Chapter 14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dahi Asclepius semakin berkerut heran seraya suara langkah kaki yang semakin jelas tanda mendekat tertangkap oleh kedua telinganya. Saat yang sama, ia juga mendengar langkah kaki mungil yang terdengar terburu-buru mendekat kearahnya.

"Ayah, ada yang datang," bisiknya.

"Iya, aku bisa mendengarnya."

Asclepius menurunkan perkamen yang sedari tadi menjadi pusat perhatiannya, mengalihkan pandangan serta perhatian kedua netra zamrud itu kepada bayangan panjang yang dipantulkan sinar rembulan dan juga obor disepanjang lorong bergerak mendekat.

Sebelah alis Asclepius terangkat heran begitu ia melihat siapa sosok dibalik suara langkah kaki itu. "Ada perlu apa kau kemari?" tanyanya datar.

Sosok itu adalah seorang lelaki, perawakan tubuhnya tinggi dan tegap, kulitnya yang sedikit tan itu terlihat begitu serasi dengan rambutnya yang bergelombang berwarna gelap membingkai wajah rupawannya, dan sepasang netra keunguan sewarna dengan anggur masak itu balas menatap Asclepius dengan kilat mantap.

Ah, benar-benar sosok yang asing lagi tak asing baik untuk Asclepius sendiri maupun bagi keluarganya.

"Aku ingin berbicara dengan Kakak," jawabnya singkat.

"Kakak? Tumben sekali," Asclepius mendengus seraya sebuah seringai sarkastik perlahan muncul di wajahnya. Matanya menyipit, memperhatikan gelagat sosok dihadapannya itu penuh dengan kecurigaan.

Hal itu bukan serta merta tanpa alasan Asclepius lakukan. Pasalnya, sosok yang ada dihadapannya ini tak lain dan tak bukan adalah sang tersangka utama kejadian yang akhir-akhir ini kian menarik perhatian serta meningkatkan kewaspadaannya.

Dionysus. Dewa yang disembah oleh para Maenad dan juga dewa termuda yang menduduki salah satu dari keduabelas takhta di Olympus yang sebelumnya milik Hestia setelah sang dewi memutuskan untuk tinggal berdampingan dengan manusia. Yang dengan kata lain, sosok dihadapannya ini jauh lebih kuat dari siapapun yang ada di kuilnya saat ini.

Keheningan menyelimuti mereka dan membuat udara di ruangan terasa kian berat dan sesak. Keduanya saling menatap, memperhatikan satu sama lain dalam diam dengan sorot yang tak dapat dijabarkan dengan kata-kata.

"Pergilah ke tempat saudara-saudaramu Iaso," titah Asclepius kala ia merasakan kedua tangan mungil meremas bajunya kian erat tanpa menoleh kearahnya. "Dan panggilkan juga Ibumu," lanjutnya.

"Um..." anak kecil itu, Iaso―salah satu putrinya dan Epione―menganggukkan kepala tanda mengerti.

Gadis kecil itu kemudian segera pergi meninggalkan ruangan sesaat setelah Asclepius mengelus puncak kepalanya.

Asclepius kembali memusatkan perhatiannya pada Dionysus. Dia bingung harus kagum atau heran akan kedatangan Dionysus ke kuilnya. Pasalnya, selain Apollo atau Artemis―dan terkadang Hermes―tidak ada siapapun dari keduabelas dewa itu datang ke kuilnya yang memang dasarnya tidak seterkenal dan sepenting kuil lainnya.

Walau sebenarnya kuil Asclepius di Epidaurus ini cukup terkenal juga...

"Asclepius? Kau memanggilku?"

Suara lembut nan akrab ditelinga Asclepius terdengar dari arah Iaso berlari tadi membuat Asclepius sontak menolehkan kepala. Tak lama setelah suara itu terdengar, sosok Epione muncul dari kegelapan.

"Ada ap―" perkataan Epione terpotong kala ia mendaratkan pandangan pada sosok Dionysus yang masih setia berdiri tanpa ada sedikitpun perubahan sejak beberapa saat yang lalu.

Sorot mata yang selalu teduh itu berganti menjadi sorot mata yang jelas menunjukkan rasa heran bercampur tidak suka. Ia mengambil langkah besar dan dengan sedikit menghentak mendekati sang dewa anggur namun Asclepius memberikan isyarat berhenti dengan salah satu tangannya guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.

"Apa yang kau lakukan disini?" Ia bertanya dengan nada yang berbeda seratus delapan puluh derajat dengan nada yang ia gunakan beberapa saat sebelumnya.

Dahi Dionysus berkerut. Agaknya sang dewa bingung akan mulai bicara darimana dan bagaimana agar ia tidak menyulut rasa kesal atau amarah lebih besar baik dalam diri Asclepius maupun Epione.

―ralat sedikit. Terutama Epione.

Karena baik Dionysus dan Asclepius tahu bahwa pada detik pandangan Epione menangkap sosok Dionysus, dia bukanlah lagi sang dewi penenang rasa sakit.

Dionysus berdeham sebagai salah satu usaha untuk menenangkan diri dan menjernihkan pikirannya.

Bagi sebagian orang, mungkin hal ini terdengar lucu namun nyatanya Dionysus itu agak takut dengan Epione―atau mungkin takut dengan sosok aslinya, sosok yang tersembunyi dibalik topeng dewi penenang rasa sakit dan istri Asclepius bernama Epione itu lebih tepat.

Dan juga―

"Ini tentang para Maenad..." Dionysus menjeda ucapannya, menunggu reaksi sepasang suami istri dihadapannya itu. Dari nadanya sendiri sudah jelas ia sangat berhati-hati baik dalam mengucapkan atau memilih kata-kata.

Dirasa mendapat lampu hijau dari keduanya―meski tak satupun diantara mereka buka suara―Dionysus melanjutkan kata-katanya.

"Aku ingin meminta bantuan kalian untuk menghentikan mereka..."

Sesuai dengan apa yang Dionysus bayangkan, Asclepius dan Epione langsung memasang wajah kaget bercampur bingung sesaat setelah ia mengatakan maksud kedatangannya kemari.

"Apa maksudmu?" Epione bertanya dengan nada suara yang amat jengkel. "Kau mau menghentikan Maenad? Setelah apa yang kau perbuat enam belas tahun yang lalu? Setelah selama ini? Apa yang sebenarnya kau pikirkan?" dengan wajah kian kusut, Epione bersungut-sungut. Sifat tenang nan lembut miliknya yang dikenal orang-orang itu seolah dilemparnya keluar jendela. Wanita itu nampaknya sudah muak dengan sosok dihadapannya ini.

"Aku tahu, aku tahu. Tapi bisakah kalian berdua mendengarkan ceritaku terlebih dulu?" pinta sang dewa anggur.

Asclepius dan Epione saling bertukar tatap. Mendiskusikan respon apa yang harus mereka berikan―dan yang terpenting, dapatkah mereka mempercayai perkataan Dionysus tanpa sedikitpun mengeluarkan suara.

"Aku tahu cerita ini akan panjang, tapi aku ingin kalian mendengarkanku. Kalian adalah dua dari beberapa dewa yang tahu akan semua ini... jadi tolong... kumohon dengarkan aku..." Dionysus memohon sekali lagi dengan suara yang kian lirih bercampur hampir putus asa.

Mendengar kalimat penuh harap itu keluar dari mulut Dionysus, Epione menghela napas. Ia menyilangkan kedua tangan didepan dada. Dengan sepasang manik berwarna teal masih menatap Dionysus penuh curiga, Epione membalas permintaan sang dewa anggur.

"Baiklah. Kami akan mendengarkan ceritamu. Tapi kalau kau berbohong, jangan harap aku dapat memberimu kesempatan lagi."

Sebuah senyuman penuh rasa lega perlahan berkembang menghias wajah Dionysus. Rongga dadanya dipenuhi oleh rasa senang meski wajah Epione yang dilihatnya tidak jauh berubah.

"Sebaiknya kau cepat sebelum kami berubah pikiran," Asclepius yang sedari tadi diam kini menimpali.

"Terimakasih Asclepius..." Dionysus menjeda kata-katanya sembari matanya bergerak menatap wanita pemilik surai cerah bergelombang yang ada disamping Asclepius. "Terimakasih, Epione... tidak―"

――
―――"...terimakasih, Kak Makaria..."

***

C h a p t e r 1 4
―Hamartia―

***

Enam belas tahun yang lalu, beberapa bulan setelah Zeus bertemu dan jatuh cinta dengan Leda, ia kembali menemukan seorang manusia yang menarik perhatiannya di Aetolia.

Namanya Thalia.

Katanya dia adalah mantan pendeta di kuil Apollo yang menghabiskan masa kanak-kanak dan remajanya mengabdi pada sang dewa sebelum pada akhirnya, ia memutuskan untuk meninggalkan kuil lalu menikah dengan seorang peternak sekaligus penggembala sederhana.

Saat Zeus melihatnya untuk pertama kali, Thalia sedang mengandung anak dari lelaki itu.

Dan untuk yang entah keberapa kalinya, Zeus jatuh cinta kepada seorang manusia.

Didorong oleh keinginannya mendekati wanita manusia itu, sang dewa menyamar dengan mengambil wujud suami sang wanita.

Wajah, bentuk tubuh, suara, dan tingkah laku. Bahkan dirinya sudah melakukan beberapa hal yang sekiranya diperlukan agar si tuan yang asli tidak pulang ke rumah malam itu.

Dengan penyamarannya yang sudah sempurna itu, Zeus menghampiri Thalia dengan niatan merayu sang wanita agar mau menghabiskan malam bersama.

Begitu Thalia mendaratkan pandangan kepada sosoknya, wanita itu mengedipkan mata beberapa kali―tertegun sebelum kemudian menatap lembut dirinya serta mengulas sebuah senyuman ramah di wajah.

Kegiatan menenun kain ditinggalkannya sejenak lalu dengan suara merdu bagai lantunan lagu, ia menyambut kedatangan Zeus dengan hangat. Ia melayani sang dewa dengan sepenuh hati hingga keduanya tak sadar bahwa sang surya sudah berada di ufuk barat tuk mengakhiri hari.

Pada saat inilah rencana Zeus yang sebenarnya baru akan dimulai. Sang raja para dewa Olympus dengan penuh percaya diri mulai melancarkan aksi demi mendapat apa yang ia inginkan sejak tadi. Akan tetapi...

――
―――"Ini mengejutkan sekali. Kukira anda akan langsung menerkam hamba. Apa anda mempunyai urusan dengan hamba? Atau memang hanya ini tujuan anda?"

Cara wanita itu berbicara, sorot mata, dan juga air mukanya berubah drastis dalam satu kedipan mata. Sepasang netra jelaga itu menatap tepat kearah matanya dalam-dalam, menatap sosok agung yang tengah bersembunyi dibalik penyamaran seorang manusia fana.

――"Jangan harap hamba tidak mengetahui hal ini, dewa Zeus..."

Untaian kalimat terlontar keluar dari mulutnya dengan nada lembut bak lantunan lagu. Namun dibalik kelembutan suaranya itu, ada sesuatu hal yang tak bisa Zeus jabarkan dengan tepat didalam perkataannya. Ada sesuatu yang tajam menusuk sang dewa kala perkataan Thalia sampai ke telinganya.

Kala Thalia membungkukkan tubuhnya yang ramping dengan hati-hati agar tidak menyakiti si calon jabang bayi, tanpa sadar untuk kali pertamanya, Zeus mengambil langkah mundur―walau hanya selangkah―dihadapan seorang wanita. Terlebih lagi wanita yang dimaksud adalah seorang manusia.

"Bagaimana bisa? Kau―"

Zeus bertanya. Suara yang semula begitu akrab ditelinga si wanita langsung tergantikan oleh suara berat nan besar selayaknya gemuruh petir yang dapat membuat bulu kuduk berdiri.

Namun―sekali lagi―si wanita tidak menunjukkan respon berarti. Ia menegakkan tubuhnya lagi, ditatapnya sosok dihadapannya itu dengan tatapan penuh arti namun dalam waktu yang sama tak dapat dijabarkan dengan pasti.

"Hm? Bagaimana? Sejujurnya hamba juga tidak tahu pasti," jawabnya enteng sambil menaikkan kedua bahunya sedikit.

"Insting... mungkin?" seulas senyum―seringai muncul menghias wajah, membuat kedua matanya menyipit yang mana hal itu sukses memancing rasa tertarik dan penasaran dari sang dewa.

Tanpa sadar kedua ujung bibir Zeus tertarik keatas, membuat sebuah seringai tipis diwajahnya. Ia bertopang dagu, agaknya menemukan hal yang jauh lebih menarik daripada tujuan utamanya dari wanita dihadapannya ini.

"Ho... Apa ini? Kau punya sesuatu yang menarik rupanya? Atau kau hanya ingin mengalihkan perhatianku? Hm?" Zeus membalas perkataan Thalia yang tergolong itu dengan pertanyaan yang dapat dibilang menantang.

Thalia menelan ludahnya. Meski apa yang dikatannya itu sebagian adalah fakta, ia tidak pernah menyangka Zeus akan menanggapinya seperti ini yang jujur saja membuat nyalinya cukup ciut. Toh, mau bagaimanapun dia tetap manusia. Zeus bisa saja membunuhnya dan bayinya ditempat saat ini juga.

Baik Thalia, tarik napas dalam-dalam――

Sambil berusaha menenangkan diri agar dirinya tidak mati kutu dihadapan dewa yang―tanpa ia sangka―memakan umpan yang ia sediakan.

Setelah dirasa dirinya cukup tenang, Thalia membuka mulut, mulai bercerita.

***

Menceritakan bahwa dulunya ia merupakan salah seorang pendeta Apollo memang tidak membuat Zeus kaget, namun cerita setelahnya yang membuat Zeus mengerutkan kening.

Karena faktanya, Thalia adalah satu diantara sekian pendeta Apollo yang mempunyai potensi cukup besar untuk menjadi seorang Phytia.

Wanita itu mendapat berkah untuk meramalkan masa depan di usia yang masih sangat muda. Meski―tentu saja―bakatnya itu belum diasah dan masih belum dapat dikendalikan dengan baik oleh si pemilik, tetap saja Thalia dapat disebut sebagai pendeta termuda yang mendapatkan berkah dari Apollo.

Orang-orang percaya bahwa gadis kecil itu kelak akan menggantikan Phytia saat ini. Namun nyatanya, tepat saat ia menginjak usia dewasa seorang perempuan Yunani, Thalia memutuskan untuk meninggalkan kuil. Entah apa alasannya, tidak ada seorangpun selain dirinya yang mengetahui hal itu.

Zeus yang sudah memakan bahkan menelan bulat-bulat umpan yang diberikan oleh Thalia tentu saja ingin mengetahui segalanya.

Dan tentu saja Thalia tahu akan hal itu.

Namun ia tetap memegang teguh pendiriannya. Thalia menolak secara halus permintaan Zeus yang sedikit memaksanya untuk memberi tahu segala hal yang dipendamnya dalam lubuk hatinya yang terdalam.

Mendengarnya, Zeus tentu kesal. Dewa itu hampir saja mengambil langkah kasar dengan mengancam―atau kemungkinan terburuknya adalah melukai hingga membunuh Thalia dengan kekuatannya. Tapi hal itu ia urungkan ketika ia mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Thalia.

――"Bukankah bertindak kasar terhadap tuan rumah itu melanggar xenia?"

Entah dapat darimana asal keberanian yang amat besar dimiliki oleh seorang manusia dan juga wanita tak berdaya dihadapannya ini, Zeus sendiri juga keheranan. Yang jelas hal itu sukses membuat dirinya agak jengkel.

"Ah, lihat. Siapa sangka sudah selarut ini. Sudah waktunya kami untuk beristirahat. Bukankah begitu Yang Mulia?"

Dihirupnya napas dalam-dalam, dan dikeluarkannya pelan-pelan. Zeus baru sadar hari semakin larut ketika Thalia menyinggung hal itu. Ia bangkit dari posisi, suasana hati yang sudah dongkol karena kelakuan wanita dihadapannya itu sudah membuatnya agak malas untuk melanjutkan rencana awalnya.

"Kau benar. Istirahatlah, aku juga harus segera pergi," meski masih dihantui rasa penasaran, Zeus memutuskan untuk angkat kaki dari rumah si wanita.

Mendengar hal itu, Thalia tersenyum. Entah karena ia senang Zeus mengerti bahwa dia memang sudah cukup lelah atau karena ia berhasil membuat Zeus berpikir ulang dan pada akhirnya enggan bercinta dengannya.

Atau mungkin ia senang karena keduanya? Entahlah.

Zeus pergi meninggalkan rumahnya, dan Thalia pergi ke kamar lalu dengan segera berlabuh menuju alam mimpinya.

Pikirnya hal ini akan berakhir saat itu, detik yang sama ketika Zeus pergi meninggalkan rumahnya selayaknya angin lalu.

Namun sayang, nampaknya wanita itu terlalu naif. Rasa senang yang tengah dirasakannya sekarang itu nyatanya tidak seberapa dengan apa yang menunggunya di waktu yang akan datang.

***

Pemandangan malam menjelang dini hari di taman Hesperides itu mempunyai keindahan yang tak dapat dijabarkan dengan kata-kata bahkan oleh para dewa sendiri. Rerumputan hijau lembut membentang sejauh mata memandang, langit yang berhias bintang menjadi kanopinya, dan juga sebuah pohon apel emas legendaris yang tumbuh menjulang tinggi seolah hendak menggapai langit.

Tempat yang amat cocok untuk sekedar meringankan beban pikiran.

Oleh karena itu, Hermes yang menyadari suasana hati Hera yang makin muram tiap harinya karena mengetahui desas-desus bahwa belum lama ini Zeus kembali tidur dengan seorang wanita di Aetolia pun memutuskan untuk membawanya ke taman tersebut.

Dan nampaknya rencana Hermes itu berhasil. Si dewa pembawa pesan itu dapat melihat ekspresi Hera yang kian berseri seraya sang dewi duduk diatas hamparan permadani hijau, seakan ia melupakan sejenak hal apa yang menghantui benaknya beberapa hari terakhir ini.

Sampai entah beruntung atau tidak, Hermes menangkap sesosok pria yang berjalan cukup jauh dari mereka. Hermes agaknya heran. Pasalnya, selama bertahun-tahun ia hidup, Hermes jarang bahkan tidak pernah sama sekali melihat ada manusia―selain Perseus―yang berkeliaran disekitar bahkan masuk ke daerah taman Hesperides.

Diperhatikan gerak-gerik pria itu dalam diam. Semakin lama dilihat, semakin mencurigakan juga. Tanpa sadar kedua mata Hermes kian menyipit hingga pada akhirnya kedua matanya terbuka sempurna.

"Hm? Bukankah itu Zeus?"

Kalimat yang keluar dari mulut Hermes dengan tidak sengaja kala ia menangkap sosok pria tak dikenal itu tiba-tiba berubah menjadi sesosok yang tak asing spontan menutup mulut. Namun sayang, dirinya sudah terlanjur mengambil alih perhatian Hera yang sedari tadi tengah mengagumi keindahan taman Hesperides. Dan benar saja, sosok Zeus masih berada disana ketika Hera menolehkan kepala.

Dalam hati Hermes mengutuk dirinya sendiri.

Wajah berseri Hera perlahan pudar tergantikan oleh raut penuh tanya bercampur sedih. Dilihatnya sosok Zeus yang berada cukup jauh dari tempatnya sebelum Zeus pergi meninggalkan tempat itu dengan sekejap mata, meninggalkan jejak berupa sebuah pilar cahaya yang menjulang ke langit.

Seketika pandangan Hermes spontan beralih pada Hera yang masih terdiam. Meskipun begitu, sang dewa pengantar pesan tersebut dapat menebak apa yang akan Hera katakan kepadanya setelah suara keluar dari mulutnya untuk memecah keheningan.

"Hermes... aku mau meminta bantuanmu..."

―Benar kan apa dugaaannya...

***

Yada yada, wanita manusia.

Yada yada, kekasih baru Zeus di Aetolia.

Yada yada, tugas yang paling sering sekaligus paling membosankan yang Hermes terima.

Singkat cerita, Hermes dimintai Hera untuk membututi Zeus dan mengawasi tiap hal yang dilakukan oleh yang bersangkutan saat dirinya berbaur dengan manusia.

Dan dengan tidak mengejutkannya, dugaan Hera―dan Hermes juga tentu saja―terbukti benar.

Zeus terlihat cukup sering mengunjungi rumah seorang wanita sederhana yang kelihatannya juga sedang hamil. Melihat hal itu Hermes meringis. Meski masih agak ragu untuk menyimpulkan semua hal yang muncul di kepalanya, Hermes sudah tahu pasti akan satu hal.

Ah, tamatlah sudah riwayat wanita itu. Setidaknya begitulah pikirnya. Hermes pun memutuskan untuk mengamati keduanya terlebih dulu.

Hari demi hari, minggu demi minggu, dan sebulan pun akhirnya berlalu. Dirasa sudah cukup mengamati dan Zeus masih juga mengunjungi si wanita secara rutin, Hermes pun―meski enggan―melaporkan hal itu pada Hera.

Dan sesuai dugaan, hal itu berhasil menyulut amarah sang dewi. Dan sekali lagi, sesuai dengan apa yang Hermes duga, alih-alih memberi Zeus pelajaran dengan menghukum sang dewa langsung, Hera justru menargetkan si manusia yang malang itu karena harus dan telah berurusan dengan Zeus.

Mengesalkan? Tentu saja. Bahkan sejujurnya hampir semua dewa di Yunani gemas dengan hubungan Hera dan Zeus yang dengan ajaibnya masih bertahan hingga saat ini.

Dan nampaknya, kali ini Hera sedang enggan mengotori tangannya.

Tanpa diketahui siapapun kecuali dirinya sendiri dan Hermes, Hera yang kebetulan sedang agak tidak suka dengan Dionysus pun menjadikan si dewa anggur itu kambing hitam demi rencananya ini. Sang dewi menggunakan kekuatannya untuk sedikit mengacaukan pikiran Dionysus, membuat dewa muda itu berkeliaran layaknya seseorang yang tengah mabuk bahkan gila.

Ditengah kegilaannya itu, Dionysus hanya mengingat satu hal. Satu hal yang ditanamkan oleh Hera yang sadar tidak sadar mengontrol seluruh perbuatannya.

Targetnya adalah seorang wanita mantan pendeta di sebuah desa kecil dipinggiran Aetolia.

Maka dari itu, Dionysus―masih dalam keadaan kurang waras―memerintahkan hal itu juga kepada para Maenad. Dan tentu saja hal itu langsung dituruti tanpa ada satu pun orang yang keberatan.

Namun mengingat tidak ada satupun diantara mereka yang sepenuhnya sadar, tentu rencana mereka agaknya sedikit melenceng dari perintah awal. Karena nyatanya, saat dalam pengaruh kekuatan Hera, Dionysus bersama dengan para pengikutnya―Maenad, berkeliaran ke seluruh penjuru Yunani dan menyebarkan kegilaan serta teror lewat ritual penyembelihan yang biasa disebut Sparagmos itu dimana tidak hanya mantan pendeta di Aetolia yang jadi korbannya. Mantan pendeta di seluruh Yunani, pendeta yang sudah tua, bahkan hingga orang-orang biasa yang tidak punya hubungan sama sekali pun ikut menjadi korban.

Korban yang terus berjatuhan itu sukses menarik perhatian Rhea―Ibu dari para dewa―sekaligus membuatnya heran bercampur takut. Dirinya pun mencari Dionysus, hendak menanyakan apa yang sebenarnya dan motif apa yang melatarbelakangi sang dewa muda untuk melakukan hal biadab semacam ini. Tak perlu waktu lama, Rhea berhasil menemukan Dionysus dan segera menyadarkan si dewa dari pengaruh kekuatan Hera. 

Namun meski terbilang tak perlu waktu lama, hal yang dilakukan oleh Rhea itu dapat terbilang sudah terlambat. Dionysus disadarkan oleh Rhea dari pengaruh kekuatan Hera tepat setelah penghuni terakhir di desa itu―atau lebih spesifiknya, sang target utama telah disingkirkan dari dunia atas dan dibawa ke dunia bawah.

***

"Aku mengerti... jadi begitu kejadian sebenarnya..." Asclepius mengusap dagu sembari mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. "Tapi Zeus dan Hera, ya? Mengejutkan sekali," lanjut Asclepius disertai tawa sarkastik sementara Dionysus―yang berperan sebagai narasumbernya kali ini―tengah mengepalkan tangan dan menggigit bibirnya yang sama-sama bergetar.

"Jadi kau kemari untuk memberitahu kami kalau hal yang terjadi waktu itu dan sekarang ini bukan salahmu?" Epione bertanya dengan sebelah alis terangkat dan tangan disilangkan didepan dada.

"Ti-tidak! Bukan... I-itu..." Dionysus memalingkan wajah, menghindari tatapan si Kakak yang cukup membuatnya ciut. "U-um... Begitulah...  Mungkin?" lanjutnya dengan nada bicara yang jelas menunjukkan bahwa dirinya sendiri masih cukup bingung mau menjawab apa.

Epione membuang napas. "Sudahlah. Aku mengerti."

"Hei, Dionysus. Sekarang jawab aku. Apa menurutmu ceritanya berakhir seperti itu saja?" kini giliran Asclepius yang bertanya.

Dionysus menaikkan sebelah alis. "Kurasa iya. Memangnya apa lagi yang harus diceritakan?"

Asclepius mendengus seraya sebuah seringai muncul diwajahnya. Pria itu membenarkan posisi duduk lalu meletakkan kepala disalah satu tangan.

"Bagaimana kalau ku ceritakan kelanjutannya?"

***

Setelah itu, teror mereda. Semua orang dan bahkan para dewa mengira bahwa semuanya sudah berakhir sampai situ saja.

Namun nyatanya tidak.

Tanpa sepengetahuan orang lain dan dewa selain Apollo, Hermes, dan para penghuni dunia bawah, sang target memanglah dibawa ke dunia bawah berkat doanya yang dikabulkan oleh Apollo.

Apollo―dibantu oleh Hermes pun membawa si wanita yang dalam keadaan sangat lemah dan setengah sekarat itu ke dunia bawah.

Tak lama setelah sampai, sesaat sebelum ia menghembuskan napas terakhirnya, ia melahirkan.

Ia melahirkan seorang anak perempuan. Anak perempuan dengan tubuh yang agaknya lebih kecil dari rata-rata dan dirinya pun terlihat agak kesulitan bernapas. Intinya, anak itu dalam keadaan yang sama lemahnya seperti sang Ibu beberapa saat yang lalu.

Persephone dan Makaria yang menyaksikan hal itu tentu merasa kasihan. Diselimutinya dan didekapnya sang anak agar dinginnya Tartarus yang teramat sangat itu tidak semakin membuatnya tersiksa.

Meski begitu, kedua dewi itu tahu bahwa anak itu mustahil untuk hidup disana, di dunia bawah. Suasana semakin rumit ketika Hermes mengatakan bahwa jika bayi itu kembali di bawa ke dunia atas, kemungkinan besar bayi itu akan langsung diincar oleh para Maenad.

Pada akhirnya, seluruh penghuni dunia bawah―Hades, Persephone, Makaria, Melinoe, dan Thanatos―setuju untuk merawat si anak di dunia bawah.

Setiap hari, si anak diberikan makanan yang ada di dunia bawah agar tubuh lemahnya bisa bertahan disana dan sebisa mungkin tidak langsung mengikat jiwanya di dunia bawah. Agak aneh memang, tapi entah mengapa mereka ingin agar anak itu hidup. Jika ditanya mengapa, Hades pasti akan selalu mengatakan hal yang sama.

"Masih terlalu cepat untuknya menetap di Tartarus."

Begitulah katanya.

Berada diantara garis kehidupan dan kematian yang amat tipis, sebuah keajaiban ia bisa bertahan selama bertahun-tahun di dunia bawah. Nyatanya, satu-satunya hal yang tidak dapat para dewa selamatkan darinya adalah penglihatannya terutama di bagian mata kirinya.

Lalu saat dirinya genap menginjak usia tujuh tahun, kesehatannya menunjukkan penurunan yang cukup signifikan. Waktu itu Hades dan Persephone segera memanggil Makaria―yang lebih dikenal dengan nama Epione diluar dunia bawah, beserta Asclepius untuk datang.

Keduanya berhasil meringankan sakit si anak, namun Asclepius mengatakan bahwa si anak sudah mencapai batasnya untuk bertahan disana.

Dengan kata lain, anak itu harus dibawa keluar dari Tartarus.

Mendengar hal itu, Hades agaknya ragu. Sejujurnya dia sudah menduga hal ini akan terjadi cepat atau lambat, tapi ia masih belum memikirkan apa yang harus ia lakukan. Toh, sekeras apapun mereka berusaha menyembunyikannya, Hera pasti akan menyadari keberadaan makhluk dunia bawah dari anak itu.

Hingga pada akhirnya Hades mendapatkan sebuah ide yang cukup diluar perkiraan tapi paling efektif. Ide Hades itu adalah―

Mengambil lalu menyegel segala hal dalam diri anak itu yang ada sangkut pautnya dengan Tartarus.

Sekiranya begitu.

Merasa tidak ada cara lain yang lebih baik, semuanya setuju akan usulan Hades.

Hades mengambil seluruh ingatannya di Tartarus yang kurang lebih sepanjang tujuh tahun lamanya itu. Membiarkan begitu memori tujuh tahun pertama dalam hidup anak itu tak terisi apapun.

Lalu nampaknya hidup cukup lama di Tartarus membuatnya sedikit mengambil karakteristik dari jiwa-jiwa yang sudah tenang dan tak memiliki penyesalan. Karena pada saat Hades mengambil ingatannya, kemampuannya untuk merasakan rasa sakit diambil pula secara tak sengaja lalu disegelnya kedua hal itu oleh Hades di Tartarus.

Sebelum dibawa keluar Tartarus, Hades juga menitipkan sebuah pesan.

―"Ini hanya kemungkinan kecil, tapi bisa saja anak itu mengingat segalanya kembali tergantung seberapa inginnya dia untuk mendapatkan ingatannya kembali. Tapi, semakin ia mendapatkan ingatan dan kemampuannya untuk merasakan sakit, saat itulah dia akan menarik perhatian Hera."

Dengan bantuan Asclepius dan Epione, anak itu dibawa keluar dari Tartarus. Mereka berdua membawa anak itu ke tempat dimana orang diluar daerah itu jarang ada yang berani macam-macam dengan penduduk aslinya, Sparta.

Dititipkannya anak itu di kuil Artemis, dimana tidak lama setelahnya ada sepasang suami istri yang kasihan dan memutuskan untuk membawanya pulang dan mengurus anak itu layaknya anak kandung mereka sendiri.

Dan alangkah terkejutnya pasangan itu ketika mengetahui bahwa si anak tidak mengingat apapun sebelum ia sampai ke kuil Artemis. Bahkan ia tidak mengingat apa dan siapa yang membawanya kesana. Tapi ada satu hal yang dia ingat―

―"Namaku Euthalia..."

***

"J-jadi... Maksudmu... Anak dari wanita itu masih hidup?!"

"Pelankan suaramu, ya ampun," ucap Asclepius sembari memijat keningnya. "Dan iya. Seperti yang kau dengar, anak itu masih hidup sampai sekarang."

"T-tapi kau bilang kalau selama dia tidak ingat apa-apa, dia tidak akan menarik perhatian Hera. Lalu kenapa?"

"Masalahnya, anak itu mulai mengingat sedikit demi sedikit ingatannya yang disegel oleh Ayah," Epione berkata. "Ditambah dia kelihatannya begitu ingin ingatannya kembali dan dapat merasakan sakit lagi," ia menambahkan.

"Ia ingin hidup normal, tapi konsekuensinya berbahaya baik untuk dirinya ataupun orang disekitarnya."

Asclepius dan Epione membuang napas kasar bercampur lelah secara bersamaan.

Masih dihantui oleh segudang pertanyaan, Dionysus hendak kembali bertanya. Namun sayang, pertanyaannya itu disela oleh kedatangan satu sosok yang tidak asing.

"Yo! Kelihatannya kalian sedang membahas hal yang serius. Boleh aku bergabung?"

"Hermes? Ada perlu apa kau kemari?" Epione bertanya mewakilkan dua individu lain di ruangan seraya Hermes berjalan mendekat lalu berdiri tepat di samping Dionysus.

"Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu. Nampaknya bibimu telah melepaskan seekor hewan buas karena seorang Raja bodoh lupa memberinya persembahan."

"Lalu?" Asclepius bertanya.

Hermes tersenyum. "Raja bodoh itu meminta seluruh pahlawan di Yunani untuk membantunya menaklukan hewan buas itu."

Asclepius menaikkan sebelah alis. "Lalu kenapa kau malah datang kemari?"

Hermes menghela napas sambil geleng-geleng kepala. "Ya ampun. Sudah jelas 'kan? Kau itu murid dan anak angkat Chiron. Hal itu saja sudah bisa menjadi alasan."

"Kalau aku menolak?"

"Tidak ada opsi penolakan dalam kasus ini Tuan Muda."

Asclepius mendecih. Ia menduga akan seperti ini dan di lubuk hatinya juga ia percaya kalau Apollo ada sangkut pautnya juga dengan hal ini. Yasudahlah, ini lebih baik daripada situasi dimana jika ia menolak maka Hermes akan membawa salah satu anak atau bahkan istrinya.

Mana sudi dia melakukan hal itu.

"Jadi... Dimana tepatnya letak bibi melepaskan hewan buas itu?"

Masih dengan senyum di wajah, kedua mata Hermes perlahan berubah menjadi tajam seolah menyiratkan sesuatu kepada tiga dewa dihadapannya itu.

"Daerah Kalidonia di Aetolia..."

(Tbc)

Buset panjang bener (ಠ_ಠ)

Huft, backstory buat cerita ini 'surprisingly' lebih rumit ಥ‿ಥ

Sama ini kehitung udah dua kali―atau lebih?―aku ngejelasin cerita yang sama dengan sudut pandang beda ini...

Ya mohon pengertiannya ya untuk para pembaca :")

✨ Cast ✨

―𝐄𝐩𝐢𝐨𝐧𝐞―

―𝐇𝐞𝐫𝐦𝐞𝐬―

―𝐃𝐢𝐨𝐧𝐲𝐬𝐮𝐬―

✨see you!✨

H

ermes & Dionysus design © アポロンさんは神すぎる

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro