08: Together

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di sela-sela suasana hening ini, tiba-tiba suara ledakan terdengar dari kejauhan. Mungkin karena bukan hanya aku yang penasaran, Flora dan Zer juga ikut keluar melihat apa yang terjadi.

"Apa itu?" sahut Flora menunjukkan wajahnya yang penuh pertanyaan.

"Awas!" Saat Zer mengucapkan kalimatnya, disitulah sekumpulan reruntuhan batu menghampiri kami.

Aku langsung menghampiri pohon di halaman depan untuk bersembunyi agar tidak tertimpa reruntuhan batu-batu itu. Oh, aku juga tidak melihat dimana Flora dan Zer bersembunyi.

Mungkin bersembunyi di balik pohon adalah pilihan yang malah membuatku nyaris tertimpa batu-batu itu. Barusan juga ada batu besar yang menghancurkan pintu depan rumah Zer. Jika saja aku memilih untuk masuk ke dalam rumah, mungkin aku sudah tergeletak dengan luka parah karena batu besar itu.

Karena sudah tidak ada reruntuhan batu yang menghampiri, dengan keberanian yang ada aku keluar dari tempat persembunyianku di saat Flora dan Zer melakukan hal yang sama--mereka bersembunyi di balik pohon lainnya.

"Kalian baik-baik saja?" tanya Zer menatapku dan Flora bergantian.

Aku hanya mengangguk, begitu juga dengan Flora. Tatapanku langsung beralih ke tangan Zer yang sedikit meneteskan darah itu, mungkin tangannya sempat terkena reruntuhan batu tadi.

"Oh, mungkin kami yang harus bertanya, apa kau baik-baik saja?" tanya Flora yang sepertinya juga melihat ke arah luka di tangan Zer. "Perlu diobati?"

"Tidak, aku baik-baik saja."

"Jadi, apa yang harus kita lakukan?" Aku bertanya dengan pertanyaan yang paling ingin kutanyakan. "Apa kita harus melarikan diri?"

"Tidak kita harus ke sana," jawab Zer yang membuatku menganggapnya sudah gila.

"Hoi, kau tidak lihat kita nyaris tertimpa batu-batu tadi?! Kalau kau ingin mati, jangan mengajakku!"

"Aku tidak mengajakmu, tapi kalau kau mau ikut silahkan saja, aku tidak memaksamu." Zer menatapku dengan tatapan memusuhi, lalu menoleh ke arah Flora, "Flora kau ikut?"

Flora mengangguk mantap. "Aku ikut!"

Zer menatapku sejenak, seperti ingin meminta jawaban dariku. Hanya saja, yang bisa kulakukan saat ini hanyalah diam, mungkin itulah yang membuatnya langsung pergi meninggalkanku.

Flora juga sempat menatapku, tapi dia juga ikut pergi bersama Zer.

Aku yang saat ini tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa berpikir apakah aku harus ikut dengan mereka atau lebih baik melarikan diri.

Jika aku melarikan diri, itu tampak seperti pengecut bagiku--dan aku benar-benar membenci peri yang memiliki sifat ini. Namun, jika aku ikut dengan mereka, memang apa yang bisa kubantu?

Baiklah, sudah kuputuskan untuk mengikuti mereka. Aku tidak peduli apakah aku bisa membantu atau tidak, yang jelas aku tidak mau menjadi pengecut.

"Eh, Yurryl?" Flora yang menyadari keberadaanku, langsung menoleh ke belakang. "Ah, sudah kuduga kau tidak akan meninggalkan kami!"

Zer juga ikut menoleh ke belakang, menatapku dalam diam. Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya saat dia melihat keberadaanku di sini, tapi aku yakin kalau dia tidak keberatan.

"Aku datang bukan karena dipaksakan, ini kemauanku sendiri," sahutku yang masih bingung karena dia terus menatapku dengan tatapan aneh.

Zer membalasku dengan senyuman tipis di wajahnya, itu membuatku lega karena kukira dia tidak terima dengan keberadaanku.

"Awas!" seru Zer yang langsung membuat perhatianku menuju reruntuhan batu yang menghampiri kami.

Aku melihat sekeliling, tidak ada objek yang bisa dijadikan tempat persembunyian. Aku sudah sangat panik, bagaimana kalau kami semua tertimpa batu-batu itu?

"Magic of Wind!" Saat Flora mengucapkan sihirnya, batu-batu itu langsung terlempar ke arah angin yang dituju.

Itu tadi hampir saja.

"Kerja bagus, Flora!"

Flora tersenyum lebar menanggapi ucapan Zer, "Terima kasih."

Zer langsung mendarat di salah satu rumah yang sedikit hancur, diikuti oleh Flora dan juga diriku.

"Kenapa, Zer?" tanya Flora juga ikut melihat apa yang dilihat Zer.

"Ada seseorang di sana," jawab Zer. "Dia terlihat familiar."

"Hoi, kalian tidak sadar kalau itu Bell?" Hanya dengan kalimat itu, Flora dan Zer langsung menatapku dengan tatapan tidak percaya. "Kenapa? Itu Bell, 'kan?"

"Jadi... ini perubahan pada Bell yang kalian ceritakan tadi?" Flora bertanya lagi.

Sebelum aku menganggukan kepalaku, Zer lebih dulu memotongku.

"Tunggu, jadi semua ini ulah Bell?"

Aku memutar bola mataku dengan malas. "Kau tidak lihat dia sudah menjadi monster? Apa perlu kita datangi dia?"

Seketika, suasana hening kembali menghampiri kami. Flora dan Zer tampak sedang berpikir, sedangkan aku bingung sendiri apa yang harus kulakukan.

Aku kembali melihat penampilan Bell yang menyeramkan itu. Sayap perinya kini berubah menjadi sayap kelelawar yang besar, ditambah dengan aura gelap yang mengelilingi tubuhnya.

Aku tidak tahu kenapa aku baru sadar kalau ada sesosok peri berambut putih sedang bersembunyi di balik rumah lainnya. Agar aku tidak salah melihat, aku memperhatikan kembali seseorang itu.

Setelah aku yakin dengan apa yang dilihat mataku, aku menoleh ke arah Flora dan Zer. "Hoi, di sana ada Mary, lho!"

Mereka berdua langsung menatapku kaget.

"DIMANA?!" Flora terlihat antusias dengan yang kukatakan.

Aku menunjuk rumah lainnya--dimana itu adalah tempat Mary sedang bersembunyi.

"Ayo, ke sana!"

Zer dan aku juga ikut menyusul Flora yang menuju ke arah tempat Mary sedang bersembunyi. Aku tidak menyangka apa yang kukatakan itu benar, buktinya Mary tergeletak lemas dengan tubuhnya yang penuh darah.

"MARY! APA YANG TERJADI PADAMU?!" Flora langsung berteriak histeris saat melihat kondisi Mary yang mengenaskan.

"Pe-pelankan suaramu, di-di sana ada Bell," balas Mary terbata-bata.

"Jadi, itu benar-benar Bell?" tanya Zer masih terlihat tidak percaya.

"Zer, kau harus ... memasuki pikiran Bell." Mary memegang lengan baju Zer. "Kau harus ... mengubah cara pikirnya."

"Ah, ba-baiklah," jawab Zer dengan wajah kebingungan. "Tapi bagaimana denganmu, Mary? Kau harus diobati dulu!"

"Tidak apa-apa, biar aku saja yang mengobati Mary." Flora menggendong Mary di punggungnya. "Hati-hati, kalau sempat, aku akan kembali."

"Ya, kau juga."

Setelah kepergian Flora, aku langsung menatap Zer--ingin tahu apa yang akan dia lakukan.

"Tidak mengatakan sesuatu?" tanyaku bosan menunggunya yang larut dalam diam.

Entah dia yang tidak mendengarkan atau bagaimana, Zer hanya diam menatapku.

"Oh, jangan bilang kau tidak mengerti dengan yang dikatakan Mary," ujarku dengan penuh curiga.

"Tidak, aku memang tidak mengerti." Zer menjawab jujur yang tidak kusangka olehku sendiri. "Memasuki pikiran, apa kau mengerti maksudnya?"

Ah, benar juga, kalimat yang satu itu memang sulit dimengerti. Sekarang aku mengerti kenapa Zer sedaritadi hanya diam dengan wajah kebingungan.

"Kalau begitu ... bagaimana kalau kita coba?"

"Apa maksudmu?"

Aku mengutarakan pendapatku. "Untuk memastikan, aku akan mencoba mendekati Bell. Dengan begitu kita akan tahu apa yang dilakukannya saat kita mencoba mendekatinya. Bagaimana? Kau setuju?"

"Tidak, biar aku saja yang mendekatinya. Kita tidak tahu apa yang akan Bell lakukan nanti."

"Kau adalah peri yang paling mengetahui siapa itu Bell. Kalau kau terluka, siapa yang akan memasuki pikiran Bell nanti?"

"Ah, baiklah." Zer akhirnya menyetujui pendapatku. "Tapi apapun resikonya, kau harus menanggungnya."

....resiko, ya? Aku membencinya.

"Iya, aku tahu." Aku kembali memperhatikan posisi Bell saat ini--agar aku tahu kalau dia masih ada di sini. "Mari lihat apa yang terjadi."

Aku menunggu balasan dari Zer, tapi sepertinya laki-laki itu kembali diam menatapku. Akhirnya kuputuskan untuk mendekati Bell yang sedang berdiri di salah satu rumah yang hancur di sana.

"Err, Bell?" panggilku agar Bell menoleh.

Bell hanya diam beberapa saat, sampai akhirnya dia benar-benar menatapku dengan mata kosongnya.

"Jika semuanya dapat bahagia, kenapa aku tidak?" gumamnya.

Tepat setelah Bell mengatakan kalimat aneh itu, ada sesuatu berbentuk cair yang membuat mataku merasakan rasa sakit yang luar biasa.

Saat kusentuh benda cair itu, barulah aku sadar kalau ternyata itu adalah darah yang berasal dari mataku.

Aku langsung berteriak kencang, tidak dapat menahan rasa sakit yang kurasakan.

Aku langsung terjatuh dengan lemas sambil memegang kedua mataku yang tidak kunjung berhenti mengeluarkan darah.

Tiba-tiba saja ada sesuatu terbang yang menghampiriku--atau mungkin sesuatu itu hanya melewatiku--karena aku hanya bisa merasakannya tanpa kulihat.

Di saat itu pula, seseorang menggendongku dan mungkin membawaku ke tempat yang sedikit jauh.

Sepertinya dia sudah mendarat--karena suara kakinya terdengar jelas saat menyentuh tanah.

"Yurryl, kau baik-baik saja?"

Hanya dari suaranya, aku tahu kalau itu adalah Zer.

Aku mencoba untuk membuka mataku dengan segala tenaga yang kumiliki. Aku bisa melihat wajah Zer dan sekelilingnya dengan penglihatannya yang tampak tidak jelas.

Tidak, aku sudah benar-benar membuka mataku, hanya saja penglihatanku semakin tidak jelas.

"Yurryl, sebaiknya kita pergi, kita harus mengobati lukamu."

Aku menepis tangan Zer yang hendak menggendongku. "Jangan buat usahaku menjadi sia-sia, Bodoh! Sekarang kau harus memasuki pikiran Bell dan abaikan aku!"

"Tapi kau--"

"CEPAT!" seruku dengan nada galak--agar Zer dapat mengerti apa yang kumaksud.

Zer menghembuskan napasnya. "Baiklah. Tunggu aku."

Setelah Zer meninggalkanku, aku sama sekali tidak bisa bergerak, seluruh tubuhku terasa sangat kaku. Yang bisa kulakukan saat ini hanya menunggu Zer yang entah akan berhasil atau tidak.

Penglihatakanku semakin buram, lalu lama-lama menjadi hitam yang menyebabkan aku tidak bisa melihat apapun.

***

"Yurryl, bangun!"

Bisa kurasakan seseorang menepuk-nepuk wajahku. Saat kulihat, ternyata dia adalah Zer yang membawa Bell di punggungnya.

Eh, kenapa aku masih bisa melihat?! Bukannya aku sudah buta?!

"Tunggu, yang tadi hanya mimpi?!" tanyaku masih tidak percaya dengan penglihatanku yang masih baik-baik saja.

"Kau lupa?" Zer bertanya balik. "Sepertinya tadi kau pingsan, kau baik-baik saja?"

Ah, benar juga, aku masih mengingat kejadian dimana aku menahan rasa sakit luar biasa dari mataku.

"Ah, tapi mataku masih sedikit sakit," jawabku sambil menyentuh mataku.

"Kau bisa terbang sendiri, 'kan? Aku tidak bisa membawa dua gadis."

Aku menatap Zer dengan datar. "Bisa, jangan remehkan aku."

"Ya sudah, ayo pulang."

Dalam perjalanan, aku melihat Bell dalam keadaan pingsan berada di punggung Zer. Dia terluka parah, mungkin Zer akan memintaku untuk mengobati Bell--karena tidak mungkin laki-laki yang akan mengurus luka perempuan.

"Oh, ya, bagaimana caranya kau bisa memasuki pikiran Bell?" tanyaku yang sebenarnya sedikit penasaran.

"Mudah, hanya mengubah cara pikirnya yang salah," jawab Zer yang membuatku tidak puas dengan jawabannya.

Aku menghela napas. "Kalau kau jawab begitu, lebih baik tidak usah dijawab."

"Kalau aku hanya diam, kau pasti berpikiran kalau aku mengabaikanmu."

"Terserah."

Akhirnya kami sampai di tempat tujuan tanpa hambatan--karena kupikir monsternya tidak hanya Bell.

Walau begitu, ini sudah selesai. Tidak akan ada masalah yang datang, itulah yang kuharapkan.

Untuk pertama kalinya, aku merasa sangat puas dan lega saat tahu masalah bisa diselesaikan bersama.

***

-Revisi-
11 - 6 - 2019

UWAAAAAAH1!1!1!1!1!1

Serius, nulis chapter ini benar-benar membuatku galau. Aku terbiasa pake POV 1, jadi sudut pandang Zer gak kulihatin di sini.

Sempet, aku kepengen nulis sudut pandang Zer yang dimana dia mencari cara buat nyelamatin Bell. Tapi ya, akhirnya gak jadi, soalnya aku liatin, sudut pandangnya jadi aneh dan terkesan dipaksakan.

Jadi, gini deh hasilnya. Maaf kalau tidak memuaskan :(

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro