Chapter 11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Meski agak memalukan, Pollux mengakui bahwa baik dirinya dan sang Kakak nyatanya hanya mengetahui sedikit tentang seorang Euthalia. Ayolah, bahkan dirinya sendiri baru tahu―sadar―akan fakta bahwa keluarga Eu yang sekarang bukanlah keluarga aslinya setelah ia berteman dengan si gadis selama kurang lebih tujuh tahun.

Dari fakta itu, berbagai pertanyaan mulai bermunculan di benaknya.

Darimana sebenarnya Eu berasal? Siapa orang tua aslinya? Mengapa dia berakhir menjadi seorang anak angkat?

Dan terlebih lagi―

Apa yang membuatnya tidak mengingat apapun sebelum ia diurus oleh keluarga Adele dan Makalios?

Jika dipikirkan lagi, sebenarnya pertanyaan-pertanyaan itu tergolong cukup umum untuk orang yang baru saling mengenal. Tapi masalahnya, ini tujuh tahun lho. Tujuh tahun. Dan waktu tujuh tahun yang tergolong bukan waktu singkat itu, Pollux―dan juga Castor pastinya―mengabaikan pertanyaan-pertanyaan dasar semacam itu.

Didasari oleh hal itu, meski terdengar cukup sia-sia, kali ini Pollux meneguhkan tekadnya untuk setidaknya berbincang empat mata dengan Eu. Membicarakan segala hal yang belum pernah mereka bicarakan selama ini, untuk mengenal lebih jauh tentang satu sama lain.

Atau bisa dibilang―

Pollux ingin memulai hubungan pertemanan mereka itu dari awal...

***

C h a p t e r 1 1
―Tell me―

***

"Nah, kita sudah sampai," kata Pollux. Ia menolehkan kepala, hendak melihat keadaan sahabatnya. Didapatinya yang bersangkutan tengah memegangi lutut sembari terengah-engah, mengambil napas sebanyak-banyaknya.

Alisnya bertaut khawatir, ia memegang bahu si gadis berambut gelap itu lalu mengusapnya pelan. "Maafkan aku. Kau baik-baik saja?" Pollux bertanya dengan nada bersalah dalam suaranya.

"Aku baik-baik saja..." jawabnya disela napasnya yang terengah. "Daripada itu... apa yang mau kau bicarakan denganku sampai-sampai membawaku kemari?" Eu bertanya seraya ia menegakkan badan.

Si gadis berambut gelap mengedarkan pandangan. Matanya yang sudah mulai beradaptasi dengan kegelapan ditambah karena sinar bulan cukup membuatnya dapat melihat keadaan sekitar. Dari apa yang Eu lihat, mereka berdua tengah berada disebuah tempat yang cukup tinggi. Tidak terlalu banyak pohon yang tumbuh disekitar sini, hanya ada permadani hijau yang tumbuh sejauh mata memandang beratapkan langit berbintang.

Eu berdecak dalam diam. Mengagumi pemandangan yang ada didepannya dengan seksama.

Dilain pihak, Pollux menatap si sahabat dari ekor mata. Sebuah senyum tertahan muncul menghias wajahnya. "Kakak memberitahuku tentang tempat ini," ucap Pollux.

"Huh? Castor?"

"Iya. Lho? Aku kira Kakak memberitahumu juga."

Eu meringis lalu tersenyum miris. Mana mungkin Castor memberitahukannya tentang hal ini. Bahkan, dirinya juga masih ragu Castor mau berurusan dengannya jika saja Pollux tidak terlebih dulu melakukannya.

Pilih kasihnya terlalu kuat...

"Jadi... Apa yang mau kau bicarakan, Pollux?"

Seakan baru saja mengingat apa alasan ia membawa si gadis yang lebih pendek darinya itu kemari, Pollux membelalakkan mata lalu berkedip beberapa kali sebelum sebuah tawa renyah keluar dari bibirnya.

"Haha, hampir saja aku lupa tentang tujuan kita kemari," katanya. Si gadis kemudian duduk dan lalu menepuk-nepuk tempat kosong tepat disampingnya, menyuruh Eu agar duduk disana. Tanpa mengeluarkan suara, Eu menganggukkan kepala menuruti Pollux.

"Sebenarnya aku tidak akan membicarakan hal yang terlalu penting..."

"Huh?"

Eu menoleh kearah Pollux, menatap si gadis dengan tatapan penuh tanya sementara yang bersangkutan justru membalasnya dengan sebuah senyuman tanpa dosa.

"Kau tidak salah dengar kok. Aku sebenarnya hanya ingin mengobrol denganmu," jelasnya seraya ia memeluk lutut dan melemparkan pandangan pada rerumputan.

"Padahal baru beberapa hari, tapi rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali aku mengobrol denganmu." Pollux terkekeh lalu menolehkan wajah kembali, tangannya terulur, menyibakkan rambut hitam yang menutupi sisi kiri wajah Eu, membuatnya dapat melihat wajah Eu sepenuhnya. Pollux tersenyum, ditatapnya iris mata yang sewarna dengannya itu dalam-dalam. Sementara itu, dilain pihak, Eu yang menjadi pusat perhatian seorang Pollux saat ini hanya bisa terdiam. Ekspresi penuh tanya semakin terlihat di wajahnya seraya pipinya mulai bersemu merah, gugup.

"Hei, Eu..."

"Y-Ya? Ada apa, Pollux?"

"Ayo mengobrol."

"Huh?"

Eu menaikkan sebelah alis, semakin tak paham seraya Pollux kini beralih memainkan salah satu kepangannya. "Ya, mengobrol. Tentang hal-hal yang kau sukai misalnya, hobimu, apa rencanamu di masa depan nanti, dan juga..." Pollux menggantungkan ucapannya, terlihat sedikit ragu. "...masa lalumu, misalnya," lanjutnya agak lirih namun masih bisa terdengar oleh Eu.

Ah, begitu ya...

Eu menghela napasnya dalam-dalam. "Hal yang kusukai ya... um, sebenarnya aku juga tidak tahu apa yang kusuka dan apa yang aku tidak suka..." si gadis menjawab sambil tersenyum canggung, agaknya tidak puas dengan jawabannya sendiri.

"He... Begitu ya?" Pollux mengangguk-angguk.

"Kalau Pollux sendiri? Apa hal yang kau suka?" Eu balik bertanya. Pollux memegang dagunya seraya matanya menatap kearah atas, memikirkan jawaban yang tepat. "Kakak mungkin? Ah, tidak aku menyukai keluargaku. Baik Ayah, Ibu, Kakak, Helen dan juga Clytemnestra," jawabnya dengan senyum manis menghias wajah.

Kali ini giliran Eu yang mengangguk-angguk. "Sudah kuduga. Ya, tidak salah juga sih. Toh, keluargamu itu orangnya rata-rata baik," Eu menimpali dengan suara yang kian lirih diakhir perkataannya.

Pollux tertawa geli. Si gadis yakin bahwa arti sebenarnya dari rata-rata yang Eu maksud adalah kecuali Castor.

"Tapi keluarga ya..."

Pollux menoleh kearah Eu, menatap si gadis yang tengah mendongakkan kepala, menatap langit berbintang. Sepasang netra ungu itu menatap jauh, jauh sekali keatas langit, seolah tengah melihat apa yang sebenarnya ada dibalik ribuan bintang itu. Entah hanya perasaan Pollux atau memang benar kenyataannya, Pollux dapat melihat raut kesedihan serta kesepian diwajah serta sorot mata Eu.

"Eu? Kau baik-baik saja?" setelah dirasa terlalu lama diam menjeda omongannya, Pollux menepuk pundak Eu, membuat kesadarannya kembali kedalam raga.

"Ah, maaf. Tadi kita sampai dimana?" si gadis bertanya seraya tersenyum. Dan tentu saja, Pollux tahu senyum itu hanyalah sebuah senyuman yang Eu buat-buat.

Pollux mengembuskan napas.

"Eu sendiri, apa kau tidak menyukai keluargamu?" Pollux bertanya.

Eu menggeleng cepat, agak panik malah. "Tentu saja bukan begitu! Aku menyukai--menyayangi mereka!" sanggah Eu. "Tapi... ya begitu. Rasanya ada yang kurang hingga aku tidak bisa mengecap mereka sebagai sesuatu yang paling aku sukai," Eu melanjutkan dengan suara yang lebih lirih.

"Seperti, apa ya? Aku tahu sesuatu yang aku sukai, begitupun dengan hal yang aku benci. Tapi, aku tidak bisa mengingatnya dengan jelas. Seakan ingatanku tentang hal-hal itu tersimpan dan tersegel disuatu tempat yang tak dapat kugapai," ucap Eu. Tangannya terbentang ke langit luas seolah ia akan mengambil salah satu bintang dilangit sana namun apa daya yang dapat ia genggam hanyalah udara.

"Ah, maaf malah membuat suasananya jadi muram. Selanjutnya ap--"

"Hei, Eu. Apa kau mau tetap begini?"

"Huh?"

Pollux menatap Eu dalam-dalam. "Apa menurutmu tidak mengingat apa-apa tentang masa lalumu--tentang celah sepanjang tujuh tahun dalam ingatanmu itu tetap kosong hingga kau mati nanti?"

"Itu..." lidah Eu mendadak kelu. Kata-kata Pollux itu ada benarnya. Satu sisi, dia tidak terlalu peduli dengan masa lalunya. Toh, yang lalu biarlah berlalu. Jika dia memang melupakannya, itu artinya semua memori selama tujuh tahun itu memang tidak penting. Dan jujur saja, entah mengapa tiap ia tahu bahwa ia tidak mengingat apapun sebelum diurus oleh keluarganya yang sekarang--

--ia malah merasa aman.

Ia merasa aman seakan jika ia mengetahui masa lalunya itu, petaka akan datang menghampirinya dan orang-orang terdekatnya cepat atau lambat. Jadi selama ini Eu yakin bahwa dengan tidak mengingatnya, maka tidak akan ada hal yang buruk menimpa keluarga dan teman-temannya.

Tapi...

Disatu sisi, bohong rasanya jika Euthalia tidak mau tahu tentang masa lalunya itu. Ada kalanya kepalanya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan seperti siapa orang tua aslinya, dimana dia dilahirkan, waktu tujuh tahun itu dia habiskan dimana, dan yang terpenting---

---apa yang membuatnya tidak mengingat apapun sebelum umurnya tujuh tahun?

Dia ingin mengetahui segala hal itu. Tapi mau sekeras apapun ia mencoba, rasanya tidak bisa. Seolah ada yang suara dipikirannya yang berkata bahwa dia lebih baik tidak mengetahui hal itu.

"Eu?"

"Huh? Ah, maaf aku melamun. Untuk pertanyaanmu itu... aku belum yakin. Aku ingin mengetahuinya, tapi entah kenapa aku merasa akan lebih baik jika aku tidak mengingatnya."

Pollux berkedip. "Jadi, kau tidak mau mengingatnya?"

"Aku mau! Tapi... tidak? Argh! Kenapa pikiranku mendadak runyam?!" Eu mengacak-ngacak rambutnya frustasi.

Pollux mengulurkan tangan, menggenggam tangan Eu untuk berhenti mengacak-ngacak rambut hitamnya. "Sudah, sudah. Untuk sekarang mari kesampingkan dulu segala hal tentang masa lalumu. Sekarang tenangkan dirimu dulu," Pollux berucap sambil merapikan rambut Eu yang sudah hampir mirip landak laut itu. Eu mengangguk mengiyakan.

Pollux agaknya merasa bersalah menanyakan hal yang berkaitan tentang masa lalunya. Setelah merapikan rambut Eu, Pollux tidak segera menarik tangannya. Ia mengelus puncak kepala Eu guna menenangkannya, hal yang selalu dilakukan oleh Castor saat Pollux merasa takut atau tertekan. Setelah ia merasa Eu sudah mulai tenang, barulah Pollux menarik tangannya.

"Kau mau pulang saja?" Pollux menawarkan tapi Eu menjawab dengan gelengan kepala. "Aku masih ingin mengobrol sebentar lagi."

"Baiklah, sekarang tentang apa?"

"Ehm... ah, untuk tahun-tahun yang akan datang, kau ingin menjadi apa, Pollux?"

"Heh? Tahun yang akan datang? Masa depan, ya?" Pollux kembali menatap kearah langit. "Mungkin untuk sekarang aku ingin menjadi lebih kuat dulu. Setelah kejadian hari itu aku tidak mau terlalu membebani Kakak," Pollux menjawab disertai senyum diwajah.

Eu mengangguk-angguk. Si gadis dapat mengerti mengapa Pollux menginginkan hal itu ketimbang hal lain seperti pernikahan. Toh, saat ini baik pernikahan ataupun pertunangan sudah mempunyai kesan buruk dibenak Pollux.

"Kalau Eu sendiri?"

"Aku... ya? Aku belum membicarakan ini dengan yang lain, tapi aku berencana untuk mengabdi pada Artemis," jawabnya.

"Mengabdi? Kau akan jadi pemburu?" Pollux bertanya dengan suara yang meninggi di akhir kalimat.

Eu menganggukkan kepala lalu tersenyum lebar menampilkan barisan giginya. "Um! Aku pernah dengar―menguping lebih tepatnya, kalau nanti pernikahan Adele akan dilakukan berbarengan dengan Makalios. Ini baru rencana, tapi setelah mereka menikah, aku berniat akan menjadi pemburu untuk Dewi Artemis."

"Begitu... ya..."

Eu menatap Pollux. Si gadis bersurai keemasan itu memasang wajah yang agak kusut, agaknya terlihat antara setuju dan tidak setuju akan rencana yang telah Eu sampaikan. Melihatnya, Eu terkekeh.

"Apa-apaan wajahmu itu. Aku yang akan jadi pemburu tapi kenapa kau yang terlihat khawatir sekali?" Eu bertanya menahan geli. "Tapi jujur saja aku juga sedikit khawatir dan takut. Toh, kau tahu sendiri penglihatanku ini tidak terlalu bagus," lanjut Eu sambil menunjuk kearah matanya sebelum Pollux dapat kembali menimpali perkataannya.

"Kalau itu wajar saja kau takut," timpal Pollux dengan wajah yang kian melembut. Eu menyeringai lebar, setidaknya usahanya untuk membuat Pollux agak tenang kelihatannya cukup berhasil.

Setelah itu, keheningan menyelimuti mereka. Nyatanya kedua gadis itu sudah kehabisan topik―ah tidak juga, sebenarnya masih banyak. Terlalu banyak hingga mereka bingung mau mulai darimana. Pada akhirnya, keduanya lebih memilih untuk mendongakkan kepala, menatap lautan bintang yang ada diatas mereka tanpa ada satupun yang membuka suara.

"Hei Eu."

"Hm?"

"Kira-kira, apa yang akan Kakak lakukan nanti setelah dia kembali dari Gunung Pelion?"

"Apa yang Castor lakukan ya..." Eu mengusap dagu, memikirkan segala kemungkinan yang akan diambil oleh seorang Castor beberapa tahun yang akan datang. "Yang pasti dia akan lebih protektif kepadamu 'kan?" Eu menjawab setengah terkekeh.

Pollux menggembungkan pipi. "Aku serius."

"Begitupula aku." Eu membaringkan tubuhnya diatas rerumputan yang sedikit basah. Seperti apa yang telah dirinya katakan, dirinya tidak dapat memikirkan kemungkinan lain untuk Castor selain melindungi Pollux. Untuk masalah pernikahan, Eu bahkan tidak bisa membayangkan seorang Castor untuk menikah. Bahkan jika saja Castor dan Pollux tidak lahir di Sparta, Eu yakin keduanya akan menikahi satu sama lain.

Ah, aku merasa kasihan kepada gadis yang akan dijodohkan dengan Castor nanti

ya, itu juga kalau ada...

Eu meringis.

"Apa yang kau pikirkan sampai-sampai meringis begitu?"

Eu menolehkan wajah, mendapati Pollux yang juga telah berbaring disebelahnya tengah menatapnya.

"Tidak, kok. Tidak ada."

Pollux memicingkan matanya dengan curiga selama beberapa saat, namun setelah dirasa sia-sia, si Putri tertua Sparta itu mengembuskan napas. Tangannya kemudian bergerak, mencari tangan si gadis berambut hitam yang tengah asyik menatap langit lalu segera digenggamnya tangan itu dengan erat membuat yang bersangkutan sedikit terperanjat.

"Ketika Kakak pulang nanti, ayo kita bertiga kemari lagi," ajak Pollux. Keduanya menolehkan kepala, menatap satu sama lain dalam-dalam. Eu mengangguk pelan sambil membalas genggaman tangan Pollux. Perlahan, senyum keduanya merekah.

"Aku harap, kita bertiga dapat seperti ini, bersama selamanya."

Sambil menatap langit, genggaman tangan kedua gadis itu semakin erat.

***

Waktu kian berlalu, musim silih berganti hingga akhirnya tak terasa hampir dua tahun berlalu semenjak Castor dan Pollux mendapat hukuman mereka. Sudah hampir dua tahun pula semenjak Castor berangkat ke Gunung Pelion demi belajar dibawah bimbingan sang kentaur Chiron. Jika tidak ada hambatan, sekitar beberapa bulan lagi Castor dapat kembali ke Sparta.

Sementara itu di Sparta, Pollux kini telah dikenal juga sebagai pemain pedang dan petarung tangan kosong yang handal, bukan hanya sekedar adik kembar Castor atau bahkan putri mahkota tertua Sparta. Bahkan Pollux lebih kuat dibandingkan lelaki seumurannya bahkan pria dewasa sekalipun.

Hal ini tidak terlalu mengejutkan sebenarnya mengingat fakta bahwa Pollux masih punya setengah dari kekuatan dewanya.

Untuk Eu sendiri, gadis itu tidak mempunyai perubahan yang signifikan. Baik pada dirinya sendiri ataupun kesehariannya. Ah, sebenarnya belakangan ini Pollux mengajarinya bela diri atau memanah jika keduanya punya waktu luang.

―Jangan ditanya, tentu saja Eu payah dalam keduanya.

Tapi hei, setidaknya akhir-akhir ini Eu tidak langsung tumbang saat melawan Pollux. Ya, walaupun ia hanya bisa berdiri selama sepuluh detik sebelum Pollux mengalahkannya.

―Tapi hei, pencapaian tetap pencapaian.

Tak hanya itu, sang Ayah pun sudah pulih sehingga bisa kembali bekerja sejak beberapa bulan yang lalu. Selebihnya tidak ada yang berubah. Eu masih tetap tinggal bersama keluarganya dan hubungannya dengan mereka pun masih sangat baik. Dan tentu saja―

―rasa penasarannya akan ingatannya yang hilang itu pun masih belum berubah barang sedikitpun.

***

Akhirnya...

Castor mengambil napas dalam-dalam. Akhirnya hari dimana dirinya akan kembali ke Sparta tiba. Sebenarnya pelatihannya dibawah pengawasan Chiron ini selesai lebih cepat dari apa yang ia perkirakan.

Si pemuda mengedarkan pandangan. Pemandangan disekitarnya yang didominasi warna hijau itu akan ia tinggalkan tak lama dari sekarang. Meski sedikit, Castor merasa agak enggan meninggalkan tempat ini setelah hampir dua tahun ia habiskan disini.

"Castor, kemarilah sebentar."

Merasa dirinya dipanggil, Castor menolehkan kepala. Manik hijau daun milik Chiron menatapnya dengan ramah―dan jangan lupakan senyuman khas yang jarang meninggalkan wajahnya―sambil melambaikan tangan, mengisyaratkan Castor agar mendekat.

Tanpa menunggu lagi, Castor menuruti Chiron. "Ada yang ingin anda bicarakan dengan saya?" tanyanya.

Chiron menganggukkan kepalanya singkat. Ia membalikkan badan lalu menggerakkan kepala, tanda agar Castor mengikutinya.

Keduanya berjalan menuju kedalam gua, ke bagian terdalam gua.

"Tenang, nanti juga kau akan tahu," ucap Chiron ketika Castor baru saja membuka mulut hendak bertanya.

"B-baik."

Benar apa yang dikatakan Chiron, tak lama setelahnya sang kentaur menyingkirkan beberapa batu didekat dinding gua. Meski agak gelap, mata Castor yang sudah beradaptasi dengan kegelapan dapat melihat sesuatu berada dibalik batu-batu tersebut.

"Peti apa itu?"

Chiron tersenyum, namun ia tidak menjawab pertanyaan si pemuda. Dibukanya peti itu dengan mudah lalu dikeluarkannya dua buah benda dari dalam sana.

"Anggap saja ini kenang-kenangan. Kemarin Jason dan Herakles juga sudah mendapatkan satu masing-masing sebelum pergi." Chiron menyodorkan dua buah benda itu kehadapan Castor.

Sebuah pedang dan cakram berduri.

Dengan kata lain, senjata.

Dengan agak ragu, Castor mengambil kedua benda itu lalu diperhatikannya dengan seksama. Dilihat dari manapun kualitas kedua senjata ini tidak dapat dipandang sebelah mata.

Indah dan mematikan.

Hanya dua kata itu yang dapat mewakilkan kesan Castor dan nampaknya kata-kata itu juga tak cukup.

"Aku tidak ingat sejak kapan aku mempunyainya, mungkin puluhan? Ratusan mungkin? Tapi aku yakin karena dia yang membuatnya, senjata ini tidak akan mudah rusak," Chiron menjelaskan.

"Dia?"

"Mungkin... Jika aku menyebutnya dengan 'pandai besi terhebat', sepertinya aku tidak perlu memberitahu namanya," ucap Chiron diikuti oleh kekehan geli.

"Pandai be―t-tunggu, jangan bilang..."

Chiron menganggukkan kepalanya, mengiyakan pemikiran Castor yang sudah tergambar jelas di raut wajahnya walau mulutnya hanya bisa terbuka tanpa mengeluarkan sepatah kata.

Castor menelan ludah kemudian menatap kedua senjata ditangannya itu bergantian tak percaya.

Ditangannya ini ada senjata yang ditempa langsung oleh Hephaestus―terlebih bukan hanya satu, melainkan dua. Dua.

―eh, tunggu dulu...

Dirasa baru menyadari sesuatu, Castor mengalihkan pandangannya, kini kembali menatap Chiron.

"Tapi, jika Jason dan Herakles sendiri mendapat satu, kenapa saya dapat dua?"

Chiron menepuk kepala Castor pelan lalu balas menatap si pemuda dengan tatapan teduhnya sebelum menjawab,

"Dioscuri itu bukan hanya seorang 'kan?"

***

"Sampaikan salamku pada keluargamu, berhati-hatilah," ucap Chiron sembari memperhatikan Castor yang baru saja naik ke punggung kuda.

Castor menganggukkan kepala tanda mengerti. Baru saja Castor hendak memacu kudanya, Chiron kembali membuka mulut.

"Apa kau buru-buru?"

Mendengarnya, Castor menaikkan sebelah alis. "Tidak juga. Ada apa?" jawabnya. Toh, rencana pulangnya saja dapat dibilang lebih awal dibanding apa yang ia beri tahu pada Tyndareus melalui surat yang ia kirim tempo hari.

"Aku tidak akan memaksamu sebenarnya, tapi jika kau tidak buru-buru, aku sarankan kau untuk pergi menemui Pythia terlebih dulu sebelum kau pulang ke Sparta."

Kening Castor semakin berkerut. Ia tidak mengerti, kenapa gurunya yang terkenal bijaksana ini tiba-tiba menyuruhnya pergi ke Delphi untuk bertemu dengan Pythia. Ayolah, jarak Delphi dan Sparta itu jauh.

Tapi Chiron tidak mungkin akan menyuruhnya melakukan sesuatu jika tidak ada maksud tertentu. Karena seperti apa yang ia pikirkan tadi, Chiron itu berbeda dari kentaur pada umumnya. Ia bijaksana, cerdas, dan tutur katanya pun baik.

"Baiklah, saya akan mengusahakannya," Castor menjawab meski masih ada sedikit keraguan dalam hatinya.

Chiron tersenyum. "Baik kalau begitu, sekarang pergilah."

Castor menganggukkan kepala. Ditendangnya tubuh kuda tunggangannya, memberi tanda agar si hewan mulai berjalan. Ringkikan singkat terdengar lalu tergantikan oleh suara derap kaki kuda yang perlahan menghilang seiring dengan bayangan hewan itu dan sang penunggang yang menghilang dari jarak pandang.

"Nah, karena dia sudah menghilang, anda boleh keluar sekarang." Chiron membalikkan badan kearah sebuah pohon cukup besar yang berada tepat di seberangnya.

"Huft, padahal aku hanya menyampaikan permintaan Apollo saja," sesosok pria muncul dari balik batang pohon. Ia meletakkan sebelah tangan di pinggang sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Maafkan saya, Dewa Hermes. Tapi kebetulan ada yang ingin saya bicarakan dengan anda."

"Hoo, jarang sekali aku mendengar kata-kata itu darimu. Kuharap ini menarik." Hermes bersiul pelan.

Chiron berjalan menghampiri Hermes. Meski wajahnya tidak menampilkan perubahan ekspresi yang signifikan, Hermes dapat merasakan hawa berat disekitar si kentaur.

"Saya ingin bertanya soal Dionysus dan pengikutnya. Kelihatannya mereka kembali bergerak―"

Tanpa sadar, Chiron sudah berada tepat didepan Hermes.

"―saya yakin anda tahu sesuatu tentang hal ini 'kan?"

Sekali lagi, Hermes bersiul lalu menyeringai.

"Whoa, sudah kuduga ini akan menarik..."

(Tbc)

Wow...

Kok aku merasa chap ini ada sedikit yur---//slap

Maafkan saya yang ga update selama bulan Januari dan Februari. Maklum derita kelas dan semester akhir SMA ಥ‿ಥ

( Bonus pic dari CE CBC baru yang seakan menagih saya untuk segera update 🗿)


✨ See you! ✨

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro