XXVI. | Duel Harga Diri, Senja Buta

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Celia mengharapkan bahwa wilayah tunggu itu akan kosong, dan dia akan melanglang buana saja ke Rumah Pohon tanpa ada apa-apa, lagi Nadia masih duduk di tempat yang sama.

Nadia tertunduk, dia mendengar langkah mendekat, namun tidak menaikkan kepalanya sebelum Celia berhenti tepat di sampingnya, berdiri sambil memegang tongkat sihirnya dengan kedua tangannya. Ekspresi Nadia yang muram sudah menggambarkan bahwa dia melihat pertarungan barusan—dan mengetahui jelas hasil duel antara dia dan Fiore.

Celia hanya bisa tetap berdiri, sebagian dirinya enggan untuk sekedar memanggil Nadia, lagi Nadia mungkin tidak akan berbicara dengannya bila dia tidak berusaha mengangkat pembicaraan. Hatinya seperti remuk, walau dia sudah siap dengan skenario ini jauh sebelum dia memulainya.

"... Nadia."

"Apa?" sahutnya dingin, dia menunduk lagi, seakan dia sengaja tidak ingin melihat wajah Celia. "Nggak kamu, nggak Sharon ... emang ya. Ada ada aja kalian. Yang satu begini, yang satu begitu."

"Nadia, aku—"

"Aku tahu kamu mau ngomong apa," ucapnya dengan nada naik yang sedikit lantang. "Dengan begini, kamu bisa bersanding dengan Miss Nadir, begitu? Apa itu alasannya kamu mengajukan taruhan itu dalam duel?"

Walau dia, Celia Gawaine, dielu-elukan sebagai yang terkuat di Cosmo Ostina, ada batas yang tidak akan dia langgar, yaitu bertarung untuk melukai, terutama pada lawan yang tidak seharusnya dilawan. Tapi bila disebut kalau dia sengaja menahan dirinya ketika melawan Fiore, tidak juga, Fiore bisa menghabisinya kalau dia tidak jaga diri, dan dia bisa cedera.

"Aku nggak mau bilang begitu, Nadia." Celia membalasnya getir. Dia paham seberapa Nadia dan sikap kompetitifnya bila dia sudah berfokus pada satu hal, lagi sebagaimana pun dia menyatakan iri, bukan berarti dia ingin diberikan jalan pintas.

Celia sudah mengetahui bagaimana marahnya Nadia ketika Celia menawarkan posisi asistensi pengajar Miss Nadir pada Nadia.

Nadia mendecak, "Kalau begitu ... gimana soal janji kita bakal lulus bareng?"

Celia mengulum bibirnya. Tentu, dia mengingat hal itu, mengingat bahwa mereka paling tidak akan lulus bersama, walau mungkin jalan yang akan mereka ambil berbeda nantinya. Mereka punya mimpi masing-masing: Nadia dan bagaimana dia akan mengembangkan pengaruh keluarganya, Sharon yang hendak mendapatkan penghasilan dan tempat yang lebih baik, dan dia yang akan pulang membawa sesuatu untuk peternakannya. Mereka bertiga punya tujuan, punya apa yang hendak dicapai, lagi mereka selalu bersama karena mereka merasa sangat dekat, merasa sempurna bila bersama.

Celia memutuskan taruhan itu pun bukan karena dia tidak mengingat janji mereka itu. Ia punya alasannya sendiri, selain menimbang taruhan yang akan diberikan Fiore padanya.

Alasan itu, untuk saat ini, akan disimpannya rapat.

Nadia memandangnya kecut, nadanya getir, "Aku nggak akan memaafkan kamu."

Celia membalas tatapan tajam Nadia dengan senyum. "Aku mengerti."

Nadia bagi Celia adalah sosok yang tidak mudah ditebak. Kalau kamu berpikiran ucapannya tidak sesuai dengan apa yang ada di pikirannya dan membuatmu menebak kalau apa yang akan dilakukan Nadia bertolak belakang dengan ucapannya, kamu bisa saja salah.

Selama dua belas tahun ini, dengan mereka yang terus bersama, melalui segala keputusan, segala kekecewaan, bahkan segala keputusasaan bersama, kalimat dari Nadia merupakan tamparan keras bagi Celia.

Nadia mungkin merasa kalau dia tengah dikhianati—atau itu yang Celia akan rasakan bila hal ini menimpa dirinya. Apa pun alasannya, ini bukanlah sesuatu yang akan dilakukan pada orang lain - terlebih pada wanita yang menjadi tambatan hatinya.

Wanita berambut perak itu berdiri, menghela napas panjang lagi sebelum dia mengambil jubah yang semula robek dan bolong karena duel itu dan berjalan menjauh.

"Nadia."

"Hm?"

"Masih boleh aku ... bilang minta maaf?"

Nadia tidak menoleh, "Boleh, tapi kamu tahu aku nggak akan memaafkan kamu."

Mereka sudah sama-sama dewasa, sama-sama mengerti, lagi kekecewaan yang terjadi antara mereka tentu saja tetap menyakitkan.

Hingga sosok Nadia menghilang dari hadapannya, Celia tetap memandang arah punggung itu pergi. Dia memejamkan matanya sejenak, menggenggam erat tongkat sihirnya seraya dia merasa kembali lagi kecil, kembali menarik gerobak susu keliling kota bersama seorang nona kaya yang bahkan belum dikenalinya barang sehari.



Fiore kembali ke wilayah tunggu menemukan Karen, Val, dan Alicia sudah menungguinya di dekat pintu keluar. Fiore kembali menyembunyikan panahnya dan ikut mereka bertiga yang menjauhi arena, menjauhi gegap-gempita festival dan hingar-bingar acara pendukung di Cosmo Ostina. Sorot mata yang semula hina dan sedikit jijik yang ditunjukkan pada mereka kini berubah menjadi sedikit dibayangi rasa takut. Tidak ada lagi cibiran-cibiran tertentu yang mengata-ngatai mereka sebagai orang luar, lagi mereka tetap seperti layaknya serangga untuk dihindari.

Mereka berempat sengaja tidak saling bertukar sapa sampai tidak ada orang di sekitar mereka yang mendengar.

"Kemana?" Val tangannya sudah ditarik Alicia sebelum dia berjalan lain arah.

"Sini, ketua kelas."

Alicia mengarahkan mereka ke arah kota Iberia, kota yang terletak tidak jauh dari kompleks pendidikan Cosmo Ostina. Seragam mereka yang sudah dikenali hanya akan membuat hal menjadi sulit, jadi mereka mencari tempat yang jelas sepi untuk berkumpul.

Ada sebuah kafe yang terletak di bawah tanah, menuruni undakan tangga kecil nan sempit yang katanya Alicia sempat dengar dari bisik-bisik penonton di dekatnya selama menonton di tribun.

"Kamu bisa-bisanya dengar tempat kayak gini pas lagi nonton." Val menggeleng kepala saat mereka tiba di kafe yang benar-benar kosong itu. Karen memilih kursi yang terletak di pojok.

"Habisnya mereka nyerocosnya ribut banget. Hidden gem-lah, apa lah." Alicia mengedikkan bahu. "Mereka bilang kopinya enak tapi karena di pelosok, jadi nggak banyak yang datang."

Fiore mengedarkan pandangannya ke interior kafe itu. Wilayahnya memang sempit, seperti lorong saja yang terletak di bawah tanah. Penampakan kafe yang memanjang itu hanya berisikan seorang barista yang sepertinya juga pemilik kafe, seorang pria jangkung berambut pirang dengan kulit sawo matang.

"Boleh aku ambil pesanan kalian sembari kalian ngobrol?" sahut pria itu, mengikat apronnya dua kali dan mulai mengoperasikan mesin kopi. Kacamata bulat dan anting-anting di telinga kanannya terlihat begitu eye-catching.

"Espresso, empat," Alicia menyahut. "Yang normal-normal aja, nanti kalau perlu gula kita ambil sendiri."

"Aye." pria itu mengangguk dan kembali sibuk di belakang konter.

Karen bertopang dagu, matanya mengedar sekali lagi seperti mencurigai sesuatu, tapi dia segera tertunduk, matanya kembali ke arah meja.

"Ya jadi korban luka-luka ada dua," Val berucap sembari menunjuk dia dan Karen. "Kamu utuh, 'kan, kepala skuadron?"

Alicia terkekeh, "Kepala skuadron kita sakti!"

"Celia yang—ah, nggak, bukan dia menahan diri. Kayaknya itu prinsip." Fiore mendecak. "Kalian ingat gaya pertarungannya Lucia sebelum kita tahu dia bisa pedang? Nah anggap aja seperti itu tapi dia andil banget mengendalikan sihir dan tahu kapan harus menyerang, kapan nggak. Walau mungkin dia nggak terlalu pakem kalau lawannya pakai senjata jadi aku bisa pukul dia sekali."

Karen mengernyit, "Artinya dia terlalu baik, ya. Hampir kukira duel kalian paling berdarah-darah."

Alicia mencibir, "Kok kamu tiba-tiba kayak haus darah begitu, Karen?"

Val memicingkan mata, sepertinya kalau dia tidak mengenal siapa yang tengah berbicara, dia tidak bisa melihat jelas apa yang ada di depannya.

"Aku masih nggak habis pikir juga Celia akan ..." Fiore memijat pelipisnya, lalu mengacak rambutnya sendiri. Dia lalu mendengar baik Val dan Karen tertawa kering.

"Nah, tuh, yang terlalu baik siapa sekarang," Karen menggelengkan kepala. "Hormati keputusannya, Fiore. Dia menganggapmu setara dan bertarung dengan setara. Dia juga menghormati taruhanmu."

"Kamu ngerasa bersalah banget sama Avalon ya pasti," Val menepuk-nepuk bahu Fiore. "Mau gimana lagi."

Dengan ini posisi mereka di Cosmo Ostina sudah mantap, lagi dengan pengorbanan—Karen yang memaksakan sihirnya atau Val yang kini tidak bersenjata, dan di pihak yang menjadi penampung mereka di Ostina, kini Celia setara dengan mahasiswi drop-out.

Fiore tidak yakin situasi nanti di Rumah Pohon akan baik-baik saja, lagi situasi ini tidak bisa dihindari.

Pembicaraan mereka dijeda oleh kedatangan empat cangkir kopi di atas meja. Pria berambut pirang tadi tersenyum cerah sekali sampai Val merasa silau saat dia memperkenalkan biji kopi hari ini dan mengingatkan untuk menikmati kopinya selagi panas. Harum kopi ini cukup menenangkan, lagi suasana hati Fiore jauh dari kata tenang.

Alicia menjentikkan jarinya. "Oh, iya, tadi aku sama Val ngobrol sama Profesor Nadir."

Karen ternganga, "Hah? Beliau sudah kembali ke Ostina?"

"Err, beliau pergi lagi sih setelah nyerocos soal pertandingan terakhir." Alicia menatap Val. "Kamu ngerti yang tadi beliau coba omongin, ketua kelas?"

"Ah, beliau kayak ngomong pake bahasa planet. Teori sihir blablabla, Muspellheim, Odin ..."

"Memang beliau profesor sihir," Fiore mengangguk-angguk. "Odin itu inti sihir anginku, begitu juga Muspell, inti sihir Karen."

"Oh wow, harusnya kita mencatat, ya," Alicia menggaruk pipinya. "Sama, ah, dia juga sadar kalau aku ada keturunan Aira padahal cuma sekali lihat."

Fiore dan Karen saling bertatapan. Pemilik Kitab Harapan Palsu ini rasanya sudah jauh lebih ajaib padahal baru saja mereka mendengar sekilas. Apa jangan-jangan beliau sudah mampu menebak maksud kedatangan mereka kemari? Rasanya tidak aneh bila demikian adanya.

Sebagai Pemegang Kitab, layaknya Instruktur Claudia Ars Bathory, mereka adalah sosok yang memiliki kekuatan sihir yang luar biasa. Mereka tidak tahu bagaimana Pemegang Kitab Aira dipilih selain desas-desus yang katanya Nymph sendiri-lah yang memilih Pemegang Kitab-nya, tapi di Angia saja, Instruktur Bathory tidak sembarang dipilih oleh Kota Suci, dan bukan berarti keturunan ningrat atau keluarga kerajaan menjadi Pemegang Kitab. Banyak sekali prasyarat yang harus dipenuhi, dan serangkaian tes.

"Kalau lihat situasinya sih ... kurasa minim sekali akan bisa meminta bantuan Aira untuk misi utama kita," imbuh Val. "Aku belum tahu nantinya tugas dari Instruktur selanjutnya akan ke arah mana, tapi melihat bagaimana sikap Cosmo Ostina, aku cuma bisa melihat mereka yang terkungkung dalam gelembung mereka sendiri."

Aira memang dikenali mereka sebagai kontinen angkuh—angkuh karena penguasaan sihir dan bagaimana hanya mereka yang dikenal masih disanjung oleh sang Peri Air. Lagi di Aira, ketimpangan bisa terjadi dengan sangat mudah. Nasib seseorang pun bisa bergantung dalam sebuah peristiwa singkat yang menentukan antara iya dan tidak - seperti Duel Harga Diri ini.

Fiore sekedar memegang tangannya di atas meja, melihat konsekuensi dari menjaga integritasnya secara langsung, yaitu melihat seseorang memasrahkan posisinya atas nama keadilan.

Apa ini yang dinamakan adil? Apa ini sesungguhnya keseimbangan yang dicari di Aira? Apa ini yang merupakan utopia yang mereka agungkan?

"Aku udah kebayang nanti pas laporan ke Angia, Bu Guru bakal senang mendengar progres kita," Val menyindir. "Oh ya, gimana kalau kita mulai fokus ke Alicia aja sekarang? Mengingat kalau-kalau Pemegang Kitab Aira sudah tahu gerak-gerik kita, kita mencoba mencari informasi kita sendiri."

Fiore tidak lupa mengenai pencarian mereka tentang identitas Alicia, tapi mereka yang bahkan belum seminggu di Aira sudah mendapati hal yang bertubi-tubi ini rasanya hampir tidak ada waktu untuk itu.

"Dari mana kita mulai cari? Perpus Ostina?" Fiore menaikkan alis. "Terlalu abstrak nggak sih, nyarinya? Kamu benar-benar nggak ada peninggalan dari ibumu, gitu?"

"Peninggalan, hmm, nggak ada yang terdokumentasi sih, tapi ..." Alicia mengambil secarik tisu terdekat. Dia menarik pulpen dari tas pinggangnya dan mulai menggambar. "Aku ingat Kepala Sipir Helga pernah menggambar ini saat menjelaskan soal orang yang melahirkanku. Kayaknya sebuah ... penanda? Aku ingat kalau Sharon sempat tulis-tulis garis-garis ini pas dia lagi ada PR ... Rune?"

Alicia menggambar dengan rapi di atas kertas tisu. Awalnya terdiri dari garis dan lengkungan sederhana, seperti membentuk sebuah bentukan, atau mungkin sosok, atau penanda yang Fiore tidak familier.

"Hmm," Karen menahan dagunya. Dia mengambil tisu itu dan segera membakarnya, sengaja agar sekedar mereka-lah yang mengingat bentuk itu. "Apa ini yang katanya jadi segel sehingga ibumu tidak membeberkan apa-apa ke Angia?"

"Mungkin? Mana kutahu." Alicia tertawa kering. "Kalau kalian berdua nggak tahu, mungkin ini memang nggak ada hubungannya dengan Aira."

"Kita mungkin bisa tanya ke Avalon," Fiore segera mengulum bibir. "... Coba tanya ke Avalon. Ya. Err. Aku masih enggan, tapi—"

"Ya, ya, kepala skuadron. Kita bertiga bisa coba tanya kalau kamu keberatan." Val nyengir. "Tenang saja, minimal kita harus bisa tahu di mana mulai mencari."

Pelaporan mereka minggu depan, status Val yang tanpa senjata, Fiore yang sudah mendorong secara tidak langsung satu anggota Kelompok Belajar Avalon mengundurkan diri dari kampus ... sungguh terlalu banyak peristiwa terjadi dalam waktu singkat untuk mereka cerna.

Rasanya seperti situasi mereka di Aira tidak akan mengenal arti damai.


---

ada gambar rune-nya tapi entah kenapa wp ga mau upload padahal cuma sekitar sekian kb, akan saya coba kapan-kapan


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro