XLIII. | Simfoni Air, bagian keempat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sepuluh jam yang lalu, Bukit Akhir.

Mereka bertiga terus menerjang sisi hutan gelap, kabut mulai menjegal arah mereka. Marcus Lowell menaikkan tangannya, memanggil sihir agar kabut tidak menyelubungi mereka. Di belantara itu, rasanya seperti hutan tidak memiliki ujung. Val yang berada di tengah barisan meminta Alicia untuk tidak gegabah karena di di depan barisan, sementara Marcus Lowell membantu menangkis 'kabut' aneh itu dan mengarahkan mereka.

"Merunduk!" pekik Alicia. Dia menarik pedangnya di udara, satu sabetan menolak serangan panah sihir yang diarahkan pada mereka.

Kabut itu kemudian menjelma menjadi sosok yang dikenali mereka semua. Marcus Lowell pun menggeram.

"Berani sekali menangkis panah sihir dengan tangan kosong, hebat." sosok wanita berambut coklat itu separuhnya masih berupa asap. Val segera tahu kalau dia hanya sekedar klon, sekedar bentukan sihir.

Val tahu, Alicia sangat murka. Belum sempat dia mendengar lebih jelas tentang apa yang terjadi di masa lalu dengan Marcus Lowell yang selalu berkilah, mereka dihadapkan dengan situasi ini. 'Kabut' berbentuk Sang Profesor itu berjalan mendekati mereka.

Alicia tetap mengarahkan pedangnya di udara. "Freya Nadir Romania," ucapnya. "Sebenarnya apa yang ingin kau lakukan?"

"Bukannya kalian sudah paham kalau simfoni ini sudah mengudara?" Bu Nadir mengarahkan atensi yang ditujukan pada beliau ke arah atas, ke langit yang tidak terlalu jelas tampak di wilayah hutan yang gelap itu. "Aku sempat mewawancarai teman wartawan kalian, sepertinya dia pun sudah bisa menebak apa yang akan terjadi dan dia tidak bisa menghentikannya—begitu juga kalian."

Alicia memberanikan dirinya untuk maju, walau mengetahui sosok itu hanyalah kabut. Dia menyabet pedangnya berang. Kabut itu mengitar di arah Alicia, dan sosok sempurna Freya Nadir Romania kemudian membelai kepala dan menahan dagunya dari belakang, seperti jerat.

Marcus Lowell meminta Val untuk tetap di tempatnya, sesaat dia yang maju untuk melepas pengaruh kabut itu dari Alicia.

"Matamu benar-benar sama dengan mata Alisha," ucap Bu Nadir tenang. "Benar-benar tidak kusangka takdir akan sejahat ini."

"Lepaskan dia wanita bedebah!"

Marcus sudah melucuti kabut itu, lalu berteriak pada Alicia untuk menjauh sementara dia mengarahkan berkas cahaya untuk menahan kabut itu tetap di ujung tongkat sihirnya. Gigi Marcus menggertak ketika sosok Freya Nadir Romania terbentuk lagi di sisi kabut, senyumnya menyeringai.

"Wah, wah. Marcus." ucapnya. "Tidak kuduga ternyata kamu juga sudah membelot ke Hitam. Teman jurnalismu tadi sempat memberitahukan padaku."

"Memberitahukan? Hah. Kamu pastinya melukai Dahna dan membaca dari pikirannya," Marcus mencebik. "Tapi sekarang sudah jelas kalau kamu ternyata pun antek Putih, hm?"

"Tentu dua puluh tahun telah mengubah kita, ya?" kekehnya puas. "Biar kubenarkan, aku bukan antek Putih—aku hanya setia pada Sang Ratu."

"Maksudmu Nymph adalah Ratu Putih?" desis Marcus. "Apa-apaan ini? Jadi selama ini yang kita lawan—sosok yang selalu mencuri dari kontinen lain—tidak lain dan tidak bukan adalah Sang Peri sendiri?"

Freya Nadir Romania menatap mata nyalang Marcus dengan tatapan kalis. Dia terlihat tenang dalam berkas selubung asap, tidak merasa terpojok atau tertekan, alih-alih dia di sana sekedar sebagai sisa gaung dari apa yang sudah ada, 'berbicara' pada mereka karena itu adalah bentuk belas kasihnya.

Val bergidik. Ingin rasanya dia mengacungkan senjatanya, tapi dia sudah tidak bisa bersenjata. Alicia-lah yang kembali maju di depannya, bilah pedangnya lurus ke wajah Freya Nadir Romania.

"Zaman sudah berubah, Marcus! Wajar saja bukan, kalau Sang Peri turut memakai cara-cara manusia untuk melawan manusia yang bengis, licik?"

"Tutup mulutmu, Nadir." sahutnya. "Kita memang berubah, tapi kamu yang kini berdiri di hadapanku tidak ada bedanya dengan jelmaan setan."

"Hahaha, konyol. Kamu harusnya yang ngaca, manusia."

Marcus melayangkan sihir cahayanya, membelah kabut itu menjadi dua, dan menyusur sekitar hutan itu dalam ledakan kecil. Alicia menahan napasnya, begitu juga Val. Kegeraman di wajah Alicia sirna ketika melihat ekspresi Marcus yang begitu kecut—kesal, geram, dan sedih menjadi satu.

"... Kita harus cari Dahna sekarang. Harap saja dia belum jadi bangkai." Marcus mengangkat kepalanya, melihat ke arah Alicia. "Seperti yang kamu bisa dengar, nak, kami berdua dulu adalah teman—teman dari Alisha Rudra juga."

Alicia menurunkan pedang, menyarungkannya kembali. Dia menarik napas panjang, membuangnya dengan alur napas panjang, dan lalu dia mengumpat. "Sayap Peri." ucapnya. "Sialan. Sialan. Sialan."

Val menangkap lengan Alicia, "Oi, Alicia. Tenang."

"Aku sudah sangat tenang, ketua kelas!" sahutnya berang. Dia menarik tangannya dari genggaman Val. "Kalian bilang kalian ini pencipta sejarah. Kalian juga yang kemudian membiarkan sebuah kaum mati. Dan sekarang aku harus menerima begitu saja kalau ini semua adalah kehendak Sang Peri? Sayap Peri! Sayap Peri kalian semua!"

Marcus tampak tenang dihadapkan dengan amarah Alicia, yang menunjuk-nunjuk wajahnya tanpa ada rasa hormat. Beliau sekedar menaikkan kacamatanya, berbeda dengan ketika tadi dia dihadapkan dengan Selen.

"Kamu pantas marah dan kamu pantas didengar," ucapnya. "Jadi, apa yang ingin kamu ketahui tentang apa yang sudah kamu dengar? Akan kujelaskan sambil kita mencari Dahna."

Alicia menurunkan pandangannya ke tanah, dia menjejak kuat-kuat saking kesalnya, sebelum dia diarahkan oleh Val untuk mengikuti arahan Marcus.



Ketika mereka akhirnya menemukan Dahna, terkulai tak berdaya dengan darah beliau di wajah dan tubuh akibat tindak kekerasan sudah kering, Marcus dan Val pun bekerja sama untuk menstabilisasi dia.

Seperti yang diduga Marcus, di sekitar sana 'koneksi' garis ley sudah diputus. Butuh waktu untuk mencoba menyambung lagi garis ley di sana, tapi Marcus memutuskan untuk menyelamatkan Dahna.

Val mungkin bukan seorang yang bisa dianggap handal untuk penyembuhan ketimbang Hilde, Fiore, dan Blair, tapi dia mempelajari hal itu saat Perang Sipil Angia bukan sekedar untuk menambah daftar panjang skill yang diperlukan oleh tentara.

Pendekatan penyembuhannya memang tidak jauh dari penggunaan sihir karena Hilde-lah yang mengajarinya, tapi dia lebih menggunakan teknik Blair untuk memanfaatkan obat-obatan dan herba, dicampur dengan sihir air. Menggunakan sumber sihir dari Nona Marcus, air itu Val kendalikan untuk menambah khasiat penyembuhan losion antiseptik yang dibawanya.

"Kamu sangat pandai," puji Marcus selepas mereka berhasil membersihkan dan menghindari timbul infeksi dari luka-luka yang dialami pria jurnalis itu.

"Ini tidak seberapa, masih ada yang lebih jago lagi dibanding saya." Val merapikan kembali peralatan pertolongan pertamanya.

Matanya kembali mengedar ke Alicia yang menawarkan diri untuk menjaga tempat selama mereka menolong Dahna. Pastinya, ada banyak sekali yang di benaknya sekarang, terutama bagaimana menerima sosok ibu yang tidak pernah ada untuknya.

"Alisha Rudra adalah sosok yang penuh kasih," ucap Marcus. "Beliau, dibanding kami yang saat itu masih muda-muda dan kurang berpengalaman, sudah seperti seorang kakak yang tidak pernah kami punya."

Dua puluh tahun sudah berlalu sejak Ialdabaoth dihukum oleh Nymph, untuk sesuatu yang tidak diketahui oleh klan asimilasinya sendiri. Marcus sempat mengulang kalau dia sebagai seorang muda saat itu, juga anggota klannya, tidak tahu sama sekali tentang apa yang dialami Ialdabaoth selain mereka mendapat 'hukuman keras' dari Nymph. Setelahnya, Undine diminta menjadi penjaga rahasia, menutup rapat apa pun mengenai Ialdabaoth atas suruhan Pemegang Kitab dan Nymph sendiri.

"Memangnya kalau kalian jadi pemegang rahasia, ada sisa Ialdabaoth yang kalian pegang?" tanya Alicia ketika sedikit emosinya memudar.

"Selain rune itu? Tidak." ungkap Marcus. "Tapi aku ingat kalau ... Alisha Rudra selalu membawa buku catatan kosong."

"Buku catatan kosong?"

"Coba nanti kamu tanyakan itu ke si Selen."

Val menangkap ekspresi Alicia miris. Tangannya tetap ada di pedangnya, dan ia menatap lurus dengan siaga. Dia masih ingat bagaimana Alicia kerap menganggap sosok 'ibu'-nya itu angin lalu, sebagaimana Karen yang antipati dengan keluarga yang berbeda pandangan dengannya. Alicia selalu menganggap rumahnya adalah Pulau Penjara, dan Kepala Sipir Helga sebagai ibunya. Val juga sempat mendengar Alicia yang marah ketika tahu asal-usulnya yang bermuara di Aira.

Val tidak tahu bagaimana baiknya untuk berbicara dengan Alicia saat ini—atau dalam waktu dekat.

Lagi, ini bukan saatnya untuk berdiam diri atau terlalu banyak berpikir tanpa berusaha.

"Alicia." panggil Val. Alicia pun menoleh.

"Ada apa, komandan?"

"Aku udah bilang kalau kamu nggak perlu sungkan, 'kan?"

Alicia memberengut, "Iya. Tapi kalau boleh jujur, aku bingung harus komentar apa, atau memikirkan apa."

Marcus Lowell memerhatikan mereka berdua dalam diam. Ia masih berfokus mencari aliran garis ley. Tampak ia tidak akan bersuara bila tidak ditanyai lagi, dan itu menurut Val adalah pengambilan sikap yang tepat.

"Jadi ternyata orang yang mengandungku itu orang baik, sepertinya dia begitu dipandang tinggi oleh orang-orang yang mengenalnya," Alicia menengadah. "Lagi aku membencinya, dan dunia ini tidak adil dengannya."

Val menahan napasnya, dia hanya bisa berdiri dan menepuk lengan Alicia.

"Amarah ini harus ditunjukkan ke siapa sebenarnya, ketua kelas?"


. . .


Ilmu racun dan algoritma api dari Angia. Siklus energi di luar entropi dari Kaldera. Mendaur ulang kematian dari Pusara.

Selama ini, itu adalah tujuan dari sang Ratu Putih—mencari seluruh 'ilmu' yang nantinya dia himpun menjadi satu tujuan. Tujuan itu bernama 'Simfoni Air', karena nantinya seluruh nada-nada bernama teknologi itu akan dijadikan satu oleh partitur kehidupan yang melingkupi Aira, yang melingkupi Nymph.

Tinggal kurang satu instrumen lagi untuk melengkapi nyanyian indah ini, nyanyian yang akan membuai dunia ini.

Instrumen itu bernama Turbulensi Sihir.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro