XXIII. | Duel Harga Diri, Murni

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Penonton yang terhibur oleh pertarungan pertama, walau dengan darah yang tumpah sekali pun, menantikan perhelatan kedua dengan penuh harap.

Panggung berupa arena tempur itu kembali dibuka dengan siluet timbangan menguasai jarak pandang penonton. Timbangan besar yang dua kali lipat tingginya dari manusia dewasa itu berlapis kromium. Lengan timbangannya sama panjang, dan kedua cawan yang terletak di bawah lengan itu kosong, tempat nantinya sang petarung 'meletakkan' apa yang menjadi taruhannya ketika kalah.

Hakim yang mengendalikan alur pertarungan, yang berdiri di atas timbangan itu, Marcus Lowell, memandang hamparan arena dan dua petarung fase kedua dengan pandangan nanar. Pertarungan pertama, poin dimenangkan oleh Sharon Tristania dan sang lawan menyerahkan senjatanya pada timbangan. Para penonton puas dengan hasil itu, juga puas dengan pertarungan yang sudah terjadi.

Tentu, sang hakim tidak menuruti kehendak penonton atau kehendak khalayak yang menantikan pihak yang mereka sangat benci untuk dikeroyok di hadapan umum. Beliau sebagai kepala kemahasiswaan tahu kalau mereka yang datang dari seberang lautan nan jauh itu ke tanah Aira bukan untuk main-main, walau sebagai sang bidak Hitam pun, beliau tidak mengetahui tindak-tanduk mereka yang sebenarnya.

Kedua petarung menundukkan kepalanya ketika sang hakim turun, membacakan peraturan lagi seperti saat duel pertama, dan melempar koin untuk menentukan siapa yang akan menakar pertaruhan di antara mereka berdua.

Kali ini muncul sisi kepala, Karen Ray Spriggan yang dapat memilih jenis taruhan.

"Saya ..." dia menghela napas panjang. "Bertaruh mengenai rahasia daerah otonomi yang menjadi bagian nama saya."

Riuh-rendah melingkupi tribun dan barisan penonton. Tidak ada yang tahu siapa Karen Ray Spriggan di tanah asing itu, terkecuali mereka yang berasal dari Angia, atau kepala kemahasiswaan yang mengerti betapa berat arti sebuah nama daerah yang menempel pada nama seseorang.

Nadia Loherangrin menaikkan dagunya, jawabannya ada dalam satu tarikan napas, tanpa keraguan, "Saya bertaruh tentang rahasia keluarga yang sudah membawa kota Asteria naik daun."

Nadia mengacungkan tongkatnya, pucuk telunjuk dan pucuk ibu jari bertemu di badan tongkat yang berulir. Karen dan senjatanya yang tidak biasa di mata orang, astrolabe, berdiri tak gentar di hadapan moncong senjata Nadia.

Saat peluit tanda delapan menit itu dimulai, dentuman dan berkas angin memenuhi arena dalam sekejap. Air bertemu dengan api, hawa panas segera menyebar ke penjuru arena, dan yang para penonton saksikan sejenak adalah merah menyala dari kedua tangan Karen, dan lingkaran air yang dibuat Nadia.

Setiap hentakan tongkat, tangan Karen turut bergerak membalas, bongkahan air demi bongkahan air dibalas dengan bara api menyala, seakan mereka tidak bergerak dari tempatnya dan sejenak menukar serangan yang membuat suara-suara gaduh dan telinga-telinga berdenging.

Karen melompat menjauh, fokusnya berubah ketika berkas api muncul di belakangnya, membentuk sebuah panah-panah yang terdiri dari bilah api. Panah-panah itu semakin banyak, konsentrasi apinya semakin besar, menyala dengan gelora yang tidak biasa.

Nadia dengan kecepatannya mampu mengimbangi deras hujan panah, walau jubahnya tidak terselamatkan dan ada sedikit bekas hitam di pipinya. Nadia sudah menakar serangan balik sembari Karen menjeda dari satu sihir besar ke sihir lain. Nadia menembakkan sihirnya ke udara, tetes-tetes air yang dikondensasikannya dalam sekejap mata menyerang balik. Karen dengan perisai sihir di tubuhnya menyerap tetesan air itu, tapi dia tidak bisa menyerang.

Nadia pun memanfaatkan kesempatan itu untuk mendekat, tongkatnya mengacung untuk mengeluarkan lonjakan energi berikutnya. Selubung air terpusat yang terpaksa mendorong Karen untuk mundur.

Pertukaran serangan antara api dan air terus berlanjut tanpa kedua belah pihak menunjukkan celah. Satu serangan kecil akan dibalas satu serangan kecil lain. Panah api dan bola air. Tembakan bertekanan dan nafas api. Tidak ada yang hirau lagi mengenai status kedua orang itu saat para penonton terpukau dengan arena yang dipenuhi aksi dan reaksi.

Karen menyelubungi tangannya dengan sihir api, mencoba menarik kerah Nadia yang sudah mendekatinya dengan tembakan sihir air jarak dekat. Mereka bertolak lagi, dan lagi, menepis jarak, bertukar pukulan. Hentakan demi hentakan itu hanya membuat suhu di arena semakin naik karena uap yang dihasilkan karena sihir mereka berdua.

"Dia penyihir? Rasanya bukan. Dia dari Angia, 'kan?"

"Spriggan? Spriggan itu di mananya Angia?"

"Kekuatan apinya hebat sekali, bahkan temperatur sampai naik."

"Nona Loherangrin! Nona Loherangrin yang luar biasa! Kami padamu!"

Delapan menit itu terasa lama bagi mereka yang berada di pusat pentas, berbeda dengan penonton yang sekedar duduk mencuri lihat. Duel ini bagi mereka hanyalah sebuah wahana hiburan, selayaknya siapa saja yang naik sebagai penghibur. Pertarungan mereka yang berarti lebih dari apa pun hanyalah sekedar makanan bagi awam, lagi sudah jelas bahwa mereka dari Angia bukanlah sekedar 'positif' atau 'negatif' sihir dari dua pertarungan itu.

Nadia mengerang ketika Karen berhasil meretakkan pelindungnya dengan tembakan sihir api jarak dekat, tapi Nadia yang mengaduh tidak menyerah dan masih mengacungkan tongkatnya, melayangkan lucutan untuk mengenai Karen.

Karen menarik napas dalam. Dia tidak pernah berjanji pada siapa-siapa dalam hidupnya terkecuali ke dua orang, dan kini dia hendak melanggar janji pertamanya.

"Muspell Counter. Tiga."

Tiga puluh detik sebelum pertarungan berakhir, para penonton dikejutkan oleh bilah pedang berupa api yang muncul dari lengan Karen. Pedang yang serupa tangannya itu mengayun menghujam Nadia yang segera mempertebal pertahanannya dengan seluruh energinya. Bila tadi hawa panas yang dirasakan penonton sekedar menggelitik, kini penonton pun merasa gerah saat pedang itu bertemu dengan pelindung air, suara desis keras menyapu arena dan tidak berhenti hingga peluit tanda berakhirnya pertarungan dikumandangkan.

Karen menarik tangan dan dirinya menjauh dari Nadia, tangannya berselubung kemerahan menampilkan sirkuit sihirnya juga sisa api yang masih membakar kulitnya, sementara Nadia memaksa dirinya tetap berdiri tegak dengan kaki gemetar. Penanda sirkuit sihir Nadia pun tampak di leher dan di pergelangan tangan kirinya yang memegang kuat-kuat tongkat sihir, giginya menggertak tidak nyaman dan tatapan matanya nyalang ke arah Karen yang tubuhnya membara.

"Pemenang, menurut hakim, Karen Ray Spriggan!"

Karen menghela napas panjang ketika dia jatuh berlutut, menatap lirih kedua tangannya yang berselubung api. Sorakan mengisi belantara penonton, tapi Karen tidak terlalu peduli dengan apa yang terjadi di sekelilingnya, hanya penampakan sihirnya yang menurutnya tetap jelek yang membuatnya pilu.

Dia menggelengkan kepala saja, sebentar lagi mungkin dia akan membayar akibat ia memaksa tubuhnya, tapi itu adalah untuk hal nanti.

Nadia berdiri di hadapannya tepat setelah 'menyerahkan' taruhannya ke timbangan. Dia bersimpuh di hadapan Karen dan mengambil tangannya tanpa ragu.

"Ya ampun," decak Nadia. Padahal dia juga dalam keadaan cemong karena bara api dan bekas pembakaran saat dua sihir mereka bertemu. "Nggak seharusnya begini."

Karen ingin menarik tangannya, merasa Nadia adalah orang asing yang sudah mencoba mendekatinya, tapi Karen diam saja saat Nadia mengarahkan tongkat sihirnya, merapal sesuatu ke lengan Karen dan sejenak ada udara dingin melingkupi tangannya yang terbakar.

"Aku ... nggak jago menenangkan orang atau membuat orang lega, tapi anggap ini permintaan maaf dariku."

"Kamu nggak perlu minta maaf, Nadia." ucap Karen. Karen yang dulu tidak akan peduli selain dirinya. Dia juga tidak akan mengizinkan orang lain memegang tangannya.

Tetapi yang dia rasakan ketika Nadia mengusap pergelangan tangannya yang terbakar, menilik sirkuit sihirnya yang menonjol, Karen paham betapa tulusnya Nadia.

"Mau kubantu?"

"Tidak usah, nanti Fiore akan—ah, itu dia."

Saat Nadia membantu Karen berdiri, Fiore sudah berlari ke arah arena, wajahnya luar biasa masam, kesal bercampur lirih dan Karen rasanya sudah siap akan dimarahi oleh kepala skuadronnya itu.

"... Sampai jumpa, Nadia Loherangrin." sahut Karen sebelum Nadia sempurna berjalan pergi, sedikit tertatih karena efek serangan Karen padanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro