Chapter 7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Entah sudah berapa kali dalam satu jam terakhir ini Castor merasakan kepala Eu terantuk, membentur pelan punggungnya sebelum kembali terangkat sepersekian detik setelahnya.

Castor memaki dalam diam. Ia menghirup napas dalam, berusaha mengendalikan hasrat untuk membentak si gadis dibelakangnya ini. Biasanya ia tanpa ragu akan langsung melakukannya, tapi mau bagaimanapun dia masih punya sedikit adab mengingat kelakuannya kemarin malam.

Oh jangan lupakan seberapa besar perasaan bersalahnya nanti kalau Pollux tahu hal ini.

―setelah berpikir seperti itu, kepala Eu kembali membentur punggungnya.

"Ah, maafkan aku," si gadis berucap setengah gelagapan.

Satu tangannya terangkat, ia memijat pangkal hidungnya dengan ibu jari dan telunjuk dengan pelan berusaha mengurangi rasa kantuk dan mengumpulkan kembali kesadarannya yang tadi sempat kabur.

"Ini masih pagi tapi kau sudah mengantuk lagi, apa tidur juga membuatmu lelah?" Castor bertanya setengah mengejeknya.

"Sepertinya begitu," jawab Eu sekenanya, malas berdebat dengan Castor sekaligus masih sedikit linglung untuk memikirkan jawaban yang lebih panjang dan juga masuk akal.

Tangan yang tadi ia pakai untuk memijat pangkal hidung kini digunakannya untuk menepuk―menampar―kedua pipinya secara bergantian, mengusir rasa kantuk yang perlahan kembali muncul ke permukaan. Hal itu membuat suara plak yang cukup keras hingga membuat Castor langsung menolehkan kepalanya dengan sebelah alis terangkat seolah meminta penjelasan.

"Jangan pikirkan saya Yang Mulia. Saya hanya sekedar menyadarkan diri untuk menolak uluran tangan kematian yang hendak menarik saya ke dunia bawah." tanpa sedikitpun membalas tatapan Castor, Eu menjawab dengan nada datar.

Castor berdecak sebelum kembali memfokuskan pandangan kearah depan. Dalam hati dia berkata pada dirinya sendiri, bisa-bisanya dia dan adik kembar tercintanya berteman dengan makhluk bernama manusia, apalagi yang jenisnya macam gadis yang ada dibelakangnya ini.

―jenis-jenis yang tidak dapat terdefinisikan...

"Terserah kau saja. Dan satu lagi..."

Sebelah alis Eu terangkat, menunggu Castor melanjutkan kata-katanya yang tanggung itu. "Ada apa?"

"Candaanmu tadi tidak lucu."

"Pfft―"

Mendengarnya, sontak Eu menutup mulut. Menahan tawanya namun meski begitu ada saja suara yang lolos dari mulut serta sela jarinya hingga sebelah mata Castor berkedut dibuatnya.

"Baik, baik. Maafkan selera humor saya yang buruk ya, Yang Mulia," Eu menjawab. Meski tidak melihat wajahnya, Castor tahu bahwa gadis itu kini tengah menunjukkan sebuah cengiran―seringai―lebar.

"Berisik. Bicara omong kosong sekali lagi sebelum kita sampai, aku bisa menurunkanmu dimana saja."

"Uwa, dingin sekali."

***

C h a p t e r  7
―Aetolia―

***

"Tadi itu sangat hebat, Tuan Putri."

Seraya menyeka keringat yang membasahi wajah dan lehernya, Pollux menolehkan kepala. Sesosok gadis berambut coklat berjalan menghampirinya dengan senyuman menghias wajah dan sehelai kain bersih ditangannya.

"Terimakasih Adele." Pollux membalas senyuman Adele seraya tangannya mengambil kain bersih yang diberikan Adele.

"Saya tidak percaya ini pertama kalinya anda berlatih dengan orang lain, terlebih lagi sampai menang!" ucap Adele kali ini sambil mengintip kebalik punggung Pollux, melihat setidaknya tiga orang pria dewasa yang merupakan prajurit terlatih tengah terduduk bahkan berbaring dengan pedang yang terlepas dari genggaman tangan.

Pollux tertawa renyah. "Sebenarnya ini bukan pertama kalinya juga, aku sudah sering―tidak sesering itu juga sih, dengan Kakak. Jadi sepertinya tubuhku sudah terbiasa," Pollux menjelaskan seraya berjalan menuju pinggir arena latihan sementara Adele yang mengekor dibelakangnya dengan tatapan yang masih terkunci kepada lawan-lawan Pollux beberapa saat yang lalu. "Hee..."

"Lagipula daripada Kakak, kemampuanku masih ada dibawahnya," Pollux melanjutkan kata-katanya dan kali ini sukses membuat Adele membatu.

Dibawah katanya? Yang benar saja. Mendengarnya saja sudah membuat Adele bergidik ngeri dan semakin enggan untuk bertemu dengan Castor. Si gadis menghela napasnya, dalam hati ia salut pada Eu yang masih bertahan berteman dengan si pangeran.

Ngomong-ngomong soal Eu, Adele agaknya masih khawatir dengan keadaannya. Adele sudah hapal betul dengan sifat Eu yang terbilang keras kepala, mau bagaimanapun mereka memperingatinya, Eu pasti akan tetap menempuh jalan yang telah ia pilih apapun yang terjadi. Hal itu merupakan salah satu penyebab mengapa anggota keluarganya yang lain begitu khawatir. Belum lagi yang ia tahu Eu pergi sendiri ke Aetolia dengan menumpang pada pedagang yang kebetulan akan pergi ke Aetolia juga atau sekedar melewati jalur yang sama.

Huft, semoga dewa Hermes melindungi seorang Euthalia hingga sampai ke tempat tujuan. Adele berdoa dalam hati.

"Adele? Kenapa? Ada yang mengganggumu?"

Menyadari Adele yang sedari tadi hanya diam sambil mengekorinya, Pollux membalikkan badan lalu bertanya padanya, yang bersangkutan sedikit kaget dibuatnya. "A-ah, tidak ada apa-apa Tuan Putri, saya baik-baik saja."

"Begitukah?" Pollux memperhatikan Adele lekat-lekat dengan air muka khawatir, terlihat jelas bahwa si putri kurang puas dengan jawaban lawan bicaranya. Yang bersangkutan mulai merasa risih.

"Ah, maafkan aku. Syukurlah kalau tidak ada yang mengganggumu, aku hanya masih sedikit belum terbiasa."

Belum terbiasa, ya?

Adele memegangi dagunya, mencari maksud dibalik kata-kata Pollux. "Apa jangan-jangan ini ada kaitannya dengan Eu?"

Pollux terkekeh pelan. "Tepat sekali."

Hee...

"Aku belum terbiasa dengan orang yang tenang sepertimu, jadi agak janggal jika tiba-tiba hening," jelas Pollux. Seulas senyum manis menghias wajahnya.

Adele mengangguk-angguk. Jika dia pikir-pikir lagi, kata-kata Pollux itu ada benarnya. Berbeda dengan Eu yang selalu bisa memulai pembicaraan―dengan topik seaneh apapun―dan hampir sering mengucapkan apapun yang ada didalam kepalanya, Adele dan Makalios cenderung tidak banyak bicara atau bahkan tidak tahu mau memulai pembicaraan darimana.

"Tapi tentu saja aku tidak keberatan jika kalian atau salah satu dari kalian yang menemaniku," lanjutnya. "Oh iya, ngomong-ngomong boleh aku bertanya?"

"Tentu saja, apa itu?"

"Eu itu dirumah orangnya seperti apa?"

"Eu, ya? Hmm, aku rasa tidak ada bedanya dengan sifatnya saat bekerja―ah, mungkin yang beda dirumah dia sedikit lebih sembrono dan keras kepala." Adele mengembuskan napas lelah.

"Dia itu tipe orang yang tidak mau mendengar apa yang ia tidak ingin dengar. Terutama jika tentang dirinya sendiri." Adele melanjutkan sambil menyilangkan kedua tangan didepan dada.

Mendengar perkataan Adele, Pollux terkekeh. Tanpa disadari keduanya telah sampai didepan sebuah bangku dipinggir arena. Pollux segera duduk disana lalu kemudian ia menepuk-nepuk tempat kosong disampingnya, mengisyaratkan Adele untuk duduk disana.

"Pantas saja Kakak dan Eu mudah akrab, kepribadian mereka hampir sama..."

"Ya, meski Eu masih dapat ditolerir," Pollux tertawa pahit setelah mengatakan hal itu.

Adele mengedipkan matanya beberapa kali, memproses perkataan Pollux. "Benarkah begitu?"

Pollux menganggukkan kepala. "Meski mereka―terutama Kakak enggan mengakuinya, dalam pandanganku mereka itu teman akrab," kata Pollux. Si putri menolehkan kepala, kembali memperhatikan setiap fitur wajah Adele dengan seksama. Alisnya terangkat tanda keheranan, "Tidak mirip..."

"Huh?"

"Kau dan Eu, aku tidak melihat kemiripan diantara kalian."

Adele berkedip. Sekali lagi, suara 'huh' yang lebih mirip bisikan kembali keluar dari mulutnya. Menyadari perkataannya Pollux menutup mulutnya dengan cepat.

"Ah, maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyinggung kalian. Tidak usah dipikirkan, yang tadi lupakan saja, ya?" ucap Pollux.

Tangan Adele naik menyentuh pipinya lalu mengusapnya perlahan. Senyuman tipis terulas dibibir mungilnya. Lama kelamaan senyuman itu semakin besar seraya bibirnya bergetar samar, menahan tawa. Kini giliran Pollux yang mengedipkan matanya beberapa kali, memproses apa yang sebenarnya terjadi pada Adele.

Tak lama setelahnya, Adele berdeham sebelum kembali buka suara. "Tidak apa-apa Tuan Putri, saya tidak tersinggung. Ah, bahkan sepertinya anggota keluarga saya yang lain juga tidak akan tersinggung." Adele menolehkan kepala, menatap Pollux. Netra zamrud dan ametis bersirobok beberapa saat sebelum Adele melanjutkan kata-katanya.

"Lagipula, Eu itu bukan saudara kandung saya dan Makalios."

***

"Kau yakin akan turun disini?"

"Tidak apa-apa, tenang saja. Lagipula tinggal seratus meter lagi, bukan masalah besar," kata Eu enteng sambil meloncat turun dari punggung kuda. "Dan lagi aku merasa tidak enak." menggantungkan ucapannya, Eu menengadahkan kepala dan Castor melakukan hal yang sama, menatap langit yang tadi berwarna biru cerah kini telah berubah menjadi warna jingga yang hangat.

"Dengan kata lain kau terlambat―ah tidak, kau bolos di hari pertamamu belajar dengan kentaur Chiron," ucap Eu sambil memasang senyuman miring.

Castor mendengus. "Jangan bodoh. Meski aku tidak mengantarmu, kecil kemungkinan aku akan sampai disana hari ini juga." Pemuda itu menarik tali kekang, membelokkan arah tunggangannya. Tepat sebelum Castor pergi, Eu kembali memanggil si pemuda membuatnya kembali menolehkan kepala. "Apa?"

"Terimakasih sudah mengantarkan saya, Pangeran." Eu membungkukkan badannya sebagai gestur berterimakasih. Mata Castor membulat, tepat sebelum Eu mengangkat kepalanya kembali, Castor memalingkan wajahnya.

"Terserah. Cepat pergi dan selesaikan urusanmu sebelum malam," ucapnya sambil mengibaskan tangan. Setelah berkata seperti itu, suara ringkikan kuda terdengar memecah suasana dijalan setapak yang tenang disusul oleh suara langkah kuda yang semakin kecil seraya sosok si Pangeran berkuda putih menghilang dari jarak pandangnya.

Eu menarik napas dalam, bersamaan dengan hal itu kedua bahunya terangkat hingga hampir menyentuh garis rahang. Bahunya kembali melemas kala ia menghembuskan napas panjang. "Baiklah, seratus meter sebelum malam!" mengangkat satu tangannya tinggi-tinggi, Eu menyemangati dirinya sendiri.

Langkah demi langkah ia ambil dengan ritme konstan. Tanpa membuka mulutnya, Eu bersenandung. Awalnya tidak beraturan namun lama kelamaan senandung itu mulai menyusun melodi samar yang pernah Eu dengar namun entah dimana. Perlahan seiring ia makin banyak mengambil langkah, melodi yang ia buat semakin melarutkan pikirannya. Langkahnya yang lebar kini bercampur dengan lompatan kecil seirama dengan melodi.

Tanpa beban dan memperhatikan sekitar, sambil mendekap kain di dadanya, Eu terus melompat layaknya anak kecil yang baru saja mendengar kabar bahagia saat perjalanan pulangnya kembali ke rumah. Hingga pada akhirnya, angin yang cukup kencang berhembus dan berhasil menginterupsi pikiran serta kegiatan Eu. Si gadis menutup mata menghindari debu yang sekiranya akan masuk lalu menyakiti mata.

Dirasa sudah berlalu, pelan-pelan Eu membuka matanya, mengedipkannya beberapa kali sambil diusapnya dengan pelan. Sadar tidak sadar, Eu melihat kesekitar. Siapa tau ada barang bawaannya yang jatuh tertiup angin.

Namun alih-alih menemukan barangnya, sepasang netra ametis itu justru menangkap sesuatu yang lebih menarik.

Tepat disisinya, disisi jalan yang akan membawanya ke Aetolia, ada sebuah kuil―ralat, reruntuhan kuil. Sulur tumbuhan liar serta lumut hampir menutupi permukaan bangunan hingga Eu tidak dapat menyebutkan warna asli dari bangunan itu.

Tanpa sadar, Eu malah melangkahkan kakinya mendekati bangunan itu. Alisnya terangkat seraya tangannya terulur menyentuh salah satu puing bangunan. Aneh. Eu yakin ini kali pertamanya ia datang ke Aetolia. Tapi ada perasaan deja vu yang samar kala dirinya menatap reruntuhan dihadapannya.

Ah, tidak. Bukan hanya reruntuhan kuil ini yang membuatnya deja vu. Jalanan, pepohonan, semuanya terasa asing lagi tak asing didalam kepalanya. Eu menatap sekelilingnya, cahaya matahari senja menyinari jalan setapak itu nampak sedikit redup dari beberapa saat yang lalu, hari semakin gelap dan Eu belum sampai ke tempat tujuan. Namun bukannya bergegas, meski sudah tahu begitu Eu malah berdiri diam ditempatnya lalu menolehkan kepala, melirik kearah belakangnya.

Tepat dibelakangnya ada sebuah hutan lebat. Cukup lebat hingga dia tidak dapat melihat cahaya matahari menerobos dari sela daun seperti hutan yang biasa ia lihat berhasil membuat bulu kuduknya meremang.

Ada yang balik menatapnya.

Eu bersumpah dibalik gelapnya hutan itu ada sepasang―berpasang-pasang mata malah yang balik menatapnya. Eu menelan ludah rasa panik mulai menyeruak saat kakinya mendadak tidak dapat ia gerakkan barang sedikit saja.

"Anu, apa kau baik-baik saja?"

Dari arah yang berlawanan dengan Eu menolehkan kepalanya, suara seorang wanita disertai tepukan pelan pada pundak Eu membuat kesadaran si gadis kembali ke tubuhnya. Ia dengan cepat menoleh keasal suara, mendapati sosok wanita bertudungkan kain putih sehingga Eu hanya dapat melihat wajahnya dari bagian hidung kebawah.

"Aku... baik-baik saja...." terdapat jeda ditengah kalimat Eu membuat si lawan bicara segera tahu bahwa apa yang dikatakan si gadis itu berlawanan dengan apa yang dia rasakan.

Namun alih-alih segera merespon, si wanita malah terdiam. Mulutnya sedikit terbuka seolah ia melihat sesuatu yang mengejutkan. Bibirnya kemudian bergerak-gerak, seolah hendak mengatakan sesuatu yang entah mengapa begitu sulit untuk diucapkan.

"Delapan belas...," ucapnya hampir seperti gumaman.

Eu memiringkan kepala, bingung. "Anda baik-baik saja?" ucapnya, kembali mengatakan hal yang diucapkan si wanita sesaat sebelumnya.

Seolah menyadari apa yang telah ia katakan, wanita itu menggeleng cepat. "Ah maafkan aku. Yang tadi lupakan saja," ucapnya sambil menyunggingkan senyum ramah.

Ia kemudian menolehkan kepala kearah hutan. Senyum yang menghias wajahnya tadi perlahan memudar membuat Euthalia semakin penasaran. "Apa kau tadi melihat kedalam hutan?"

"Eh? Uh... Iya..." jawab Eu dengan agak ragu. Si lawan bicara menyentuh dagunya sendiri, seolah sedang menyusun jawaban untuk dirinya sendiri sebelum menganggukkan kepala tanda mengerti.

"Jika kau tidak tahu akan hal itu berarti kau itu orang luar yang baru pertama kali kemari. Apa aku benar?"

Eu berkedip lalu mengangguk cepat. "Iya, anda benar. Ini kali pertama saya mengunjungi Aetolia. Memangnya kenapa?"

"Lalu, hal itu yang anda maksud itu... Apa?" Eu kembali bertanya sebelum lawan bicaranya sempat menjawab.

Wanita itu bergeming, pandangannya kembali terkunci kearah hutan. Penasaran, Eu hendak menolehkan kepalanya kembali sebelum wanita itu memegang kedua bahunya, memutar badan lalu mendorongnya menjauh dari tempat itu.

"Tu―ap―?!"

"Kau akan pergi ke Aetolia bukan? Nah, ayo kita segera kesana sebelum hari semakin gelap!" Ia berkata dengan nada riang yang sedikit mengundang rasa curiga dalam diri Eu.

Euthalia hendak membuka mulutnya, akan mengutarakan protesnya sebelum wanita itu menginterupsi niatannya.

"Akan kuceritakan semuanya, tapi tidak disini. Sekarang, berjalanlah dan jangan melihat kearah hutan itu lagi," sambungnya kini dengan bisikan dengan nada yang lebih serius tepat ditelinga kanan Eu.

Mendengarnya, Eu langsung bungkam. Meski ada sedikit rasa curiga didalam hatinya, insting si gadis lebih keras meneriakkan bahwa ia harus mempercayai kata-kata wanita misterius itu.

"Um, baiklah." dengan pandangan yang lurus kedepan, Eu berjalan sambil memeluk kain di dada lebih erat.

***

"Akhirnya selesai~!"

Euthalia meregangkan tangannya tinggi-tinggi kala urusannya―mengantarkan kain pesanan sudah selesai ia kerjakan. Gadis itu mendongakkan kepala, langit sudah gelap dan bintang serta bulan telah muncul menggantikan sang surya.

Apa ia berada selama itu didalam rumah pelanggannya? Ah sudahlah.

Ia melempar pandangan pada kain berwarna gelap didalam dekapnya. Diintipnya kain yang ia gulung asal itu dengan sebelah mata. Isinya adalah uang hasil pekerjaannya―dan sang ibu. Seulas senyuman penuh rasa puas muncul menghias wajahnya, hasilnya yang terbilang cukup banyak sudah cukup untuk membayar barang, jasa, serta peristiwa aneh yang ia alami saat pergi ke Aetolia hari ini.

"Oh, sudah selesai?"

Dikagetkan oleh suara yang tiba-tiba muncul dari arah belakangnya, Eu buru-buru menggulung kain itu lalu secara spontan menoleh. Ia menghembuskan napas begitu sosok yang ia lihat tak lain dan bukan adalah si wanita yang bersamanya sejak sore tadi. "Tolong jangan mengagetkan saya seperti itu...."

"Haha, maaf. Padahal suaraku tidak terlalu keras tapi kau tetap kaget, ya?" ia berkata dengan nada menyesal.

Eu menghela napas lalu melirik si wanita dari ekor matanya. "Orang-orang pasti akan kaget jika ada yang tiba-tiba berbicara tepat dibelakang mereka."

"Apa anda sedari tadi menunggu disini?" Eu bertanya.

"Sudah jelas bukan? Aku menunggumu selesai dengan pekerjaanmu," jawabnya santai. Sebelah alis Eu terangkat, apa-apaan orang ini? Kenal saja tidak, kenapa dia malah repot-repot menunggunya.

"Kau tidak akan mencari penginapan? Kau tidak akan mungkin pulang selarut ini, bukan? Terutama untuk seorang gadis, hal itu berbahaya," katanya.

"Ah, iya. Anda benar."

"Kalau begitu, biar aku antar. Aku sudah lumayan akrab dengan tempat ini," ucapnya menawarkan diri.

Sadar tidak sadar, setelah mendengar kata-katanya, Eu memundurkan satu kakinya selangkah tanda waspada. Ia memicingkan mata, menatap curiga sosok dihadapannya sekaligus memfokuskan pandangannya yang agak kabur.

Menyadari hal itu, si wanita tersenyum simpul. "Aku tidak akan berbuat jahat padamu kok...."

Eu makin memicingkan mata, kali ini hingga terlihat seperti garis. "Kau berjanji?" tanya Eu dengan segala formalitas yang dibuangnya, memastikan.

Si wanita menganggukkan kepala. Ditaruhnya salah satu tangan didepan dada seraya ia berkata dengan suara paling lembut nan menenangkan yang pernah Eu dengar sepanjang hidupnya hingga saat ini.

"Aku bersumpah demi Zeus."

***

Singkat cerita, wanita itu mengajak Eu ke salah satu penginapan yang letaknya tidak jauh dari sana. Penginapan itu tidak terlalu besar, tidak juga terlalu kecil, biayanya pun cukup murah hingga membuat Eu bersorak dalam hati―baik, itu berlebihan.

Namun yang mengejutkan, ternyata wanita itu sudah terlebih dulu menyewa satu kamar, tentu saja menggunakan uangnya. Dan hal itu tentu kembali mengundang rasa curiga serta penasaran seorang Euthalia.

"Apa benar ini tidak masalah? Ini memakai uang anda lho," ucap Eu sambil duduk ditepi kasur dengan kaku.

Wanita itu menggelengkan kepala sebelum duduk di samping Eu. "Tenang saja, harganya tidak seberapa."

"Tapi―" belum selesai Eu berkata, wanita itu meletakkan jari telunjuknya didepan bibir Eu, mengisyaratkan si gadis untuk berhenti bicara.

"Sudah kubilang jangan dipikirkan, bukan? Nah sekarang istirahatlah, kau pasti lelah 'kan?" katanya.

"Baik, baik, aku mengerti," Eu menjawab seraya wajahnya berubah masam.

Ia membaringkan badannya diatas kasur dengan posisi senyaman mungkin. Untuk beberapa saat, ia menatap langit-langit ruangan dengan tatapan datar, menunggu rasa kantuk segera menyerangnya.

Dilain pihak, sosok wanita yang masih setia duduk ditempatnya itu mengelus pelan kepalanya sambil bersenandung kecil yang terdengar seperti sebuah lagu pengantar tidur. Dan benar, pelan-pelan mata Eu mulai terasa berat dan semakin berat seiring berjalannya waktu.

Dalam hitungan beberapa detik, hanya tinggal setitik kesadaran Eu yang masih berada disisi terjaga. Matanya sudah hampir tertutup, hendak mengakhiri hari melelahkan yang telah dialaminya.

Senandungnya terhenti, tergantikan oleh ucapan selamat malam seraya tangannya ia tarik menjauh dari kepala Eu. Samar-samar, dari matanya yang hampir tertutup sempurna itu, Eu melihatnya menurunkan tudung yang menutupi wajah. Kulit bersih serta rambut pendek bergelombang berwarna cerah itu nampak indah sekali kala sinar rembulan menyinarinya.

"Selamat malam―"

Tangannya kembali terulur, kali ini menutup kedua mata Eu. Tepat sebelum gadis itu beranjak pergi ke alam mimpi, ia mendengar wanita itu melanjutkan kata-katanya.

"―Euthalia...."

***

"...And if you gaze long into an abyss, the abyss also gazes into you." -Friedrich Nietzsche.

(Tbc)

.

.

.

Suara langkah kakinya menggema disepanjang lorong kuil yang luas, memecah keheningan. Dengan kedua tangan dibelakang punggung menggenggam satu sama lain, ia mengedarkan pandangan, melihat keindahan kompleks kuil saat malam hari.

"Selamat datang, tumben sekali kau terlambat."

Sebuah suara sukses menghentikan langkahnya. Ia menolehkan kepala, seketika senyumnya terkembang saat sepasang mata berwarna hijau kebiruan itu menangkap sosok yang tak asing tengah berjalan mendekat dengan tangan memegang berbagai perkamen.

"Maafkan aku. Aku sepertinya lupa waktu karena bertemu kawan lama." Ia tertawa kikuk dengan sebelah tangan naik lalu menggaruk belakang kepala.

Si lawan bicara tidak menjawab, ia terus berjalan mendekat hingga sosoknya kini semakin jelas terlihat. "Kawan lama?"

"Iya. Ah, sebelum itu biarkan aku bantu membawa setengahnya." ucapnya seraya menunjuk barang-barang ditangan lawan bicaranya.

Singkat cerita, setelah membagi barang bawaan, keduanya berjalan berdampingan menyusuri lorong kuil dalam diam. Hanya ada suara langkah kaki yang terdengar diantara mereka.

"Ngomong-ngomong, tadi si domba sialan itu berkunjung kemari."

"Eh? Kenapa dewa Apollo kemari?"

"Entahlah, ia hanya berkata padaku kalau mau berkunjung menemui Hygieia dan yang lain." Ia berucap dengan diakhiri sebuah decakan penuh rasa kesal.

"Haha, maaf membuatmu harus menjaga anak-anak sendirian ya, Asclepius."

Ia―Asclepius, melirik sosok disampingnya dari ekor mata sebelum menjawab perkataannya dengan sebuah anggukan singkat.

"Soal kawan lamamu itu... Bagaimana?" Asclepius bertanya.

"Ah, aku hampir lupa. Dari pengamatanku, kondisi luarnya baik-baik saja, tapi aku ragu dengan dalamnya," katanya dengan nada sedikit muram.

"Dia itu... Manusia?"

"Iya, begitulah."

"Manusia yang sama dengan yang kau ceritakan waktu itu?"

Ia menganggukkan kepala, mengiyakan perkataan Asclepius.

"Jadi... Berapa?"

"Tidak berubah."

Helaan napas berat dikeluarkan hampir berbarengan oleh keduanya. "Aku kira dengan menempatkannya ditempat itu akan merubahnya ternyata tidak..."

Mendengarnya, Asclepius meletakkan tangan di puncak kepala sosok disampingnya, mengusap rambutnya pelan seraya berkata dengan nada datar namun ada rasa menenangkan didalam perkataan yang terlontar dari mulutnya itu.

"Sudah, kau berjuang keras hari ini. Beristirahatlah, Epione."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro