sudah lama terlantar di jalanan.

Toh mereka tidak akan ditangkap lama-lama oleh Polisi Sihir kalau ada apa-apa, adalah prinsip yang mereka pegang. Walau kadang mereka tidak sempat dibayar kalau tiba-tiba ada razia usaha ilegal atau penjarahan, yang penting mereka bisa isi perut seadanya.

Menjual diri adalah konsep yang Sharon ketahui sebagai salah satu opsi pekerjaan ... tapi dia tidak menyangka karavan itu membawa mereka ke salah satu rumah bordil di zona hiburan Asteria yang spesialis 'menyajikan' gadis-gadis dan laki-laki di bawah umur.

Gedung opera adalah bagian zona hiburan Asteria, begitu juga rumah-rumah bordil dan 'panti pijat' ini, namun Sharon mengetahui ini nanti.

Sekarang, dia dan Si Cingkrang berusaha berlari dari cengkeraman predator yang berusaha memaksa mereka 'bekerja' di tempat itu. Tepat saja area gang itu tengah digrebek Polisi Sihir untuk inspeksi, jadi mereka berlari dari sasaran dobel: polisi yang kebetulan memindai anak di bawah umur di lokasi hiburan dewasa, dan broker rumah bordil.

Sharon kehilangan Si Cingkrang ketika dia tidak sengaja masuk ke salah satu ruang ganti yang sepertinya merupakan bagian dari tempat pertunjukkan, tapi bukan di rumah opera megah yang. Wanita-wanita muda yang tengah bersolek di hadapan cermin panik ketika Sharon mendadak menyelonong di antara mereka.

"Razia, ya?" tanya salah satu dari mereka yang tengah merapikan alis dengan pensil. Tangannya mengayun santai untuk memanggil parfum yang mulai menyemprotkan wewangian di bagian lehernya.

"Ma-maaf, iya, dan nggak juga," Sharon mengatur napasnya. "Ha-hampir aku dijual ke rumah bordil."

Beberapa pasang mata di ruangan itu menatap Sharon iba. Mereka lalu menariknya dari pintu dan mengunci ruangan itu dari lalu-lalang polisi dan geradak-geradak 'pemilik rumah bordil' yang mencari anak-anak lepas. Sharon tercenung, rasanya ganjil berada di antara wanita-wanita yang tengah berbusana dan berias, mereka tampak sangat sibuk sebelum pertunjukkan dimulai.

"Kamu, nak. Iya, kamu. Kamu bisa sihir? Bantu aku jahitkan kancingku, dong."

"Kalau udah selesai di sana, bantu rapikan bajuku, ya!"

Hah? Sharon mulai bertanya-tanya, tapi akhirnya dia mulai membantu saja, sekedar tanda terima kasih bagi mereka yang sudah menolongnya bersembunyi.

Sharon tahu sihir dan bisa menggunakannya—tapi itu tadi, hanya orang terpandang yang bisa menjalani pendidikan sihir. Sharon bisa mengangkat benda-benda kecil, bahkan menjatuhkan orang, dia juga bisa mengontrol air, tapi biasanya hanya air kotor di rawa atau sawah yang bisa disentuhnya. Untung di wilayah ruang ganti itu, Sharon sekedar disuruh menggunakan kemampuan sihirnya untuk menambal baju, membersihkan makeup, atau menambah fondasi dan pelembab di wajah mereka.

"Tunggu di sini aja ya sampai penampilan kamu selesai. Atau kalau kamu mau nonton, nonton saja dari pinggir." salah satu dari mereka mengedipkan mata. "Makasih ya, nak!"

Rumah pertunjukkan itu bukanlah gedung opera megah di pinggir jalan utama, tapi begitu pintu menuju panggung terbuka, riuh-rendah dan sorak-sorai penonton membahana memenuhi seluruh ruangan.

Sharon pun mengendap ke arah 'pinggir' panggung sesuai saran salah satu dari mereka, menonton panggung sandiwara yang dipenuhi tawa, cerita, nada, dan juga warna.

Apa pun yang dikatakan buku mengenai pentas dan opera sangatlah berbeda dari melihatnya secara langsung. Seni tari, seni suara, segalanya membuat Sharon tidak kuasa mengedip barang sedetik saja.

"Lho? Kamu lagi."

Sharon menoleh mendengar suara-suara tidak asing yang menghampirinya ketika tepuk tangan masih menggema saat pertunjukkan memasuki sesi interlude pertama. Si rambut perak mengenakan gaun mewah berwarna kelabu, sementara si pirang itu masih mengenakan pakaian blus kedesaan yang sama. Mereka berdua mengenakan sebuah bros merah yang sepertinya dipakai oleh seluruh penonton.

"Kamu juga suka nonton ini?" tanya si rambut perak.

"Nggak, aku nggak sengaja salah masuk ruangan, terus mereka minta dibantu menjahitkan baju atau kancing ..." ungkap Sharon terus terang.

"Begitu, sayang sekali," dia menggelengkan kepala. "Ini pertunjukkan terakhir mereka sebagai Reconchestra."

"Recon ... chestra?"

Si pirang-lah yang menjelaskan, "Ini kelompok pentas milik kakak tirinya Nadia."

"Celia!"

"Nadia sedih sekali kakaknya akan pergi dari kota ini dalam waktu dekat, jadi dia ngajak orang lain buat nemenin dia nonton," jawab si pirang ringan. "Kebetulan dia nggak punya teman, jadi dia ngajak anak tukang susu yang baru ditemuinnya tadi pagi."

Si rambut perak, Nadia, bersemu merah. Si pirang, Celia, tertawa pelan. Sharon masih terbengong-bengong.

Nadia lalu berpura terbatuk, "Ah sudahlah, intinya itu. Kamu, siapa namamu?"

"Eh? Aku Sharon ..." ucapnya.

"Oke, Sharon." Nadia menunjuk ke arahnya. "Karena kamu sudah kebetulan menonton ini bersamaku dan Celia, kamu ikut kami."

"Hah?"



Itu adalah pertemuan yang menurut Sharon sampai saat ini terlanjur konyol, apalagi dengan banyak sekali kebetulan yang tidak terduga.

Lagi, nama Reconchestra itu kini menempel padanya karena satu dan banyak hal yang terjadi setelahnya, dan si miskin nan lusuh Nadia yang dikenal selalu mengambil banyak sekali kelas dalam satu waktu di Cosmo Ostina juga dikenal sebagai orang aneh - orang aneh yang akan menyebut sihirnya sebagai Reconchestra.

Pagi itu setelah melepas Miss Nadir yang harus berangkat duluan ke kampus, Sharon menghabiskan sisa paginya membereskan perkakas sehabis memasak. Dua orang 'teman kecil' yang sudah bersamanya secara tiba-tiba selama dua belas tahunan itu masih belum juga terbangun.

Sharon mencabut tongkat sihir dari sabuk di pinggangnya. Tongkat itu tidak pernah dia ganti selama bertahun-tahun dia mendapatkannya, terlihat sudah mulai lapuk. Asalkan tidak patah, Sharon tidak akan menggantinya. Dia merapal sihirnya sejenak, berfokus untuk menyusun piring-piring bekas pakai untuk nantinya dia akan cuci manual di dapur.

"Reconchestra." bisiknya. Dia mengayun tongkatnya sekali, sebelum menyarungkannya lagi ke sabuknya. "Air dan kegelapan yang tidak sempurna menyatu, berjalanlah bersamaku."

Sharon merapal kunci penggerak sihir dan mulai bekerja. Hari itu tidak ada kelas untuknya, tapi dia akan tetap ke kampus untuk bekerja sambilan. Dia merasa santai sekali hari ini, rasanya ingin sekali tidur-tiduran di rerumputan hijau atau sekedar jalan-jalan-

Sharon sudah mulai memegang spons cuci piring, menaruh secolek sabun padat di permukaannya dan mulai menggosok piring, ketika dia mendengar derit pintu di belakangnya terbuka.

"Sharon? Pagi—"

"SHARON! KENAPA KAMU NGGAK BANGUNIN AKU!? MISS NADIR UDAH BERANGKAT YA!?"

Dua sosok, yang satu dengan baju tidur terusan putih pualam yang terlihat mahal, dan satunya lagi dengan kemeja bergambar domba, memasuki ruang utama. Yang satu sudah berkoar, ketika yang satu mulai hampir kesandung karena ngantuk.

Sharon mencekik spons. Celia mulai menyumpal telinganya saat Nadia—yang membelalakkan mata—sudah mulai mencari sang guru kesayangannya itu.

"Aduh, berisik." sambut Celia lemas. Si pirang yang selalu klamar-klemer menyeret kakinya ke arah meja makan, sementara Nadia gelagapan karena tidak bisa melihat dan menyapa Bu Dosen di pagi itu.

"Iya berisik banget, sih. Duduk. Makan. Nyusul Miss Nadir belakangan." Sharon menunjuk meja yang sudah tersedia porsi makan mereka. "Oh, Nadia, bisa tolong cek PR-ku?"

Nadia yang setengah menggerutu sudah membuka tangannya. Celia-lah yang mengayunkan tongkat sihir dan mengambil perkamen milik Sharon sebelum Sharon sempat mengelap tangannya yang penuh sabun cuci. Celia padahal masih merem-melek, tapi tangannya selalu lebih cepat ketimbang Sharon.

"Rune lagi?" cibir Nadia. "Tulisanmu bisa bagus sedikit nggak sih? Pantas si Profesor Argo ngasih nilaimu jelek terus di sini."

"Maaf ya, sudah mengotori mata anda, Nona Loherangrin." Sharon tertawa kering.

Celia tertunduk, tangannya sudah mengambil roti kering, tapi dia masih merem, garpu yang menusuk telur di tengah meja meleset. Nadia, tanpa matanya pergi dari perkamen Sharon, menyodorkan piring telur lebih dekat. Celia yang terkantuk mulai menaikkan kepala. "Oh, salah. Makasih Nadia~"

"Hmph."

Nadia Loherangrin dari keluarga bangsawan kaya nan terpandang Loherangrin, Celia Gawaine dari Peternakan Gringolet di Asteria pinggir, dan dia, si miskin dan tukang maling Sharon Tristania yang tidak punya asal-usul jelas.

Ya, inilah rutinitas mereka sekarang, dua belas tahun setelah pertemuan ajaib itu, walau terkadang pertemanan mereka yang tiba-tiba itu patut dipertanyakan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro